Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan seringkali terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam.
![]() |
KHI |
Keinginan itulah kemudian memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang suatu saat bisa dijadikan pegangan para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUHP.
Pembentukan KHI atas SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, KHI yang dipimpin Bustanil Arifin ini bertugas melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum. Prioritas utama mengkaji kitab-kitab yang diperguanakan sebagai putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
Memang KHI masih banyak yang pro-kontra tentang kemampuan yuridisnya. Misalnya, Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H. menyatakan bahwa KHI tetap berada diluar tatanan hukum positif Indonesia dan itu merupakan pendapat sekelompok ulama dan pakar hukum Islam, atau bisa dikatakan sebagai ijma kalangan tersebut. Anggota Komisi Hukum Nasional Fajrul Falakh yang masih digunakan sebagai books of authority dalam Peradilan Agama. Karena itu KHI di hadapan lembaga Yudikatif, khususnya Peradilan tidak dapat dijadikan rujukan. Meski demikian banyak kalangan menyambut tidak munculnya KHI tersebut.
Landasan hukum pembentukan KHI adalah Pasal 27 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan landasan fungsional, yaitu KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Bukan mazhab baru tetapi mengarah kepada penyatuan berbagai pendapat mazhab dalam hukum Islam untuk menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam. Untuk menuju kepastian hukum bagi umat Islam.
Yang diatur dalam KHI terdiri dari tiga hukum, yaitu Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan. Sistematikanya sebagai berikut:
- Buku I Hukum Perkawinan: 170 pasal (Pasal 1 – 170)
- Buku II Hukum Kewarisan: 44 pasal (Pasal 171 – 214)
- Buku III Hukum Perwakafan: 1 pasal (Pasal 215 – 229)
1. Hukum Perkawinan
Menurut Undang – undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 yang dimaksud perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa berlaku untuk semua agama.
Perkawinan menurut KHI pasal 2 Bab II : perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu aqad yang sangat kuat atau mitaqon gholidhan untk menta’ati perintah Allah dan melaksanakanya adalah ibadah.
Peristiwa perkawinan-pernikahan merupakan suatu perikatan hukum antara suami-isteri sehingga mengakibatkan berlakunya hukum tentang pergaulan suami-isteri dalam islam dengan segala akibat-akibat hukumnya. Karenanya disebut mistaqon gholidan/ikatan yang sangat kuat.
Tujuan perkawinan menurut KHI pasal 3: perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah .
Rukundan Syarat Perkawinan :
- Adanya calon suami
- Adanya calon istri
- Harus adanya wali nikah calon istri
- Harus ada dua orang saksi laki – laki
- Harus ada mahar.
- Adanya Ijab Qobul
Adapun syarat – syarat mahar yaitu :
- Sesuatu benda yang diserahkan olrh calon suami
- Halal artinya baik bendanya maupun cara perolehan benda yang akan dijadikan mahar adalah halal.
Dengan uraian tersebut jelas kiranya suatu perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan hukum Syara’ dalam hal ini hukum islam.
Menurut Undang – undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan syarat sahnya perkawinan adalah sebagai berikut :
- Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
- Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa calon mempelai laki – laki harus sudah berumur 19 tahun dan untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun.
- Pasal 6 Ayat 2 disebutkan apabila calon suami atau calon istri belum berumur seperti disebutkan pada pasal 7 Ayat 1 maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum dewasa secara hukum.
Peminangan
Peminangan menurut KHI pasal 1 huruf a : peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang wanita. Lafaz perjodohan bermakna perkawinan.
Teknis peminangan menurut KHI pasal 11 : peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan perantara yang dapat dipercaya.
Syarat meminang yang dirincikan pada pasal 12 adalah:
- Pinangan dilakukan oleh seorang laki-laki atau pihak dari laki-laki kepada seoran wanita atau dari pihak wanitanya sebagaimana di syaratkan pada pasal 12 (1)
- Wanita yang dipinang adalah wanita yang perawan, wanita yang tidak terikat perkawinan dengan orang lain, wanita yang tidak masih dalam iddah raji’ah, janda yang habis masa iddahnya
Larangan meminang yang dirincikan pasal 12 adalah:
- Wanita yang masih dalam iddah rajiyah baik dengan terang-terangan ataupun sindiran
- Wanita yang masih dalam iddah karena wafatnya suami (masa tunggu 130 hari). di bolehkan meminangnya kecuali dengan sindiran.
- Wanita yang sedang dipinang oleh pria lain selama pinangannya tersebut putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita
- Wanita yang sedang atau telah dipinang oleh orang lain sedangkan pinangan tersebut belum dputuskan baik dari pihak wanitanya atau laki-lakinya
- Wanita yang tergolong muharrimat/senasab
Rukun perkawinan menurut pasal 14 KHI adalah: untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
- calon suami (mencapai 21 thn)/ minimal 19 thn (hrs mendapatkan izin dari Orto). ( Pasal 15 KHI)
- calon isteri (mencapai 21 thn)/ minimal 16 thn (hrs mendapatkan izin dari Orto). ( Pasal 15 KHI)
- wali nikah ( pasal 19 KHI)
- dua orang saksi ( pasal 24-26 KHI )
- ijab dan Kabul ( pasal 27-29 KHI )
“Tanpa wali nikah maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan( pasal 19 KHI)”
Pembagian wali nikah pada pasal 20 KHI yaitu : wali nasab dan wali hakim
1. wali nasab ( pasal 21 ) terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan.
Pembagian wali nikah pada pasal 20 KHI yaitu : wali nasab dan wali hakim
1. wali nasab ( pasal 21 ) terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan.
- Kerabat laki-laki seayah
- Keturunan laki-laki mereka (laki-laki seayah)
- Kerabat paman ( saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki dari mereka)
- Saudara laki-laki kandung kakek,saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka
2. wali hakim ( pasal 23 ) :
wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.
Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah stelah ada keputusan dari Pengadilan Agama
Urutan wali nikah yang di utamakan adalah :
- Wali nasab paling dekat ( nasab aqrab) yaitu ayah/kakek mempelai wanita
- wali nasab yang jauh ( nasab ab’ad)
- Wali hakim

0 komentar to "Kompilasi Hukum Islam di Indonesia"