Sebaiknya Anda tahu bahwa masing-masing sertifikat (tanah) memiliki kekuatan hukum yang berbeda-beda. Tentu itu dapat memberikan pengaruh dalam keamanan kita untuk berinvestasi atau melakukan transaksi jual beli atau hal lain. Kali kini kami akan membahas 6 Hak Atas Tanah atau Sertifikat Kepemilikan yang perlu Anda ketahui :
(1) Girik-Grik
Girik-girik sering dianggap orang sebagai sertifikat untuk membuktikan kekuasaannya atas sebidang tanah, namun Girik Bukan Tanda Bukti Hak Atas Tanah namun hanya sebuah surat tanda pembayaran pajak atas sebidang tanah. Surat Girik sangat lemah dari sisi status hukum, tetapi data menjadi dasar dalam pembuatan sertifikat tanah.
Pada dasarnya hukum pertanahan kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5 undang-undang Pokok Agraria tahun 1960.
Berikut langkah selanjutnya perlu dilakukan:
(1) Girik-Grik
Girik-girik sering dianggap orang sebagai sertifikat untuk membuktikan kekuasaannya atas sebidang tanah, namun Girik Bukan Tanda Bukti Hak Atas Tanah namun hanya sebuah surat tanda pembayaran pajak atas sebidang tanah. Surat Girik sangat lemah dari sisi status hukum, tetapi data menjadi dasar dalam pembuatan sertifikat tanah.
Pada dasarnya hukum pertanahan kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5 undang-undang Pokok Agraria tahun 1960.
Berikut langkah selanjutnya perlu dilakukan:
- Mintalah girik asli dari si penjual, dan pastikan bahwa nama si penjual yang tercantum dalam girik tersebut. Jika tidak, harus ada hubungan hukum antara si penjual dengan orang yang tercantum dalam girik tersebut.
- Pastikan objek tanah tersebut sama dengan yang dimaksud dalam girik, kemudian kuasai secara fisik dengan tanda batas yang jelas.
- Ajukan permohonan hak atas tanah tersebut langsung ke kantor badan pertanahan setempat, dengan tahapan yang secara garis besarnya sebagai berikut:
- Pengukuhan fisik tanah dilanjutkan dengan pembuatan Gambar situasi.
- Penelitian dan pembahasan Panitia A.
- Pengumuman atas permohonan tersebut.
- Penerbitan SK pemberian Hak.
- Pencetakan sertifikat tanah.
- Total waktu yang dibutuhkan kurang lebih 90 hari.
- Adapun biaya pemasukan ke kas negara sekitar 5 % x NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) x luas tanah, ditambah dengan dana operasional petugas lapangan.
(2) Hak Pakai (HP)
Hak Pakai atau HP merupakan sertifikat yang menjelaskan terhadap suatu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasa Negara atau tanah orang lain sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Namun perjanjian yang dimaksud bukan perjanjian mengelola lahan atau sewa-menyewa lahan yang sifatnya jangka pendek. Hak Pakai biasanya memiliki jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
(3) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha merupakan hak yang diberikan kepada seseorang dalam hal untuk mengelola sebidang tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu yang diatur dalam UU Agraria atau paling lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperbaharui kembali.
(4) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS)
HMSRS atau Hak MIlik Atas Satuan Rumah Susun merupakan hak kepemiliki atas satuan rumah susun yang bersifat terpisah maupun perseorangan. Selain pemilikan SRS, HMSRS juga mencangkup hak kepemilikan bersama atas apa yang disebut bagian bersama, tanah bersama, dan benda bersama. Ketiga komponen pemilikan bersama tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apartemen, Rumah Rusun menjadi contoh properti yang menggunakan sertifikat seperti ini.
(5) Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB atau Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan atau memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliki pribadi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria atau paling lama selama 30 tahun. Jangka waktu dapat diperpanjang lagi jika telah habis masa penggunanaanya dan Hak Guna Bangunan (HGB) dapat ditingkatkan kekuatan hukumnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
(6) Sertifikat Hak Milik (SHM)
Sertifikat Hak Milik adalah sertifikat dengan status hukum terkuat diantara status hukum pertanahan yang lainnya. Hak yang melekat pada sertifikat hak milik memiliki sifat hak turun temurun dan terpenuhi yang dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum sebagai pemilik dalam sertifikat hak milik tersebut.
Semoga bermanfaat.
Dalam transaksi jual beli tanah, seringkali kita mendengar dua istilah ini: PPJB dan AJB.
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli. Kedua istilah itu merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang berbeda.
Perbedaan utama kedua istilah tersebut adalah sifat otentikasinya. PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat dibawah tangan (akta non otentik). Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak (calon penjual dan pembeli) dan tidak melibatkan notarsi/PPAT. Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tersebut tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya – tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
PPJB umumnya mengatur bahwa penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli, namun hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab tertentu, misalnya tanahnya masih dalam jaminan bank, atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Dalam transaksi jual beli tanah, calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berebda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan (balik nama) dari penjual kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syaratisyarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian maka PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat dibawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
[ Sumber : legalakses - Title : PPJB dan AJB ]
Baca Artikel Lain :