Forensik Komputer merupakan penggunaan sekumpulan prosedur untuk melakukan pengujian secara menyeluruh suatu sistem komputer dengan mempergunakan software dan tool untuk mengekstrak dan memelihara barang bukti tindakan kriminal.
Tujuan dari Forensik komputer adalah mendapatkan fakta-fakta obyektif dari sebuah insiden/pelanggaran keamanan sistem sinformasi. Fakta-fakta tersebut setelah diverifikasi akan menjadi bukti-bukti (evidence) yang akan digunakan dalam proses hukum selanjutnya.
Empat Elemen Kunci Forensik dalam Teknologi Informasi Adanya empat elemen kunci forensik dalam teknologi informasi adalah sebagai berikut :
Identifikasi dari Bukti Digital
Merupakan tahapan paling awal forensik dalam teknologi informasi. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi di mana bukti itu berada, di mana bukti itu disimpan, dan bagaimana penyimpanannya untuk mempermudah tahapan selanjutnya. Banyak pihak yang mempercayai bahwa forensik di bidang teknologi informasi itu merupakan forensik pada komputer. Sebenarnya forensik bidang teknologi informasi sangat luas, bisa pada telepon seluler, kamera digital, smart cards, dan sebagainya. Memang banyak kasus kejahatan di bidang teknologi informasi itu berbasiskan komputer. Tetapi perlu diingat, bahwa teknologi informasi tidak hanya komputer/internet.
Penyimpanan Bukti Digital
Termasuk tahapan yang paling kritis dalam forensik. Pada tahapan ini, bukti digital dapat saja hilang karena penyimpanannya yang kurang baik. Penyimpanan ini lebih menekankan bahwa bukti digital pada saat ditemukan akan tetap tidak berubah baik bentuk, isi, makna, dan sebagainya dalam jangka waktu yang lama. Ini adalah konsep ideal dari penyimpanan bukti digital.
Analisa Bukti Digital
Pengambilan, pemrosesan, dan interpretasi dari bukti digital merupakan bagian penting dalam analisa bukti digital. Setelah diambil dari tempat asalnya, bukti tersebut harus diproses sebelum diberikan kepada pihak lain yang membutuhkan. Tentunya pemrosesan di sini memerlukan beberapa skema tergantung dari masing-masing kasus yang dihadapi.
Presentasi Bukti Digital
Adalah proses persidangan di mana bukti digital akan diuji otentifikasi dan korelasi dengan kasus yang ada. Presentasi di sini berupa penunjukan bukti digital yang berhubungan dengan kasus yang disidangkan. Karena proses penyidikan sampai dengan proses persidangan memakan waktu yang cukup lama, maka sedapat mungkin bukti digital masih asli dan sama pada saat diidentifikasi oleh investigator untuk pertama kalinya.
Jika ditelusuri lebih jauh, forensik itu sendiri merupakan suatu pekerjaan identifikasi sampai dengan muncul hipotesa yang teratur menurut urutan waktu. Sangat tidak mungkin forensik dimulai dengan munculnya hipotesa tanpa ada penelitian yang mendalam dari bukti-bukti yang ada. Investigator harus mampu menyaring informasi dari bukti yang ada tetapi tanpa merubah keaslian bukti tersebut. Adanya dua istilah dalam manajemen (barang) bukti antara lain the chain of custody dan rules of evidence, jelas akan membantu investigator dalam mengungkap suatu kasus.
The Chain of Custody
Satu hal terpenting yang perlu dilakukan investigator untuk melindungi bukti adalah the chain of custody. Maksud istilah tersebut adalah pemeliharaan dengan meminimalisir kerusakan yang diakibatkan karena investigasi. Barang bukti harus benar-benar asli atau jika sudah tersentuh investigator, pesan-pesan yang ditimbulkan dari bukti tersebut tidak hilang. Tujuan dari the chain of custody adalah :
- Bukti itu benar-benar masih asli/orisinil
- Pada saat persidangan, bukti masih bisa dikatakan seperti pada saat ditemukan (biasanya jarak antara penyidikan dan persidangan relatif lama).
Barang Bukti atau Rules of Evidence
Arti istilah ini adalah barang bukti harus memiliki hubungan yang relevan dengan kasus yang ada. Dalam rules of evidence, terdapat empat persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain :
1. Dapat Diterima (Admissible)
Harus mampu diterima dan digunakan demi hukum, mulai dari kepentingan penyidikan sampai dengan kepentingan pengadilan.
2. Asli (Authentic)
Bukti tersebut harus berhubungan dengan kejadian/kasus yang terjadi dan bukan rekayasa.
3. Lengkap (Complete)
Bukti bisa dikatakan bagus dan lengkap jika di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu proses investigasi.
Dapat Dipercaya (Believable & Reliable)
Bukti dapat mengatakan hal yang terjadi di belakangnya. Jika bukti tersebut dapat dipercaya, maka proses investigasi akan lebih mudah. Walau relatif, dapat dipercaya ini merupakan suatu keharusan dalam penanganan perkara.
Metodologi Forensik Teknologi Informasi
Metodologi yang digunakan dalam menginvestigasi kejahatan dalam teknologi informasi dibagi menjadi dua :
1. Search & Seizure
Investigator harus terjun langsung ke dalam kasus yang dihadapi, dalam hal ini kasus teknologi informasi. Diharapkan investigator mampu mengidentifikasi, menganalisa, dan memproses bukti yang berupa fisik. Investigator juga berwenang untuk melakukan penyitaan terhadap bukti yang dapat membantu proses penyidikan, tentunya di bawah koridor hukum yang berlaku.
Tahapan dalam search dan seizure ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
Identifikasi dan penelitian permasalahan
Dalam hal ini identifikasi adalah identifikasi permasalahan yang sedang dihadapi, apakah memerlukan respon yang cepat atau tidak. Jika tidak, maka dilanjutkan dalam penelitian permasalahan secara mendalam.
Membuat hipotesa
Pembuatan hipotesa setelah melalui proses identifikasi dan penelitian permasalahan yang timbul, sehingga data yang didapat selama kedua proses di atas dapat dihasilkan hipotesa.
Uji hipotesa secara konsep dan empiris
Hipotesa diuji secara konsep dan empiris, apakah hipotesa itu sudah dapat dijadikan kesimpulan atau tidak.
- Evaluasi hipotesa berdasarkan hasil pengujian dan pengujian ulang jika hipotesa tersebut jauh dari apa yang diharapkan.
- Evaluasi hipotesa terhadap dampak yang lain jika hipotesa tersebut dapat diterima.
Tahapan-tahapan di atas bukan merupakan tahapan yang baku, disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Kondisi keadaan yang berubah-ubah memaksa investigator lebih cermat mengamati data sehingga ipotesa yang diambil tidak jauh dari kesimpulan akhir. Search dan seizure sendiri meliputi pemulihan dan pemrosesan dari bukti komputer secara fisik. Walaupun banyak hal yang positif, metode ini juga memberikan penekanan dan batas-batas untuk investigator agar hipotesa yang dihasilkan sangat akurat.
2. Pencarian informasi
Metode pencarian informasi yang dilakukan oleh investigator merupakan pencarian bukti tambahan dengan mengandalkan saksi baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dengan kasus ini. Pencarian informasi didukung bukti yang sudah ada menjadikan hipotesa yang diambil semakin akurat. Beberapa tahapan dalam pencarian informasi khususnya dalam bidang teknologi informasi :
- Menemukan lokasi tempat kejadian perkara
- Investigator menggali informasi dari aktivitas yang tercatat dalam log di komputer
- Penyitaan media penyimpanan data (data storages) yang dianggap dapat membantu proses penyidikan
[ Sumber : didiindra.wordpress.com ]
Unlocking modem dilakukan dengan cara mengubah/modifikasi firmware dari modem tersebut. Firmware, menurut berbagai sumber yang kami peroleh, adalah program yang ditanamkan ke dalam hardware yang bersifat tetap agar hardware tersebut dapat melaksanakan perintah-perintah tertentu. Firmware dapat dikatakan sebagai program komputer dan dilindungi oleh hak cipta.
Apabila suatu firmware sebagai suatu ciptaan dan terdapat sarana kontrol teknologi yang dibuat untuk mencegah seseorang mengubah cara kerja firmware tersebut (baik melalui proses instalasi firmware asing ataupun memodifikasi cara kerja firmware) dan/atau sarana kontrol teknologi tersebut dibuat menjadi tidak berfungsi, maka dapat dikatakan orang yang melakukannya telah melanggar UU Hak Cipta. Akan tetapi sanksi pidana atas pelanggaran ini hanya berlaku untuk penggunaan secara komersial.
Dilihat dari Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), agaknya sulit untuk mengatakan bahwa terdapat pelanggaran DTLST, karena yang dilanggar bukanlah mengenai kreasi tiga dimensinya.
Dilihat dari Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), agaknya sulit untuk mengatakan bahwa terdapat pelanggaran DTLST, karena yang dilanggar bukanlah mengenai kreasi tiga dimensinya.
Pertanyaan Anda :
Unlocking Modem, Tindak Pidana atau Bukan?
Saya ingin bertanya, akhir-akhir ini karena kebijakan PT Internux melakukan pembatasan paket dan kuota, banyak pengguna bolt yang melakukan unlock modem yang mereka beli. Sebagai reaksi menurut beberapa artikel berita, PT Internux akan mempidanakan pelaku unlocking. Pertanyaan saya: 1. Bukankah apa yang seseorang beli itu merupakan hak mereka? 2. Jika memang ilegal, dasarnya apa? Apa soal DTLST (saya tanya teman hukum saya, beliau bilang mungkin soal itu)? Saat saya baca-baca soal DTLST sepertinya tidak membahas soal firmware, apa saya salah baca? 3. Jika ilegal, apakah unlocking untuk diri sendiri juga tidak boleh atau hanya yang dijual?
Unlocking Modem, Tindak Pidana atau Bukan?
Saya ingin bertanya, akhir-akhir ini karena kebijakan PT Internux melakukan pembatasan paket dan kuota, banyak pengguna bolt yang melakukan unlock modem yang mereka beli. Sebagai reaksi menurut beberapa artikel berita, PT Internux akan mempidanakan pelaku unlocking. Pertanyaan saya: 1. Bukankah apa yang seseorang beli itu merupakan hak mereka? 2. Jika memang ilegal, dasarnya apa? Apa soal DTLST (saya tanya teman hukum saya, beliau bilang mungkin soal itu)? Saat saya baca-baca soal DTLST sepertinya tidak membahas soal firmware, apa saya salah baca? 3. Jika ilegal, apakah unlocking untuk diri sendiri juga tidak boleh atau hanya yang dijual?
Berdasarkan pertimbangan uraian pertanyaan Anda, kami hanya akan menjawab dengan fokus pendekatan pada aspek pidananya saja.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu kita pahami terlebih dahulu bagaimana mekanisme unlocking tersebut dilakukan. Suatu modem memiliki beberapa Hak Kekayaan Intelektual yang melekat di produk tersebut. Misalnya, “merek” Bolt akan dilindungi ketentuan mengenai Hak atas Merek, “desain produk” modem akan dilindungi ketentuan tentang Hak atas Desain Industri, “program komputer” yang ada di dalam produk tersebut dilindungi oleh Hak Cipta, dan seterusnya.
Sepanjang penelusuran kami, unlocking modem dilakukan dengan cara mengubah/modifikasi firmware dari modem tersebut. Firmware, menurut berbagai sumber yang kami peroleh, adalah program yang ditanamkan ke dalam hardware yang bersifat tetap agar hardware tersebut dapat melaksanakan perintah-perintah tertentu. Misalnya, lampu lalu lintas yang di dalamnya sudah ditanamkan firmware dapat menyala pada perhitungan waktu tertentu sesuai perintah dalam aplikasi firmware-nya.
Dengan pemahaman di atas, kami akan menjabarkan apakah firmware mendapatkan perlindungan dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”).
Firmware Sebagai Obyek HKI
Melihat pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”), salah satu diantara Ciptaan yang dilindungi adalah Program Komputer.[1] Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.[2]
Sayangnya, UUHC tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “komputer". Oleh karenanya, kita merujuk pada Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang mendefinisikan Komputer sebagai alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Dengan pemahaman di atas, firmware dapat dikatakan sebagai program komputer karena firmware dapat dianggap sebagai instruksi yang disampaikan dengan tujuan agar suatu alat pemroses (komputer) dapat bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Oleh karenanya, dalam perspektif HAKI, firmware dapat dilindungi oleh rezim Hak Cipta sebagai suatu program komputer.
Perlu dicatat bahwa Hak Cipta merupakan salah satu rezim HAKI yang perlindungannya timbul tanpa memerlukan pendaftaran. Sehingga, apabila firmware yang bersangkutan belum didaftarkan, hal itu tidak akan mengurangi perlindungan hak cipta terhadapnya.
Dengan demikian firmware termasuk obyek Hak Cipta yang dilindungi Undang-Undang.
Ketentuan Pidana dalam UUHC
Dalam UUHC, ketentuan pidana yang dekat dengan pengubahan firmware dalam modem adalah Pasal 52 UUHC yang berbunyi :
Setiap Orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan sebagai pelindung Ciptaan atau produk Hak Terkait serta pengaman Hak Cipta atau Hak Terkait, kecuali untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau diperjanjikan lain.
Dalam Penjelasan Pasal 52, sarana kontrol teknologi dimaknai sebagai setiap teknologi, perangkat, atau komponen yang dirancang untuk mencegah atau membatasi tindakan yang tidak diizinkan oleh pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, dan/atau yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Melihat ketentuan di atas, apabila suatu firmware sebagai suatu ciptaan dan terdapat sarana kontrol teknologi yang dibuat untuk mencegah seseorang mengubah cara kerja firmware tersebut (baik melalui proses instalasi firmware asing ataupun memodifikasi cara kerja firmware) dan/atau sarana kontrol teknologi tersebut dibuat menjadi tidak berfungsi, maka dapat dikatakan orang yang melakukannya telah melanggar ketentuan Pasal 52 UUHC.
Dalam Pasal 112 UUHC disebutkan bahwa sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 52 berlaku untuk Penggunaan Secara Komersial. Penggunaan Secara Komersial diartikan sebagai pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.[3] Oleh karenanya, kegiatan unlocking modem oleh individu untuk keperluan penggunaan sendiri seharusnya tidak dapat dikenai pasal ini.
Ketentuan Pidana dalam UU ITE
Persoalan unlocking modem juga bisa dianalisa dengan pendekatan aspek pidana dalam UU ITE. Dalam UU ITE terdapat beberapa ketentuan pidana terkait dengan permasalahan unlocking modem, antara lain:
Sepanjang penelusuran kami, unlocking modem dilakukan dengan cara mengubah/modifikasi firmware dari modem tersebut. Firmware, menurut berbagai sumber yang kami peroleh, adalah program yang ditanamkan ke dalam hardware yang bersifat tetap agar hardware tersebut dapat melaksanakan perintah-perintah tertentu. Misalnya, lampu lalu lintas yang di dalamnya sudah ditanamkan firmware dapat menyala pada perhitungan waktu tertentu sesuai perintah dalam aplikasi firmware-nya.
Dengan pemahaman di atas, kami akan menjabarkan apakah firmware mendapatkan perlindungan dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”).
Firmware Sebagai Obyek HKI
Melihat pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”), salah satu diantara Ciptaan yang dilindungi adalah Program Komputer.[1] Program Komputer adalah seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apapun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu.[2]
Sayangnya, UUHC tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “komputer". Oleh karenanya, kita merujuk pada Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang mendefinisikan Komputer sebagai alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Dengan pemahaman di atas, firmware dapat dikatakan sebagai program komputer karena firmware dapat dianggap sebagai instruksi yang disampaikan dengan tujuan agar suatu alat pemroses (komputer) dapat bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Oleh karenanya, dalam perspektif HAKI, firmware dapat dilindungi oleh rezim Hak Cipta sebagai suatu program komputer.
Perlu dicatat bahwa Hak Cipta merupakan salah satu rezim HAKI yang perlindungannya timbul tanpa memerlukan pendaftaran. Sehingga, apabila firmware yang bersangkutan belum didaftarkan, hal itu tidak akan mengurangi perlindungan hak cipta terhadapnya.
Dengan demikian firmware termasuk obyek Hak Cipta yang dilindungi Undang-Undang.
Ketentuan Pidana dalam UUHC
Dalam UUHC, ketentuan pidana yang dekat dengan pengubahan firmware dalam modem adalah Pasal 52 UUHC yang berbunyi :
Setiap Orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan sebagai pelindung Ciptaan atau produk Hak Terkait serta pengaman Hak Cipta atau Hak Terkait, kecuali untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau diperjanjikan lain.
Dalam Penjelasan Pasal 52, sarana kontrol teknologi dimaknai sebagai setiap teknologi, perangkat, atau komponen yang dirancang untuk mencegah atau membatasi tindakan yang tidak diizinkan oleh pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, dan/atau yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Melihat ketentuan di atas, apabila suatu firmware sebagai suatu ciptaan dan terdapat sarana kontrol teknologi yang dibuat untuk mencegah seseorang mengubah cara kerja firmware tersebut (baik melalui proses instalasi firmware asing ataupun memodifikasi cara kerja firmware) dan/atau sarana kontrol teknologi tersebut dibuat menjadi tidak berfungsi, maka dapat dikatakan orang yang melakukannya telah melanggar ketentuan Pasal 52 UUHC.
Dalam Pasal 112 UUHC disebutkan bahwa sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 52 berlaku untuk Penggunaan Secara Komersial. Penggunaan Secara Komersial diartikan sebagai pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.[3] Oleh karenanya, kegiatan unlocking modem oleh individu untuk keperluan penggunaan sendiri seharusnya tidak dapat dikenai pasal ini.
Ketentuan Pidana dalam UU ITE
Persoalan unlocking modem juga bisa dianalisa dengan pendekatan aspek pidana dalam UU ITE. Dalam UU ITE terdapat beberapa ketentuan pidana terkait dengan permasalahan unlocking modem, antara lain:
- Pasal 33 – larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya;
- Pasal 30 ayat (3) – larangan untuk dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengaman;
- Pasal 36 – larangan melakukan, antara lain, kedua hal di atas apabila mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Dengan mengacu pada beberapa pasal tersebut, pelaku unlocking modem dapat saja dianggap melakukan tindakan yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya (Pasal 33 UU ITE) atau pelaku unlocking telah menerobos sistem pengaman yang dirancang pada firmware bawaan modem tersebut (Pasal 30 ayat (3) UU ITE). Apabila perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka dapat dianggap melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 36 UU ITE.
Namun perlu dicatat bahwa dalam ketiga pasal tersebut terdapat unsur “tanpa hak” atau “melawan hukum”. Artinya, harus dibuktikan bahwa pelaku unlocking tersebut tidak memiliki hak atas perangkat modem tersebut. Hal ini dapat dilihat dari syarat dan ketentuan pembelian modem tersebut. Apabila kepemilikan atas perangkat tersebut beralih sepenuhnya karena jual beli, akan sulit mengatakan bahwa perbuatan unlocking modem memenuhi unsur tanpa hak atau melawan hukum sesuai UU ITE ini. Dengan kata lain, seperti yang Anda sampaikan, seharusnya “apa yang seseorang beli itu merupakan hak mereka”.
Mengenai DTLST
Dalam rezim Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (“DTLST”), berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (“UU 32/2000”), terdapat dua unsur, yakni Desain Tata Letak dan Sirkuit Terpadu.
Desain Tata Letak berarti:[4]
Kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.
Sirkuit Terpadu berarti:[5]
Suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.
Artinya, rezim DTLST melindungi kreasi peletakan tiga dimensi untuk mempersiapkan pembuatan suatu sirkuit terpadu. Undang-Undang tersebut juga memberikan batasan dalam hal apa suatu desain dapat diberikan perlindungan, yakni desain tersebut haruslah orisinal.[6] Definisi orisinal adalah desain tersebut merupakan hasil karya mandiri Pendesain, dan pada saat DTLST tersebut dibuat tidak merupakan sesuatu yang umum bagi para pendesain.[7]
Melihat ketentuan tersebut di atas, kami pahami bahwa obyek yang dilindungi oleh rezim DTLST adalah kreasi tiga dimensi yang orisinal. Sementara dalam perbuatan unlocking, apabila asumsi kami benar bahwa yang dilakukan adalah penggantian/modifikasi firmware, agaknya sulit untuk mengatakan bahwa terdapat pelanggaran DTLST, karena yang dilanggar bukanlah mengenai kreasi tiga dimensinya.
Semoga bermanfaat
Melihat ketentuan tersebut di atas, kami pahami bahwa obyek yang dilindungi oleh rezim DTLST adalah kreasi tiga dimensi yang orisinal. Sementara dalam perbuatan unlocking, apabila asumsi kami benar bahwa yang dilakukan adalah penggantian/modifikasi firmware, agaknya sulit untuk mengatakan bahwa terdapat pelanggaran DTLST, karena yang dilanggar bukanlah mengenai kreasi tiga dimensinya.
Semoga bermanfaat
Dasar Hukum:
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
________________
[1] Pasal 40 UUHC
[2] Pasal 1 angka 9 UUHC
[3] Pasal 1 angka 24 UUHC
[4] Pasal 1 angka 2 UU 32/2000
[5] Pasal 1 angka 1 UU 32/2000
[6] Pasal 2 ayat (1) UU 32/2000
[7] Pasal 2 ayat (2) UU 32/2000
[] Dijawab oleh : Lia Alizia, S.H. dan Yanuar Pribadhie, S.H. - Title : Unlocking Modem, Tindak Pidana atau Bukan? - Sumber : Hukum Online ]
Bank wajib memberikan ganti rugi kepada nasabah selaku konsumen jasa perbankan atas kerugian dari jasa internet banking yang disediakan Bank. Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tidak akan berlaku apabila nasabah menderita kerugian yang dikarenakan oleh tindakan/kelalaian nasabah yang sebelumnya telah diperingatkan/diedukasi oleh Bank.
Oleh karena itu, pengaduan dan permintaan ganti rugi hanya dapat dilakukan jika Bank tidak memberikan edukasi mengenai layanan dan jika benar terbukti bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Bank.
Oleh karena itu, pengaduan dan permintaan ganti rugi hanya dapat dilakukan jika Bank tidak memberikan edukasi mengenai layanan dan jika benar terbukti bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Bank.
Pertanyaan :
Menuntut Ganti Rugi Akibat Internet Banking.
Apa dasar hukum penerapan internet banking di sebuah bank? Apakah saya dapat menuntut ganti rugi atas kehilangan uang karena menggunakan internet banking akibat virus? Apa dasar hukumnya? Bagaimana apabila bank tidak pernah memberitahu kepada saya tentang risiko penggunaan internet banking sesuai peraturan transparansi informasi, apa sanksi bagi bank tersebut?
Menuntut Ganti Rugi Akibat Internet Banking.
Apa dasar hukum penerapan internet banking di sebuah bank? Apakah saya dapat menuntut ganti rugi atas kehilangan uang karena menggunakan internet banking akibat virus? Apa dasar hukumnya? Bagaimana apabila bank tidak pernah memberitahu kepada saya tentang risiko penggunaan internet banking sesuai peraturan transparansi informasi, apa sanksi bagi bank tersebut?
Internet banking sebagaimana diatur di Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum (“PBI 9/2007”) termasuk Layanan Perbankan Melalui Media Elektronik atau Electronic Banking yaitu layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik.
Internet banking dapat disediakan secara mandiri dan/atau dilakukan melalui jasa pihak ketiga. Bank dan/atau pihak ketiga tersebut wajib menerapkan manajemen risiko atas layanan internet banking. Berdasarkan Pasal 8 jo. Pasal 2 PBI 9/2007, kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi meliputi aspek layanan internet banking, dimana penerapan manajemen risiko pada teknologi informasi antara lain mencakup:
Internet banking dapat disediakan secara mandiri dan/atau dilakukan melalui jasa pihak ketiga. Bank dan/atau pihak ketiga tersebut wajib menerapkan manajemen risiko atas layanan internet banking. Berdasarkan Pasal 8 jo. Pasal 2 PBI 9/2007, kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi meliputi aspek layanan internet banking, dimana penerapan manajemen risiko pada teknologi informasi antara lain mencakup:
- kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan teknologi informasi; dan
- sistem pengendalian intern atas penggunaan teknologi informasi.[1]
Ketentuan pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan teknologi informasi diatur lebih lanjut di dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/30/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum (“SEBI No. 9”). Berdasarkan SEBI No. 9, Bank wajib menerapkan manajemen risiko untuk menghadapi serangan virus.[2]
Kewajiban untuk menerapkan manajemen risiko ini juga diatur di dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 82/2012”). Bank dan/atau pihak ketiga selaku penyelenggara sistem elektronik yang mengelola internet banking wajib tunduk pada peraturan ini. Pasal 13 PP 82/2012 berbunyi:
“Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menerapkan manajemen risiko terhadap kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan.”
Penjelasan Pasal 13 PP 82/2012 lebih lanjut menjelaskan:
“Yang dimaksud dengan “menerapkan manajemen risiko” adalah melakukan analisis risiko dan merumuskan langkah mitigasi dan penanggulangan untuk mengatasi ancaman, gangguan, dan hambatan terhadap Sistem Elektronik yang dikelolanya.”
Bank juga memiliki kewajiban untuk memberitahukan risiko pada nasabah sebagaimana diatur di Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (“POJK 1/2013”) yang berbunyi:
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan.
(2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat:
a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan ringkasan informasi produk dan/atau layanan.
(2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-kurangnya memuat:
a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan
b. syarat dan ketentuan.
Pada dasarnya tidak ada definisi khusus untuk virus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam buku Pintar Ber-eBanking yang diluncurkan oleh OJK, diungkapkan bahwa: “Virus adalah program yang bersifat merusak dan akan aktif dengan bantuan orang (dieksekusi), dan tidak dapat mereplikasi sendiri, penyebarannya karena dilakukan oleh orang, seperti copy, biasanya melalui attachement e-mail, game, program bajakan dll.”[3]
Di dalam buku tersebut, terdapat beberapa jenis serangan terhadap layanan internet banking antara lain:
(i) Phising, yakni tindakan meminta (memancing) pengguna komputer untuk mengungkapkan informasi rahasia dengan cara mengirimkan pesan penting palsu, dapat berupa e-mail, website, atau komunikasi elektronik lainnya; dan
(ii) Malware in the Browser (MIB), yakni teknik pembobolan rekening internet banking dengan memanfaatkan software jahat (malware) yang telah menginfeksi browser internet nasabah.
Pada dasarnya tidak ada definisi khusus untuk virus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam buku Pintar Ber-eBanking yang diluncurkan oleh OJK, diungkapkan bahwa: “Virus adalah program yang bersifat merusak dan akan aktif dengan bantuan orang (dieksekusi), dan tidak dapat mereplikasi sendiri, penyebarannya karena dilakukan oleh orang, seperti copy, biasanya melalui attachement e-mail, game, program bajakan dll.”[3]
Di dalam buku tersebut, terdapat beberapa jenis serangan terhadap layanan internet banking antara lain:
(i) Phising, yakni tindakan meminta (memancing) pengguna komputer untuk mengungkapkan informasi rahasia dengan cara mengirimkan pesan penting palsu, dapat berupa e-mail, website, atau komunikasi elektronik lainnya; dan
(ii) Malware in the Browser (MIB), yakni teknik pembobolan rekening internet banking dengan memanfaatkan software jahat (malware) yang telah menginfeksi browser internet nasabah.
Atas kerugian yang disebabkan oleh virus seperti di atas, maka Saudara dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Bank dengan dasar sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”)
Berdasarkan Pasal 19 UUPK, Bank wajib memberikan ganti rugi kepada nasabah selaku konsumen jasa perbankan atas kerugian dari jasa internet banking yang disediakan Bank. Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tidak akan berlaku apabila nasabah menderita kerugian yang dikarenakan oleh tindakan/kelalaian nasabah yang sebelumnya telah diperingatkan/diedukasi oleh Bank.
Perlu diketahui, Bank memiliki kewajiban berdasarkan SEBI No. 9 untuk melakukan edukasi kepada nasabah agar setiap pengguna jasa layanan Bank melalui e-banking menyadari dan memahami risiko yang dihadapinya. Risiko yang harus diberitahukan ini termasuk risiko kejahatan internet banking yakni risiko serangan virus seperti phising dan MIB.[4]
Oleh karena itu, pengaduan dan permintaan ganti rugi hanya dapat dilakukan jika Bank tidak memberikan edukasi mengenai layanan dan jika benar terbukti bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Bank.
2. Tuntutan ganti rugi kepada Bank selaku Penyelenggara Jasa Keuangan sebagaimana diatur di dalam POJK 1/2013.
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”)
Berdasarkan Pasal 19 UUPK, Bank wajib memberikan ganti rugi kepada nasabah selaku konsumen jasa perbankan atas kerugian dari jasa internet banking yang disediakan Bank. Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tidak akan berlaku apabila nasabah menderita kerugian yang dikarenakan oleh tindakan/kelalaian nasabah yang sebelumnya telah diperingatkan/diedukasi oleh Bank.
Perlu diketahui, Bank memiliki kewajiban berdasarkan SEBI No. 9 untuk melakukan edukasi kepada nasabah agar setiap pengguna jasa layanan Bank melalui e-banking menyadari dan memahami risiko yang dihadapinya. Risiko yang harus diberitahukan ini termasuk risiko kejahatan internet banking yakni risiko serangan virus seperti phising dan MIB.[4]
Oleh karena itu, pengaduan dan permintaan ganti rugi hanya dapat dilakukan jika Bank tidak memberikan edukasi mengenai layanan dan jika benar terbukti bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan Bank.
2. Tuntutan ganti rugi kepada Bank selaku Penyelenggara Jasa Keuangan sebagaimana diatur di dalam POJK 1/2013.
Berdasarkan Pasal 37 hingga Pasal 39 POJK 1/2013, jika pengaduan konsumen terbukti benar, maka konsumen dapat mengajukan pengaduan kepada Bank. Setelah penerimaan pengaduan, Bank wajib melakukan (i) pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif; (ii) melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan (iii) menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi atau perbaikan produk dan atau layanan. Jika kesepakatan penyelesaian pengaduan tidak tercapai, nasabah dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Saudara dapat mengajukan pengaduan kepada Bank. Bank memiliki kewajiban untuk memproses pengaduan tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) hari untuk pengaduan lisan, dan 20 (dua puluh) hari kerja untuk pengaduan tertulis.[5]
Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Saudara dapat mengajukan pengaduan kepada Bank. Bank memiliki kewajiban untuk memproses pengaduan tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) hari untuk pengaduan lisan, dan 20 (dua puluh) hari kerja untuk pengaduan tertulis.[5]
Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;
- Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah;
- Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum;
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
- Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/30/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.
[1] Pasal 2 ayat (2) PBI 9/2007.
[2] Lampiran SEBI No. 9 Poin 8.4.1.2
[3] OJK, “Pintar Ber-eBanking”, Mei 2015 sebagaimana diunggah di http://www.ojk.go.id/ojk-luncurkan-buku-bijak-ber-ebanking
[4] Lampiran SEBI No. 9 Poin 8.4.2.3 huruf e angka 6
[5] Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (1)
[ Dijawab oleh : Lia Alizia/Brinanda Lidwina Kaliska - Title : Menuntut Ganti Rugi Akibat Internet Banking - Sumber : Hukum Online ]
Mengenai hal pemberian kuasa (lastgeving) diatur dalam buku III tentang Perikatan, maka suatu pemberian kuasa (lastgeving) yang merupakan suatu persetujuan (perjanjian) juga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, dengan ancaman surat kuasa tersebut menjadi “batal demi hukum”. Yang kami maksud di sini adalah pemberian kuasa (lastgeving) dalam konteks jual-beli tanah tidak boleh bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf (d) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pertanyaan Anda:
Pemberian Kuasa Mutlak Dari Developer untuk Menjualkan Tanah.
Kami adalah sebuah developer, berbentuk PT, penerima kuasa menjual dan mengurus tunggal dari status jual beli dari sebuah developer pemilik tanah yang berbentuk PT juga yang dibuat tahun 2006. Sebelumnya tidak ada masalah dengan proses AJB dan balik nama atas transaksi-transaksi yang kami lakukan, tetapi kami dalam beberapa bulan terakhir mengalami kesulitan melakukan jual-beli, karena ada kabar bahwa BPN menolak surat KUASA yang kami pegang. Padahal dalam klausul Akta Kuasa tersebut disebutkan bahwa "kuasa tidak dapat berakhir dan dicabut karena alasan apapun". Sebagai informasi tambahan, status tanah yang kami jual-belikan sudah kami bayar lunas kepada developer pemberi kuasa. Pertanyaan kami adalah: Apakah benar KUASA tersebut sudah tidak dapat berlaku kembali?
Pemberian Kuasa Mutlak Dari Developer untuk Menjualkan Tanah.
Kami adalah sebuah developer, berbentuk PT, penerima kuasa menjual dan mengurus tunggal dari status jual beli dari sebuah developer pemilik tanah yang berbentuk PT juga yang dibuat tahun 2006. Sebelumnya tidak ada masalah dengan proses AJB dan balik nama atas transaksi-transaksi yang kami lakukan, tetapi kami dalam beberapa bulan terakhir mengalami kesulitan melakukan jual-beli, karena ada kabar bahwa BPN menolak surat KUASA yang kami pegang. Padahal dalam klausul Akta Kuasa tersebut disebutkan bahwa "kuasa tidak dapat berakhir dan dicabut karena alasan apapun". Sebagai informasi tambahan, status tanah yang kami jual-belikan sudah kami bayar lunas kepada developer pemberi kuasa. Pertanyaan kami adalah: Apakah benar KUASA tersebut sudah tidak dapat berlaku kembali?
Pertama-tama perlu kami sampaikan bahwa pengertian dari pemberian kuasa (lastgeving) menurut Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), terjemahan R. Subekti dan R Tjitrosudibio adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Lebih lanjut, Pasal 1793 KUH Perdata memang memberikan “pilihan”, yaitu apakah pemberian kuasa (lastgeving) tersebut dilakukan dengan suatu akta umum, bawah tangan, dan bahkan secara lisan. Namun saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan umum bahwa surat kuasa dibuat secara tertulis, baik dengan akta otentik (di hadapan notaris) maupun bawah tangan, yang cakupan pemberian kuasanya dapat berlaku secara umum atau khusus untuk suatu kepentingan saja (Vide: Pasal 1795 KUH Perdata).
Menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan apakah “Kuasa Menjual Dan Mengurus Tanah” yang perusahaan Anda terima dari developer pemilik tanah pada tahun 2006, dengan klausula “kuasa tidak dapat berakhir dan dicabut karena alasan apapun" masih berlaku dan dapat diterima oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka menurut hemat kami dibutuhkan penjelasan dan pendapat hukum yang komprehensif (legal opinion) dan tidak sepenuhnya dapat dituangkan dalam pembahasan artikel ini. Namun demikian, kami akan mencoba untuk memberikan gambaran umum dari permasalahan yang perusahaan Anda hadapi.
Perlu Anda ketahui bahwa Pasal 1813 KUH Perdata telah memberikan alasan-alasan yang khusus yang dapat menyebabkan berakhirnya pemberian kuasa (lastgeving), antara lain, dengan ditariknya kuasa oleh si Pemberi Kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa. Oleh karena pemberian kuasa (lastgeving) yang Anda tanyakan adalah antar suatu Perseroan Terbatas, maka selama Perseroan Terbatas yang memberikan dan menerima kuasa tersebut masih berdiri, dan juga tidak adanya alasan-alasan berakhirnya pemberian kuasa (lastgeving) sebagaimana dimaksud ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu surat kuasa tersebut masih berlaku secara hukum.
Namun demikan, oleh karena mengenai hal pemberian kuasa (lastgeving) diatur dalam buku III tentang Perikatan, maka suatu pemberian kuasa (lastgeving) yang merupakan suatu persetujuan (perjanjian) juga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Vide: Pasal 1337 KUH Perdata), dengan ancaman surat kuasa tersebut “batal demi hukum”. Yang kami maksud di sini adalah pemberian kuasa (lastgeving) dalam konteks jual-beli tanah tidak boleh bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi:
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak pembuatan akta jika salah satu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.”
Lebih lanjut, Pasal 1793 KUH Perdata memang memberikan “pilihan”, yaitu apakah pemberian kuasa (lastgeving) tersebut dilakukan dengan suatu akta umum, bawah tangan, dan bahkan secara lisan. Namun saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan umum bahwa surat kuasa dibuat secara tertulis, baik dengan akta otentik (di hadapan notaris) maupun bawah tangan, yang cakupan pemberian kuasanya dapat berlaku secara umum atau khusus untuk suatu kepentingan saja (Vide: Pasal 1795 KUH Perdata).
Menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan apakah “Kuasa Menjual Dan Mengurus Tanah” yang perusahaan Anda terima dari developer pemilik tanah pada tahun 2006, dengan klausula “kuasa tidak dapat berakhir dan dicabut karena alasan apapun" masih berlaku dan dapat diterima oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka menurut hemat kami dibutuhkan penjelasan dan pendapat hukum yang komprehensif (legal opinion) dan tidak sepenuhnya dapat dituangkan dalam pembahasan artikel ini. Namun demikian, kami akan mencoba untuk memberikan gambaran umum dari permasalahan yang perusahaan Anda hadapi.
Perlu Anda ketahui bahwa Pasal 1813 KUH Perdata telah memberikan alasan-alasan yang khusus yang dapat menyebabkan berakhirnya pemberian kuasa (lastgeving), antara lain, dengan ditariknya kuasa oleh si Pemberi Kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa. Oleh karena pemberian kuasa (lastgeving) yang Anda tanyakan adalah antar suatu Perseroan Terbatas, maka selama Perseroan Terbatas yang memberikan dan menerima kuasa tersebut masih berdiri, dan juga tidak adanya alasan-alasan berakhirnya pemberian kuasa (lastgeving) sebagaimana dimaksud ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu surat kuasa tersebut masih berlaku secara hukum.
Namun demikan, oleh karena mengenai hal pemberian kuasa (lastgeving) diatur dalam buku III tentang Perikatan, maka suatu pemberian kuasa (lastgeving) yang merupakan suatu persetujuan (perjanjian) juga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Vide: Pasal 1337 KUH Perdata), dengan ancaman surat kuasa tersebut “batal demi hukum”. Yang kami maksud di sini adalah pemberian kuasa (lastgeving) dalam konteks jual-beli tanah tidak boleh bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi:
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak pembuatan akta jika salah satu pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.”
Dalam hal ini kami berasumsi bahwa BPN menolak untuk memproses akta jual beli tersebut karena mungkin BPN menimbang bahwa Surat Kuasa yang Anda terima dari developer pemilik tanah mengandung klausula "kuasa tidak dapat berakhir dan dicabut karena alasan apapun" untuk melakukan pemindahan hak atas tanah atau apabila ada klausula lain yang dapat dikualifikasikan sebagai “Kuasa Mutlak” yang bertentangan dengan undang-undang.
Untuk itu sebagai referensi untuk Anda, kami akan menyajikan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) yang cukup relevan dengan pertanyaan Anda yaitu Putusan MARI No;3176 K/Pdt/1988 dan Putusan MARI No. 199 K/TUN/2000 tertanggal 17 Oktober 2002 dengan ketua majelis (almarhum) Prof. Dr Paulus E Lotulung, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
Untuk itu sebagai referensi untuk Anda, kami akan menyajikan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) yang cukup relevan dengan pertanyaan Anda yaitu Putusan MARI No;3176 K/Pdt/1988 dan Putusan MARI No. 199 K/TUN/2000 tertanggal 17 Oktober 2002 dengan ketua majelis (almarhum) Prof. Dr Paulus E Lotulung, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
- Istilah hukum “Akta Pemindahan Kuasa” isinya, penerima kuasa memiliki kuasa atas tanah-tanah yang disebutkan dalam kuasa tersebut;
- “Akta Kuasa” atau “Akta Pemindahan Kuasa” yang isinya demikian ini adalah sama dengan “Akta Kuasa Mutlak” tentang perolehan hak atas tanah dari pemilik tanah kepada pihak lain. Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 Jo. No. 12 Tahun 1984, hal tersebut adalah dilarang, karena dinilai sebagai suatu penyeludupan hukum dalam “perolehan hak atas tanah”. Disamping itu juga merupakan pelanggaran/penyimpangan Pasal 1813 B.W.
Mengenai informasi tambahan yang Anda tanyakan yaitu tentang status tanah yang dijual-belikan sudah dibayar lunas ke developer pemberi kuasa, maka kami berpendapat bahwa perusahaan Anda dapat menuntut agar atas objek tanah yang telah dibayar lunas tersebut dapat dilakukan proses jual beli dan balik nama, karena menurut hemat kami penyerahan (levering) dari tanah sebagai benda tidak bergerak adalah tidak serta-merta berpindah sempurna pada saat dilakukannya Jual Beli apalagi hanya dengan Surat Kuasa, melainkan juga harus dilakukan proses lebih lanjut, yaitu balik nama di Badan Pertanahan Nasional dengan segala aspek hukum yang terkait, misalnya pajak-pajak dan biaya administrasi yang harus dibayarkan oleh para pihak.
Semoga berguna dan dapat memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
[ Dijawab oleh : Albert Aries, S.H., M.H. - Title: Pemberian Kuasa Mutlak Dari Developer untuk Menjualkan Tanah - Sumber : Hukum Online ]
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.[1]
Pada dasarnya perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untukmenjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.[2]
Pertanyaan :
Wajibkah Developer Menyediakan Satpam? karena hampir 2 tahun lebih saya sebagai pembeli dan penghuni perumahan dengan model cluster tapi, dari pihak developer tidak menyediakan satpam. Padahal sudah ada 10 KK penghuni perumahan, namun proyek belum selesai. Kami menyadari apabila proyek sudah selesai dan sudah diserahterimakan kepada warga tentang keamanan akan dikelola oleh warga dengan menggaji Satpam sendiri. Pernah sekali waktu terjadi pencurian di salah satu penghuni perumahan. Apakah dari pihak pengembang dapat dituntut secara hukum atau dimintai pertanggungjawaban atas kejadian pencurian tersebut karena pihak pengembang tidak menyediakan Satpam?
Anda harus melihat lagi dalam perjanjian antara developer dengan pembeli, apakah developer mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan petugas satuan pengamanan atau tidak. Jika tidak maka developer tidak dapat dipersalahkan atas pencurian yang terjadi.
Pembangunan perumahan itu sendiri meliputi:[3]
a. pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan/atau
b. peningkatan kualitas perumahan.
Yang dimaksud dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum adalah sebagai berikut:[4]
a. pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan/atau
b. peningkatan kualitas perumahan.
Yang dimaksud dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum adalah sebagai berikut:[4]
- Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman.
- Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
- Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian.
Mengenai perumahan yang Anda tinggali yang belum sepenuhnya selesai, perlu diketahui bahwa perumahan yang belum sepenuhnya selesai memang sudah dapat dipasarkan dan dijual melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli.[5] Perjanjian pendahuluan jual beli tersebut dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:[6]
- status pemilikan tanah;
- hal yang diperjanjikan;
- kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
- ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
- keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Ini berarti, jika rumah di perumahan Anda telah dijual kepada konsumen, maka tentu saja sudah harus tersedia prasarana, sarana, dan utilitas umum. Apa saja prasarana, sarana, dan utilitas umum itu?
Mengenai apa saja yang termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah (“Permendag 9/2009”) dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (“Perda DKI Jakarta 7/2012”).
Prasarana perumahan dan permukiman antara lain:[7]
a. jaringan jalan;
b. jaringan saluran pembuangan air limbah;
c. jaringan saluran pembuangan air hujan (drainase); dan
d. tempat pembuangan sampah.
Sarana perumahan dan permukiman, antara lain:[8]
a. sarana perniagaan/perbelanjaan;
b. sarana pelayanan umum dan pemerintahan;
c. sarana pendidikan;
d. sarana kesehatan;
e. sarana peribadatan;
f. sarana rekreasi dan olah raga;
g. sarana pemakaman;
h. sarana pertamanan dan ruang terbuka hijau; dan
i. sarana parkir.
Sedangkan utilitas perumahan dan permukiman, antara lain:[9]
a. jaringan air bersih;
b. jaringan listrik;
Mengenai apa saja yang termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah (“Permendag 9/2009”) dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (“Perda DKI Jakarta 7/2012”).
Prasarana perumahan dan permukiman antara lain:[7]
a. jaringan jalan;
b. jaringan saluran pembuangan air limbah;
c. jaringan saluran pembuangan air hujan (drainase); dan
d. tempat pembuangan sampah.
Sarana perumahan dan permukiman, antara lain:[8]
a. sarana perniagaan/perbelanjaan;
b. sarana pelayanan umum dan pemerintahan;
c. sarana pendidikan;
d. sarana kesehatan;
e. sarana peribadatan;
f. sarana rekreasi dan olah raga;
g. sarana pemakaman;
h. sarana pertamanan dan ruang terbuka hijau; dan
i. sarana parkir.
Sedangkan utilitas perumahan dan permukiman, antara lain:[9]
a. jaringan air bersih;
b. jaringan listrik;
c. jaringan telepon;
d. jaringan gas;
e. jaringan transportasi;
f. pemadam kebakaran; dan
g. sarana penerangan jasa umum.
Melihat pada ketentuan di atas jelas bahwa tidak ada kewajiban bagi developer perumahan untuk menyediakan petugas keamanan atau satpam.
Walaupun developer tidak berkewajiban menyediakan petugas keamanan atau satpam, akan tetapi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:[10]
d. jaringan gas;
e. jaringan transportasi;
f. pemadam kebakaran; dan
g. sarana penerangan jasa umum.
Melihat pada ketentuan di atas jelas bahwa tidak ada kewajiban bagi developer perumahan untuk menyediakan petugas keamanan atau satpam.
Walaupun developer tidak berkewajiban menyediakan petugas keamanan atau satpam, akan tetapi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:[10]
- menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
- melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
- memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
- memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
- memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan
- mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.
Akan tetapi, selain memiliki hak, ada kewajiban juga yaitu dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib:[11]
- menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman;
- turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;
- menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan
- mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.
Jika Anda ingin meminta pertanggungjawaban dari developer, Anda harus melihat terlebih dahulu apa saja sarana dan prasarana yang dijanjikan oleh developer, apakah termasuk menyediakan tenaga keamanan atau satpam. Jika tidak, maka developer memang tidak memiliki kewajiban untuk menyediakan satpam, dan tidak dapat dipersalahkan atas pencurian yang terjadi.
Ini karena beda perumahan, berbeda pula ketentuannya. Seperti dalam Tata Tertib Pengelolaan Lingkungan De Latinos - BSD City, keamanan merupakan tanggung jawab bersama. Pengelola akan menyediakan petugas satuan pengamanan yang bertugas selama 24 jam, dengan sistem pengamanan lingkungan terpadu untuk seluruh kawasan yang berkoordinasi dengan aparat kepolisian.
Berbeda lagi dengan Peraturan Tata Tertib Hunian (Peraturan Tatib) Lippo Village, yang mana diatur bahwa setiap bulan Pembeli dan/atau Penghuni wajib membayar Iuran Pengelolaan dan Keamanan Lingkungan (IPKL) yang telah ditetapkan oleh Pengembang dan/atau Pengelola.
Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah;
- Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum.
[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman (“UU Perumahan”)
[2] Pasal 3 huruf f UU Perumahan
[3] Pasal 32 ayat (1) UU Perumahan
[4] Pasal 1 angka 21, angka 22, dan angka 23 UU Perumahan
[5] Pasal 42 ayat (1) UU Perumahan
[6] Pasal 42 ayat (2) UU Perumahan
[7] Pasal 8 Permendag 9/2009 dan Pasal 6 huruf a Perda DKI Jakarta 7/2012
[8] Pasal 9 Permendag 9/2009 dan Pasal 6 huruf b Perda DKI Jakarta 7/2012
[9] Pasal 10 Permendag 9/2009 dan Pasal 6 huruf c Perda DKI Jakarta 7/2012
[10] Pasal 129 UU Perumahan
[11] Pasal 130 UU Perumahan
[ Dijawab oleh :Letezia Tobing, S.H., M.Kn. - Title : Wajibkah Developer Menyediakan Satpam? - Sumber : Hukum Online ]
Sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan hak atas tanah yang diakui oleh hukum. Sehingga ketiadaan sertifikat tersebut mengakibat posisi seseorang lemah dalam mengakui kepemilikan atas tanah.
Di sisi lain, pembeli yang beriktikad baik harus dilindungi secara hukum. Sehingga ia tidak bisa digugat.
Kami asumsikan bahwa yang Anda maksud “mengatasnamakan akta otentik objek tanah dan bangunan ke orang lain” adalah sertifikat tanah tersebut telah dibalik nama atas nama pembeli kedua.
Contoh Masalah :
Mr. X membeli objek tanah dan bangunan dari Mr. Dodol (penjual) yang menggunakan surat di bawah tangan bermeterai karena alasan penjual tadi masih menggadaikan akta otentik objek tanah bangunan tersebut ke orang lain. Kemudian di lain waktu Mr. Dodol tadi menjual sekaligus mengatasnamakan akta otentik objek tanah dan bangunan yang sama ke orang lain tanpa sepengetahuan Mr. X sebagai pembeli pertama yang menggunakan surat di bawah tangan.
Pertanyaannya: apa bisa pembeli kedua yang punya akta otentik bisa dituntut? Karena penjual pertama sudah kabur?
Pertama kami ingin mengatakan bahwa untuk menjaminkan tanah tidak dapat menggunakan gadai. Ini karena berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), gadai hanya dapat dilakukan atas suatu benda bergerak, dimana tanah merupakan benda tidak bergerak.
Pasal 1150 KUHPer:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan”
Untuk menjaminkan tanah, digunakan hak tanggungan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
Berdasarkan uraian Anda, berarti dalam melakukan jual beli tersebut, Anda hanya menggunakan surat di bawah tangan dan bukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Padahal untuk membuktikan bahwa Anda adalah pemegang hak atas tanah dan bangunan tersebut, Anda harus memiliki sertifikat atas tanah tersebut yang sudah tertera nama Anda sebagai pemegangnya (balik nama sertifikat). Dimana dalam mendaftarkan sertifikat atas tanah tersebut dengan nama Anda sebagai pemegangnya/pemilik tanah tersebut yang baru, Anda membutuhkan akta PPAT (Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”)).
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1 angka 20 PP No. 24/1997, sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Selain itu Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga mengatakan bahwa penerbitan surat-surat hak (sertifikat tanah) merupakan alat pembuktian yang kuat.
Pasal 1150 KUHPer:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan”
Untuk menjaminkan tanah, digunakan hak tanggungan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”
Berdasarkan uraian Anda, berarti dalam melakukan jual beli tersebut, Anda hanya menggunakan surat di bawah tangan dan bukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Padahal untuk membuktikan bahwa Anda adalah pemegang hak atas tanah dan bangunan tersebut, Anda harus memiliki sertifikat atas tanah tersebut yang sudah tertera nama Anda sebagai pemegangnya (balik nama sertifikat). Dimana dalam mendaftarkan sertifikat atas tanah tersebut dengan nama Anda sebagai pemegangnya/pemilik tanah tersebut yang baru, Anda membutuhkan akta PPAT (Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”)).
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1 angka 20 PP No. 24/1997, sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Selain itu Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga mengatakan bahwa penerbitan surat-surat hak (sertifikat tanah) merupakan alat pembuktian yang kuat.
Sehingga dengan tidak adanya sertifikat tanah atas nama Anda, tidak ada bukti yang kuat yang menyatakan bahwa memang Anda adalah pemilik dari tanah tersebut.
Sebagai tambahan, adalah wajar jika Anda tidak dapat melakukan jual beli tanah tersebut dengan akta PPAT, karena berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf a PP No. 24/1997, PPAT menolak membuat akta jika kepada PPAT tidak disampaikan sertifikat asli hak atas tanah tersebut atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. Yang dalam hal ini sertifikat tersebut masih dijaminkan kepada orang lain.
Contoh lain : Bapak X Sudah Bayar Panjar ke Mr. Z (pemilik rumah) untuk beli rumah, Mr. Z jual rumah tersebut ke Orang Lain, jika memang jual beli yang terjadi antara si penjual dengan pembeli kedua dilakukan secara sah, dibenarkan oleh hukum dan pembeli kedua tidak mengetahui adanya jual beli yang terjadi sebelumnya, pembeli kedua tersebut dapat dikatakan sebagai pembeli yang beritikad baik.
Kedudukan pembeli rumah (orang lain) yang beritikad baik dilindungi oleh hukum sebagaimana disebutkan dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 251 K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958.
Sebagai tambahan, adalah wajar jika Anda tidak dapat melakukan jual beli tanah tersebut dengan akta PPAT, karena berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf a PP No. 24/1997, PPAT menolak membuat akta jika kepada PPAT tidak disampaikan sertifikat asli hak atas tanah tersebut atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. Yang dalam hal ini sertifikat tersebut masih dijaminkan kepada orang lain.
Contoh lain : Bapak X Sudah Bayar Panjar ke Mr. Z (pemilik rumah) untuk beli rumah, Mr. Z jual rumah tersebut ke Orang Lain, jika memang jual beli yang terjadi antara si penjual dengan pembeli kedua dilakukan secara sah, dibenarkan oleh hukum dan pembeli kedua tidak mengetahui adanya jual beli yang terjadi sebelumnya, pembeli kedua tersebut dapat dikatakan sebagai pembeli yang beritikad baik.
Kedudukan pembeli rumah (orang lain) yang beritikad baik dilindungi oleh hukum sebagaimana disebutkan dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 251 K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958.
Oleh karena itu Anda (Mr. X) tidak dapat menggugat pembeli kedua yang beritikad baik yang telah mempunyai sertifikat tanah atas namanya. Yang dapat Anda lakukan hanyalah melakukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi kepada penjual. Ini karena jual beli adalah perjanjian dimana masing-masing pihak mempunyai kewajiban/prestasi yang harus dipenuhinya.
Berdasarkan Pasal 1474 jo. Pasal 1491 KUHPer, penjual mempunyai kewajiban menyerahkan barangnya dan menanggungnya. Penanggungan dalam hal ini adalah menjamin bahwa penguasaan secara aman dan tenteram atas benda yang dijualnya, dan tidak ada cacat tersembunyi atas barang tersebut.
Dalam hal ini penjual tidak dapat memenuhi prestasinya, sehingga Anda dapat menuntutnya atas dasar wanprestasi.
Dalam hal ini penjual tidak dapat memenuhi prestasinya, sehingga Anda dapat menuntutnya atas dasar wanprestasi.
semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
- Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
[ Dijawab Oleh : Letezia Tobing, S.H., M.Kn. - Title : Bisakah Menuntut Pembeli Tanah yang Punya Akta Otentik? - Sumber : Hukum Online ]
Perbuatan orang yang mengaku-ngaku sebagai pacar Anda dan memfitnah Anda dan pacar Anda melalui BBM itu dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
Delik penghinaan atau pencemaran nama baik mengharuskan adanya identitas yang jelas atau tertentu terhadap siapa konten yang dimaksud ditujukan. Jika terbukti orang yang mengaku-ngaku itu memfitnah Anda dan pacar Anda, maka pelakunya dapat dijerat pidana.
Delik penghinaan atau pencemaran nama baik mengharuskan adanya identitas yang jelas atau tertentu terhadap siapa konten yang dimaksud ditujukan. Jika terbukti orang yang mengaku-ngaku itu memfitnah Anda dan pacar Anda, maka pelakunya dapat dijerat pidana.
Aplikasi Blackberry Messenger
Kami simpulkan BBM yang Anda maksud di sini adalah Blackberry Messenger (“BBM”). Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Apakah Blackberry Messenger (BBM) Termasuk Media Sosial?, BBM merupakan aplikasi berbagi informasi, seperti teks, gambar, dan video. BBM memiliki sifat personalisasi. Maksudnya adalah, tiap penggunaan BBM mengacu pada orang tertentu (baik individu maupun kelompok) sehingga sasaran komunikasi dapat diidentifikasi.
Lebih lanjut menurut Josua, pengguna BBM juga dapat mempersonalisasi aplikasinya dengan menambahkan foto profil atau status, sehingga tiap orang yang termasuk dalam jaringannya dapat lebih mengenal penguna tersebut. Sementara, media sosial secara sederhana dapat dijelaskan sebagai media yang digunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang terhubung dalam suatu jaringan. Dengan demikian, dalam konteks ini BBM dapat dikategorikan sebagai salah satu media sosial.
Bentuk Kebohongan atau Fitnah yang Disampaikan
Oleh karena itu, guna menyederhanakan jawaban kami, kami asumsikan bahwa ia (pelaku) menyebarkan pesan (broadcast) kepada seluruh teman-teman Anda dengan berbohong mengaku-ngaku sebagai pacar Anda dan memfitnah Anda dan pacar Anda yang sebenarnya.
Masih mengacu pada pendapat Josua dalam artikel yang sama, menurutnya, yang perlu diperhatikan ialah bahwa delik penghinaan atau pencemaran nama baik mengharuskan adanya identitas yang jelas atau tertentu terhadap siapa konten yang dimaksud ditujukan. Tidak ada perbuatan penghinaan tanpa ada korban yang spesifik. Akan tetapi, identitas tidaklah perlu harus selalu berupa nama, tetapi dapat berupa foto seseorang, atau alias dari orang tersebut, atau identitas lain, sepanjang publik mengetahui bahwa identitas itu mengacu pada orang tertentu.
Ancaman Pidana
Pesan yang disampaikan melalui BBM dikategorikan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”):
Kami simpulkan BBM yang Anda maksud di sini adalah Blackberry Messenger (“BBM”). Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Josua Sitompul, S.H., IMM dalam artikel Apakah Blackberry Messenger (BBM) Termasuk Media Sosial?, BBM merupakan aplikasi berbagi informasi, seperti teks, gambar, dan video. BBM memiliki sifat personalisasi. Maksudnya adalah, tiap penggunaan BBM mengacu pada orang tertentu (baik individu maupun kelompok) sehingga sasaran komunikasi dapat diidentifikasi.
Lebih lanjut menurut Josua, pengguna BBM juga dapat mempersonalisasi aplikasinya dengan menambahkan foto profil atau status, sehingga tiap orang yang termasuk dalam jaringannya dapat lebih mengenal penguna tersebut. Sementara, media sosial secara sederhana dapat dijelaskan sebagai media yang digunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang terhubung dalam suatu jaringan. Dengan demikian, dalam konteks ini BBM dapat dikategorikan sebagai salah satu media sosial.
Bentuk Kebohongan atau Fitnah yang Disampaikan
Oleh karena itu, guna menyederhanakan jawaban kami, kami asumsikan bahwa ia (pelaku) menyebarkan pesan (broadcast) kepada seluruh teman-teman Anda dengan berbohong mengaku-ngaku sebagai pacar Anda dan memfitnah Anda dan pacar Anda yang sebenarnya.
Masih mengacu pada pendapat Josua dalam artikel yang sama, menurutnya, yang perlu diperhatikan ialah bahwa delik penghinaan atau pencemaran nama baik mengharuskan adanya identitas yang jelas atau tertentu terhadap siapa konten yang dimaksud ditujukan. Tidak ada perbuatan penghinaan tanpa ada korban yang spesifik. Akan tetapi, identitas tidaklah perlu harus selalu berupa nama, tetapi dapat berupa foto seseorang, atau alias dari orang tersebut, atau identitas lain, sepanjang publik mengetahui bahwa identitas itu mengacu pada orang tertentu.
Ancaman Pidana
Pesan yang disampaikan melalui BBM dikategorikan sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”):
Pasal 1 angka 1 UU ITE:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 1 angka 4 UU ITE:
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 1 angka 4 UU ITE:
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Fitnah merupakan salah satu bentuk pencemaran nama baik. Yang dimaksud dengan memfitnah adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan yang dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik.
Pencemaran nama baik ini diatur khusus dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar.[1]
Contoh Kasus
Tidak sama persis dengan kasus BBM, namun sebagai contoh kasus pencemaran nama baik dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa 324 /Pid.B/2014/PN.SGM. Namun pencemaran nama baik ini dilakukan melalui aplikasi Line, yakni yang menurut saksi ahli (Pakar Komunikasi Multimedia) adalah Line adalah salah satu aplikasi chatting atau berkomunikasi yang menggunakan perantara internet atau computer, singkatnya Line adalah salah satu varian seperti BBM, We Chat dan produk messenger lainnya.
Terdakwa menuliskan di grup Line menghina dan mencemarkan nama baik dari Bupati Gowa sehingga ia merasa dirugikan. Ia menulis “Saya Setuju Gowa tidak Inovatif,Money oriented, Power Legacy..arrrgghhh.. tena kabajikang..jai2mi investor nda jadi invest ka nda dkasiki bagian bupatina..saing diamami..Kl nda ada untungna buat dia nda jd proyekka.. Kalo ada yg bilang bupati gowa bagus,kl bukan keluarganya, antek2nya paling org yg suka ngisap2/penjilat…puehhh “ beugh telatko pppi sudahmi ku screen shoot br ku print,bsk ku pajang di Lobi ktr Bupati, sa kasi Tag Line GOWA DI AMBANG BADAI”.
Bupati Gowa dalam hal ini Ichsan Yasin Limpo merasa keberatan atau tersinggung atas tuduhan yang dilakukan oleh terdakwa dalam grup Ikasalis 99 kepadanya dan kalimat tersebut dirasakan Bupati Gowa telah mencemarkan nama baiknya. Akhirnya, hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja dan Tanpa Hak Mentransmisikan Informasi Elektronik yang Memiliki Muatan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hakim Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.
Semoga bermanfaat.
Pencemaran nama baik ini diatur khusus dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar.[1]
Contoh Kasus
Tidak sama persis dengan kasus BBM, namun sebagai contoh kasus pencemaran nama baik dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa 324 /Pid.B/2014/PN.SGM. Namun pencemaran nama baik ini dilakukan melalui aplikasi Line, yakni yang menurut saksi ahli (Pakar Komunikasi Multimedia) adalah Line adalah salah satu aplikasi chatting atau berkomunikasi yang menggunakan perantara internet atau computer, singkatnya Line adalah salah satu varian seperti BBM, We Chat dan produk messenger lainnya.
Terdakwa menuliskan di grup Line menghina dan mencemarkan nama baik dari Bupati Gowa sehingga ia merasa dirugikan. Ia menulis “Saya Setuju Gowa tidak Inovatif,Money oriented, Power Legacy..arrrgghhh.. tena kabajikang..jai2mi investor nda jadi invest ka nda dkasiki bagian bupatina..saing diamami..Kl nda ada untungna buat dia nda jd proyekka.. Kalo ada yg bilang bupati gowa bagus,kl bukan keluarganya, antek2nya paling org yg suka ngisap2/penjilat…puehhh “ beugh telatko pppi sudahmi ku screen shoot br ku print,bsk ku pajang di Lobi ktr Bupati, sa kasi Tag Line GOWA DI AMBANG BADAI”.
Bupati Gowa dalam hal ini Ichsan Yasin Limpo merasa keberatan atau tersinggung atas tuduhan yang dilakukan oleh terdakwa dalam grup Ikasalis 99 kepadanya dan kalimat tersebut dirasakan Bupati Gowa telah mencemarkan nama baiknya. Akhirnya, hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja dan Tanpa Hak Mentransmisikan Informasi Elektronik yang Memiliki Muatan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Hakim Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.
Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa 324 /Pid.B/2014/PN.SGM.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa 324 /Pid.B/2014/PN.SGM.
______________
[1] Pasal 45 ayat (1) UU ITE
[1] Pasal 45 ayat (1) UU ITE
[Dijawab oleh : Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. - Title : Hukumnya Berbohong dan Menyebar Fitnah di Medsos - Sumber : Hukum Online ]