UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang.
Pertanyaan :
Pertanyaan :
Adik saya adalah seorang perempuan baik-baik, dan ternyata dia disiksa oleh suaminya (ditampar, ditendang, bahkan disulut pakai rokok menyala). Apakah saya bisa menggugat adik ipar saya ini? Kalau boleh tahu berapa tahun penjara hukuman untuk kasus ini? Bekas lukanya sekarang tinggal sedikit (memarnya sudah hilang tanpa bekas), tinggal tersisa bekas bakar akibat rokok. Terima kasih.
Terkait apa yang dilakukan oleh adik ipar Anda terhadap istrinya yaitu adik Anda, dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”). Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU KDRT”).
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Kami tidak mengetahui apakah KDRT yang dialami adik Anda melibatkan pula kekerasan psikis atau tidak, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat. Namun, apabila adik ipar Anda juga melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).
Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya). Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Kami tidak mengetahui apakah KDRT yang dialami adik Anda melibatkan pula kekerasan psikis atau tidak, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat. Namun, apabila adik ipar Anda juga melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).
Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya). Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
_____________
[ PENJAWAB : Diana Kusumasari, S.H., M.H. Sumber : Hukum Online - Title : Berapa Lama Hukuman Penjara untuk Pelaku KDRT? ]
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang.
Pertanyaan :
Pertanyaan :
Adik saya adalah seorang perempuan baik-baik, dan ternyata dia disiksa oleh suaminya (ditampar, ditendang, bahkan disulut pakai rokok menyala). Apakah saya bisa menggugat adik ipar saya ini? Kalau boleh tahu berapa tahun penjara hukuman untuk kasus ini? Bekas lukanya sekarang tinggal sedikit (memarnya sudah hilang tanpa bekas), tinggal tersisa bekas bakar akibat rokok. Terima kasih.
Terkait apa yang dilakukan oleh adik ipar Anda terhadap istrinya yaitu adik Anda, dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”). Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU KDRT”).
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Kami tidak mengetahui apakah KDRT yang dialami adik Anda melibatkan pula kekerasan psikis atau tidak, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat. Namun, apabila adik ipar Anda juga melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).
Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya). Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?
Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Kami tidak mengetahui apakah KDRT yang dialami adik Anda melibatkan pula kekerasan psikis atau tidak, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat. Namun, apabila adik ipar Anda juga melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).
Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya). Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
_____________
[ PENJAWAB : Diana Kusumasari, S.H., M.H. Sumber : Hukum Online - Title : Berapa Lama Hukuman Penjara untuk Pelaku KDRT? ]
1. Hukum Pidana
Dasar hukumnya adalah pada BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 :
Dasar hukumnya adalah pada BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 :
- Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan, fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15,000,000 ( lima belas juta rupiah ).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30,000,000 ( tiga puluh juta rupiah ).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban , pidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun) atau denda paling banyak Rp. 45,000,000 ( empat puluh lima juta rupiah )
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari hari dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5,000,000 ( lima juta rupiah ).
Sejatinya “pidana” hanyalah sebuah “alat” yaitu alat untuk mencapai tujuan penindakan. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”. Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.)
Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, disitu ada hukum. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya,
tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalilis itensitasnya;
Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Di samping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-Undang hukum pidana.
Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat lagi. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum dikatakan bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip “menghukum” yang berorientasi ke belakang (backward-looking) ke arah gagasan/ide “membina” yang berorientasi ke depan (forward-looking). Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat.
Indonesia merupakan negara hukum yang menggunakan hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat, setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma. Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.
Pembahasan tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) eks Wvs dalam teks asli berbahasa Belanda menggunakan istilah strafbaar feit dan delict. Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana dikenal dalam kajian hukum pidana dan peraturan perUndang-Undangan dengan istilah yang beragam, seperti perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukum. Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perUndang-Undangan.
Dalam teori hukum pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Sementara itu unsur objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku, yang terdiri atas perbuatan manusia, akibat perbuatan manusia, keadaan-keadaan, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Semua unsur tindak pidana tersebut merupakan satu kesatuan. Jika salah satu unsur saja tidak terbukti, maka bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan oleh pengadilan.
Adapun Pasal yang mengatur mengenai hal-hal yang dapat menghapuskan, mengurangi pidana dalam KUHP yaitu : Pasal 44 KUHP :
- Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;
- Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan;
- Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Selain unsur-unsur tindak pidana, dalam teori hukum terdapat juga syarat-syarat pemidanaan.
Menurut Sudarto, syarat-syarat pemidanaan dibedakan menjadi dua, yakni syarat yang berkaitan dengan perbuatannya, serta syarat yang berkaitan dengan orangnya atau pelaku. Syarat pemidanaan yang berkaitan dengan perbuatan meliputi perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang, dan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar). Sementara itu syarat pemidanaan yang berkaitan dengan orang yaitu yang berupa kesalahan dengan unsur –unsurnya yang meliputi mampu bertanggung jawab dan ada kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) tidak ada alasan pembenar.
Kemudian mengenai tujuan pemidanaan, dalam ilmu hukum pidana dikenal tiga macam teori tentang tujuan pemidanaan 3 yaitu:
- Teori pembalasan (retributive/absolute) Menurut teori ini tujuan penjatuhan pidana itu adalah pembalasan atau pengimbalan kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan atau tindak pidana.
- Teori relative atau tujuan. Menurut teori ini, penjatuhan pidana bertujuan untuk menjerakan dan mencegah pengulangan tindak pidana baik oleh orang itu sendiri maupun oleh orang-orang lain (prevensi khusus dan prevensi umum).
- Teori gabungan. Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana. )
Jadi pada hakikatnya, ketiga hal mengenai tujuan pemidanaan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur
Maret,2013 hubungan baik antara individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib dan damai.
2. Bentuk Perlindungan Hukum
Pihak pihak yang terlibat langsung dalam rangka perlindungan hukum korban KDRT adalah Lembaga swadaya Masyarakat (LSM ) dan biro-biro hukum. Banyak korban yang tidak mau melaporkan tindakan kekerasan yang dialami dalam rumah tangganya pada pihak berwajib seperti polisi karena dirasa kurang mendapatkan perhatian bila melaporkan pada aparat berwajib tersebut, Korban lebih nyaman melaporkan dan meminta perlindungan pada LSM yang dalam ini seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak ( P2TPA), biro biro hukum dll.
Perlindungan hukum merupakan Hak-Hak Korban dan dijamin dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, BAB IV, Pasal 10 disebutkan :
- perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.
- pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,
- penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,
- pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, dan
- pelayanan bimbingan rohani.
Pelayanan bimbingan rohani adalah merupakan tindakan pemulihan korban agar tidak terjadi stress dll dan dalam hal ini juga diatur dalam BAB VII, Pasal 39 Undang Undang tersebut sebagai berikut :
“ Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :
- tenaga kesehatan;
- pekerja social
- relawan pendamping; dan /atau
- pembimbing rohani
Bentuk perlindungan yang bisa dilakukan oleh bantuan masyarakat bisa dilaksanakan sebagai tersebut :
a.Pendampingan korban
Perlindungan korban dengan membuat forum-forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak. Forum-forum sejenis memiliki pelindung, pengarah atau penasehat, ketua umum, ketua pelaksana yang akan berkaitan dengan instansi pemerintah, lembaga kemasyarakatan, organisasi pemerhati korban kekerasan yang dibuat lembaga lain yang bergerak dalam hal perlindungan kekerasan. Lembaga lembaga tersebut akan mendampingi korban dalam menyelesaikan kasusnya secara hukum juga penyelesaian secara rehabilitasi bila korban mengalami gangguan psikologis. Lembaga tersebut khususnya di Surabaya yang pernah menangani adalah Lembaga Psikologi Ubaya.
Lembaga tersebut bertujuan untuk melindungi korban kekerasan dalam hal ini yang sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Selain terkait dengan instansi atau organisasi kelompok , organisasi ini juga berkaitan dengan juga individu secara langsung yang juga memiliki tujuan yang sama yaitu melindungi korban kekerasan dan ingin melakukan pencegahan terhadap hal tersebut. Lembaga bantuan hukum seperti Kosgoro, AAI, Bantuan Hukum Unair, bahwa perlindungan kekerasan terhadap rumah tangga dan anak juga ditanggani oleh lembaga tersebut. Sementara Lembaga Psikologi Ubaya melakukan konselor psikologi dan melihat apakah korban termasuk korban klinik yaitu korban yang mengalami masalah atas penyebab dari dalam dirinya sendiri misalnya adanya pemikiran-pemikiran dalam dirinya yang menyebabkan korban depresi, atau termasuk korban non klinis yaitu korban yang mengalami masalah atas penyebab dari lingkungan luar diri korban misalnya keluarga dan orang orang di lingkungan rumah korban ( tetangga ) . Konselor hukum mengindentifikasi apakah kasus tersebut harus diselesaikan dengan jalur non litigasi atau jalur litigasi.
b. Konseling
Perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif, yang sifatnya psikis dari kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Yang menimbulkan trauma berkepanjangan terhadap korban, umumnya korban yang menderita fisik, mental dan social. Selain menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara batin, misalnya karena korban merasa aibnya terbongkar atau merasa berdosa. Dengan memperhatikan kondisi korban yang menjadi tersebut, bentuk konseling yang sifatnya psikis, lebih cocok diberikan kepada korban daripada hanya dengan penggantian uang kepada korban.
c. Pendirian tempat tinggal yang aman
Rumah aman adalah tempat tinggal sementara bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan, yang akan memberikan perlindungan , kesejahteraan, dan pertolongan agar korban terhindar dari kekerasan serta mampu menyelesaikan mesalahnya.
Pada umumnya, korban dibawa ke rumah aman ini, karena korban merasa tidak aman tinggal di rumah sendiri. Rumah aman ini bukan sekedar menginap, atau kost saja. Namun sangat penting terhadap perempuan atau istri yang mengalami KDRT yang sangat lama atau melalui proses traumatik yang lama dan mengalami penderitaan psikis. Korban seperti ini sangat tidak berdaya, oleh karena itu sebuah rumah aman yang dibangun oleh lembaga swadaya masyarakat mempunyai visi misi yang jelas, yaitu ingin melindungi dan memulihkan kondisi korban dan mempunyai keberpihakan kepada perempuan serta tidak menyalahkan perempuan dimana harus mencoba mengerti tentang keadaan dan kondisi korban khususnya perempuan. Masalah ini menjadi perhatian serius bukan saja kalangan praktisi hukum melainkan juga semua pemperhati kemanusiaan baik kalangan LSM internasional maupun LSM dalam negeri. Penanganan-penanganan seperti ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial dan keagamaan misalnya pondok pesantren, gereja maupun wihara-wihara.
3. Aplikasi hukum
Menurut Martha, sejak berlakunya UU P-KDRT, laporan KDRT yang diterima di kepolisian cukup banyak, namun demikian dalam kenyataannya perkara KDRT yang diterima di kepolisian, biasanya karena korban berinisiatif untuk tidak diteruskan hal tersebut disamping malu diketahui keluarga dan orang lain.
Disisi lain bahwa mereka takut bercerai dan tidak mendapatkan nafkah bila hal tersebut di proses di pengadilan. Berbeda dengan delik aduan yang dapat dicabut sewaktu waktu korban juga sering meminta agar kasus dihentikan dalam delik biasa. Biasanya korban curhat dan terjadilah komunikasi dengan pelaku dan biasanya mereka berdamai di luar kepolisian. Ada juga korban melaporkan polisi hanya ingin pelaku jera dan tidak melakukan tindakan kekerasan lagi ( sebagai tindakan getak sambal saja ).
Dalam kasus delik biasa yang minta dihentikan penyelidikannya atas inisiatif korban, Penasehat Hukum biasanya akan berkonsultasi dengan pihak kepolisian apakah perkara ini diproses lebih lanjut atau tidak. Jika perkara ini diproses maka akan dilihat kekerasannya masuk ke dalam kategori yang mana.
Berkaitan dengan pemilihan pasal yang akan digunakan dalam menentukan bentuk kekerasan, biasanya Penasehat Hukum akan mengacu pada visum et repertum dan psikis psikiatrum yang dikeluarkan oleh psikiater. Namun, selama ini Penasehat Hukum masih mengalami kendala dalam menentukan kriteria kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Dalam menentukan kriteria kekerasan fisik, biasanya Penasehat Hukum akan melihat kondisi korban. Dalam situasi korban dianggap masih dapat melakukan aktifitas sehari hari yang berhubungan dengan kegiatan, maka Penasehat Hukum akan cenderung menggunakan Pasal 44 ( ayat 4 ). Pilihan ini didasarkan pada inisiatif korban (delik aduan) dan kondisi fisik korban. Meski demikian, mengukur “tidak menimbulkan penyakit” atau “halangan” dalam kasus seorang ibu yang memiliki anak masih kecil-kecil menjadi relative. Naluri tanggung jawab ibu untuk memberi makan anaknya meski dalam keadaan sakit akibat kekerasan dari suaminya bukan berarti ia dalam keadaan baik-baik saja. Namun karena Pasal 44 ayat (4) menunjukan selama korban masih dapat menjalankan aktifitasnya, pasal ini dipilih Penasehat Hukum disamping karena delik aduan dari korban.
Adapun Pasal 44,ayat 4 sebagai berikut :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, pidana dengan pidana penjara paling lama 4 ( empat ) bulan atau denda paling banyak Rp.5,000,000,-(lima juta rupiah).
Kekerasan dalam KDRT yang paling sulit mengukur pembuktiannya adalah kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan penelantaran. Dalam kasus yang pernah ditangani, Penasehat Hukum berkoordinasi dengan psikiater. Namun fakta yang ditemukan , mengukur halusinasi yang dialami korban apakah karena KDRT atau sebab lain (misalnya keturunan, penyakit yang menahun) sulit ditentukan, tidak adanya medical record korban menyulitkan medis untuk menentukan apakah telah terjadi kekerasan psikis akibat KDRT. Termasuk juga membuktikan unsur kekerasan seksual. Istilah tanpa kehendaknya dalam penjelasan Pasal 46 sifatnya subjektif sekali. Disamping itu, pembuktian dalam UU P-KDRT menyalahi patokan pokok pada Pasal 53 KUHAP mengenai pembuktian.
Selama ini perkara kekerasan yang paling banyak dilaporkan ke Kepolisian adalah perkara dalam Pasal 49 (penelantaran). Biasanya pada kasus korban yang tidak memperoleh nafkah lahir-batin. Pada awal setelah UU P-KDRT disyahkan, kasus ini meningkat dalam kasus bapak (suami) yang dianggap tidak cukup memberi nafkah. Namun akhir-akhir ini (dua tahun terakhir 2008-2009), laporan korban penelantaran menurun. Penyebabnya penentuan pemberian nominal nafkah lebih baik ditentukan oleh pengadilan agama setempat. Di samping itu kesulitan mengukur berapa standar pemberian nafkah yang layak oleh suami setiap bulan pada istrinya, masih menjadi perdebatan. Sedangkan di pengadilan agama biasanya ditentukan berdasarkan taklik talak, sedangkan di dalam UU Perkawinan berdasarkan ukuran sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, kenyataannya, hampir semua perkara penelantaran yang dilaporkan oleh korban tidak dapat menghadirkan pelaku dalam pemeriksaan. Pelaku yang dilaporkan telah lama meninggalkan korban sehingga otomatis memang tidak memberikan nafkah lahir-batin. Sering kali pemeriksaan di pengadilan pelaku tidak hadir.
Menurut hakim, terdakwa tidak bisa dihadirkan karena terdakwa tidak ada ditempat, selain itu memang tidak dapat menahan pelaku karena ancaman pidana dibawah tiga tahun (lihat pasal 21 KUHAP).
Karena terdakwa tidak bisa hadir, persidangan berhenti dan tidak bisa diadili secara in absentia karena KDRT bukan delik pidana khusus. Perkara ini otomatis menjadi tunggakan pengadilan. Dalam register dan laporan bulanan akan selalu muncul dari tahun ke tahun jika perkara ini menunggak. Sepintas kinerja pengadilan menjadi jelek. Padahal menghadirkan terdakwa kewajiban jaksa. Menurut Jaksa tidak dapat menghadirkan secara paksa karena terdakwanya sudah tidak ada (lari).
Upaya paksa harus ada yang dipaksa, sehingga jika tidak ada orang yang dipaksa otomatis tidak ada upaya paksa. Terkait dengan prosedur perlindungan yang diatur di dalam Pasal 16 UU P-KDRT menentukan bahwa polisi wajib segera memberikan perlindungan pada korban dalam waktu 1 x 24 jam disertai surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Saat ini Kepolisian masih mengalami kendala dalam pelaksanaannya, menurut Penasehat Hukum biasanya korban menolak untuk dilindungi di samping itu adanya kendala teknis menyangkut aturan pelaksanaan/ Juklak prosedur perlindungan belum diatur di intern kepolisian RI.
Daftar Pustaka
- Ermina Martha,”Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia Dan Malaysia”,FH UII Press, Yogyakarta, 2012, 55
- eprints.undip.ac.id/…/1/BAMBANG_HARIYONO.pdfTranslate this page by Hariyono,2009
- Bambang Haryanto, “Pidana dan Pemindahan”,bahankuliahnyaryo.com/…/teori-teori,9
- Febri Yulliani, “Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Fisip Universitas Riau, 2008
- Martha, “Perempuan dan Kekerasan”, FH UII Pres, Yogyakarta, 2012, hal 69
- KUHAP DAN KUHP,Fokusmedia,IKAPI,Bandung,2000, hal 19
_______________
Oleh : Dr. Drs. Ongky Setio Kuncono, SH, MM, MBA - Sumber : http://www.spocjournal.com
1. Hukum Pidana
Dasar hukumnya adalah pada BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 :
Dasar hukumnya adalah pada BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 :
- Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan, fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15,000,000 ( lima belas juta rupiah ).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30,000,000 ( tiga puluh juta rupiah ).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban , pidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun) atau denda paling banyak Rp. 45,000,000 ( empat puluh lima juta rupiah )
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari hari dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5,000,000 ( lima juta rupiah ).
Sejatinya “pidana” hanyalah sebuah “alat” yaitu alat untuk mencapai tujuan penindakan. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”. Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.)
Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, disitu ada hukum. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya,
tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalilis itensitasnya;
Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Di samping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai. Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-Undang hukum pidana.
Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat lagi. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum dikatakan bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip “menghukum” yang berorientasi ke belakang (backward-looking) ke arah gagasan/ide “membina” yang berorientasi ke depan (forward-looking). Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat.
Indonesia merupakan negara hukum yang menggunakan hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat, setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma. Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.
Pembahasan tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) eks Wvs dalam teks asli berbahasa Belanda menggunakan istilah strafbaar feit dan delict. Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana dikenal dalam kajian hukum pidana dan peraturan perUndang-Undangan dengan istilah yang beragam, seperti perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukum. Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perUndang-Undangan.
Dalam teori hukum pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Sementara itu unsur objektif adalah unsur yang berasal dari luar diri pelaku, yang terdiri atas perbuatan manusia, akibat perbuatan manusia, keadaan-keadaan, sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Semua unsur tindak pidana tersebut merupakan satu kesatuan. Jika salah satu unsur saja tidak terbukti, maka bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan oleh pengadilan.
Adapun Pasal yang mengatur mengenai hal-hal yang dapat menghapuskan, mengurangi pidana dalam KUHP yaitu : Pasal 44 KUHP :
- Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;
- Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan;
- Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Selain unsur-unsur tindak pidana, dalam teori hukum terdapat juga syarat-syarat pemidanaan.
Menurut Sudarto, syarat-syarat pemidanaan dibedakan menjadi dua, yakni syarat yang berkaitan dengan perbuatannya, serta syarat yang berkaitan dengan orangnya atau pelaku. Syarat pemidanaan yang berkaitan dengan perbuatan meliputi perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang, dan bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar). Sementara itu syarat pemidanaan yang berkaitan dengan orang yaitu yang berupa kesalahan dengan unsur –unsurnya yang meliputi mampu bertanggung jawab dan ada kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) tidak ada alasan pembenar.
Kemudian mengenai tujuan pemidanaan, dalam ilmu hukum pidana dikenal tiga macam teori tentang tujuan pemidanaan 3 yaitu:
- Teori pembalasan (retributive/absolute) Menurut teori ini tujuan penjatuhan pidana itu adalah pembalasan atau pengimbalan kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang merugikan atau tindak pidana.
- Teori relative atau tujuan. Menurut teori ini, penjatuhan pidana bertujuan untuk menjerakan dan mencegah pengulangan tindak pidana baik oleh orang itu sendiri maupun oleh orang-orang lain (prevensi khusus dan prevensi umum).
- Teori gabungan. Menurut teori ini, tujuan pemidanaan itu mencakup baik pembalasan maupun penjeraan dan pencegahan sekaligus juga untuk memperbaiki mentalitas si pelaku tindak pidana. )
Jadi pada hakikatnya, ketiga hal mengenai tujuan pemidanaan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur
Maret,2013 hubungan baik antara individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib dan damai.
2. Bentuk Perlindungan Hukum
Pihak pihak yang terlibat langsung dalam rangka perlindungan hukum korban KDRT adalah Lembaga swadaya Masyarakat (LSM ) dan biro-biro hukum. Banyak korban yang tidak mau melaporkan tindakan kekerasan yang dialami dalam rumah tangganya pada pihak berwajib seperti polisi karena dirasa kurang mendapatkan perhatian bila melaporkan pada aparat berwajib tersebut, Korban lebih nyaman melaporkan dan meminta perlindungan pada LSM yang dalam ini seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak ( P2TPA), biro biro hukum dll.
Perlindungan hukum merupakan Hak-Hak Korban dan dijamin dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004, BAB IV, Pasal 10 disebutkan :
- perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.
- pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,
- penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,
- pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, dan
- pelayanan bimbingan rohani.
Pelayanan bimbingan rohani adalah merupakan tindakan pemulihan korban agar tidak terjadi stress dll dan dalam hal ini juga diatur dalam BAB VII, Pasal 39 Undang Undang tersebut sebagai berikut :
“ Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :
- tenaga kesehatan;
- pekerja social
- relawan pendamping; dan /atau
- pembimbing rohani
Bentuk perlindungan yang bisa dilakukan oleh bantuan masyarakat bisa dilaksanakan sebagai tersebut :
a.Pendampingan korban
Perlindungan korban dengan membuat forum-forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak. Forum-forum sejenis memiliki pelindung, pengarah atau penasehat, ketua umum, ketua pelaksana yang akan berkaitan dengan instansi pemerintah, lembaga kemasyarakatan, organisasi pemerhati korban kekerasan yang dibuat lembaga lain yang bergerak dalam hal perlindungan kekerasan. Lembaga lembaga tersebut akan mendampingi korban dalam menyelesaikan kasusnya secara hukum juga penyelesaian secara rehabilitasi bila korban mengalami gangguan psikologis. Lembaga tersebut khususnya di Surabaya yang pernah menangani adalah Lembaga Psikologi Ubaya.
Lembaga tersebut bertujuan untuk melindungi korban kekerasan dalam hal ini yang sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Selain terkait dengan instansi atau organisasi kelompok , organisasi ini juga berkaitan dengan juga individu secara langsung yang juga memiliki tujuan yang sama yaitu melindungi korban kekerasan dan ingin melakukan pencegahan terhadap hal tersebut. Lembaga bantuan hukum seperti Kosgoro, AAI, Bantuan Hukum Unair, bahwa perlindungan kekerasan terhadap rumah tangga dan anak juga ditanggani oleh lembaga tersebut. Sementara Lembaga Psikologi Ubaya melakukan konselor psikologi dan melihat apakah korban termasuk korban klinik yaitu korban yang mengalami masalah atas penyebab dari dalam dirinya sendiri misalnya adanya pemikiran-pemikiran dalam dirinya yang menyebabkan korban depresi, atau termasuk korban non klinis yaitu korban yang mengalami masalah atas penyebab dari lingkungan luar diri korban misalnya keluarga dan orang orang di lingkungan rumah korban ( tetangga ) . Konselor hukum mengindentifikasi apakah kasus tersebut harus diselesaikan dengan jalur non litigasi atau jalur litigasi.
b. Konseling
Perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif, yang sifatnya psikis dari kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Yang menimbulkan trauma berkepanjangan terhadap korban, umumnya korban yang menderita fisik, mental dan social. Selain menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara batin, misalnya karena korban merasa aibnya terbongkar atau merasa berdosa. Dengan memperhatikan kondisi korban yang menjadi tersebut, bentuk konseling yang sifatnya psikis, lebih cocok diberikan kepada korban daripada hanya dengan penggantian uang kepada korban.
c. Pendirian tempat tinggal yang aman
Rumah aman adalah tempat tinggal sementara bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan, yang akan memberikan perlindungan , kesejahteraan, dan pertolongan agar korban terhindar dari kekerasan serta mampu menyelesaikan mesalahnya.
Pada umumnya, korban dibawa ke rumah aman ini, karena korban merasa tidak aman tinggal di rumah sendiri. Rumah aman ini bukan sekedar menginap, atau kost saja. Namun sangat penting terhadap perempuan atau istri yang mengalami KDRT yang sangat lama atau melalui proses traumatik yang lama dan mengalami penderitaan psikis. Korban seperti ini sangat tidak berdaya, oleh karena itu sebuah rumah aman yang dibangun oleh lembaga swadaya masyarakat mempunyai visi misi yang jelas, yaitu ingin melindungi dan memulihkan kondisi korban dan mempunyai keberpihakan kepada perempuan serta tidak menyalahkan perempuan dimana harus mencoba mengerti tentang keadaan dan kondisi korban khususnya perempuan. Masalah ini menjadi perhatian serius bukan saja kalangan praktisi hukum melainkan juga semua pemperhati kemanusiaan baik kalangan LSM internasional maupun LSM dalam negeri. Penanganan-penanganan seperti ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial dan keagamaan misalnya pondok pesantren, gereja maupun wihara-wihara.
3. Aplikasi hukum
Menurut Martha, sejak berlakunya UU P-KDRT, laporan KDRT yang diterima di kepolisian cukup banyak, namun demikian dalam kenyataannya perkara KDRT yang diterima di kepolisian, biasanya karena korban berinisiatif untuk tidak diteruskan hal tersebut disamping malu diketahui keluarga dan orang lain.
Disisi lain bahwa mereka takut bercerai dan tidak mendapatkan nafkah bila hal tersebut di proses di pengadilan. Berbeda dengan delik aduan yang dapat dicabut sewaktu waktu korban juga sering meminta agar kasus dihentikan dalam delik biasa. Biasanya korban curhat dan terjadilah komunikasi dengan pelaku dan biasanya mereka berdamai di luar kepolisian. Ada juga korban melaporkan polisi hanya ingin pelaku jera dan tidak melakukan tindakan kekerasan lagi ( sebagai tindakan getak sambal saja ).
Dalam kasus delik biasa yang minta dihentikan penyelidikannya atas inisiatif korban, Penasehat Hukum biasanya akan berkonsultasi dengan pihak kepolisian apakah perkara ini diproses lebih lanjut atau tidak. Jika perkara ini diproses maka akan dilihat kekerasannya masuk ke dalam kategori yang mana.
Berkaitan dengan pemilihan pasal yang akan digunakan dalam menentukan bentuk kekerasan, biasanya Penasehat Hukum akan mengacu pada visum et repertum dan psikis psikiatrum yang dikeluarkan oleh psikiater. Namun, selama ini Penasehat Hukum masih mengalami kendala dalam menentukan kriteria kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Dalam menentukan kriteria kekerasan fisik, biasanya Penasehat Hukum akan melihat kondisi korban. Dalam situasi korban dianggap masih dapat melakukan aktifitas sehari hari yang berhubungan dengan kegiatan, maka Penasehat Hukum akan cenderung menggunakan Pasal 44 ( ayat 4 ). Pilihan ini didasarkan pada inisiatif korban (delik aduan) dan kondisi fisik korban. Meski demikian, mengukur “tidak menimbulkan penyakit” atau “halangan” dalam kasus seorang ibu yang memiliki anak masih kecil-kecil menjadi relative. Naluri tanggung jawab ibu untuk memberi makan anaknya meski dalam keadaan sakit akibat kekerasan dari suaminya bukan berarti ia dalam keadaan baik-baik saja. Namun karena Pasal 44 ayat (4) menunjukan selama korban masih dapat menjalankan aktifitasnya, pasal ini dipilih Penasehat Hukum disamping karena delik aduan dari korban.
Adapun Pasal 44,ayat 4 sebagai berikut :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, pidana dengan pidana penjara paling lama 4 ( empat ) bulan atau denda paling banyak Rp.5,000,000,-(lima juta rupiah).
Kekerasan dalam KDRT yang paling sulit mengukur pembuktiannya adalah kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan penelantaran. Dalam kasus yang pernah ditangani, Penasehat Hukum berkoordinasi dengan psikiater. Namun fakta yang ditemukan , mengukur halusinasi yang dialami korban apakah karena KDRT atau sebab lain (misalnya keturunan, penyakit yang menahun) sulit ditentukan, tidak adanya medical record korban menyulitkan medis untuk menentukan apakah telah terjadi kekerasan psikis akibat KDRT. Termasuk juga membuktikan unsur kekerasan seksual. Istilah tanpa kehendaknya dalam penjelasan Pasal 46 sifatnya subjektif sekali. Disamping itu, pembuktian dalam UU P-KDRT menyalahi patokan pokok pada Pasal 53 KUHAP mengenai pembuktian.
Selama ini perkara kekerasan yang paling banyak dilaporkan ke Kepolisian adalah perkara dalam Pasal 49 (penelantaran). Biasanya pada kasus korban yang tidak memperoleh nafkah lahir-batin. Pada awal setelah UU P-KDRT disyahkan, kasus ini meningkat dalam kasus bapak (suami) yang dianggap tidak cukup memberi nafkah. Namun akhir-akhir ini (dua tahun terakhir 2008-2009), laporan korban penelantaran menurun. Penyebabnya penentuan pemberian nominal nafkah lebih baik ditentukan oleh pengadilan agama setempat. Di samping itu kesulitan mengukur berapa standar pemberian nafkah yang layak oleh suami setiap bulan pada istrinya, masih menjadi perdebatan. Sedangkan di pengadilan agama biasanya ditentukan berdasarkan taklik talak, sedangkan di dalam UU Perkawinan berdasarkan ukuran sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, kenyataannya, hampir semua perkara penelantaran yang dilaporkan oleh korban tidak dapat menghadirkan pelaku dalam pemeriksaan. Pelaku yang dilaporkan telah lama meninggalkan korban sehingga otomatis memang tidak memberikan nafkah lahir-batin. Sering kali pemeriksaan di pengadilan pelaku tidak hadir.
Menurut hakim, terdakwa tidak bisa dihadirkan karena terdakwa tidak ada ditempat, selain itu memang tidak dapat menahan pelaku karena ancaman pidana dibawah tiga tahun (lihat pasal 21 KUHAP).
Karena terdakwa tidak bisa hadir, persidangan berhenti dan tidak bisa diadili secara in absentia karena KDRT bukan delik pidana khusus. Perkara ini otomatis menjadi tunggakan pengadilan. Dalam register dan laporan bulanan akan selalu muncul dari tahun ke tahun jika perkara ini menunggak. Sepintas kinerja pengadilan menjadi jelek. Padahal menghadirkan terdakwa kewajiban jaksa. Menurut Jaksa tidak dapat menghadirkan secara paksa karena terdakwanya sudah tidak ada (lari).
Upaya paksa harus ada yang dipaksa, sehingga jika tidak ada orang yang dipaksa otomatis tidak ada upaya paksa. Terkait dengan prosedur perlindungan yang diatur di dalam Pasal 16 UU P-KDRT menentukan bahwa polisi wajib segera memberikan perlindungan pada korban dalam waktu 1 x 24 jam disertai surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Saat ini Kepolisian masih mengalami kendala dalam pelaksanaannya, menurut Penasehat Hukum biasanya korban menolak untuk dilindungi di samping itu adanya kendala teknis menyangkut aturan pelaksanaan/ Juklak prosedur perlindungan belum diatur di intern kepolisian RI.
Daftar Pustaka
- Ermina Martha,”Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia Dan Malaysia”,FH UII Press, Yogyakarta, 2012, 55
- eprints.undip.ac.id/…/1/BAMBANG_HARIYONO.pdfTranslate this page by Hariyono,2009
- Bambang Haryanto, “Pidana dan Pemindahan”,bahankuliahnyaryo.com/…/teori-teori,9
- Febri Yulliani, “Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Fisip Universitas Riau, 2008
- Martha, “Perempuan dan Kekerasan”, FH UII Pres, Yogyakarta, 2012, hal 69
- KUHAP DAN KUHP,Fokusmedia,IKAPI,Bandung,2000, hal 19
_______________
Oleh : Dr. Drs. Ongky Setio Kuncono, SH, MM, MBA - Sumber : http://www.spocjournal.com