A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[1] kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[2] Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[3]
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[1] kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[2] Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[3]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[4] Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR.[5] Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).[6]
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.[7] Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan.[8] Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[9]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[11]
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.[12]
Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakaha>t), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (6).[13]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.[14] Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.[15]
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:[16]
1. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2. Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR segera akan dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[17] Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.[18]
B. Prinsip dan Asas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Segala peraturan perundang-undangan secara normatifitas pada biasanya disandarkan kepada kaidah atau asas hukum tertentu. Begitu juga dengan Undang-Undang Perkawinan, secara kesuluruhan memiliki asas hukum tersendiri yang tidak dimiliki oleh undang-undang pada umumnya. Asas hukum dalam suatu norma hukum mengandaikan adanya suatu tujuan yang akan diciptakan oleh pembuat hukum atau undang-undang tersebut.
Dalam hukum positif adakalanya bahwa asas-asas hukum suatu norma hukum disebutkan secara eksplisit, namun adakalanya tidak disebutkan. Menurut hemat penyusun ketentuan Pasal 30-34 tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, termasuk norma hukum yang secara eksplisit menyebutkan asas hukumnya.
Mengenai prinsip dan asas hukum, tidak semua ahli hukum menggunakan dua kata tersebut untuk satu maksud atau tujuan. Misalnya tidak menggunakan kata prinsip untuk maksud menjelaskan azas. Namun pada biasanya kebanyakan ahli hukum menggunakan dua kata tersebut secara bergantian untuk menjelaskan azas.[19] Dalam skripsi ini asas hukum yang sudah ada dimaksudkan untuk menentukan tujuan ketentuan-ketentuan yang titeliti (Pasal 30-34 Undang-Perkawinan).
Namun secara keseluruhan, di bawah ini dikemukakan asas hukum Undang-Undang Perkawinan menurut C.S.T. Cansil:[20]
1. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[21] Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.[22]
2. Sahnya Perkawinan
Perkawinan dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan selanjutnya dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[23] Tata cara pencatatan perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting kehidupan seseorang lainnya. Seperti kelahiran, kematian dan lain-lain.
3. Asas Monogami
Undang-undang perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang isteri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.[24]
4. Prinsip Perkawinan
Menurut C.S.T. Cansil undang-undang perkawinan menganut prinsip, bahwa calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu menurut Cansil perkawinan berhubungan dengan kependudukan. Menurutnya perkawinan di bawah umur bagi seorang wanita akan mengakibatkan laju kelahiran meningkat.[25]
5. Mempersukar Terjadinya Perceraian
Berjalan linier dengan tujuan perkawinan, maka undang-undang perkawinan menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian dibenarkan oleh karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang serta dilakukan di depan sidang pengadilan.[26]
6. Hak dan Kedudukan Isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian menurut Cansil segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.[27]
Berbeda dengan C.S.T. Cansil, Abdul Manan menjelaskan bahwa asas-asas perkawinan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan yaitu ada 6 (enam). Keenam asas tersebut adalah sebagai berikut:[28]
Asas Sukarela[29]
Asas Partisipasi Keluarga[30]
Perceraian Dipersulit[31]
Poligami Dibatasi dengan Ketat[32]
Kematangan Calon Mempelai[33]
Memperbaiki Derajat Kaum Wanita[34]
Sedangkan menurut Yahya Harahap, prinsip-prinsip perkawinan yang terkandung dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:[35]
Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara bangsa Indonesia yaitu prekawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Undang-undang menganut azas monogamy akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat.
__________
[1]Tentang hal tersebut dijelaskan bahwa sebelum undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 lahir, Muslim Indonesia menggunakan hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum Adat. Hukum islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat tersebut mendapat pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR) yang berlaku untuk tiga golongan. Padal Pasal 163 dijelaskan tentang perbedaan tiga golongan penduduk yang ditunjuk dalam ketentuan Pasal 163 tersebut. yaitu; a. Golongan Eropa (termasuk Jepang); b. Golongan pribumi (orang Indonesia) dan; c. Golongan Timur Asing. Dalam hal ini dikecualikan orang yang beragama Kristen. Bagi golongan pribumi yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi oaring-orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab Kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan budaya hukum orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang. Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agam, cet. I (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.4-5, bandingkan dengan C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 224-225
[2] Keburukan-keburukan yang dimaksudkan yaitu antara lain: perkawinan kanak-kanak (anak di bawh umur), kawin paksa, poligami, talak sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai ketentuan hak dan kewajiban suami isteri disebabkan oleh ketentuan yang mengatur bahwa; a. suami berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa isteri wajib patuh kepada suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada isteri; d. bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami. Bandingkan antara Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 9 dan Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hlm. 285
[3] Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 9
[4] Kepanitiaan itu diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan, setelah mengalami beberapa perubahan personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 dibentuklah panitia baru yang diketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto. Lihat Ibid.
[5] Pada waktu itu ada dua RUU yang masuk ke DPR yaitu; a. RUU tentang Pokok-pokok Perkawinan Umat Islam dan; b. RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Ibid., hlm. 10
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Tuntutan yang kedua dari Organisasi Islam Wanita Indonesia adalah menyarankan kepada segeap anggota DPR RI hasil Pemilu agar menempuh segala cara yang dimungkinkan oleh peraturan tata tertib DPR RI untuk melahirkan kedua RUU perkawinan yang diajukan pemerintah. Lihat Ibid., hlm. 24
[9] Ibid. Lihat juga dalam Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 4
[10] Bab-bab tersebut meliputi: Bab I tentang Dasar Perkawinan; Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan; Bab III tentang Pertunangan; Bab IV tentang Tatacara Perkawinan; Bab V tentang Batalnya Perkawinan; bab VI tentang Perjanjian Perkawinan; Bab VII tentang Hak dan Kewajiban suami isteri; Bab VIII tentang Harta benda dalam Perkawinan; Bab IX tentang Putusnya Perkawinan dan Akibatnya; Bab X tentang Kedudukan Anak; Bab XI tentang Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orangtua; Bab XII tentang Perwalian; Bab XIII tentang Ketentuan-ketentuan Lain; Bab XIV tentang Ketentuan Peralihan; dan Bab XV tentang Keterangan Penutup. Lihat Ibid., hlm. 2 dan 27
[11] Tentang tujuan memenuhi harapan kaum wanita misalnya dapat tergambar dari Pidato Kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1973, di mana disinggung tentang munculnya desakan kaum wanita dan organisasi-organisasinya agar negara memiliki undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dan tentang kemauan Indonesia untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman hal itu telah dipenuhi oleh undang-undang perkawinan yang diundangkan pada 2 januari 1971. Kemodernan undang-undang tersebut diakui oleh Hilman, yakni sistem kekeluargaan yang bersifat keorangtuaan (parental) dan menyisihkan sisitem kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia…, hlm. 111
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 4-5.
[13] Dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Studi KritisPerkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Unang Nomor 1 tahun 1974 sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 24
[14] Adapun fraksi-fraksi yang terlibat yaitu Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Lihat Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 27
[15] Pemerintah meminta DPR untuk memusyawarahkan hal-hal yang belum kita temukan kesepakatan melalui musyawarah untuk mufakat. Apalagi hal-hal tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan keimanan dan ibadah, dimusyawarahkan untuk dapat dijadikan rumusan yang disepakati. Melihat keinginan dan kesediaan para anggota Dewan untuk memusyawarahkan rancanagan undang-undang tentang perkawinan ini dengan baik, kita samua yakin, Dewan bersama-sama Pemerintah akan mampu mengatasi segala perbedaan yang ada, dan akan menghasilkan Undang-undang Perkawinan Nasional yang dicita-citakan semua pihak.
[16] Bandingkan: Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 5, dengan Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm. 24-25
[17] Yaitu undang-undang Perkawinan yang berlaku sampai saat sekarang ini yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. lebih lanjut lihat C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 222
[18] Ibid. Meskipun Atho mencatat bahwa hasil akhir UU No. 1 Tahun 1974 adalah 66 pasal, dalam kenyataan UU No.1 Tahun 1974 terdiri dari 67 pasal.
[19] Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No1/1974 Sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 42-57
[20] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 225-227. Bandingkan dengan Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 35
[21] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1
[22] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 225
[23] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1 dan 2, bandingkan dengan C.S.T. Cansil dalam Ibid.
[24] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,hlm. 226
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 6
[29] Sehubungan dengan tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1, agar terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah atas persetujuan kedua calon mempelai. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria ataau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut (peny. menuntun) anak-anaknya agan memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. Ibid., hlm. 6-7
[30] Maksud dari partisipasi keluarga dalam perkawinan yaitu pihak keluarga masing-masing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Partisipasi keluarga diharapkan dalam hal peminagan dan pernikahan. Tujuannya yaitu untuk terjalinnya hubungan silaturahmi antarkeluarga pihak mempelai pria dengan keluarga pihak mempelai wanita. Keterlibatan kedua belah pihak dalam perkawinan calon mempelai juga diharapkan dapat membimbing pasangan yang beru menikah itu supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Ibid., hlm. 7-8
[31] Untuk menekan angka perceraian yang tinggi yang terjadi, maka undang-undang ini diundangkan. Perceraian tidak hanya merugikan kedua pasangan, akan tetepi anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut akan ikut menjadi korbannya. Kemudian penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Ibid., hlm. 8
[32] Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974, pekawinan dibenarkan kalau dipenuhi alasan-alasan, a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ibid., hlm. 9-10
[33] Manan menjelaskan bahwa Undang-undang Perkawinan sangat berhubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur pernikahan baik bagi wanita maupun bagi pria diharapkan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan undang-undang ini. Ibid., hlm 11
[34] Sebelum adanya undang-undang ini banyak suami yang memperlakukan isterinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan isterinya begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tindakan suami yang demikian menyebabkan banyak wanita yang menderita yang tidak putus-putus. Ibid.,hlm11-12
[35] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 10
I. Arti perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 dan menurut KUH Perdata/BW
Perkawinan, diatur KUHPdt/BW dalam titel IV buku 1 dari Pasal 26 dan seterusnya, serta dalam UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksanaannya.
UU No.1/1974 tentang perkawinan, dalam Pasal 1 memuat pengertian tentang perkawinan ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istrei dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.
Sedangkan ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam KUHPdt/BW tidak ada satu Pasal pun yang memberikan pengertian tentang arti perkawinan itu sendiri. oleh karena itulah, maka untuk memahami arti perkawinan kita melihat pada ilmu pengetahuan / pendapat para sarjana. Ali Afandi, mengatakan bahwa, “ perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud disitu bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai cirri-ciri tertentu.
“Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seoreang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.(Scholten, kutipan Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982, hlm 31.)
KUHPdt/BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPdt/BW, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan/dikesampingkan.
Menurut K. Wantjik Saleh, arti perkawinan adalah “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri”. Lebih lanjut beliau mengatakan ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. namun harus tetap ada, sebab tanpa ikatan batin ikatan lahir akan rapuh. Ikatan lahir batin menjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal.
Dari uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.
II. Hakikat, Asas, Sifat , Syarat, Dasar, dan Tujuan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Menurut UU No.1/1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal ini lah yang membedakan dengan haikat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Apabila kita membaca KUHPdt dapat diketahui bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah antara seorang pria dan seorang wanita). Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan dengan adanya tujuan tesebut mereka menjadi terikat. Persetujuan yang dimaksud disini bukanlah persetujuan yang terdapat dalam buku III KUHPdt/BW, walaupun antara persetujuan dalam perkawinan dan persetujuan umumnya tedapat unsur yang sama yaitu adanya ikatan antara dua belah pihak, tetapi ada perbedaan yaitu dalam bentuk hal dan isi.
Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974 dan juga pada Pasal 27 KUHPdt/BW.
Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).
Adapun jika seorang pria ingin mempunyai lebih dari satu istri sepanjang hukum agamanya mengijinkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 UU No.1/1974 yaitu :
a. Adanya perjanjian dari istri/istri-istri, perjanjian dari istri/istri-istri tidak diperlukan ketika sang istri/istri-istri merupakan pihak yang tidak dapat melakukan perjanjian atau jika dalam waktu sekurang kurangnya 2 (dua) tahun tidak ada kabar dari sang istri, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anak mereka.
Sedangkan dari Pasal 27 dan 28 KUHPdt/BW tampaklah bahwa asas perkawinan adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat diantara para calon suami istri melarang adanya poligami. Adanya asas monogami sebenarnya asas yang dianut dalam perkawinan Kristen, sedangkan KUHPdt/BW sendiri lahir di dunia barat yang mayoritasnya Kristen, maka wajarlah jika dalam perkawinan pun dianut asas monogami.
Sifat perkawinan menurut UU No.1/1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan (Pasal 1 UU No.1/1974), maka sifat tersebut adalah logis dan layak, sebab kebahagiaan akan tercapai jika ikatan lahir batin betul-betul didasarkan atas kesepakatan, tidak ada bentuk paksaan dalam bentuk apapun dari siapa pun juga.
Adapun syarat perkawinan tercantum dalam Bab II, Pasal 6 sampai dengan 12 UU No.1/1974, antara lain:
a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
b. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
Ø Bagi yang akan melangsungkan perkawinan dan usianya belum mencapai 21 tahun maka harus mendapat izin dari kedua orang tua, bukan bapak atau ibu ( tidak hanya mendapat izin dari pihak bapak saja atau pihak ibu saja, tetapi kedua belah pihak) (ayat 2 ).
Ø Jika salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya (ayat 3).
Ø Jika kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya (ayat 4).
Ø Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-oreng tesebut dalam ayat (2),(3) dan (4) Pasal ini (ayat 5).
Ø Ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu mulai dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (ayat 6).
c. Usia minimal bagi pria yang ingin melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun sedangkan bagi wanita 16 tahun.
d. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah / keluarga yang mengakibatkan tidak boleh melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dilarang antara dua orang karena:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas, misalnya dalam garis keturunan lurus keatas adalah: seseorang denga ibu/ayahnya, dengan nenek/kakeknya. Dalam garis keturunan lurus kebawah adalah: seseorang dengan anaknya, dengan cucunya atau bahkan dengan cicitnya. (dalam hal garis keturunan lurus keatas atau kebawah yang dimaksud adalah hubungan asli/kandung)
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungsn semenda, yaitu seorang dengan mertua, seorang dengan anak tiri, seorang dengan menantu, dan seorang dengan ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu seorang dengan orang tua susuan, seorang dengan anak susuan, seorang dengan saudara susuan, dan seorang dengan paman/bibi susuan.
5) Berhububugan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain dilarang kawin.
e. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
f. Bagi suami istri yang telah cerai lalu kawinlagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk yang ketiga kalinya.
g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Syarat-syarat tersebut di atas menyangkut pribadi-pribadi yang akan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki undang-undang, yaitu:
1. Syarat materil (inti) terdiridari:
· Syarat materil absolute (mutlak)
Syarat material absolute adalah syarat yang mengenai pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. syarat ini meliputi :
a. Asas monogami (Pasal 27 KUHPdt/BW).
b. Persetujuan antara kedua calon suami istri.
c. Batas usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu: laki-laki 18 tahun, dan perempuan 15 tahun (Pasal 29 KUHPdt/BW).
d. Bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (Pasal 34 KUHPdt/BW).
e. Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (Pasal 35-49 KUHPdt/BW)
· Syarat material relative (nisbi)
Syarat material relative adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. ketentuan tersebut meliputi :
a. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat didalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan (Pasal 30-31 KUHPdt/BW).
b. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan zina (Pasal 32 KUHPdt/BW).
c. Larangan memperbaiki perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPdt/BW).
2. Syarat formal (syarat lahir).
Syarat formal dibagi dalam:
1) Syarat syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan:
a) Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin.
b) Pengumuman tentang maksud untuk kawin(Pasal 50-57 KUHPdt/BW).
2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi sah.
III. Pencegahan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No.1/1974, dalam Pasal 13 sampai dengan 21. Tetapi dari Pasal-Pasal tersebut tidak ada suatu Pasal pun yang mencantumkan pengertian pencegahan perkawinan. pengertian pencegahan perkawinan dapat ditemukan dari pendapat para sarjana.
Yang dimaksud pencegahan perkawinan (menghalang-halangi perkawinan atau stuiten de huwelijk) atau stuting ialah suatu usaha untuk menghindari adanya sebuah perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang ada.( Prawirohamidjojo, dan Safioedin, 1982).
Pasal 13 jo 20 UU No. 1/74 menentukan bahwa perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Siapa-siapa yang dapat melakukan pencegahan, hal itu diatur dalam undang undang dan dari Pasal-Pasalnya dapat disimpulkan bahwa yang berhak melakukan pencegahan ialah selain salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, pencegahan dapat dilakukan oleh bapak/ibu atau keluarga sedarah, wali, pengampu, pejabat yang ditunjuk. Tentu saja untuk dapat melakukan pencegahan haruslah dipenuhi syarat syarat tertentu, dan pengadilan negerilah yang berwenang memutuskan permohonannya. Dalam KUHPdt pejabat yang ditunjuk adalah Jaksa.
Pasal 14 sampai dengan16 UU No.1/1974 mengatur mengenai siapa siapa yang dapat melakukan pencegahan perkawinan. dari ketentuan ketentuan tersebut dapat diketahui orang orang yang dapat mencegah perkawinan.antara alin :
1) Para keluarga dalam keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai.
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai.
3) Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
4) Wali dari salah seorang calon mempelai.
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai.
6) Pihak p[ihak yang berkepentingan.
7) Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.
8) Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pencegahan.
Sebelum perkawinan dilangsungkan disyaratkan adanya dua tindakan yang harus
dilakukan (Pasal 2 sampai dengan 9 PP 9/1975), yaitu Pemberitahuan dan Pengumuman. Tujuan dari pengumuman ialah agar sebelumnya diketahui oleh umum, dalam hal ini terutama oleh mereka yang mempunyai wewenang mencegah perkawinan, kiranya mereka itu akan meggunakan haknya.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan (Pasal 17 UU No.1/1974). Ketentuan tersebut menuntukan pula adanya kompetensi relative dari pengadilan. Melalui pegawai pencatat perkawinan kemudian pencegahan tersebut diberitahukan kepada para calon mempelai. Jika perkawinan terlanjur dilaksanakan itu pun bisa dibatalkan.
Walaupun pencegahan perkawinan terlanjur diajukan ke pengadilan namun masih dimungkunkan untuk ditarik kembali atau dapat dicabut dengan putusan pengadilan (Pasal 18 UU No.1/1974).
IV. Pembatalan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan 99a KUHPdt/BW serta Pasal 22 sampai 28 UU No.1/1974 dan Peraturan Pemerintah No.9/1975 tentang pelaksanaan UU No.1/1974 Pasal 37-38.
Pasal 22 sampai 28 UU No.1/1974 mengatur mengenai batalnya perkawinan. Tetapi jika dibaca ketentuan-ketentuan tersebut kita tidak akan menjumpai mengenai pengertian tentang batalnya perkawinan, bahkan undang-undang menegaskan bahwa batal disini dalam konteks pengertian dapat dibatalkan (vernietig baar) bukanya batal/batal demi hukum (nietig). Jadi harus didahului dengan permohonan pembatalan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berhak dan disertai dengan alasan-alasan yang dapat dipakai sebagai pengajuan permohonan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 22 UU No.1/1974, pengertian “dapat” itu diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Mengenai siapa saja yang dapat mengajukan permohonan pembatan perkawinan, hal ini diaturkan dalam Pasal 23 sampai dengan 27 UU No.1/1974, yaitu:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas suami atau istri.
2) Suami atau istri.
3) Pejabat yang berwenang.
4) Pejabat yang ditunjuk.
5) Jaksa.
6) Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut. tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
(Syahrani, 1985, hlm.96)
Pembatalan perkawnan hanya dapat diputuskan pengadilan dan permohonan pembatan itu diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri.
Pasal 28 UU No.1/1974 menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Selanjutnya Pasal 28 ayat 2 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a) Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini berarti bahwa mereka itu tetap berstatus sebagai anak sah, walaupun perkawinan orang tua mereka dibatalkan.
b) Suami istri yang bertindak dengan etiket baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan etiket baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengenai siapa saja yang tidak boleh melakukan pembatalan, UU No.1/1974 tidak mengaturnya, tetapi hal ini diatur dalam Pasal 93 KUHPdt/BW adapun pihak yang dimaksud yaitu:
a) Anggota keluarga dalam garis keturunan kesamping.
b) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan lain.
c) Orang lain yang bukan keluarga selama suami istri masih hidup.
V. Akibat Hukum dari Perkawinan
A. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW
Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya:
1. Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.
3. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
4. Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
5. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
6. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. (Syahrani,1985,hlm.98).
Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW:
1. Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.
2. Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.
3. Suami istri saling mengikatkan diri secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak.
B. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Pasal 35 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
KUHPdt/BW (Pasal 119 sampai dengan 121) berbunyi: jika tidak ada perjanjian kawin maka terjadi persatuan bulat demi hukum, sehingga baik harta bawaan maupun harta yang didapat selama perkawinansemuanya menjadi harta persatuan.
C. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Keturunan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Mengenai keturunan juga diatur dalam UU No.1/1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan 44. UU No.1/1974 mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh UU No.1/1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt/BW. Bagi seorang anak yang tidak sah UU No.1/1974 menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya.
Seorang suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU No.1/1974), jika dibandingkan dengan KUHPdt/BW tidak terdapat perbedaan.
Terhadap keabsahan dari anak, suami dapat manyangkalnya. Hal itu diatur dalam beberapa Pasal dari KUHPdt/BW antara lain Pasal 252, 253, 254, namun dalam hal-hal tertentu suami tidak dimungkinkan menggunakan ingkar tersebut, yaitu dalam hal:
1. Suami sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa istrinya telah mengandung.
2. Pada waktu anak dilahirkan ia ikut hadir dan pada waktu akta dibuat ia ikut menandatangani akta itu.
3. Anak tidak hidup waktu dilahirkan (Pasal 251 KUHPdt/BW).
Untuk membuktikan asal usul anak, dapat dilakukan dengan:
1. Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Jika hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tantang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Anak luar kawin (anak tidak sah) menurut UU No.1/1974 tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dalam KUHPdt/BW hubungan hukum itu ada hanya dengan orang yang mengakuinya saja.
VI. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
A. Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya diatur dalam Bab VIII UU No.1/1974, Pasal 38 sampai dengan 41. Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah kematian, perceraian, dan dapat pula karena putusan pengadilan.
Menurut Pasal 199 KUHPdt/BW perkawinan bubar karena:
1. Kematian.
2. Keadaan tak hadir si suami/istri selama sepuluh tahun, diikuti dengan perkawinan baru suami/istri sesuai dengan ketentuan.
3. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan yang dicatat oleh catatan sipil sesuai dengan ketentuan.
4. Perceraian sesuai dengan ketentuan.
Pasal 39 ayat (2) UU No.1/1974 serta Pasal 19 PP No.9/1975 memuat mengenai alas an-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dan isinya antara kedua Pasal tersebut sama, yaitu :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
B. Akibat Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan adalah karena perceraian.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian (terhadap anak/keturunannya):
a. Ibu/bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai anak-anak pengadilan akan memutuskannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No.1/1974).
Bagi Pegawai Negeri Sipil, maka mengenai perceraian juga diatur dalam Surat Edaran No. 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
VII. Perkawinan Campuran dan Perkawinan di Luar Negeri
A. Pengertian Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974
Menurut Pasal 1 Stb/S 1898 No. 158 perkawinan campuran adalah orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya perkawinan campuran maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Harus ada perkawinan antara orang-orang yang berada di Indonesia.Tidak menunjukan secara tegas antara siapa-siapa perkawinan itu dilakukan, sehingga timbul kemungkinan :
a. Perkawinan itu dilakukan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing di Indonesia.
b. Perkawinan itu dilakukan antara warga negara asing dengan warga negara asing di Indonesia.
c. Perkawinan itu dilaksanakan antara wqarga negara Indonesia di Indonesia.
2. Tunduk pada hukum yang berlainan. Hal ini berarti bahwa bagi masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan, tunduk pada aturan hukum yang berbeda.
Menurut Pasal 57 UU No.1/1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu pihak berkewarganagaraan Indonesia.
Dari ketentuan Pasal tersebut maka suatu perkawinan dikatakan perkawinan campuran haruslah memenuhi unsur-unsur berikut :
1. Perkawinan itu harus dilangsungkan diwilayah hukum Indonesia.
2. Masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berlainan yang disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
B. Tata Cara Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974
Syarat perkawinan campuran terdapat dalam Pasal 6 Stb/1898/158 yang berbunyi “perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlakubagi suami, kecuali izin dari kedua belah pihak bakal mempelai, yang selalu harus ada”.
Sedangkan syarat-syarat perkawinan campuran menurut UU No.1/1974 tercantum dalam Pasal 59 ayat 2 dan tunduk pada ketentuan Pasal 6 sampai 12 UU No.1/1974 dan ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam Stb/S 1898 No. 158 maupun UU No. 1/1974.
C. Akibat Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974
Perkawinan campuran membawa akibat terhadap status kewarganegaraan suami istri serta keturunannya, terhadap harta kekayaan. Menurut Pasal 2 Stb/1898/158 bahwa seorang perempuan atau istri yang melakukan perkawinan campuran selama perkawinan itu belum putus, maka siperempuan atau istri tuduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya maupun hukum public dan hukum sipil (Saleh,1980,hlm.209; Tjokrowisastro,1985,hlm.209).
Apabila salah satu pihak dalam perkawinan campuran beralih kewarganagaraanya mengikuti pihak lain sehingga terjadi kesamaan warga negara, maka ada dua kemungkinan :
1. Apabila suami istri menjadi warga negara Indonesia maka anak-anak yang dilahirkan adalah menjadi warga negara Indonesia.
2. Apabila suami istri menjadi warga negara asing, maka anak-anakny pun menjadi berkewarganegaraan asing. Namun jika undang-undang kewarganegaraan dari orang tuang menganut ius soli (asas kelahiran) sedangkan anak tadi lahir di Indonesia maka anak tadi menjadi berkewarganagaraan Indonesia (Pasal 7 sub 1, UU No. 62/1958).
D. Syarat-syarat Perkawinan di Luar Negeri
Pasal 56 ayat 1 UU No.1/1974 menyebutkan ;
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini”.
Pasal tersebut mensyaratkan dua hal :
1. Pelangsungan perkawinan harusmengindahkan cara hukum setempat dimana perkawinan itu akan dilangsungkan.
2. Bagi calon suami/istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar undang-undang no.1 tahun 1974.
Selanjutnya Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa:
“Dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”.
Didaftarkan berarti dicatat agar menjadikan peristiwa itu menjadi jelas baik bagi pihak yang bersangkutan maupun masyarakat, dahkan dapat menjadi alat bukti tulis yang autentik.
DAFTAR PUSTAKA
Suhardana, F.X., SH. Hukum Perdata I. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Prof.R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, PT Pradnya Paramita,1999.
Perkawinan, diatur KUHPdt/BW dalam titel IV buku 1 dari Pasal 26 dan seterusnya, serta dalam UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksanaannya.
UU No.1/1974 tentang perkawinan, dalam Pasal 1 memuat pengertian tentang perkawinan ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istrei dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.
Sedangkan ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam KUHPdt/BW tidak ada satu Pasal pun yang memberikan pengertian tentang arti perkawinan itu sendiri. oleh karena itulah, maka untuk memahami arti perkawinan kita melihat pada ilmu pengetahuan / pendapat para sarjana. Ali Afandi, mengatakan bahwa, “ perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud disitu bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai cirri-ciri tertentu.
“Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seoreang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.(Scholten, kutipan Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982, hlm 31.)
KUHPdt/BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPdt/BW, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan/dikesampingkan.
Menurut K. Wantjik Saleh, arti perkawinan adalah “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri”. Lebih lanjut beliau mengatakan ikatan lahir batin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan hubungan formal, sedang ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. namun harus tetap ada, sebab tanpa ikatan batin ikatan lahir akan rapuh. Ikatan lahir batin menjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal.
Dari uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.
II. Hakikat, Asas, Sifat , Syarat, Dasar, dan Tujuan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Menurut UU No.1/1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal ini lah yang membedakan dengan haikat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Apabila kita membaca KUHPdt dapat diketahui bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah antara seorang pria dan seorang wanita). Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan dengan adanya tujuan tesebut mereka menjadi terikat. Persetujuan yang dimaksud disini bukanlah persetujuan yang terdapat dalam buku III KUHPdt/BW, walaupun antara persetujuan dalam perkawinan dan persetujuan umumnya tedapat unsur yang sama yaitu adanya ikatan antara dua belah pihak, tetapi ada perbedaan yaitu dalam bentuk hal dan isi.
Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974 dan juga pada Pasal 27 KUHPdt/BW.
Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).
Adapun jika seorang pria ingin mempunyai lebih dari satu istri sepanjang hukum agamanya mengijinkan dan telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5 UU No.1/1974 yaitu :
a. Adanya perjanjian dari istri/istri-istri, perjanjian dari istri/istri-istri tidak diperlukan ketika sang istri/istri-istri merupakan pihak yang tidak dapat melakukan perjanjian atau jika dalam waktu sekurang kurangnya 2 (dua) tahun tidak ada kabar dari sang istri, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anak mereka.
Sedangkan dari Pasal 27 dan 28 KUHPdt/BW tampaklah bahwa asas perkawinan adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat diantara para calon suami istri melarang adanya poligami. Adanya asas monogami sebenarnya asas yang dianut dalam perkawinan Kristen, sedangkan KUHPdt/BW sendiri lahir di dunia barat yang mayoritasnya Kristen, maka wajarlah jika dalam perkawinan pun dianut asas monogami.
Sifat perkawinan menurut UU No.1/1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan (Pasal 1 UU No.1/1974), maka sifat tersebut adalah logis dan layak, sebab kebahagiaan akan tercapai jika ikatan lahir batin betul-betul didasarkan atas kesepakatan, tidak ada bentuk paksaan dalam bentuk apapun dari siapa pun juga.
Adapun syarat perkawinan tercantum dalam Bab II, Pasal 6 sampai dengan 12 UU No.1/1974, antara lain:
a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
b. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
Ø Bagi yang akan melangsungkan perkawinan dan usianya belum mencapai 21 tahun maka harus mendapat izin dari kedua orang tua, bukan bapak atau ibu ( tidak hanya mendapat izin dari pihak bapak saja atau pihak ibu saja, tetapi kedua belah pihak) (ayat 2 ).
Ø Jika salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya (ayat 3).
Ø Jika kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya (ayat 4).
Ø Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-oreng tesebut dalam ayat (2),(3) dan (4) Pasal ini (ayat 5).
Ø Ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu mulai dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (ayat 6).
c. Usia minimal bagi pria yang ingin melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun sedangkan bagi wanita 16 tahun.
d. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah / keluarga yang mengakibatkan tidak boleh melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dilarang antara dua orang karena:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas, misalnya dalam garis keturunan lurus keatas adalah: seseorang denga ibu/ayahnya, dengan nenek/kakeknya. Dalam garis keturunan lurus kebawah adalah: seseorang dengan anaknya, dengan cucunya atau bahkan dengan cicitnya. (dalam hal garis keturunan lurus keatas atau kebawah yang dimaksud adalah hubungan asli/kandung)
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungsn semenda, yaitu seorang dengan mertua, seorang dengan anak tiri, seorang dengan menantu, dan seorang dengan ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu seorang dengan orang tua susuan, seorang dengan anak susuan, seorang dengan saudara susuan, dan seorang dengan paman/bibi susuan.
5) Berhububugan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain dilarang kawin.
e. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
f. Bagi suami istri yang telah cerai lalu kawinlagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk yang ketiga kalinya.
g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Syarat-syarat tersebut di atas menyangkut pribadi-pribadi yang akan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki undang-undang, yaitu:
1. Syarat materil (inti) terdiridari:
· Syarat materil absolute (mutlak)
Syarat material absolute adalah syarat yang mengenai pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. syarat ini meliputi :
a. Asas monogami (Pasal 27 KUHPdt/BW).
b. Persetujuan antara kedua calon suami istri.
c. Batas usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu: laki-laki 18 tahun, dan perempuan 15 tahun (Pasal 29 KUHPdt/BW).
d. Bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (Pasal 34 KUHPdt/BW).
e. Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (Pasal 35-49 KUHPdt/BW)
· Syarat material relative (nisbi)
Syarat material relative adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. ketentuan tersebut meliputi :
a. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat didalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan (Pasal 30-31 KUHPdt/BW).
b. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan zina (Pasal 32 KUHPdt/BW).
c. Larangan memperbaiki perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPdt/BW).
2. Syarat formal (syarat lahir).
Syarat formal dibagi dalam:
1) Syarat syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan:
a) Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin.
b) Pengumuman tentang maksud untuk kawin(Pasal 50-57 KUHPdt/BW).
2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi sah.
III. Pencegahan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No.1/1974, dalam Pasal 13 sampai dengan 21. Tetapi dari Pasal-Pasal tersebut tidak ada suatu Pasal pun yang mencantumkan pengertian pencegahan perkawinan. pengertian pencegahan perkawinan dapat ditemukan dari pendapat para sarjana.
Yang dimaksud pencegahan perkawinan (menghalang-halangi perkawinan atau stuiten de huwelijk) atau stuting ialah suatu usaha untuk menghindari adanya sebuah perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang ada.( Prawirohamidjojo, dan Safioedin, 1982).
Pasal 13 jo 20 UU No. 1/74 menentukan bahwa perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Siapa-siapa yang dapat melakukan pencegahan, hal itu diatur dalam undang undang dan dari Pasal-Pasalnya dapat disimpulkan bahwa yang berhak melakukan pencegahan ialah selain salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, pencegahan dapat dilakukan oleh bapak/ibu atau keluarga sedarah, wali, pengampu, pejabat yang ditunjuk. Tentu saja untuk dapat melakukan pencegahan haruslah dipenuhi syarat syarat tertentu, dan pengadilan negerilah yang berwenang memutuskan permohonannya. Dalam KUHPdt pejabat yang ditunjuk adalah Jaksa.
Pasal 14 sampai dengan16 UU No.1/1974 mengatur mengenai siapa siapa yang dapat melakukan pencegahan perkawinan. dari ketentuan ketentuan tersebut dapat diketahui orang orang yang dapat mencegah perkawinan.antara alin :
1) Para keluarga dalam keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah seorang calon mempelai.
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai.
3) Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.
4) Wali dari salah seorang calon mempelai.
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai.
6) Pihak p[ihak yang berkepentingan.
7) Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.
8) Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pencegahan.
Sebelum perkawinan dilangsungkan disyaratkan adanya dua tindakan yang harus
dilakukan (Pasal 2 sampai dengan 9 PP 9/1975), yaitu Pemberitahuan dan Pengumuman. Tujuan dari pengumuman ialah agar sebelumnya diketahui oleh umum, dalam hal ini terutama oleh mereka yang mempunyai wewenang mencegah perkawinan, kiranya mereka itu akan meggunakan haknya.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan (Pasal 17 UU No.1/1974). Ketentuan tersebut menuntukan pula adanya kompetensi relative dari pengadilan. Melalui pegawai pencatat perkawinan kemudian pencegahan tersebut diberitahukan kepada para calon mempelai. Jika perkawinan terlanjur dilaksanakan itu pun bisa dibatalkan.
Walaupun pencegahan perkawinan terlanjur diajukan ke pengadilan namun masih dimungkunkan untuk ditarik kembali atau dapat dicabut dengan putusan pengadilan (Pasal 18 UU No.1/1974).
IV. Pembatalan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan 99a KUHPdt/BW serta Pasal 22 sampai 28 UU No.1/1974 dan Peraturan Pemerintah No.9/1975 tentang pelaksanaan UU No.1/1974 Pasal 37-38.
Pasal 22 sampai 28 UU No.1/1974 mengatur mengenai batalnya perkawinan. Tetapi jika dibaca ketentuan-ketentuan tersebut kita tidak akan menjumpai mengenai pengertian tentang batalnya perkawinan, bahkan undang-undang menegaskan bahwa batal disini dalam konteks pengertian dapat dibatalkan (vernietig baar) bukanya batal/batal demi hukum (nietig). Jadi harus didahului dengan permohonan pembatalan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berhak dan disertai dengan alasan-alasan yang dapat dipakai sebagai pengajuan permohonan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 22 UU No.1/1974, pengertian “dapat” itu diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Mengenai siapa saja yang dapat mengajukan permohonan pembatan perkawinan, hal ini diaturkan dalam Pasal 23 sampai dengan 27 UU No.1/1974, yaitu:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas suami atau istri.
2) Suami atau istri.
3) Pejabat yang berwenang.
4) Pejabat yang ditunjuk.
5) Jaksa.
6) Orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut. tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
(Syahrani, 1985, hlm.96)
Pembatalan perkawnan hanya dapat diputuskan pengadilan dan permohonan pembatan itu diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri.
Pasal 28 UU No.1/1974 menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Selanjutnya Pasal 28 ayat 2 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a) Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini berarti bahwa mereka itu tetap berstatus sebagai anak sah, walaupun perkawinan orang tua mereka dibatalkan.
b) Suami istri yang bertindak dengan etiket baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan etiket baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengenai siapa saja yang tidak boleh melakukan pembatalan, UU No.1/1974 tidak mengaturnya, tetapi hal ini diatur dalam Pasal 93 KUHPdt/BW adapun pihak yang dimaksud yaitu:
a) Anggota keluarga dalam garis keturunan kesamping.
b) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan lain.
c) Orang lain yang bukan keluarga selama suami istri masih hidup.
V. Akibat Hukum dari Perkawinan
A. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW
Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya:
1. Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.
3. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
4. Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
5. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
6. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. (Syahrani,1985,hlm.98).
Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW:
1. Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.
2. Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.
3. Suami istri saling mengikatkan diri secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak.
B. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Pasal 35 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
KUHPdt/BW (Pasal 119 sampai dengan 121) berbunyi: jika tidak ada perjanjian kawin maka terjadi persatuan bulat demi hukum, sehingga baik harta bawaan maupun harta yang didapat selama perkawinansemuanya menjadi harta persatuan.
C. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Keturunan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Mengenai keturunan juga diatur dalam UU No.1/1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan 44. UU No.1/1974 mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh UU No.1/1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt/BW. Bagi seorang anak yang tidak sah UU No.1/1974 menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya.
Seorang suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU No.1/1974), jika dibandingkan dengan KUHPdt/BW tidak terdapat perbedaan.
Terhadap keabsahan dari anak, suami dapat manyangkalnya. Hal itu diatur dalam beberapa Pasal dari KUHPdt/BW antara lain Pasal 252, 253, 254, namun dalam hal-hal tertentu suami tidak dimungkinkan menggunakan ingkar tersebut, yaitu dalam hal:
1. Suami sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa istrinya telah mengandung.
2. Pada waktu anak dilahirkan ia ikut hadir dan pada waktu akta dibuat ia ikut menandatangani akta itu.
3. Anak tidak hidup waktu dilahirkan (Pasal 251 KUHPdt/BW).
Untuk membuktikan asal usul anak, dapat dilakukan dengan:
1. Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Jika hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tantang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Anak luar kawin (anak tidak sah) menurut UU No.1/1974 tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dalam KUHPdt/BW hubungan hukum itu ada hanya dengan orang yang mengakuinya saja.
VI. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
A. Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya diatur dalam Bab VIII UU No.1/1974, Pasal 38 sampai dengan 41. Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah kematian, perceraian, dan dapat pula karena putusan pengadilan.
Menurut Pasal 199 KUHPdt/BW perkawinan bubar karena:
1. Kematian.
2. Keadaan tak hadir si suami/istri selama sepuluh tahun, diikuti dengan perkawinan baru suami/istri sesuai dengan ketentuan.
3. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan yang dicatat oleh catatan sipil sesuai dengan ketentuan.
4. Perceraian sesuai dengan ketentuan.
Pasal 39 ayat (2) UU No.1/1974 serta Pasal 19 PP No.9/1975 memuat mengenai alas an-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dan isinya antara kedua Pasal tersebut sama, yaitu :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
B. Akibat Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan adalah karena perceraian.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian (terhadap anak/keturunannya):
a. Ibu/bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai anak-anak pengadilan akan memutuskannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No.1/1974).
Bagi Pegawai Negeri Sipil, maka mengenai perceraian juga diatur dalam Surat Edaran No. 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
VII. Perkawinan Campuran dan Perkawinan di Luar Negeri
A. Pengertian Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974
Menurut Pasal 1 Stb/S 1898 No. 158 perkawinan campuran adalah orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan. dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya perkawinan campuran maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Harus ada perkawinan antara orang-orang yang berada di Indonesia.Tidak menunjukan secara tegas antara siapa-siapa perkawinan itu dilakukan, sehingga timbul kemungkinan :
a. Perkawinan itu dilakukan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing di Indonesia.
b. Perkawinan itu dilakukan antara warga negara asing dengan warga negara asing di Indonesia.
c. Perkawinan itu dilaksanakan antara wqarga negara Indonesia di Indonesia.
2. Tunduk pada hukum yang berlainan. Hal ini berarti bahwa bagi masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan, tunduk pada aturan hukum yang berbeda.
Menurut Pasal 57 UU No.1/1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu pihak berkewarganagaraan Indonesia.
Dari ketentuan Pasal tersebut maka suatu perkawinan dikatakan perkawinan campuran haruslah memenuhi unsur-unsur berikut :
1. Perkawinan itu harus dilangsungkan diwilayah hukum Indonesia.
2. Masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berlainan yang disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
B. Tata Cara Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974
Syarat perkawinan campuran terdapat dalam Pasal 6 Stb/1898/158 yang berbunyi “perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlakubagi suami, kecuali izin dari kedua belah pihak bakal mempelai, yang selalu harus ada”.
Sedangkan syarat-syarat perkawinan campuran menurut UU No.1/1974 tercantum dalam Pasal 59 ayat 2 dan tunduk pada ketentuan Pasal 6 sampai 12 UU No.1/1974 dan ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam Stb/S 1898 No. 158 maupun UU No. 1/1974.
C. Akibat Perkawinan Campuran menurut Stb/S 1898 No. 158 dan Menurut UU No. 1/1974
Perkawinan campuran membawa akibat terhadap status kewarganegaraan suami istri serta keturunannya, terhadap harta kekayaan. Menurut Pasal 2 Stb/1898/158 bahwa seorang perempuan atau istri yang melakukan perkawinan campuran selama perkawinan itu belum putus, maka siperempuan atau istri tuduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya maupun hukum public dan hukum sipil (Saleh,1980,hlm.209; Tjokrowisastro,1985,hlm.209).
Apabila salah satu pihak dalam perkawinan campuran beralih kewarganagaraanya mengikuti pihak lain sehingga terjadi kesamaan warga negara, maka ada dua kemungkinan :
1. Apabila suami istri menjadi warga negara Indonesia maka anak-anak yang dilahirkan adalah menjadi warga negara Indonesia.
2. Apabila suami istri menjadi warga negara asing, maka anak-anakny pun menjadi berkewarganegaraan asing. Namun jika undang-undang kewarganegaraan dari orang tuang menganut ius soli (asas kelahiran) sedangkan anak tadi lahir di Indonesia maka anak tadi menjadi berkewarganagaraan Indonesia (Pasal 7 sub 1, UU No. 62/1958).
D. Syarat-syarat Perkawinan di Luar Negeri
Pasal 56 ayat 1 UU No.1/1974 menyebutkan ;
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini”.
Pasal tersebut mensyaratkan dua hal :
1. Pelangsungan perkawinan harusmengindahkan cara hukum setempat dimana perkawinan itu akan dilangsungkan.
2. Bagi calon suami/istri yang warga negara Indonesia tidak melanggar undang-undang no.1 tahun 1974.
Selanjutnya Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa:
“Dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”.
Didaftarkan berarti dicatat agar menjadikan peristiwa itu menjadi jelas baik bagi pihak yang bersangkutan maupun masyarakat, dahkan dapat menjadi alat bukti tulis yang autentik.
DAFTAR PUSTAKA
Suhardana, F.X., SH. Hukum Perdata I. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Prof.R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, PT Pradnya Paramita,1999.
_____
Sumber : Belajar Hukum