Siarlingkungan.com // Pekanbaru - Seorang pemuda asal Sumut, Dedi Sahrul (19) ditemukan tewas di kebun pisang di Tampan, Pekanbaru-Riau, Minggu (18/10/15)
Jasad Korban saat ditemukan oleh Warga sudah membusuk di kebun pisang. Jenazah pria malang yang diduga korban pembunuhan tersebut diketahui bernama Dedi Sahrul (19), warga asal Penyabungan Simahambat, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Menurut Kapolsek Tampan, AKP Ari S Wibowo, jasad korban sendiri pertama kali ditemukan oleh Ernawati (50), seorang warga yang saat itu hendak mengambil sayur di kebun belakang rumahnya yang berdekatan dengan TKP. Ketika sampai di kebun itulah, saksi melihat sesosok mayat manusia dalam posisi tertutup daun pisang. Kaget bercampur takut dengan apa yang dilihatnya, wanita yang juga merupakan ibu rumah tangga tersebut kemudian berlari pulang ke rumah memanggil dan memberitahukan kepada suaminya.
"Saksi bersama suaminya sempat kembali lagi untuk memastikan bahwa ada mayat manusia ditutup daun pisang di TKP. Begitu daun pisang dibuka, ternyata temuan tersebut memang benar. Keduanya selanjutnya memberitahukan kejadian itu ke kita," kata Ari
Menurut Kapolsek Tampan, AKP Ari S Wibowo, jasad korban sendiri pertama kali ditemukan oleh Ernawati (50), seorang warga yang saat itu hendak mengambil sayur di kebun belakang rumahnya yang berdekatan dengan TKP. Ketika sampai di kebun itulah, saksi melihat sesosok mayat manusia dalam posisi tertutup daun pisang. Kaget bercampur takut dengan apa yang dilihatnya, wanita yang juga merupakan ibu rumah tangga tersebut kemudian berlari pulang ke rumah memanggil dan memberitahukan kepada suaminya.
"Saksi bersama suaminya sempat kembali lagi untuk memastikan bahwa ada mayat manusia ditutup daun pisang di TKP. Begitu daun pisang dibuka, ternyata temuan tersebut memang benar. Keduanya selanjutnya memberitahukan kejadian itu ke kita," kata Ari
Sementara itu, identitas korban sendiri berhasil diketahui berkat informasi dan keterangan dari teman dekat korban, Indra Ratu Pejel (21). Kepada polisi, Indra mengatakan sebelum korban ditemukan terbujur kaku, korban terakhir kali berada di rumahnya pada Jum'at (16/10/15) malam lalu. Namun ketika ia pergi bekerja dan baru pulang ke rumah pada pagi harinya, ia sudah tak melihat keberadaan temannya tersebut.
"Indra sempat pula mencari-cari korban, tapi tetap tak ditemukan hingga akhirnya korban ternyata ditemukan sudah tidak bernyawa lagi di kebun pisang. Kita sudah periksa tiga orang saksi atas peristiwa ini, kita masih menyelidikinya," tutupnya.
(gas/rtc)
_____
Editor : Kelvin
Editor : Kelvin
Mari Mewujudkan Hidup Sejahtera Melalui Iman
Kata sejahtera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai rasa aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan). Bagi sebagian masyarakat, kata sejahtera identik dengan kecukupan materi, sehingga jiwa menjadi tentram karena segala kebutuhan hidup telah terpenuhi. Bahkan orang tua pun senang apabila melihat anak dan menantunya hidup sejahtera, yakni terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Cukup sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan penunjang lainnya.
Ferlianus Gulö, S.Kom, S.H |
Dalam pandangan Katolik, Hidup sejahtera adalah hidup dalam kelimpahan. Bukan pertama-tama kelimpahan dalam hal barang-barang duniawi, tetapi bagaimana menempatkan dan mengarahkan barang-barang duniawi itu menjadi sarana hidup untuk menuju kepada yang ilahi. Allah menciptakan barang-barang duniawi berupa alam semesta dan segala isinya. Allah memberi tugas kepada manusia, “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kejadian 1,28). Manusia dipanggil untuk menaklukkan bumi dansegala isinya melalui kerjanya. Usaha manusia melalui kerja untuk bertemu dengan alam material, seperti dirinya sendiri, berasal dari Allah pencipta. Karena itu dalam mengerjakan alam ciptaan itu manusia ditentukan Allah sebagai penjaga yang bijaksana dan adil (bdk. Redemptor Hominis,art.15).
Kalau dikaitkan dengan hubungan suami-isteri dalam rumah tangga, nilai kejujuran tersebut bisa dimaknai dengan semakin menghayati kesucian ikatan pernikahan yang telah diikrarkan berdua, benar-benar menjaganya, tidak berkhianat atau melakukan perbuatan yang membuat pasangannya curiga dan tidak nyaman dan bertanya-tanya. Kemudian suami-isteri jujur dan transparan dalam pendapatan dan penghasilan yang diperoleh secara halal, bukan dari hasil korupsi, merampok, dan lain-lain, kemudian bermusyawarah dalam penggunaannya untuk dibelanjakan di jalan Allah sehingga lahirlah generasi yang shaleh yang kelak akan mendoakan orang tuanya agar masuk surga. Jika dikaitkan dengan dengan berbagai aspek, bagaimana cara mewujudkan hidup sejahtera? Tentu kembali kepada kita masing-masing.
Dikutip dari warta gereja Keuskupan tanjung karang, Manusia adalah tuan atas kegiatan kerjanya. Kerja manusia sudah menghasilkan perubahan mendasar yang mempengaruhi nilai hidup manusia sendiri; dari satu pihak manusia berhadapan dengan tantangan yang dramatis tentang hasil kerja, yaitu pertumbuhan penduduk yang menantang (Menurut data BPS tahun 2012, jumlah penduduk tahun 2011 mencapai 237.641.326 jiwa dengan angka kemiskinan 29,89 juta jiwa) yang tidak dibarengi dengan tersedianya lapangan kerja yang memadai, fasilitas hidup yang diusahakan manusia diperkotaan menghasilkan arus urbanisasi sehingga melonjaklah jumlah kaum buruh yang kurang terampil, kurangnya tenaga kerja tani yang masih muda; dari lain pihak, manusia sadar bahwa manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam yang dinyatakan dalam kerja demi mengabdi tujuan hidup manusia yang benar. Dan masih banyak lagi kenyataan yang menunjukkan bahwa pada saat ini manusia menghadapi tantangan yang cukup besar untuk tetap menjadi tuan atas pekerjaannya.
Demikian juga tantangan untuk merubah pandangan mengenai pekerjaan, yang dilakukan oleh ibu rumah tangga. Seorang wanita memiliki tugas yang sangat berat dalam mencapai suksesnya suatu rumah tangga. Mulai dari mengurus dan melayani suami, menyiapkan makanan, pakaian, mengandung,melahirkan, mendidik anak dan seterusnya. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan, kegigihan, dan kesabaran tingkat tinggi, tidak jarang seorang istriatau ibu harus melakukan atau mengorbankan keinginan-keinginan pribadi demi rumah tangga. Hal ini kerap kali belum dipandang atau dihargai sebagaimana mestinya suatu pekerjaan.
Oleh karena itu, Kerja tidak saja mengandaikan kenyataan yang bercorak material, dapat dihitung, dapat dipakai habis dan lain sebagainya.Kerja mengandaikan bahwa manusia melestarikan dan membangkitkan nilai-nilai manusiawi yang diperlukan demi perkembangan kepribadian hidup manusia. Dengan bekerja keras dan penuh tanggung jawab manusia dapat membaharui diri sebagai penerus karya penciptaan Allah kepada kekudusan hidup manusia.
Sejahtera dalam pandangan Islam bukanlah orang yang memiliki ekonomi mapan dan kekayaan yang melimpah sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi kemampuan seseorang yang dalam hal ini adalah suami atau istri untuk dapat menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Tidak hanya sekadar kata cinta, namun menumbuhkembangkan rasa ikhlas di dalam hatinya. Orang yang telah menanamkan jiwa ikhlas, sesibuk apa pun kondisinya melayani pembeli namun ketika azan berkumandang, dia lebih memilih panggilan Ilahi yang mengajaknya shalat berjamaah.
Misalnya di bulan Ramadhan suami akan mengurungkan niatnya untuk duduk-duduk di warung kopi selepas shalat Tarawih. Kalau memang itu dinilainya menghabiskan waktu dan kurang bermanfaat, karena dia meyakini bahwa minuman dan masakan istrinya jauh lebih nikmat, serta menumbuhkan kehangatan dan rasa cinta. Seorang istri akan mengorbankan waktunya demi suami dan anak-anak, sehingga memendam hasratnya untuk duduk-duduk di depan TV tetapi mempersiapkan menu buka puasa, makan sahur untuk suaminya walaupun dia letih dan kurang tidur. Meningkatkan kapasitas diri dengan mengaji, membaca, sehingga menjadi isteri yang berkualitas bagi suaminya dan pendidik yang bermutu bagi anak-anaknya.
Makna dan Nilai Kerja Manusia
Saat ini masalah kemiskinan manusiawi cukup menonjol dan masih dirasakan oleh banyak orang. Dari satu pihak bisa diamati bahwa belum semua jenis pekerjaan menguntungkan semua orang, dan dari lain pihak disadari bahwa sikap manusia terhadap kerja cukup berbeda. Namun demikian, kerja harus dipandang dan diperlakukan sebagai kunci seluruh persoalan sosial (bdk. Laborem Exercens art. 3). Karena itu, makna dan nilai kerja pertama-tama harus diarahkan sebagai suatu tindakan yang membebaskan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Unsur non ekonomis dalam kerja manusia tidak boleh dimatikan atau diabaikan oleh unsur yang semata-mata bercorak ekonomis, antara lain mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya, konsumsi sampai habis, pengisapan dan penindasan manusia lain.
Dalam setiap pekerjaan, manusia harus mendapat kesempatan untuk mengungkapkan kepribadiannya; hasil kerjanya hendaknya memampukan manusia untuk mengembangkan harga diri. Dengan bekerja manusia mengungkapkan dan menyempurnakan diri. Sekaligus kerja mempunyai dimensi sosial karena hubungannya dengan keluarga maupun dengan kesejahteraan sosial (Cetisimus Anus art.6). kerja manusia hendaknya memperlihatkan keseimbangan dalam hal partisipasi baik terhadap hasil kerja maupun dalam turut merasakan hasil kerjanya (Laborem Exercens art.19). Oleh karena itu, dengan kerja, baik kerja di kantoran, buruh pabrik. Penjual rokok di pinggir jalan, pumulung, petani, nelayan sampai kerja yang dilakukan oleh ibu rumah tangga, kerja merupakan ungkapan hakiki dari kepenuhan pribadi manusia yang adalah Gambar dan Citra Allah. Landasan untuk menetapkan makna dan nilai kerja manusia bukanlah pertama-tama corak kerja yang sedang dijalankan, melainkan kenyataan bahwa pelakunya adalah pribadi manusia (Laborem Exercens art.6).
Kenyataannya, masih banyak terjadi bahwa kerja manusia lebih diukur oleh pengalaman yang coraknya terlalu materialistik. Manusia kurang mengembangkan makna dan nilai kerja secara lebih mendalam. Banyak pekerjaan yang kurang mengutamakan nilai manusia di dalamnya, selain nilai untung. Seringkali yang dipentingkan bahwa manusia dapat melaksanakan sesuatu pekerjaan tanpa melihat apakah kerjanya menjadikannya semakin seorang manusia menurut gambar pencipta-Nya atau tidak. Dengan demikian kerja manusia yang bernilai dan bermartabat itu dirusak dengan cara melakukannya dengan korupsi, pemerasan, penipuan, pemborosan waktu, suap, pemerasan dan lain sebagainya. Demikian juga karena pengaruh polotik dan ideology, kerja yang dilakukan ibu rumah tangga telah ter-stigmatisasi sebagai pekerjaan wanita yang biasa saja, atau malah terkesan sebagai bentuk kemunduran sosial budaya. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga belum dipandang sebagai kerjayang bermakna dan bernilai.
Spiritualitas Kerja
Dalam Kitab Kejadian (Kristen), Gereja menemukan sumber keyakinan bahwa kerja merupakan dimensi mendasar hidup manusia di dunia (Laborem Exercens art.4). Allah mengaruniakan bumi kepada seluruh umat manusia supaya bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya tanpa mengecualika atau mengutamakan siapa pun juga. Untuk mengusahakannya maka manusia harus bekerja.Oleh karena itu, kerja yang dibuat oleh manusia hendaknya selalu berpegang pada semangat dan perintah Kristus (bdk. Lukas 5,5-6).
Orang beriman kristiani yang melaksanakan pekerjaannya berdasarkan prinsip iman kristiani mewujudkan kemuridan Kristus dalam hidupnya. Kerja dihidupi dengan penuh tanggung jawab, disiplin, kerja keras, inisiatif dan kreatif dalam kerja, jujur dalam melaksanakan kerjanya, mengembangkan sikap yang baik dalam kerjanya, kecermatan dalam pekerjaan dan melayani orang lain melalui kerjanya.
Setiap orang senantiasa bekerja dan mengalami kesusahan serta jerih payah dalam kerjanya. Kenyataan kerja yang dialami oleh orang beriman kristiani tidak berbeda dengan pengalaman orang lain. Namun orang kristiani mempunyai contoh pengalaman yang memberikan motivasi kerja, yaitu hidup Kristus yang berpuncak pada Salib dan Kebangkitan-Nya. Kabar dan misi Kristus inilah yang menjadi unsur terdalam spiritualitas kerja orang kristiani. Arah dan arti semua kerja manusia kristiani hendaknya ditempatkan pada Cahaya Salib dan Kebangkitan Kristus. Dengan menanggung susah payah yang dialami dalam bekerja di dunia ini orang kristiani bersatu dengan Kristus tersalib dan dengan cara tertentu bekerjasama dengan Kristus untuk penebusan manusia. Orang-orang Kristen dipanggil untuk bekerja tidak saja agar menyediakan rezeki bagi diri dendiri, tetapi juga dipanggil untuk menerima sesamanya yang lebih miskin, kepada siapa Tuhan telah menerintahkan mereka untuk meberi makan, minum, pakaian,tumpangan, kepedulian serta kemitraan (bdk. Mat 25:35-36). Setiap pekerja, demikian pendapat Santo Ambrosius, adalah tangan Kristus yang terus menciptakan dan berbuat baik (Kompendium ASG art.265).
Bekerja keras
Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk hidup miskin. Tetapi sebaliknya, menyuruh umatnya untuk selalu bekerja keras dan cerdas, berusaha dengan ulet dan tekun untuk mendapatkan rezeki yang halal sebanyak-banyaknya, sehingga mampu mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan lain-lain, yang merupakan pilar-pilar agama. Bahkan beliau sendiri tidak suka kepada umatnya yang mengemis sebagaimana dipahami dari sabdanya: “Bahwa tangan di atas lebih baik dan lebih mulia dari tangan di bawah.” Maka perlu dijiwai dan dihayati betul bahwa memberi lebih baik dan lebih terhormat ketimbang menadahkan tangan untuk meminta-minta.
Kemudian perlu disadari bahwa cinta tidak dapat direkayasa, tidak juga dapat dibeli dengan harta. Ia hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur dan kesetiaan kepada pasangan. Mari hiasi hidup ini dengan amal ibadah, anggaplah kali ini hidup terakhir bagi kita sehingga memotivasi diri untuk beribadah secara maksimal. Bukan memfokuskan diri mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, contohnya mengumpulkan materi hanya untuk keperluan lebaran, imlek atau tahun baru seperti pakaian baru, aneka kue, minuman warna-warni dan sebagainya.
Kemudian perlu disadari bahwa cinta tidak dapat direkayasa, tidak juga dapat dibeli dengan harta. Ia hanya dapat diraih dengan bantuan Allah melalui budi pekerti yang luhur dan kesetiaan kepada pasangan. Mari hiasi hidup ini dengan amal ibadah, anggaplah kali ini hidup terakhir bagi kita sehingga memotivasi diri untuk beribadah secara maksimal. Bukan memfokuskan diri mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, contohnya mengumpulkan materi hanya untuk keperluan lebaran, imlek atau tahun baru seperti pakaian baru, aneka kue, minuman warna-warni dan sebagainya.
Bersikap ikhlas
Sebagaimana contoh sebelumnya tentang hubungan suami-istri. Karena memiliki jiwa ikhlas, dan menyadari betul bahwa hubungan suami-istri bukanlah seperti hubungan bisnis, maka masing-masing pihak selalu berusaha meringankan beban pasangannya dengan penuh rasa ikhlas, seorang istri misalnya, walau mencari nafkah adalah tugas utama suami. Tetapi istri dengan tulus membantu dan meringankan beban suami bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, walau istri bertanggung jawab menyangkut rumah tangga, kebersihan, penyiapan makanan, dan mengasuh anak, tetapi bukan berarti suami membiarkannya sendiri dengan bersikap cuek, tidak peduli dan bersikap masa bodoh.
Pastoral Gereja di Bidang Kerja
Gereja memandang sebagai tugasnya menyampaikan ajarannya tentang kerja dari sudut pandangan nilai manusiawinya maupun tata susila yang mencakupnya, dan menganggap itu salah satu kewajiban penting dalam pengabdiannya kepada amanat Injil secara keseluruhan (Laborem Exercens art.24).oleh karena itu, panggilan dan tugas Gereja dalam mengarahkan dan membimbing umat untuk semakin menghormati dan menghargai kerja, hendaknya terarah pada hal-hal sebagai berikut:
1. Dasar nilai kerja adalah manusia sendiri
Nilai kerja manusia tidak terutama diletakkan pada jenispekerjaan, tetapi pada arah kemungkinan pengembangan hidup demi kesejahteraan manusia sebagai seorang pribadi, ciptaan Tuhan. Nilai luhur pekerjaan manusia tertumpu pada manusia sendiri yang dipanggil untuk menjadi sempurna seperti Allah Bapa sempurna adanya (bdk. Mat 5:48).
2. Spiritualitaskerja manusia
Mengajak umat kristiani untuk berani merubah sikap dan penilaian terhadap kerja, agar sungguh-sungguh menerjemahkan spiritualitas kerja kristiani dalam pelaksanaan kerja sehari-hari. Karena itu, disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab dengan semangat kerja keras perlu dimantapkan dalam setiap jenis pekerjaan yang dipercayakan pada orang-orang beriman kristiani, apa pun jenis pekerjaannya.
3. Spiritualitaskerja manusia
Kerja sebagai sarana untuk membangun diri manusia seutuhnya. Karena itu, salah satu yang mendukung kenyataan ini adalah pemberian upah yang adil, agar para pekerja mampu mengembangkan kemandiriannya baik dalam pemenuhan kebutuhan primer maupun dalam pemenuhan kebutuhan sosialnya. Paus Benediktus dalam ensiklik Caritas in Veritate (art 25) menegaskan hal ini sekaligus meneguhkan apa yang diajarkan Konsili Vatikan ke II: “Saya ingin mengingatkan semua orang, terutama para pemerintah yang terkait dalam hal meningkatkan aset-aset ekonomis dan sosial,bahwa modal utama yang harus dijaga dan dihargai adalah manusia, diri manusiadi dalam martabatnya: “Manusia adalah sumber, fokus dan tujuan dari semua kehidupan ekonomi dan sosial.” [GS, art 63]
4. Penghargaan atas kerja manusia
Kerjamanusia bukan dihargai berdasarkan corak atau bentuk pekerjaan yang sedang dilakukannya, tetapi bagaimana manusia menempatkan kerja sebagai sarana pemenuhan pribadi sebagai Gambar dan Rupa Allah.
Pandangan Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Ketua Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. dikutip dari Serambi mengatakan, yang dianggap sejahtera adalah menyadari bahwa Allah itu benar-benar ada, Maha Melihat, pertolongan-Nya itu dekat dan benar-benar siksa-Nya itu berat. Mereka tidak mudah mengeluh dan putus asa dengan keadaan yang serba kekurangan, atau sakit yang datang menguji, tetapi dapat selalu bersyukur, sehingga terbentuk benteng iman yang kuat. Tidak menginginkan perceraian hanya karena persoalan materi dan sebagainya, tetapi wajahnya selalu berseri, dan besikap sangat santun, lemah lembut, hangat, akrab, selalu tersenyum, tertawa kepada pasangannya. Inilah suami dan istri yang ketika di rumah memberikan keteduhan, dan ketika pergi menyisakan rindu dan sedih di hati.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa manusia harus bekerja untuk hidup. Kerja mewakili satumatra hakiki dari keberadaan manusia sebagai bentuk dan wujud keterlibatan. Ukuran sejahtera bukanlah terletak pada materi, tetapi terletak pada kualitas iman dan kekayaan hati yang meyakini akan kebesaran Allah sehingga jauh dari sifat dengki, iri hati, fitnah, membebaskan diri dari kefanatikan dan kebencian dan lain-lain. Kefanatikan menyebabkan seseorang terkungkung dalam pemikirannya, sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih dan menggunakan nuraninya. Pandangannya terhadang oleh kebesaran egonya. Itulah kebodohan batin namanya. Oleh karena itu, marilah mengucapsyukur dalam segala hal, bergembiralah dan berdoa sebab Tuhan tetap menyediakan yang terbaik untuk kita. Ia tidak akan pernah membiarkan kita jalan sendirian. Musibah dan derita hanyalah supaya kita menjadi lebih kuat dan bijaksana. Ia tetap merancang yang baik bagi kita. Bersukur dalam segala hal adalah kunci pertama hidup sehat dan sejahtera.
Mewujudkan Hidup Sejahtera Melalui Iman.
Oleh : Ferlianus Gulö