Sumber diketahui adanya suatu Tindak Pidana bisa diketahui melalui: Laporan, atau Pengaduan, atau tertangkap tangan.
Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak/kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Berbeda dengan pengaduan, pemberitahuan laporan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana yang diberitahukan, sehingga laporan bisa dilakukan oleh semua orang yang mengalami, melihat dan mendengar suatu peristiwa pidana, dan tidak dapat dicabut kembali oleh si pelapor. Walaupun jika pada akhirnya terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor sebelum tahap persidangan, penegak hukum tetap bisa meneruskan pemeriksaan hingga persidangan.
Adapun pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan Tindak Pidana (“TP”) aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP). Pengaduan yang bersifat khusus, hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan, apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.
Tertangkap Tangan, menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP, adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan TP atau tengah melakukan TP dipergoki oleh orang lain, atau dengan segera sesudah beberapa saat TP dilakukan.
Mengenai pertanyaan tentang apakah ada aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu untuk menindaklanjuti laporan tersebut, maka jawabannya adalah tidak ada. Akan tetapi, terdapat Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI (“Perkap No. 12 Tahun 2009”), yang mengatur mengenai batas waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara, sebagai berikut:
1. Pertama kali terkait batas waktu menyerahkan Laporan yang dibuat di Sentra Pelayanan Kepolisian, yakni.
Pasal 11
(1) Laporan Polisi yang dibuat di SPK WAJIB segera diserahkan dan harus sudah diterima oleh Pejabat Reserse yang berwenang untuk mendistribusikan laporan paling lambat 1 (satu) hari setelah Laporan Polisi dibuat.
(2)Laporan Polisi yang telah diterima oleh pejabat reserse yang berwenang
(3)Laporan Polisi sebagaimana dimaksud, selanjutnya HARUS sudah disalurkan keapda penyidik yang ditunjuk untuk melaksanakan penyidikan perkara paling lambat 3 (tiga) haris sejak Laporan Polisi dibuat.
Pasal 18: Terhadap perkara yang merupakan sengketa antara pihak yang saling melapor kepada kantor polisi yang berbeda, penanganan perkaranya dilaksanakan oleh kesatuan yang lebih tinggi atau kesatuan yang dinilai paling tepat dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.
2. Proses berikutnya setelah laporan adalah kegiatan penyelidikan dan batas waktu melaporkan hasil penyelidikan, yang diatur dalam Pasal 26 Perkap No. 12 Tahun 2009, sebagai berikut:
(1) Penyelidik yang melakukan kegiatan penyelidikan wajib melaporkan hasil penyelidikan secara lisan atau tertulis kepada atasan yang memberi perintah pada kesempatan pertama.
(2) Hasil penyelidikan secara tertulis dilaporkan dalam bentuk LHP paling lambat 2(dua) hari setelah berakhirnya masa penyelidikan kepada pejabat yang memberikan perintah.
3. Proses setelah laporan hasil penyelidikan adalah melakukan tindakan penyidikan. Pasal 33 dan Pasal 34 Perkap No. 12 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Setiap tindakan penyidikan wajib dilengkapi surat perintah Penyidikan. Penyidik yang telah mulai melakukan tindakan penyidikan wajib membuat SPDP.”
Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak/kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP). Berbeda dengan pengaduan, pemberitahuan laporan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana yang diberitahukan, sehingga laporan bisa dilakukan oleh semua orang yang mengalami, melihat dan mendengar suatu peristiwa pidana, dan tidak dapat dicabut kembali oleh si pelapor. Walaupun jika pada akhirnya terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor sebelum tahap persidangan, penegak hukum tetap bisa meneruskan pemeriksaan hingga persidangan.
Adapun pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan Tindak Pidana (“TP”) aduan yang merugikannya (Pasal 1 butir 25 KUHAP). Pengaduan yang bersifat khusus, hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan, apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi.
Tertangkap Tangan, menurut Pasal 1 angka 19 KUHAP, adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan TP atau tengah melakukan TP dipergoki oleh orang lain, atau dengan segera sesudah beberapa saat TP dilakukan.
Mengenai pertanyaan tentang apakah ada aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu untuk menindaklanjuti laporan tersebut, maka jawabannya adalah tidak ada. Akan tetapi, terdapat Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI (“Perkap No. 12 Tahun 2009”), yang mengatur mengenai batas waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara, sebagai berikut:
1. Pertama kali terkait batas waktu menyerahkan Laporan yang dibuat di Sentra Pelayanan Kepolisian, yakni.
Pasal 11
(1) Laporan Polisi yang dibuat di SPK WAJIB segera diserahkan dan harus sudah diterima oleh Pejabat Reserse yang berwenang untuk mendistribusikan laporan paling lambat 1 (satu) hari setelah Laporan Polisi dibuat.
(2)Laporan Polisi yang telah diterima oleh pejabat reserse yang berwenang
(3)Laporan Polisi sebagaimana dimaksud, selanjutnya HARUS sudah disalurkan keapda penyidik yang ditunjuk untuk melaksanakan penyidikan perkara paling lambat 3 (tiga) haris sejak Laporan Polisi dibuat.
Pasal 18: Terhadap perkara yang merupakan sengketa antara pihak yang saling melapor kepada kantor polisi yang berbeda, penanganan perkaranya dilaksanakan oleh kesatuan yang lebih tinggi atau kesatuan yang dinilai paling tepat dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.
2. Proses berikutnya setelah laporan adalah kegiatan penyelidikan dan batas waktu melaporkan hasil penyelidikan, yang diatur dalam Pasal 26 Perkap No. 12 Tahun 2009, sebagai berikut:
(1) Penyelidik yang melakukan kegiatan penyelidikan wajib melaporkan hasil penyelidikan secara lisan atau tertulis kepada atasan yang memberi perintah pada kesempatan pertama.
(2) Hasil penyelidikan secara tertulis dilaporkan dalam bentuk LHP paling lambat 2(dua) hari setelah berakhirnya masa penyelidikan kepada pejabat yang memberikan perintah.
3. Proses setelah laporan hasil penyelidikan adalah melakukan tindakan penyidikan. Pasal 33 dan Pasal 34 Perkap No. 12 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Setiap tindakan penyidikan wajib dilengkapi surat perintah Penyidikan. Penyidik yang telah mulai melakukan tindakan penyidikan wajib membuat SPDP.”
4. Perkap No. 12 Tahun 2009 selanjutnya mengatur mengenai batas waktu penyelenggaraan penyidikan sebagai berikut:
Pasal 31
(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi:
a. 120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit.
b. 90 hari untuk penyidikan perkara sulit.
c. 60 hari untuk penyidikan perkara sedang.
d. 30 hari untuk penyidikan perkara mudah.
(3) Dalam menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.
(4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
Pasal 32:
(1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui pengawas penyidik.
5. Dalam hal kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, maka Pelapor atau saksi dapat mengajukan surat pengaduan atas hal tersebut kepada atasan Penyelidik atau Penyidik atau badan pengawas penyidikan, agar dilakukan koreksi atau pengarahan oleh atasan penyelidik/penyidik yang bersangkutan.
Dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan. Menurut Pasal 74 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke kepolisian adalah:
(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi:
a. 120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit.
b. 90 hari untuk penyidikan perkara sulit.
c. 60 hari untuk penyidikan perkara sedang.
d. 30 hari untuk penyidikan perkara mudah.
(3) Dalam menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.
(4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.
Pasal 32:
(1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui pengawas penyidik.
5. Dalam hal kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, maka Pelapor atau saksi dapat mengajukan surat pengaduan atas hal tersebut kepada atasan Penyelidik atau Penyidik atau badan pengawas penyidikan, agar dilakukan koreksi atau pengarahan oleh atasan penyelidik/penyidik yang bersangkutan.
Dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan. Menurut Pasal 74 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke kepolisian adalah:
- Enam (6) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia;
- Sembilan (9) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
- Peraturan Kepala Kepolisian RI No.: 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan perkara Pidana di Lingkungan Kepolisisan Negara Republik Indonesia
Semoga Bermanfaat
[ Sumber : Bangkilhi ]
A. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
B. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
B. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.
Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)
b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti)
d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254).
Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
- Merupakan objek materiil.
- Berbicara untuk diri sendiri.
- Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya.
- Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :
Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah :
- Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
- Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana.
- Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.
- Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana.
- Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara.
- Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana.
Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
- Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
- Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
- Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
Dasar hukum:
- Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44).
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
_____
[ Sumber : Bangkilhi ]
Salah satu ketentuan dalam sistem Hukum Acara Pidana di negara-negara modern sekarang ini, termasuk juga Hukum Acara Pidana di Indonesia, adalah bahwa untuk menghukum seseorang haruslah didasarkan pada adanya alat-alat bukti. Berdasarkan alat-alat bukti tersebut, Hakim sebagai pemutus perkara pidana dapat menyimpulkan tentang kesalahan terdakwa dan menjatuhkan hukuman (pidana) terhadapnya.
Hukum Acara Pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia, dihimpun dalam suatu undang-undang yang diundangkan di tahun 1981, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan disingkat: KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal tersebut telah ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu:
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.
Hukum Acara Pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia, dihimpun dalam suatu undang-undang yang diundangkan di tahun 1981, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan disingkat: KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal tersebut telah ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu:
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.
Sebagai alat-alat bukti yang sah, menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dalam KUHAP, selain istilah alat bukti, juga dikenal istilah barang bukti. Dari daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang bukti tidak disebutkan sebagai termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah. Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.
Sehubungan dengan ini, dalam KUHAP juga sudah ditentukan hal-hal atau pokok-pokok apa yang harus dimuat dalam suatu putusan yang berisi pemindanaan. Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai:
- fakta dan keadaan, beserta,
- alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang, yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
Sehubungan dengan ini, dalam KUHAP juga sudah ditentukan hal-hal atau pokok-pokok apa yang harus dimuat dalam suatu putusan yang berisi pemindanaan. Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai:
- fakta dan keadaan, beserta,
- alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang, yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah kata-kata “alat pembuktian”. Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”. Dari sini dapat muncul pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan kedudukan “barang bukti” sehubungan dengan putusan Hakim, khususnya menyangkut penggunaan istilah “alat pembuktian” dalam rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Pertanyaan lain yang berkaitan dengan ini adalah berkenaan dengan hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Jika suatu barang bukti bukan termasuk kategori alat bukti, bagaimana hubungan antara kedua barang bukti dengan alat bukti tersebut.
Sebagai ilustrasi pentingnya perhatian terhadap aspek kekuatan dan kelemahan barang bukti, dapat diungkapkan suatu peristiwa di zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Peristiwa yang dimaksud adalah sejarah Ken Arok, yang memesan pembuatan keris kepada Empu Gandring dan membunuh Empu ini. Keris ini, oleh Ken Arok dipinjamkan kepada Kebo Ijo yang dengan bangga menunjukkan keris kepada orang-orang lain. Pada suatu waktu, Ken Arok secara diam-diam mengambil keris itu dan membunuh Tunggul Ametung, Bupati Tumapel, sedangkan keris ditinggalkan di tempat peristiwa. Orang-orang bersaksi bahwa keris itu milik Kebo Ijo sehingga akhirnya Kebo Ijo dihukum mati. Ken Arok menjadi Bupati Tumapel dan kemudian mendirikan kerajaan Singasari.
Dalam peristiwa sejarah ini, barang bukti (keris) menjadi satu-satunya bukti. Orang-orang memberikan kesaksian, tetapi kesaksian itu bukan mengenai peristiwa pembunuhan itu sendiri, melainkan mengenai kepemilikan atas keris.
Peristiwa keris di atas menunjukkan kelemahan barang bukti apabila hendak digunakan sebagai satu-satunya alat bukti. Tetapi peristiwa dalam sejarah yang dikemukakan di atas, sebenarnya merupakan kasus pengecualian. Pada umumnya, barang bukti merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan dalam perkara pidana.
Barang-barang bukti seperti narkotika/psikotropika yang digunakan atau diperjual belikan, senjata api dan senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban, merupakan bukti penting tentang kesalahan terdakwa.
1. Bagaimana kedudukan barang bukti dalam sistem pembuktian menurut KUHAP?
2. Bagaimana hubungan antara barang bukti dan alat bukti dalam KUHAP?
Hukum normatif yang dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan karya ilmiah hukum. Bahan hukum tersier, terdiri dari; kamus hukum. Bahan hukum yang diperoleh, diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisis secara kualitatif.
A. Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian
Terkait erat dengan masalah ini adalah mengenai kedudukan dari barang bukti dalam suatu putusan pengadilan pidana.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, KUHAP tidak memberikan definisi tentang apakah yang dimaksudkan dengan istilah “barang bukti”, tetapi dalam Pasal 1 KUHAP tidak diberikan definisi tentang istilah tersebut.
Tulisan-tulisan mengenai hukum pidana, istilah “barang bukti” ini sering juga disebut dalam bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti. Dalam suatu kamus elektronik, corpus delicti dijelaskan sebagai “facts of crime: the body of facts that show that a crime has been committed, including physical evidence such as a corpse” (fakta-fakta kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus, yaitu “1. A human or animal body. 2. A collection of writings, generally on one subject or by one author. 3. The main part or mass of anything” (1. Tubuh manusia atau hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok atau oleh seorang penulis).
1. Bagaimana kedudukan barang bukti dalam sistem pembuktian menurut KUHAP?
2. Bagaimana hubungan antara barang bukti dan alat bukti dalam KUHAP?
Hukum normatif yang dipergunakan dalam usaha menganalisis bahan hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan karya ilmiah hukum. Bahan hukum tersier, terdiri dari; kamus hukum. Bahan hukum yang diperoleh, diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisis secara kualitatif.
A. Kedudukan Barang Bukti dalam Sistem Pembuktian
Terkait erat dengan masalah ini adalah mengenai kedudukan dari barang bukti dalam suatu putusan pengadilan pidana.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, KUHAP tidak memberikan definisi tentang apakah yang dimaksudkan dengan istilah “barang bukti”, tetapi dalam Pasal 1 KUHAP tidak diberikan definisi tentang istilah tersebut.
Tulisan-tulisan mengenai hukum pidana, istilah “barang bukti” ini sering juga disebut dalam bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti. Dalam suatu kamus elektronik, corpus delicti dijelaskan sebagai “facts of crime: the body of facts that show that a crime has been committed, including physical evidence such as a corpse” (fakta-fakta kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu kejahatan telah dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus, yaitu “1. A human or animal body. 2. A collection of writings, generally on one subject or by one author. 3. The main part or mass of anything” (1. Tubuh manusia atau hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok atau oleh seorang penulis).
Kemudian terhadap istilah corpus delicti diberikan penjelasan “the essential fact of the commission of a crime, as, in a case murder, the finding of the body of the victim” (fakta penting tentang dilakukannya suatu kejahatan, misalnya dalam kasus pembunuhan ditemukannya tubuh korban).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa corpus delicti merupakan fakta (fact) tentang dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence). Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah barang bukti sudah langsung menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau benda.
Beberapa contoh barang bukti dalam perkara pidana, yaitu:
Kutipan di atas menunjukkan bahwa corpus delicti merupakan fakta (fact) tentang dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence). Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah barang bukti sudah langsung menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau benda.
Beberapa contoh barang bukti dalam perkara pidana, yaitu:
- Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, misalnya senjata api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban.
- Barang yang merupakan hasil suatu tindak pidana, misalnya surat palsu.
- Benda yang menjadi obyek dalam tindak pidana, misalnya narkotika dan psikotropika yang menjadi obyek dalam jual beli narkotika/prikotropika;
Dengan demikian, barang bukti merupakan bukti yang terkait amat erat berkenaan dengan bersalahnya seorang terdakwa. Senjata api atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban, merupakan bukti kesalahan terdakwa telah membunuh atau melukai korban dengan senjata api atau senjata tajam tersebut.
Narkotika/prikotropika yang menjadi obyek dalam suatu jual beli narkotika/psikotropika, merupakan bukti tentang bersalahnya terdakwa melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal-pasal KUHAP yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal tentang sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat-alat bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dari sudut tidak adanya ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat muncul kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah. Dengan kata lain, barang bukti itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sebenarnya, jika kita mempelajari keseluruhan pasal-pasal KUHAP, barang bukti memiliki kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan. Mengenai putusan pemidanaan, dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
- Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
- Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum;
- Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat;
- Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
- Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1): Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
- Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
- Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal tentang sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat-alat bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dari sudut tidak adanya ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat muncul kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah. Dengan kata lain, barang bukti itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sebenarnya, jika kita mempelajari keseluruhan pasal-pasal KUHAP, barang bukti memiliki kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan. Mengenai putusan pemidanaan, dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
Selanjutnya dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
Menurut ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah satu pokok yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat dalam putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah istilah “alat pembuktian”. Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”.
Pasal lainnya di mana juga ada digunakan istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang termasuk alat pembuktian.
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita. Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan “barang bukti”.
Konsekuensinya, pengertian “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, juga mencakup semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti maupun barang bukti.
Dengan demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti memiliki kedudukan penting dalam sistem pembuktian. Walaupun demikian, tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal 183 KUHAP tentang sistem pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP untuk perlakuan khusus terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang bukti hanya sekedar bukti tambahan terhadap alat bukti.
Berbeda halnya dengan prosedur pemeriksaan di depan pengadilan di negara-negara dengan sistem Common Law, yang dikenal juga dengan istilah sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.
Konsep mereka tentang corpus delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya suatu kejahatan, membawa konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam kasus pembunuhan (murder), maka di depan pengadilan harus dipastikan terlebih tentang adanya mayat dan apa (benda) yang digunakan melakukan pembunuhan. Mayat atau sisa mayat tidak perlu dibawa ke depan pengadilan tetapi ada suatu keterangan seperti visum et repertum. Untuk alat yang digunakan untuk membunuh, misalnya pistol dan peluru, maka pistol dan peluru harus di bawa ke depan pengadilan sebagai corpus delicti dan didengar keterangan ahli balistik.
Jika pembunuhan dilakukan dengan menggunakan suatu parang, maka petugas polisi yang pertama kali menemukan parang itu perlu didengar terlebih dahulu, bagaimana caranya ia menemukan alat (parang) itu dan bagaimana kondisi alat (parang) itu waktu ditemukan.
Pemeriksaan terhadap corpus delicti dilakukan terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi (witness). Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu kejahatan harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai siapa pelakunya.
Mengenai barang bukti dalam hubungannya dengan apa yang perlu dimuat dalam suatu putusan pengadilan, pada Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa, dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika dalam suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik putusan pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum, harus ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti tersebut.
Menurut ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah satu pokok yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat dalam putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah istilah “alat pembuktian”. Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”.
Pasal lainnya di mana juga ada digunakan istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang termasuk alat pembuktian.
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita. Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan “barang bukti”.
Konsekuensinya, pengertian “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, juga mencakup semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti maupun barang bukti.
Dengan demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti memiliki kedudukan penting dalam sistem pembuktian. Walaupun demikian, tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal 183 KUHAP tentang sistem pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP untuk perlakuan khusus terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang bukti hanya sekedar bukti tambahan terhadap alat bukti.
Berbeda halnya dengan prosedur pemeriksaan di depan pengadilan di negara-negara dengan sistem Common Law, yang dikenal juga dengan istilah sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat.
Konsep mereka tentang corpus delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya suatu kejahatan, membawa konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih dahulu sebelum pemeriksaan berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam kasus pembunuhan (murder), maka di depan pengadilan harus dipastikan terlebih tentang adanya mayat dan apa (benda) yang digunakan melakukan pembunuhan. Mayat atau sisa mayat tidak perlu dibawa ke depan pengadilan tetapi ada suatu keterangan seperti visum et repertum. Untuk alat yang digunakan untuk membunuh, misalnya pistol dan peluru, maka pistol dan peluru harus di bawa ke depan pengadilan sebagai corpus delicti dan didengar keterangan ahli balistik.
Jika pembunuhan dilakukan dengan menggunakan suatu parang, maka petugas polisi yang pertama kali menemukan parang itu perlu didengar terlebih dahulu, bagaimana caranya ia menemukan alat (parang) itu dan bagaimana kondisi alat (parang) itu waktu ditemukan.
Pemeriksaan terhadap corpus delicti dilakukan terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi (witness). Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu kejahatan harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai siapa pelakunya.
Mengenai barang bukti dalam hubungannya dengan apa yang perlu dimuat dalam suatu putusan pengadilan, pada Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa, dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika dalam suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik putusan pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum, harus ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti tersebut.
Kemungkinan-kemungkinan yang disebut dalam pasal ini adalah sebagai berikut:
- Diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebu; kecuali,
- Jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal, dan juga dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Dari aspek tidak adanya ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan suatu barang bukti, dapat berarti bahwa pembentuk KUHAP memandang barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah. Dengan kata lain, barang bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
B. Hubungan antara Barang Bukti dengan Alat Bukti
Pembahasan terhadap hubungan antara barang bukti dengan alat bukti dalam suatu putusan Hakim menurut ketentuan-ketentuan KUHAP, baik putusan itu merupakan putusan pemidanaan maupun bukan putusan pemidanaan. Dengan demikian dapat menjadi pertanyaan mengenai hubungan antara alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan istilah “alat pembuktian” dalam putusan pemidanaan pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP.
Berkenaan dengan alat bukti, perlu dilihat kembali bagaimana ketentuan-ketentuan mengenai alat bukti tersebut dalam Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP.
Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dari ketentuan pasal di atas, maka untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa harus dipenuhi dua syarat, yaitu:
1. Adanya dua alat bukti yang sah; dan,
2. Adanya keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti tersebut.
Dari ketentuan pasal di atas, maka untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa harus dipenuhi dua syarat, yaitu:
1. Adanya dua alat bukti yang sah; dan,
2. Adanya keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti tersebut.
Mengenai alat-alat bukti yang sah, menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
f. keterangan saksi;
g. keterangan ahli;
h. surat;
i. petunjuk;
j. keterangan terdakwa.
Dengan melihat hubungan antara ketentuan dalam Pasal 183 dengan ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP merupakan dasar untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang bersangkutan.
Jadi, terdapat kesejajaran antara ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP dengan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP sebagai berikut:
Pasal 183
Alat bukti yang sah dari mana Hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah.
Pasal 197 ayat (1) huruf d alat pembuktian yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Dengan melihat kesejajaran antara kedua pasal tersebut dan kemiripan antara istilah “alat bukti” dengan istilah “alat pembuktian”, maka istilah dan pengertian “alat bukti” setidak-tidaknya tercakup di bawah istilah dan pengertian “alat pembuktian”.
f. keterangan saksi;
g. keterangan ahli;
h. surat;
i. petunjuk;
j. keterangan terdakwa.
Dengan melihat hubungan antara ketentuan dalam Pasal 183 dengan ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP merupakan dasar untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang bersangkutan.
Jadi, terdapat kesejajaran antara ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP dengan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP sebagai berikut:
Pasal 183
Alat bukti yang sah dari mana Hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah.
Pasal 197 ayat (1) huruf d alat pembuktian yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Dengan melihat kesejajaran antara kedua pasal tersebut dan kemiripan antara istilah “alat bukti” dengan istilah “alat pembuktian”, maka istilah dan pengertian “alat bukti” setidak-tidaknya tercakup di bawah istilah dan pengertian “alat pembuktian”.
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa istilah alat pembuktian, yang digunakan dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d dan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, mencakup alat bukti dan barang bukti. Jadi, baik alat bukti maupun barang bukti merupakan alat pembuktian.
Dapat menjadi pertanyaan, mengapa barang bukti tidak diklasifikasi sebagai alat bukti? Dalam KUHAP tidak diberikan penjelasan mengenai hal ini.
Tetapi, kemungkinan besar menjadi pertimbangan adalah karena barang bukti tidak dapat berdiri sendiri dalam pembuktian. Sebagai contohnya adalah barang bukti berupa narkotika, psikotropika, senjata api dan senjata tajam (parang dan pisau).
Dapat menjadi pertanyaan, mengapa barang bukti tidak diklasifikasi sebagai alat bukti? Dalam KUHAP tidak diberikan penjelasan mengenai hal ini.
Tetapi, kemungkinan besar menjadi pertimbangan adalah karena barang bukti tidak dapat berdiri sendiri dalam pembuktian. Sebagai contohnya adalah barang bukti berupa narkotika, psikotropika, senjata api dan senjata tajam (parang dan pisau).
Berkenaan dengan barang-barang bukti ini diperlukan keterangan saksi bahwa narkotika/psikotropika tersebut ditemukan dalam tangan atau di saku baju terdakwa pada saat penggerebekan, atau keterangan saksi bahwa parang/pisau tersebut dipegang oleh terdakwa dan digunakan untuk melukai korban, sehingga hubungan antara alat bukti dengan barang bukti adalah bahwa alat bukti merupakan alat untuk menerangkan keterkaitan suatu barang bukti dalam perkara pidana.
Bisa kita berpendapat bahwa, sebenarnya barang bukti dapat diklasifikasi sebagai alat bukti. Alasan untuk menentang barang bukti sebagai alat bukti, yaitu bahwa barang bukti tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diterangkan dengan suatu alat bukti, merupakan alasan yang tidak sepenuhnya tepat. Ini karena alasan menentang seperti ini, berlaku juga untuk alat bukti petunjuk.
Alat bukti petunjuk juga tidak dapat berdiri sendiri, melainkan pada hakekatnya hanyalah kesimpulan hakim saja dari alat-alat bukti lain yang ada.
Sebagaimana komentar Wirjono Prodjodikoro tentang alat bukti penunjukan dalam HIR, yang sama dengan alat bukti petunjuk dalam KUHAP. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “sebetulnya yang disebut penunjukan itu, bukan alat bukti, melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sebenarnya, …”.
Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP di mana ditentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
Jadi, sebenarnya alat bukti petunjuk juga tidak akan ada jika tidak ada alat-alat bukti lainnya. Untuk adanya alat bukti petunjuk harus terlebih dahulu ada alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat atau alat bukti keterangan terdakwa. Jadi pada hekekatnya alat bukti petunjuk ini pada hakekatnya bukan alat bukti yang dapat berdiri sendiri dan bila dibandingkan dengan alat bukti petunjuk, maka barang bukti justru yang memiliki kedudukan yang tersendiri dan lebih tepat untuk ditempatkan sebagai alat bukti daripada alat bukti petunjuk.
Di atas telah disinggung mengenai istilah “alat pembuktian” yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP. Dalam kaitannya dengan istilah “alat bukti”, sebenarnya ada dua kemungkinan mengenai hubungan antara istilah “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP dengan istilah “alat bukti” yang digunakan dalam KUHAP.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut, yaitu:
Jadi, digunakannya istilah “alat pembuktian”, dan bukannya hanya istilah “alat bukti”, dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, merupakan hal yang disadari dan disengaja oleh pembentuk KUHAP.
Ini karena dalam pemeriksaan suatu perkara pidana, yang diajukan ke depan pengadilan bukanlah hanya alat-alat bukti semata-mata, melainkan juga apa yang oleh pasal-pasal KUHAP disebut sebagai barang bukti. Penggunaan istilah “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut dimaksudkan untuk juga mencakup barang bukti. Tetapi, dengan mempelajari Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l secara satu persatu, ternyata tidak ada yang menyebutkan tentang istilah “barang bukti” secara tersendiri. Dengan demikian, digunakannya istilah “alat pembuktian”, dan bukannya hanya “alat bukti”, mengandung maksud bahwa di dalamnya tercakup juga mengenai barang bukti.
Pasal lainnya yang memperkuat pandangan bahwa “barang bukti” termasuk cakupan istilah “alat pembuktian” dalam rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu ketentuan Pasal 82 ayat (3) huruf d yang mengatur mengenai Praperadilan.
Bisa kita berpendapat bahwa, sebenarnya barang bukti dapat diklasifikasi sebagai alat bukti. Alasan untuk menentang barang bukti sebagai alat bukti, yaitu bahwa barang bukti tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diterangkan dengan suatu alat bukti, merupakan alasan yang tidak sepenuhnya tepat. Ini karena alasan menentang seperti ini, berlaku juga untuk alat bukti petunjuk.
Alat bukti petunjuk juga tidak dapat berdiri sendiri, melainkan pada hakekatnya hanyalah kesimpulan hakim saja dari alat-alat bukti lain yang ada.
Sebagaimana komentar Wirjono Prodjodikoro tentang alat bukti penunjukan dalam HIR, yang sama dengan alat bukti petunjuk dalam KUHAP. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “sebetulnya yang disebut penunjukan itu, bukan alat bukti, melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sebenarnya, …”.
Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 188 ayat (2) KUHAP di mana ditentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
Jadi, sebenarnya alat bukti petunjuk juga tidak akan ada jika tidak ada alat-alat bukti lainnya. Untuk adanya alat bukti petunjuk harus terlebih dahulu ada alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat atau alat bukti keterangan terdakwa. Jadi pada hekekatnya alat bukti petunjuk ini pada hakekatnya bukan alat bukti yang dapat berdiri sendiri dan bila dibandingkan dengan alat bukti petunjuk, maka barang bukti justru yang memiliki kedudukan yang tersendiri dan lebih tepat untuk ditempatkan sebagai alat bukti daripada alat bukti petunjuk.
Di atas telah disinggung mengenai istilah “alat pembuktian” yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP. Dalam kaitannya dengan istilah “alat bukti”, sebenarnya ada dua kemungkinan mengenai hubungan antara istilah “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP dengan istilah “alat bukti” yang digunakan dalam KUHAP.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut, yaitu:
- Istilah “alat pembuktian” Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP mempunyai arti yang sama dengan istilah “alat bukti” dalam antara lain Pasal 183 dan 184 KUHAP; atau,
- Istilah “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP memiliki arti yang lebih luas daripada istilah “alat bukti” dalam antara lain Pasal 183 dan 184 KUHAP.
Jadi, digunakannya istilah “alat pembuktian”, dan bukannya hanya istilah “alat bukti”, dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, merupakan hal yang disadari dan disengaja oleh pembentuk KUHAP.
Ini karena dalam pemeriksaan suatu perkara pidana, yang diajukan ke depan pengadilan bukanlah hanya alat-alat bukti semata-mata, melainkan juga apa yang oleh pasal-pasal KUHAP disebut sebagai barang bukti. Penggunaan istilah “alat pembuktian” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut dimaksudkan untuk juga mencakup barang bukti. Tetapi, dengan mempelajari Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l secara satu persatu, ternyata tidak ada yang menyebutkan tentang istilah “barang bukti” secara tersendiri. Dengan demikian, digunakannya istilah “alat pembuktian”, dan bukannya hanya “alat bukti”, mengandung maksud bahwa di dalamnya tercakup juga mengenai barang bukti.
Pasal lainnya yang memperkuat pandangan bahwa “barang bukti” termasuk cakupan istilah “alat pembuktian” dalam rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu ketentuan Pasal 82 ayat (3) huruf d yang mengatur mengenai Praperadilan.
Pada Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang termasuk alat pembuktian.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang termasuk alat pembuktian.
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggfunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita.
Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa “benda yang disita” tersebut merupakan “barang bukti”.
Oleh: Richard Lokas
Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013
Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa “benda yang disita” tersebut merupakan “barang bukti”.
- Dalam sistem KUHAP, barang bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
- Istilah “alat pembuktian” yang terdapat dalam rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP mencakup alat bukti dan barang bukti. Hubungan antara alat bukti dengan barang bukti dalam sistem KUHAP, yaitu alat bukti merupakan alat untuk menerangkan keterkaitan suatu barang bukti dalam suatu perkara pidana. Dengan demikian barang bukti merupakan alat pembuktian yang tidak dapat berdiri sendiri, melainkan perlu diterangkan mengenai keterkaitannya dengan suatu perkara pidana oleh suatu alat bukti.
- Pada Pasal 1 KUHAP perlu ditambahkan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah: alat bukti, barang bukti, dan alat pembuktian.
- Istilah “alat pembuktian” yang terdapat dalam rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP perlu lebih dirinci, yaitu dengan secara tegas menyebut tentang alat bukti dan barang bukti.
Oleh: Richard Lokas
Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013
Dasar Hukum :
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
- Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
- Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP.
- Pasal 1 KUHAP.
- Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2 KUHAP.
- Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP.
- Pasal 18 ayat (2) KUHAP.
- Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
- Pasal 82 ayat (3) huruf b dan huruf d KUHAP.
- Pasal 181 ayat (1) KUHAP.
- Pasal 183 KUHAP.
- Pasal 194 ayat (1) KUHAP.
- Pasal 203 ayat (2) KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA
- Adiwinata, S., 1977., Istilah Hukum Latin-Indonesia, PT Intermasa, Jakarta.
- Enschede, Ch.J. dan Heijder, A., 1982., Asas-asas Hukum Pidana, terjemahan R. Achmad Soema Di Pradja, Alumni, Bandung.
- Evan, William M., ”Value Conflict in the Law of Evidence”, 1990., Social Structure and Law, Sage Publications, London.
- Funk & Wagnalls Standard Desk Dictionary, 1984., Volume 1, Harper & Row Publishers Inc.
- Harahap, M. Yahya, 1985., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, jilid I dan II, Pustaka Kartini, Jakarta.
- Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation.
- Nusantara, A.H.G., et al, 1986., KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Djambatan, Jakarta.
- Prakoso, Djoko, 1987., Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
- Prodjodikoro, Wirjono, 1981., Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, cetakan ke-10.
- Redaksi Bumi Aksara, 1990., KUHAP Lengkap, Bumi Aksara, Jakarta, cet.ke-2
- Rosjadi, H.Imron dan Badjeber, H.Z., 1979., Proses Pembahasan DPR-RI tentang R.U.U. Hukum Acara Pidana, PT Bumi Restu, Jakarta.
- Tim Penerjemah BPHN, 1983., Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta.
- Tresna, R., 1976, Komentar H.I.R., Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-6.
Somasi adalah teguran terhadap pihak calon tergugat. Tujuannya memberi kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan individual atau kolektif baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan (calon penggugat).
Dasar hukum somasi terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
Somasi dalam sumber lain adalah sejenis teguran yang didasarkan atas pikiran bahwa debitur memang masih mau paling tidak melalui somasi dapat diharapkan mau untuk berprestasi
Pembuatan atau perumusan somasi tidak memiliki aturan baku artinya pihak pengirim bebas menentukan perumusan isi dari somasi, tetapi pengirim wajib menetukan secara tegas siapa pihak yang ditujukan, masalah yang disomasikan, dan apa yang menjadi kehendak pengirim somasi yang harus dilaksanakan oleh pihak penerima somasi. Perlu diingat bahwa pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).
Ada 2 cara menyampaikan somasi :
Dasar hukum somasi terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
Somasi dalam sumber lain adalah sejenis teguran yang didasarkan atas pikiran bahwa debitur memang masih mau paling tidak melalui somasi dapat diharapkan mau untuk berprestasi
Pembuatan atau perumusan somasi tidak memiliki aturan baku artinya pihak pengirim bebas menentukan perumusan isi dari somasi, tetapi pengirim wajib menetukan secara tegas siapa pihak yang ditujukan, masalah yang disomasikan, dan apa yang menjadi kehendak pengirim somasi yang harus dilaksanakan oleh pihak penerima somasi. Perlu diingat bahwa pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).
Ada 2 cara menyampaikan somasi :
- Disampaikan tertulis, dengan langsung mengirimkan secara tertulis kepada pihak calon tergugat.
- Disampaikan terbuka, dengan cara publikasi di media masa.
Surat somasi dalam prakteknya dapat dipakai baik dalam perkara perdata maupun pidana, namun dalam perkara pidana somasi hanya merupakan suatu niat baik agar pihak lain dapat memahami posisi dan pandangan/analisis hukum dari si pengirim somasi.
Bentuk-Bentuk Somasi
- Susrat perintah, adalah exploit juru sita, exloit adalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur. Dengan kata lain exploit adalah salinan surat peringatan.
- Akta sejenisnya (soortgelijke akte), membaca kata-kata akta sejenis ini ialah akta otentik yang sejenis dengan exploit juru sita.
- Demi perikatan sendiri, perikatan mungkin terjadi apabila pihak-pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur di dalam suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu, secara teoritisnya, suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya suatu waktu, maka keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.
Menurut J. Satrio
Dalam doktrin dan yurisprudensi istilah somasi digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi. Namun, dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian I), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) tidak dikenal istilah somasi
Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPer yang menyatakan:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.”
Selanjutnya, dalam Pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis, yang kemudian kita kenal sebagai somasi. Selengkapnya, simak Tentang Somasi.
Dijelaskan J. Satrio dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian III), karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi? Demikian tulis J. Satrio
Dari penjelasan J. Satrio tersebut dapat kita ketahui bahwa hal yang menyebabkan diperlukannya somasi adalah keadaan belum dilakukannya suatu prestasi oleh pihak debitur, sehingga pihak kreditur harus memperingatkan debitur untuk berprestasi dengan cara mengirimkan somasi.
Mengenai akibat hukum bagi debitur bila somasi diabaikan, menurut J. Satrio, somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alasan yang sah– membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Sedangkan akibat hukum bagi kreditur, wanprestasinya debitur menyebabkan kreditur berhak untuk menuntut hal-hal berikut:
- Pemenuhan perikatan;
- Pemenuhan perikatan dan ganti rugi;
- Ganti rugi;
- Pembatalan persetujuan timbal balik;
- Pembatalan perikatan dan ganti rugi.
Lalu, J. Satrio menjelaskan, pada saat ini doktrin maupun yurisprudensi menganggap bahwa somasi itu harus berbentuk tertulis dan tidak perlu dalam bentuk otentik. Teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima sebagai suatu somasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka apabila pengacara A hendak memberikan somasi, ia cukup mengirimkan surat somasi tersebut ke tempat si B (debitur) berdomisili, yaitu ke alamat rumahnya di Bogor, karena tidak ada ketentuan yang mengharuskan pemberi somasi untuk bertemu secara langsung dengan penerima somasi ketika menyerahkan surat somasi.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Source :
- http://www.negarahukum.com/hukum/somasi-atau-teguran.html
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl483/apakah-somasi-itu
Batas Akhir Prestasi (Termijn Batal)
Permasalahan: apakah orang tidak bisa menyepakati suatu waktu, pada saat mana debitur pasti wajib untuk melunasi hutang perikatannya tanpa diperlukan adanya somasi? dengan konsekuensinya debitur sudah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang disepakati saja?
Bisa, yaitu dengan menyepakati suatu waktu tertentu sebagai batas akhir prestasi atau d.p.l. dengan klausula termijn batal. Dalam peristiwa seperti, wanprestasi debitur sudah terjadi dengan sendirinya dengan lewatnya batas akhir prestasi, sehingga tidak memerlukan somasi lagi. Contohnya dalam perjanjian kredit Bank biasanya memasukkan klausula yang berbunyi: “Para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa dengan lewatnya tanggal …….. saja debitur harus dianggap telah wanprestasi, sehingga tidak perlu diberikan somasi atu surat teguran sejenis itu“. Dengan klausula seperti itu berarti tanggal ……. merupakan batas akhir/verval termijn.
Sifat Somasi
Permasalahan: apakah somasi mengkonstatir keadaan wanprestasi debitur, ataukah somasi menimbulkan keadaan wanprestasi dari debitur? Dengan kata lain, apakah somasi bersifat konstatatif atau konstitutif?
Kalau kita berangkat dari perumusan somasi sebagai suatu pemberitahuan atau peringatan kepada debitur, bahwa kreditur menghendaki prestasi debitur, baik segera atau nanti pada suatu waktu tertentu, maka debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau debitur tetap tidak melaksanakan kewajibannya pada saat yang ditentukan. Hal itu berarti, bahwa debitur dalam keadaan lalai setelah ada somasi, yang tidak dipenuhi. Dengan cara berfikir seperti itu, maka somasi – yang tidak dipenuhi -- bersifat konstitutif, menimbulkan keadaan lalai. Konsekuensinya, sebelum ada somasi, debitur belum berada dalam keadaan lalai.
Kalau kita berangkat dari pikiran, bahwa somasi adalah tindakan mengkonstatir, bahwa debitur memang telah tidak memenuhi kewajiban prestasinya, atau dengan kata lain mengkonstatir bahwa debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi, maka debitur sudah wanprestasi sebelum disomir. Pada waktu yang lampau memang ada yang berpendapat seperti itu (HgH 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367).
Pendapat yang demikian tidak benar (L.E.H. Rutten, 1973 : 170), karena somasi hanya suatu peringatan dari kreditur, agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya dan sama sekali tidak mengatakan, bahwa debitur telah tidak memenuhi somasi itu. Bukankah bisa saja atas somasi itu debitur segera membayar kewajiban perikatannya dengan baik dan dengan itu hutang lunas, sehingga sama sekali tidak ada masalah wanprestasi, sekalipun ada somasi? Jadi somasi bukan mengkonstatir keadaan lalai, tetapi suatu peringatan agar debitur berprestasi, dengan konsekuensinya, kalau debitur – tanpa alasan yang sah -- tetap tidak berprestasi, maka somasi menjadikan debitur dalam keadaan lalai (HR 29 Januari 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87).
Mengapa hal itu perlu dipermasalahkan?
Kalau somasi hanya mengkonstatir wanprestasinya debitur – menyatakan debitur sudah wanprestasi -- maka debitur sebenarnya sudah wanprestasi sebelum somasi. Hal itu berarti, bahwa pada saat itu hutang debitur sudah matang untuk ditagih. Kalau diikuti pendapat ini (yang mengatakan somasi bersifat konstatatif), maka pernyataan lalai diberikan pada saat debitur sudah dalam keadaan lalai; menurut pendapat ini somasi tidak untuk menetapkan debitur lalai. Konsekuensinya pernyataan lalai (somasi) tidak mungkin dilayangkan, sebelum kewajiban matang untuk ditagih. Bukankah debitur belum waktunya untuk berprestasi.
Kalau somasi – yang tidak dipenuhi -- menimbulkan keadaan lalai/wanprestasi – sebagaimana pendapat yang mengatakan somasi bersifat konstitutif, maka somasi sudah bisa diberikan sebelum tagihan matang untuk ditagih (HR 29 Januari 1915, NJ. 1915, 485; Losecaat Vemeer, hal. 171). Sudah tentu kepada debitur harus diberikan tenggang waktu yang patut, agar debitur bisa memenuhi permintaan somasi kreditur. Dengan itu berarti, bahwa dalam perjanjian yang mengandung ketentuan waktu, maka tenggang waktu somasi paling tidak harus mencapai waktu yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Kesimpulannya, gugatan dan somasi bisa dilancarkan berbarengan. Dalam gugatan – yang diterima sebagai suatu somasi– kreditur memperingatkan debitur untuk berprestasi paling lambat pada suatu waktu tertentu dan sekaligus, kalau tidak dipenuhi, menuntutnya di muka Hakim.
Permasalahan berikutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW perlu didahului dengan suatu somasi? Pasal 1267 BW mengatakan, bahwa: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian kerugian“.
Untuk menuntut pemenuhan perikatan, kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Hak untuk menuntut pemenuhan sudah melekat pada perjanjian bersangkutan. (HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63; HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414).
Namun hak untuk menuntut ganti rugi baru ada setelah debitur dalam keadaan lalai (wanprestasi Ps. 1243 BW). Dengan berpegang kepada redaksi Pasal 1267 BW dan pendapat, bahwa somasi bersifat konstatatif seperti tersebut di atas, maka kreditur, untuk menuntut ganti rugi –baik ganti rugi itu dikaitkan dengan tuntutan pemenuhan ataupun pembatalan perikatan– mestinya tidak memerlukan somasi lebih dahulu, karena debitur sebenarnya sebelum ada somasi sudah berada dalam keadaan wanprestasi, karena somasi hanya mengkonstatir saja keadaan wanprestasi yang sudah ada.
Sebaliknya, kalau kita ikuti teori yang mengatakan, bahwa somasi bersifat konstitutif untuk adanya keadaan wanprestasi, maka kreditur untuk melaksanakan haknya berdasarkan Pasal 1267 BW, harus mensomir debitur lebih dahulu.
Permasalahan selanjutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW –yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya prestasi-- memang mensyaratkan somasi?
Pasal 1267 BW berada dalam suatu rangkaian dengan Pasal 1265 dan Pasal 1266 BW. Pasal 1265 BW berbicara tentang syarat batal, yang apabila dipenuhi, maka perikatan menjadi batal. Pasal 1266 ayat (1) BW mengatakan, bahwa dalam perjanjian timbal balik, syarat batal dianggap selalu ada di dalamnya. Namun demikian, apabila syarat batal itu terpenuhi, perikatan tidak batal dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan pembatalannya melalui seorang Hakim. Jadi, untuk pembatalan perikatan, dimana syarat batal terpenuhi, maka tidak diperlukan adanya somasi. Dengan demikian, kata “ tak dipenuhinya perikatan “ dalam Pasal 1267 BW adalah sama dengan peristiwa dipenuhinya syarat batal, sehingga untuk tuntutan pembatalan tidak diperlukan somasi.
Permasalahannya adalah, kapan dikatakan debitur tidak memenuhi kewajiban perikatannya? Kembali kepada apa yang disebutkan didepan, debitur wanprestasi, kalau ia setelah disomir tetap tidak memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik, tanpa adanya dasar yang membenarkan, kecuali sifat perikatannya mewajibkan debitur memenuhi kewajibannya pada waktu tertentu, yang telah dibiarkan lewat.
Prestasi dan Wanprestasi
Karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi.
Apakah kalau debitur sudah berprestasi, ia tidak mungkin wanprestasi? Perlu diingat, agar jangan dikacaukan antara somasi sebagai sarana untuk menetapkan debitur dalam keadan wanprestasi dan masalah, dalam keadaan apa saja debitur telah berada dalam keadaan wanprestasi.
Debitur wanprestasi kalau debitur:
- terlambat berprestasi
- tidak berprestasi
- salah berprestasi.
Di atas dipermasalahkan, apakah kalau debitur telah berprestasi, debitur tidak mungkin wanprestasi? Bagaimana kalau debitur berprestasi tetapi prestasinya salah?
Yang dimaksud dengan “berprestasi“ adalah berprestasi dengan baik dan kalau prestasi itu diperjanjikan, maka berprestasi dengan baik adalah sebagaimana diperjanjikan. Salah berprestasi adalah memberikan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dan karenanya dalam peristiwa seperti itu debitur tidak bisa dikatakan telah berprestasi. Dengan demikian salah berprestasi adalah sama dengan tidak berprestasi.
Kreditur yang menerima benda yang lain dari yang diperjanjikan dari debitur, wajib untuk menerimanya dengan protes, kalau ia keberatan dengan prestasi yang salah itu.
Apakah kreditur tidak boleh tinggal diam dulu dan akan menentukan sikapnya kemudian? Dalam peristiwa seperti itu, sikap tinggal diam kreditur –yang melebihi batas waktu yang layak-- bisa dianggap, bahwa kreditur telah menerima baik penyerahan itu dan selanjutnya telah melepaskan haknya untuk menuntut penyerahan benda yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
Namun demikian kepada kreditur harus diberikan waktu yang pantas untuk memeriksa benda yang diserahkan, sebaliknya ia juga tidak boleh untuk seenaknya menunda memeriksa kiriman itu. Kiranya itikad baik menuntut, agar dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak mengindahkan tuntutan kepantasan dan kepatutan yang berlaku dalam pergaulan hidup (Pasal 1338 ayat 3 BW). Jadi, tidak semua teguran/peringatan mempunyai daya kerja sebagai suatu somasi. Kalau demikian, maka ada teguran atau peringatan yang, sekalipun tidak dipenuhi, tidak mengakibatkan debitur berada dalam keadaan lalai atau wanprestasi.
Lalu dalam keadaan yang bagaimana teguran/peringatan dari kreditur tidak berakibat debitur dalam keadaan lalai, kalau teguran/peringatan itu tidak dipenuhi? Yang demikian terjadi kalau teguran/peringatan itu tidak memenuhi syarat untuk sahnya suatu somasi.
Somasi dan Iktikad Baik
Dalam peristiwa yang bagaimana somasi tidak sah, dalam arti, tidak membawa akibat hukum sebagaimana yang diharapkan dari suatu somasi? Misalnya somasi yang diberikan secara lisan atau somasi yang meminta kreditur menentukan gudang tempat penyerahan, padahal debitur belum menguasai benda yang harus diserahkan, merupakan somasi dengan itikad buruk. Tidak dipenuhi somasi seperti ini tidak mengakibatkan kreditur berada dalam keadaan wanpresatsi (HgH Batavia 10 Maret 1921, dalam T. 114 : 218). Ternyata iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus diperhatikan. Menuntut kreditur untuk membayar tunai, pada saat menerima penyerahan obyek perjanjian di Semarang, padahal secara kontraktual disepakati pembayaran akan dilakukan di Batavia (HgH Batavia 18 Juni 1925, dalam T. 122 : 342). Yang demikian bukan merupakan somasi yang sah.
Bagaimana kalau ada somasi, yang menuntut penyerahan obyek perjanjian sebanyak 5250 kg, padahal kreditur hanya masih berhak atas penyerahan sebesar 5050 kg? Apakah, karena jumlah atas mana kreditur masih berhak, tidak pas dengan yang disebutkan dalam somasi, somasi itu menjadi tidak sah? Menjadi tidak membawa akibat sebagaimana diharapkan dari suatu somasi?
Kiranya tidak pantas, kalau atas dasar sedikit kekeliruan saja, debitur boleh mengabaikan somasi tanpa membawa akibat, bahwa debitur berada dalam keadaan lalai. Kesalahan itu sedemikian kecilnya, sehingga kepatutan menentang pendapat, yang mengatakan somasi itu tidak sah (bersambung).
Purwokerto, 26 Agustus 2010
-----
*) Penulis adalah pemerhati hukum. Tinggal di Purwokerto.
----------------------------
Literatur:
P. De Prez, Gidsen Publiek en Privaatrecht, Deel I, Gids Burelijk Recht, Wolters – Noordhoff, Groningen, tanpa tahun.
C. Asser – P.A.J. Losecaat Vemeer, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, derde deel, Verbintenissenrecht, eerste stuk, Tjeenk Willink, Zwolle
C. Asser - L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintenis in het algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1973
----------------------------
HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63;
HgH Batavia 28 Agustus 1912, didalam dalam T. 106 : 367.
HgH Batavia 10 Maret 1921, dimuat dalam T. 114 : 218
HgH Batavia 18 Juni 1925, dimuat dalam T. 122 : 342
HR 29 Januarai 1915, NJ. 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87
HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414.
Permasalahan: apakah orang tidak bisa menyepakati suatu waktu, pada saat mana debitur pasti wajib untuk melunasi hutang perikatannya tanpa diperlukan adanya somasi? dengan konsekuensinya debitur sudah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang disepakati saja?
Bisa, yaitu dengan menyepakati suatu waktu tertentu sebagai batas akhir prestasi atau d.p.l. dengan klausula termijn batal. Dalam peristiwa seperti, wanprestasi debitur sudah terjadi dengan sendirinya dengan lewatnya batas akhir prestasi, sehingga tidak memerlukan somasi lagi. Contohnya dalam perjanjian kredit Bank biasanya memasukkan klausula yang berbunyi: “Para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa dengan lewatnya tanggal …….. saja debitur harus dianggap telah wanprestasi, sehingga tidak perlu diberikan somasi atu surat teguran sejenis itu“. Dengan klausula seperti itu berarti tanggal ……. merupakan batas akhir/verval termijn.
Sifat Somasi
Permasalahan: apakah somasi mengkonstatir keadaan wanprestasi debitur, ataukah somasi menimbulkan keadaan wanprestasi dari debitur? Dengan kata lain, apakah somasi bersifat konstatatif atau konstitutif?
Kalau kita berangkat dari perumusan somasi sebagai suatu pemberitahuan atau peringatan kepada debitur, bahwa kreditur menghendaki prestasi debitur, baik segera atau nanti pada suatu waktu tertentu, maka debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau debitur tetap tidak melaksanakan kewajibannya pada saat yang ditentukan. Hal itu berarti, bahwa debitur dalam keadaan lalai setelah ada somasi, yang tidak dipenuhi. Dengan cara berfikir seperti itu, maka somasi – yang tidak dipenuhi -- bersifat konstitutif, menimbulkan keadaan lalai. Konsekuensinya, sebelum ada somasi, debitur belum berada dalam keadaan lalai.
Kalau kita berangkat dari pikiran, bahwa somasi adalah tindakan mengkonstatir, bahwa debitur memang telah tidak memenuhi kewajiban prestasinya, atau dengan kata lain mengkonstatir bahwa debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi, maka debitur sudah wanprestasi sebelum disomir. Pada waktu yang lampau memang ada yang berpendapat seperti itu (HgH 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367).
Pendapat yang demikian tidak benar (L.E.H. Rutten, 1973 : 170), karena somasi hanya suatu peringatan dari kreditur, agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya dan sama sekali tidak mengatakan, bahwa debitur telah tidak memenuhi somasi itu. Bukankah bisa saja atas somasi itu debitur segera membayar kewajiban perikatannya dengan baik dan dengan itu hutang lunas, sehingga sama sekali tidak ada masalah wanprestasi, sekalipun ada somasi? Jadi somasi bukan mengkonstatir keadaan lalai, tetapi suatu peringatan agar debitur berprestasi, dengan konsekuensinya, kalau debitur – tanpa alasan yang sah -- tetap tidak berprestasi, maka somasi menjadikan debitur dalam keadaan lalai (HR 29 Januari 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87).
Mengapa hal itu perlu dipermasalahkan?
Kalau somasi hanya mengkonstatir wanprestasinya debitur – menyatakan debitur sudah wanprestasi -- maka debitur sebenarnya sudah wanprestasi sebelum somasi. Hal itu berarti, bahwa pada saat itu hutang debitur sudah matang untuk ditagih. Kalau diikuti pendapat ini (yang mengatakan somasi bersifat konstatatif), maka pernyataan lalai diberikan pada saat debitur sudah dalam keadaan lalai; menurut pendapat ini somasi tidak untuk menetapkan debitur lalai. Konsekuensinya pernyataan lalai (somasi) tidak mungkin dilayangkan, sebelum kewajiban matang untuk ditagih. Bukankah debitur belum waktunya untuk berprestasi.
Kalau somasi – yang tidak dipenuhi -- menimbulkan keadaan lalai/wanprestasi – sebagaimana pendapat yang mengatakan somasi bersifat konstitutif, maka somasi sudah bisa diberikan sebelum tagihan matang untuk ditagih (HR 29 Januari 1915, NJ. 1915, 485; Losecaat Vemeer, hal. 171). Sudah tentu kepada debitur harus diberikan tenggang waktu yang patut, agar debitur bisa memenuhi permintaan somasi kreditur. Dengan itu berarti, bahwa dalam perjanjian yang mengandung ketentuan waktu, maka tenggang waktu somasi paling tidak harus mencapai waktu yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Kesimpulannya, gugatan dan somasi bisa dilancarkan berbarengan. Dalam gugatan – yang diterima sebagai suatu somasi– kreditur memperingatkan debitur untuk berprestasi paling lambat pada suatu waktu tertentu dan sekaligus, kalau tidak dipenuhi, menuntutnya di muka Hakim.
Permasalahan berikutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW perlu didahului dengan suatu somasi? Pasal 1267 BW mengatakan, bahwa: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian kerugian“.
Untuk menuntut pemenuhan perikatan, kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Hak untuk menuntut pemenuhan sudah melekat pada perjanjian bersangkutan. (HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63; HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414).
Namun hak untuk menuntut ganti rugi baru ada setelah debitur dalam keadaan lalai (wanprestasi Ps. 1243 BW). Dengan berpegang kepada redaksi Pasal 1267 BW dan pendapat, bahwa somasi bersifat konstatatif seperti tersebut di atas, maka kreditur, untuk menuntut ganti rugi –baik ganti rugi itu dikaitkan dengan tuntutan pemenuhan ataupun pembatalan perikatan– mestinya tidak memerlukan somasi lebih dahulu, karena debitur sebenarnya sebelum ada somasi sudah berada dalam keadaan wanprestasi, karena somasi hanya mengkonstatir saja keadaan wanprestasi yang sudah ada.
Sebaliknya, kalau kita ikuti teori yang mengatakan, bahwa somasi bersifat konstitutif untuk adanya keadaan wanprestasi, maka kreditur untuk melaksanakan haknya berdasarkan Pasal 1267 BW, harus mensomir debitur lebih dahulu.
Permasalahan selanjutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW –yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya prestasi-- memang mensyaratkan somasi?
Pasal 1267 BW berada dalam suatu rangkaian dengan Pasal 1265 dan Pasal 1266 BW. Pasal 1265 BW berbicara tentang syarat batal, yang apabila dipenuhi, maka perikatan menjadi batal. Pasal 1266 ayat (1) BW mengatakan, bahwa dalam perjanjian timbal balik, syarat batal dianggap selalu ada di dalamnya. Namun demikian, apabila syarat batal itu terpenuhi, perikatan tidak batal dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan pembatalannya melalui seorang Hakim. Jadi, untuk pembatalan perikatan, dimana syarat batal terpenuhi, maka tidak diperlukan adanya somasi. Dengan demikian, kata “ tak dipenuhinya perikatan “ dalam Pasal 1267 BW adalah sama dengan peristiwa dipenuhinya syarat batal, sehingga untuk tuntutan pembatalan tidak diperlukan somasi.
Permasalahannya adalah, kapan dikatakan debitur tidak memenuhi kewajiban perikatannya? Kembali kepada apa yang disebutkan didepan, debitur wanprestasi, kalau ia setelah disomir tetap tidak memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik, tanpa adanya dasar yang membenarkan, kecuali sifat perikatannya mewajibkan debitur memenuhi kewajibannya pada waktu tertentu, yang telah dibiarkan lewat.
Prestasi dan Wanprestasi
Karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi.
Apakah kalau debitur sudah berprestasi, ia tidak mungkin wanprestasi? Perlu diingat, agar jangan dikacaukan antara somasi sebagai sarana untuk menetapkan debitur dalam keadan wanprestasi dan masalah, dalam keadaan apa saja debitur telah berada dalam keadaan wanprestasi.
Debitur wanprestasi kalau debitur:
- terlambat berprestasi
- tidak berprestasi
- salah berprestasi.
Di atas dipermasalahkan, apakah kalau debitur telah berprestasi, debitur tidak mungkin wanprestasi? Bagaimana kalau debitur berprestasi tetapi prestasinya salah?
Yang dimaksud dengan “berprestasi“ adalah berprestasi dengan baik dan kalau prestasi itu diperjanjikan, maka berprestasi dengan baik adalah sebagaimana diperjanjikan. Salah berprestasi adalah memberikan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dan karenanya dalam peristiwa seperti itu debitur tidak bisa dikatakan telah berprestasi. Dengan demikian salah berprestasi adalah sama dengan tidak berprestasi.
Kreditur yang menerima benda yang lain dari yang diperjanjikan dari debitur, wajib untuk menerimanya dengan protes, kalau ia keberatan dengan prestasi yang salah itu.
Apakah kreditur tidak boleh tinggal diam dulu dan akan menentukan sikapnya kemudian? Dalam peristiwa seperti itu, sikap tinggal diam kreditur –yang melebihi batas waktu yang layak-- bisa dianggap, bahwa kreditur telah menerima baik penyerahan itu dan selanjutnya telah melepaskan haknya untuk menuntut penyerahan benda yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
Namun demikian kepada kreditur harus diberikan waktu yang pantas untuk memeriksa benda yang diserahkan, sebaliknya ia juga tidak boleh untuk seenaknya menunda memeriksa kiriman itu. Kiranya itikad baik menuntut, agar dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak mengindahkan tuntutan kepantasan dan kepatutan yang berlaku dalam pergaulan hidup (Pasal 1338 ayat 3 BW). Jadi, tidak semua teguran/peringatan mempunyai daya kerja sebagai suatu somasi. Kalau demikian, maka ada teguran atau peringatan yang, sekalipun tidak dipenuhi, tidak mengakibatkan debitur berada dalam keadaan lalai atau wanprestasi.
Lalu dalam keadaan yang bagaimana teguran/peringatan dari kreditur tidak berakibat debitur dalam keadaan lalai, kalau teguran/peringatan itu tidak dipenuhi? Yang demikian terjadi kalau teguran/peringatan itu tidak memenuhi syarat untuk sahnya suatu somasi.
Somasi dan Iktikad Baik
Dalam peristiwa yang bagaimana somasi tidak sah, dalam arti, tidak membawa akibat hukum sebagaimana yang diharapkan dari suatu somasi? Misalnya somasi yang diberikan secara lisan atau somasi yang meminta kreditur menentukan gudang tempat penyerahan, padahal debitur belum menguasai benda yang harus diserahkan, merupakan somasi dengan itikad buruk. Tidak dipenuhi somasi seperti ini tidak mengakibatkan kreditur berada dalam keadaan wanpresatsi (HgH Batavia 10 Maret 1921, dalam T. 114 : 218). Ternyata iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus diperhatikan. Menuntut kreditur untuk membayar tunai, pada saat menerima penyerahan obyek perjanjian di Semarang, padahal secara kontraktual disepakati pembayaran akan dilakukan di Batavia (HgH Batavia 18 Juni 1925, dalam T. 122 : 342). Yang demikian bukan merupakan somasi yang sah.
Bagaimana kalau ada somasi, yang menuntut penyerahan obyek perjanjian sebanyak 5250 kg, padahal kreditur hanya masih berhak atas penyerahan sebesar 5050 kg? Apakah, karena jumlah atas mana kreditur masih berhak, tidak pas dengan yang disebutkan dalam somasi, somasi itu menjadi tidak sah? Menjadi tidak membawa akibat sebagaimana diharapkan dari suatu somasi?
Kiranya tidak pantas, kalau atas dasar sedikit kekeliruan saja, debitur boleh mengabaikan somasi tanpa membawa akibat, bahwa debitur berada dalam keadaan lalai. Kesalahan itu sedemikian kecilnya, sehingga kepatutan menentang pendapat, yang mengatakan somasi itu tidak sah (bersambung).
Purwokerto, 26 Agustus 2010
-----
*) Penulis adalah pemerhati hukum. Tinggal di Purwokerto.
----------------------------
Literatur:
P. De Prez, Gidsen Publiek en Privaatrecht, Deel I, Gids Burelijk Recht, Wolters – Noordhoff, Groningen, tanpa tahun.
C. Asser – P.A.J. Losecaat Vemeer, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, derde deel, Verbintenissenrecht, eerste stuk, Tjeenk Willink, Zwolle
C. Asser - L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintenis in het algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1973
----------------------------
HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63;
HgH Batavia 28 Agustus 1912, didalam dalam T. 106 : 367.
HgH Batavia 10 Maret 1921, dimuat dalam T. 114 : 218
HgH Batavia 18 Juni 1925, dimuat dalam T. 122 : 342
HR 29 Januarai 1915, NJ. 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87
HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414.
_____
Oleh: J. Satrio
[ Sumber : Hukumk Online - Title : Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III) Oleh: J. Satrio *) ]
Sebaiknya Anda tahu bahwa masing-masing sertifikat (tanah) memiliki kekuatan hukum yang berbeda-beda. Tentu itu dapat memberikan pengaruh dalam keamanan kita untuk berinvestasi atau melakukan transaksi jual beli atau hal lain. Kali kini saya akan membahas 6 Hak Atas Tanah atau Sertifikat Kepemilikan yang perlu Anda ketahui :
(1) Girik-Grik
Girik-girik sering dianggap orang sebagai sertifikat untuk membuktikan kekuasaannya atas sebidang tanah, namun Girik Bukan Tanda Bukti Hak Atas Tanah namun hanya sebuah surat tanda pembayaran pajak atas sebidang tanah. Surat Girik sangat lemah dari sisi status hukum, tetapi data menjadi dasar dalam pembuatan sertifikat tanah.
Pada dasarnya hukum pertanahan kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5 undang-undang Pokok Agraria tahun 1960.
Berikut langkah selanjutnya perlu dilakukan:
1). Mintalah girik asli dari si penjual, dan pastikan bahwa nama si penjual yang tercantum dalam girik tersebut. Jika tidak, harus ada hubungan hukum antara si penjual dengan orang yang tercantum dalam girik tersebut.
2). Pastikan objek tanah tersebut sama dengan yang dimaksud dalam girik, kemudian kuasai secara fisik dengan tanda batas yang jelas.
3). Ajukan permohonan hak atas tanah tersebut langsung ke kantor badan pertanahan setempat, dengan tahapan yang secara garis besarnya sebagai berikut:
(1) Girik-Grik
Girik-girik sering dianggap orang sebagai sertifikat untuk membuktikan kekuasaannya atas sebidang tanah, namun Girik Bukan Tanda Bukti Hak Atas Tanah namun hanya sebuah surat tanda pembayaran pajak atas sebidang tanah. Surat Girik sangat lemah dari sisi status hukum, tetapi data menjadi dasar dalam pembuatan sertifikat tanah.
Pada dasarnya hukum pertanahan kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis. Hal ini dapat dilihat pada pasal 5 undang-undang Pokok Agraria tahun 1960.
Berikut langkah selanjutnya perlu dilakukan:
1). Mintalah girik asli dari si penjual, dan pastikan bahwa nama si penjual yang tercantum dalam girik tersebut. Jika tidak, harus ada hubungan hukum antara si penjual dengan orang yang tercantum dalam girik tersebut.
2). Pastikan objek tanah tersebut sama dengan yang dimaksud dalam girik, kemudian kuasai secara fisik dengan tanda batas yang jelas.
3). Ajukan permohonan hak atas tanah tersebut langsung ke kantor badan pertanahan setempat, dengan tahapan yang secara garis besarnya sebagai berikut:
- Pengukuhan fisik tanah dilanjutkan dengan pembuatan Gambar situasi.
- Penelitian dan pembahasan Panitia A.
- Pengumuman atas permohonan tersebut.
- Penerbitan SK pemberian Hak.
- Pencetakan sertifikat tanah.
- Total waktu yang dibutuhkan kurang lebih 90 hari.
- Adapun biaya pemasukan ke kas negara sekitar 5 % x NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) x luas tanah, ditambah dengan dana operasional petugas lapangan.
(2) Hak Pakai (HP)
Hak Pakai atau HP merupakan sertifikat yang menjelaskan terhadap suatu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasa Negara atau tanah orang lain sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Namun perjanjian yang dimaksud bukan perjanjian mengelola lahan atau sewa-menyewa lahan yang sifatnya jangka pendek. Hak Pakai biasanya memiliki jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
(3) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha merupakan hak yang diberikan kepada seseorang dalam hal untuk mengelola sebidang tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu yang diatur dalam UU Agraria atau paling lama 25 tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperbaharui kembali.
(4) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS)
HMSRS atau Hak MIlik Atas Satuan Rumah Susun merupakan hak kepemiliki atas satuan rumah susun yang bersifat terpisah maupun perseorangan. Selain pemilikan SRS, HMSRS juga mencangkup hak kepemilikan bersama atas apa yang disebut bagian bersama, tanah bersama, dan benda bersama. Ketiga komponen pemilikan bersama tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apartemen, Rumah Rusun menjadi contoh properti yang menggunakan sertifikat seperti ini.
(5) Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB atau Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan atau memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliki pribadi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria atau paling lama selama 30 tahun. Jangka waktu dapat diperpanjang lagi jika telah habis masa penggunanaanya dan Hak Guna Bangunan (HGB) dapat ditingkatkan kekuatan hukumnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
(6) Sertifikat Hak Milik (SHM)
Sertifikat Hak Milik adalah sertifikat dengan status hukum terkuat diantara status hukum pertanahan yang lainnya. Hak yang melekat pada sertifikat hak milik memiliki sifat hak turun temurun dan terpenuhi yang dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum sebagai pemilik dalam sertifikat hak milik tersebut.
Semoga bermanfaat.