Siarlingkungan.Com // Jakarta - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis menekankan KPI mendukung perlindungan jurnalis dalam menjalankan tugasnya karena merupakan garda depan dalam ruang edukasi publik.
"KPI mendukung perlindungan jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Kegiatan jurnalistik dan penyiaran itu tidak dapat dipisahkan karena berjalan beriringan serta saling beririsan," kata Yuliandre dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Logo Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) |
Dalam simposium Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) bertemakan "Setop Impunitas Pelaku Kekerasan terhadap Jurnalis" di Jakarta, Yuliandre menekankan agar semua pihak yang terkait langsung maupun tidak dengan para jurnalis pun harus saling mendukung dan menguatkan. Hal ini sangat penting agar jurnalis bisa menjalankan tugasnya dengan rasa aman dan tanpa tekanan.
Selain itu, KPI juga mendorong peningkatan kesejahteraan jurnalis, khususnya di lembaga penyiaran, sangat penting karena akan menguatkan idealisme ketika tugas di lapangan.
Adanya peningkatan kesejahteraan jurnalis, kata Yuliandre, juga menjadi catatan bagi KPI dalam evaluasi tahunan terhadap lembaga penyiaran.
"Kami sangat mendukung peningkatan kesejahteraan ini," katanya.
Ia juga mengatakan bahwa jurnalis harus bisa menjadi penyeimbang informasi yang diterima masyarakat, terlebih dalam kondisi saat ini yang banyak beredar berita bohong atau "hoax".
Ketua IJTI Yadi Hendriyana juga sependapat dengan mengatakan bahwa publikasi pem beritaan atau informasi yang dilakukan oleh jurnalis tidak sekadar menyampaikan fakta, tetapi juga bagaimana berita harus dilihat dari dampak setelahnya.
"Oleh karena itu, mari kita sisipkan sisi-sisi positif dari produk jurnalistik tersebut," katanya.
Editor : Enimawani
Sumber : Antara
Siarlingkungan.Com // Jakarta - Penasihat Hukum Tim Advokasi Bhineka Tunggal Ika, Humphrey R. Djemat mengungkapkan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi mencabut gugatan perdatanya terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
ACTA Cabut Gugatan Terhadap Ahok/Foto: Viva |
Gugatan ACTA terkait kasus dugaan penistaan Agama yang diduga dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 8 Desember 2016. Gugatan dicabut pada Kamis, 19 Januari kemarin.
"Sidang perdana atas gugatan tersebut digelar pada Kamis, (19/1/2017), namun pada sidang terbuka, pihak Penggugat melalui Kuasa Hukumnya, yang berasal dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi mencabut gugatan tersebut. Dengan demikian gugatan tersebut sudah tidak ada lagi," kata Tim Kuasa Hukum Ahok, Humphrey dalam keteragan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Jumat (20/1/2017).
Koordinator ACTA, Habiburokhman tidak mengiyakan ataupun membantah soal pencabutan gugatan terhadap Ahok. Namun, ia mengaku kecewa atas sikap Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memisahkan kasus perdata dengan pidana Ahok.
"Kami kecewa dengan sikap PN Jakarta Utara yang membentuk Majelis Hakim sendiri dengan register perkara berbeda dengan perkara pidana, sehingga sidang tidak digabung dengan perkara pidana," kata Habiburokhman, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, (20/1/2017).
Ia mengatakan, gugatannya tersebut didaftarkan sebelum sidang pidana Ahok digelar. Namun, pihaknya baru mendapat panggilan setelah sidang pidana masuk sidang ke-6, sudah banyak saksi yang diperiksa tanpa kehadiran mereka.
"Kalau sidang dilaksanakan terpisah maka gugatan kami akan sia-sia karena kami juga berkepentingan mengajukan bukti, saksi dan ahli untuk membuktikan perbuatan pidana Ahok yang akan menjadi dasar gugatan perdata kami," tambah Habiburokhman.
Sejak pendaftaran, ia menambahkan, pihaknya sudah menegaskan gugatan tersebut merupakan gugatan ganti rugi secara khusus yang diatur berdasarkan Pasal 98 ayat 1 KUHAP.
Pasal itu berbunyi, Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
Habiburokhman mengaku, pihaknya mempertanyakan pada sidang kemarin di ruang sidang. Namun majelis hakim mengatakan mereka hanya mendapat penugasan. Mereka tidak tahu alasan mengapa sidang dipisah.
Dalam tuntutannya, ACTA menuntut ganti rugi sebesar Rp 470 miliar. ACTA merupakan kuasa hukum dari Ali Hakim Lubis yang merupakan perwakilan kelompok yang diduga merasa dirugikan oleh Ahok.
Editor : Enimawani
Sumber : liputan6
Siarlingkungan.Com // Jakarta - Wakil Gubernur non-aktif DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan akan mengkaji Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah saat dirinya kembali aktif menjabat.
Wagub non-aktif DKI Jakarta, Djarot: Kemiskinan Sengaja Diciptakan/Foto:Viva |
"Kalau kami sudah aktif, kami akan kaji lagi bagaimana penerapannya di DKI. Ada BOP dan BOS," ujar Djarot di Jakarta Barat, Sabtu (21/1/2017).
Berdasarkan Permendikbud itu, Komite Sekolah diizinkan untuk melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan.
Namun menurut Djarot, kajian akan dilakukan karena saat ini Pemprov DKI telah memberikan bantuan operasional pendidikan (BOP) kepada sekolah-sekolah. Setiap siswa SD di Jakarta mendapatkan bantuan sebesar Rp 60.000 per bulan, tingkat SMP Rp 110.000 per bulan, dan tingkat SMA sebesar Rp 400.000.
Selain itu, Pemrov DKI juga telah melarang sekolah-sekolah memungut sumbangan dalam bentuk apapun.
Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah telah ditandatangani 30 Desember 2016. Permendikbud tersebut menuai kritik karena dianggap memberi lampu hijau bagi pihak sekolah untuk melakukan pungutan.
Polemik tersebut dipicu bunyi pasal 10 dalam Permendikbud 75 tahun 2016 mengenai penggalangan dana yang dapat dilakukan oleh Komite Sekolah demi pengembangan kualitas sarana, prasarana, dan pendidikan di sekolah.
Editor : Enimawani
Sumber : Kompas