Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi).
Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu :
- Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
- Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
- Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
- Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
" Pengambilan Gambar "
Saat ini teman saya memiliki website yang khusus membahas produk/merek tertentu. Untuk pembahasannya dia mendapat informasi baik dari website resmi produk tersebut, website lain, teman maupun forum-forum di internet. Pertanyaannya, bolehkah teman saya tersebut mengambil gambar/foto dari website resmi kemudian mencantumkannya di website pribadinya dengan mencantumkan sumber di setiap artikelnya? Apakah itu melanggar hukum? Terima kasih.
rizkiwahyu
Saat ini teman saya memiliki website yang khusus membahas produk/merek tertentu. Untuk pembahasannya dia mendapat informasi baik dari website resmi produk tersebut, website lain, teman maupun forum-forum di internet. Pertanyaannya, bolehkah teman saya tersebut mengambil gambar/foto dari website resmi kemudian mencantumkannya di website pribadinya dengan mencantumkan sumber di setiap artikelnya? Apakah itu melanggar hukum? Terima kasih.
rizkiwahyu
[source : hukum online]
---
Menurut jawaban Risa Amrikasari S.S., M.H. di situs hukum online, Gambar atau foto termasuk Ciptaan yang dilindungi sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UUHC”). Gambar atau foto yang sudah dimuat pada sebuah website termasuk dalam kategori gambar atau foto yang sudah berbentuk digital. Perlindungan hak cipta gambar atau foto tetap berlanjut meski telah berubah menjadi bentuk digital, oleh karenanya ketika mereka berada dalam sebuah website, maka perlindungan hak cipta sebagai gambar atau foto tetap berlaku.
Hal yang mungkin selama ini belum terlalu disadari oleh banyak orang adalah bahwa pada saat seseorang mengakses sebuah website, maka ia telah melakukan paling tidak 3 hal yaitu: menyalin, menampilkan, dan mendistribusikan semua materi yang ada pada website yang diaksesnya ke dalam komputernya.
Itu sebabnya menjadi teramat penting ketika suatu karya cipta telah beralih menjadi bentuk digital, perlindungan hukumnya tetap melekat. Demikian pula halnya dengan gambar atau foto yang disalin oleh teman Anda. Menyalin, menampilkan, dan mendistribusikan gambar yang diambil dari sebuah website hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik hak cipta gambar atau foto tersebut karena hanya Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUHC yang menyebutkan:
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Di mana Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menyebutkan:
“Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.”
Menyebut sumber saja tidak bisa dianggap sudah cukup memenuhi syarat kecuali apabila pada website yang gambar atau fotonya diambil memang telah memberi izin bahwa isi website dapat dipergunakan selama tidak untuk kepentingan komersial dan disebutkan sumbernya atau diberi link.
UUHC juga mengatur mengenai penggunaan yang tak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 15 berikut ini:
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang no nkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Bicara mengenai hak cipta online adalah bicara mengenai lintas batas negara. Banyak hal yang dapat terjadi yang tidak hanya berkemungkinan melanggar hak cipta, tetapi juga bisa melanggar hak merek.
Perlu diingat bahwa:
1. “Linking” bisa membawa masalah ketika kita tak paham benar apa yang kita lakukan. Mungkin kita tak pernah menyadari bahwa satu “link” sederhana hanya karena ingin menyebut sumber bisa membuat kita melakukan pelanggaran hak cipta.
2. "Deep-linking" menghubungkan pengguna langsung ke materi di situs lain, melewati home’s site atau halaman depan situs anda, dan mungkin menimbulkan beberapa pelanggaran hak cipta atau hak terkait.
3. “Framing Online Content” yang terjadi karena salinan link yang disalin dari website resmi juga bisa menimbulkan pelanggaran hak merek jika teman Anda atau siapapun tidak berhati-hati dalam mempergunakan karya orang lain secara online apalagi mengambil dari situs orang lain.
Jadi, pastikan teman Anda tersebut meminta izin terlebih dahulu jika ingin menggunakan materi dari website orang lain.
Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Hal yang mungkin selama ini belum terlalu disadari oleh banyak orang adalah bahwa pada saat seseorang mengakses sebuah website, maka ia telah melakukan paling tidak 3 hal yaitu: menyalin, menampilkan, dan mendistribusikan semua materi yang ada pada website yang diaksesnya ke dalam komputernya.
Itu sebabnya menjadi teramat penting ketika suatu karya cipta telah beralih menjadi bentuk digital, perlindungan hukumnya tetap melekat. Demikian pula halnya dengan gambar atau foto yang disalin oleh teman Anda. Menyalin, menampilkan, dan mendistribusikan gambar yang diambil dari sebuah website hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik hak cipta gambar atau foto tersebut karena hanya Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang memiliki hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUHC yang menyebutkan:
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Di mana Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut menyebutkan:
“Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.”
Menyebut sumber saja tidak bisa dianggap sudah cukup memenuhi syarat kecuali apabila pada website yang gambar atau fotonya diambil memang telah memberi izin bahwa isi website dapat dipergunakan selama tidak untuk kepentingan komersial dan disebutkan sumbernya atau diberi link.
UUHC juga mengatur mengenai penggunaan yang tak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 15 berikut ini:
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang no nkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Bicara mengenai hak cipta online adalah bicara mengenai lintas batas negara. Banyak hal yang dapat terjadi yang tidak hanya berkemungkinan melanggar hak cipta, tetapi juga bisa melanggar hak merek.
Perlu diingat bahwa:
1. “Linking” bisa membawa masalah ketika kita tak paham benar apa yang kita lakukan. Mungkin kita tak pernah menyadari bahwa satu “link” sederhana hanya karena ingin menyebut sumber bisa membuat kita melakukan pelanggaran hak cipta.
2. "Deep-linking" menghubungkan pengguna langsung ke materi di situs lain, melewati home’s site atau halaman depan situs anda, dan mungkin menimbulkan beberapa pelanggaran hak cipta atau hak terkait.
3. “Framing Online Content” yang terjadi karena salinan link yang disalin dari website resmi juga bisa menimbulkan pelanggaran hak merek jika teman Anda atau siapapun tidak berhati-hati dalam mempergunakan karya orang lain secara online apalagi mengambil dari situs orang lain.
Jadi, pastikan teman Anda tersebut meminta izin terlebih dahulu jika ingin menggunakan materi dari website orang lain.
Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
[source : hukum online]
Yth: Pengasuh Klinik Hukumonline, Saya seorang yang bekerja di sektor swasta dan pernah menjadi pengajar di salah satu universitas swasta. Akhir-akhir ini, saya tertarik untuk mendirikan lembaga penelitian di bidang hukum (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tidak terkait sama sekali dengan universitas. Oleh karena itu, saya ingin bertanya, bagaimanakah cara/prosedur mendirikan lembaga penelitian di bidang hukum? Apakah dibutuhkan berbentuk hukum yayasan ataukah lembaga khusus dan membutuhkan lapor atau persetujuan dari departemen pendidikan? terima kasih atas perhatiannya.
Siti Anugerah P.
[Hukumonline]
------------
Pada dasarnya, Lembaga Swadaya Masyarakat adalah istilah yang senantiasa digunakan oleh masyarakat luas untuk menyebut organisasi yang bergerak di bidang sosial (tidak berorientasi profit) dan secara institusi tidak terikat dan/atau tidak berada di bawah organ-organ negara.
Dari segi kerangka hukum, pengaturan tentang organisasi sosial di Indonesia membagi jenis organisasi itu menjadi dua, yaitu:
Dari segi kerangka hukum, pengaturan tentang organisasi sosial di Indonesia membagi jenis organisasi itu menjadi dua, yaitu:
- Organisasi tanpa anggota (non-membership organisation); dan.
- Organisasi berdasarkan keanggotaan (membership-based organisation).
Untuk jenis yang pertama—organisasi tanpa anggota—hukum Indonesia telah mengatur melalui UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Sementara itu, jenis organisasi yang kedua—organisasi berdasarkan keanggotaan—diatur melalui produk hukum yang telah berlaku sejak masa kolonial, yaitu Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Reschtpersoonlijkheid van Verenegingen).
Perbedaan mendasar antara kedua jenis organisasi itu adalah: yayasan berdiri karena adanya kekayaan para pendiri yang dipisahkan, sementara perkumpulan berdiri karena adanya orang-orang yang berkumpul. Anda juga dapat menyimak perbedaan lainnya antara yayasan dengan perkumpulan dalam artikel Bedanya Perkumpulan dengan Yayasan.
Pendirian lembaga penelitian di bidang hukum yang bersifat mandiri, terlepas dari institusi manapun termasuk universitas, dapat Anda lakukan dengan memilih salah satu dari kedua jenis badan hukum di atas (Yayasan atau Perkumpulan). Apabila Anda memilih badan hukum Yayasan sebagai bentuk lembaga penelitian, peraturan yang berlaku tentang pendirian lembaga itu adalah Pasal 9 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Untuk mengetahui langkah-langkah pendirian badan hukum Yayasan, Anda dapat membaca artikel Membentuk Yayasan.
Sementara itu, jika Anda memilih badan hukum Perkumpulan sebagai bentuk organisasi Anda, hukum Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum yang menjadi dasar pijakan. Lebih lanjut, Anda dapat simak artikel Prosedur Pendirian Perkumpulan Berbadan Hukum.
Dalam praktik, status sebagai badan hukum Perkumpulan jarang dipilih oleh organisasi yang ingin berdiri dan beraktivitas secara formal. Hal itu disebabkan oleh pengaturan jenis organisasi Perkumpulan yang masih dalam bentuk hukum kolonial dianggap menyulitkan dalam tataran praktik (antara lain karena banyaknya notaris yang tidak mengetahui tata cara pendirian Perkumpulan) serta dasar hukum yang dianggap kurang kuat.
Pendirian kedua badan hukum di atas, baik Yayasan maupun Perkumpulan, tidak membutuhkan mekanisme pelaporan atau pun persetujuan dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Staatsblad No. 1870 No. 64 (Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum).
- Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
- Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Resensi : HukumOnline
Terkait hal tersebut, berdasarkan rumusan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), tetap ada potensi Anda dianggap melakukan tindak pidana walaupun Anda tidak menyebutkan secara jelas nama atau instansi yang Anda keluhkan. Berikut bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE:
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Berdasarkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, adalah baik jika Anda berhati-hati dengan apa yang Anda tulis pada status facebook Anda. Hal ini karena pengaturan mengenai pencemaran nama baik atau penghinaan di dalam UU ITE lebih luas daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dalam arti, di dalam KUHP (Bab XVI tentang Penghinaan) jelas bahwa perbuataan penghinaan tersebut harus dilakukan terhadap seseorang dan merupakan delik aduan (Pasal 319 KUHP). Akan tetapi, di dalam perumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dikatakan bahwa orang yang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana.
Berkaitan dengan pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE dan KUHP, Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi di dalam artikel Mengeluh di Media Sosial dengan Menyamarkan Nama yang Dituju menjelaskan bahwa:
“Bisa tidaknya sebuah kata atau kalimat dikatakan mencemarkan nama baik seseorang atau badan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tidak pernah didefinisikan secara rinci. Hal ini karena pemaknaan pencemaran memiliki arti yang relatif. Untuk membuktikan secara lebih akurat kata atau kalimat dikatakan mencemarkan nama baik seseorang atau institusi, biasanya Aparat Penegak Hukum (“APH”) akan menggunakan ahli bahasa atau ahli ilmu sosial lainnya yang berhubungan dengan substansi kata atau kalimat tersebut.”
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 45 ayat (1) UU ITE
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Berdasarkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, adalah baik jika Anda berhati-hati dengan apa yang Anda tulis pada status facebook Anda. Hal ini karena pengaturan mengenai pencemaran nama baik atau penghinaan di dalam UU ITE lebih luas daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dalam arti, di dalam KUHP (Bab XVI tentang Penghinaan) jelas bahwa perbuataan penghinaan tersebut harus dilakukan terhadap seseorang dan merupakan delik aduan (Pasal 319 KUHP). Akan tetapi, di dalam perumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya dikatakan bahwa orang yang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana.
Berkaitan dengan pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE dan KUHP, Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi di dalam artikel Mengeluh di Media Sosial dengan Menyamarkan Nama yang Dituju menjelaskan bahwa:
“Bisa tidaknya sebuah kata atau kalimat dikatakan mencemarkan nama baik seseorang atau badan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tidak pernah didefinisikan secara rinci. Hal ini karena pemaknaan pencemaran memiliki arti yang relatif. Untuk membuktikan secara lebih akurat kata atau kalimat dikatakan mencemarkan nama baik seseorang atau institusi, biasanya Aparat Penegak Hukum (“APH”) akan menggunakan ahli bahasa atau ahli ilmu sosial lainnya yang berhubungan dengan substansi kata atau kalimat tersebut.”
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Pasal 51 ayat (2) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). \
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Pasal 51 ayat (2) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). \
Oleh: Ronny, M.Kom, M.H (Ronny Wuisan)
[Penulis adalah seorang LawBlogger/Praktisi Hukum Telematika di Indonesia]
[Penulis adalah seorang LawBlogger/Praktisi Hukum Telematika di Indonesia]
Apakah sah menurut hukum jika penagihan utang melalui jasa seorang polisi? Mengingat pembayaran hutang saya kepada rekan bisnis dengan cara cicil setiap bulan dan sempat macet dalam beberapa bulan terakhir. Setiap pembayaran saya tulis di belakang bon faktur dan sisa utang saya hanya sebesar Rp7-8 juta saja. Terima kasih atas informasinya?
Sebaiknya Anda Tahu :
Perjanjian Utang Piutang adalah Hubungan Keperdataan
Perjanjian utang piutang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) tidak diatur secara tegas dan terperinci, namun bersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyatakan dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama (selanjutnya untuk kemudahan, maka istilah yang dipergunakan adalah “perjanjian utang piutang”). Pasal 1754 KUH Perdata yang dkutip sebagai berikut:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Sehingga, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus dengan iktikad baik dilaksanakan. Dalam hal tidak ada atau bahkan kesepakatan rinci tidak dituangkan dalam suatu bentuk tertulis, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata ditegaskan bahwa aturan umum dalam KUH Perdata akan berlaku dan menjadi aturan yang harus dipatuhi oleh para pihak. Berikut dikutip Pasal 1319 KUH Perdata sebagai berikut:
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.”
Dengan berpatokan pada KUH Perdata, maka setiap penafsiran, tindakan, maupun penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian utang piutang dan KUH Perdata. Termasuk untuk menentukan suatu pihak berada dalam keadaan wanprestasi, yang banyak ahli hukum perdata mengkategorikan wanprestasi ke dalam 4 (empat) keadaan, yaitu:
1. Sama sekali tidak memenuhi.
2. Tidak tunai memenuhi prestasi.
3. Terlambat memenuhi prestasi.
4. Keliru memenuhi prestasi.
Sehingga, pihak si berutang dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila telah menerima teguran (sommatie/ingebrekestelling) supaya memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Muara terakhir dari keadaan wanprestasi ini adalah pengajuan gugatan terhadap pihak yang berutang. Dengan demikian, pengadilan terkait didasarkan pada bukti yang kuat akan menyatakan si berutang berada dalam keadaan wanprestasi, dan diwajibkan untuk memenuhinya, serta apabila diminta pengadilan akan meletakan sita terhadap harta benda si berutang. Artinya, kekuatan eksekutorial dimiliki oleh pihak yang mengutangkan, sehingga secara hukum dia berhak meminta bantuan pengadilan untuk mengeksekusi barang si berutang tersebut.
Tugas dan fungsi Kepolisian
Kepolisian adalah alat Negara, yang berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang mana fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Ditinjau dari tujuan pembentukannya, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4 UU Kepolisian).
Tugas pokok dari Kepolisian sebagaimana termaktub dalam Pasal 13 UU Kepolisian, yang dikutip sebagai berikut:
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Dalam menjalankan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU Kepolisian tersebut di atas, maka Kepolisian Republik Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warna masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan tugas di atas, Kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam PP RI No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Peraturan Disiplin Kepolisian”). Dalam Pasal 5 Peraturan Disiplin Kepolisian dikutip sebagaimana di bawah ini:
“Dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang:
a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. melakukan kegiatan politik praktis;
c. mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
d. bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
e. bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
f. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
g. bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
h. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
i. menjadi perantara/makelar perkara;
j. menelantarkan keluarga.”
[Warna Merah merupakan penegasan dari Penjawab]
Kesimpulan
Urusan utang piutang adalah murni hubungan keperdataan antara si berutang dan yang mengutangkan saja yang berdasarkan Pasal 1754 jo. 1338 jo. 1319 KUH Perdata tunduk pada KUH Perdata, yang lebih lanjut mekanisme penagihannya harus sesuai dengan ketentuan acara hukum perdata. Sehingga, segala bentuk penagihan utang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian sangat bertentangan dengan UU Kepolisian dan Peraturan Disiplin Kepolisian. Terhadap masyarakat yang dirugikan atas tindakan anggota Kepolisian tersebut dapat mengambil upaya hukum, termasuk melaporkannya kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (DIV PROPAM) POLRI.
Dasar hukum:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Cetakan Keempatpuluh, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004).
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c. Peraturan Pemerintah RI No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Daftar bacaan:
a. Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
b. Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H.,dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
c. Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
d. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Kedelapan, Mandar Maju, 2000
e. Riduan Syahrani, S. H., Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Edisi Revisi, PT. Alumni, Bandung, 2006.
Reference:
>>
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5475/bolehkah-memakai-jasa-polisi-untuk-penagihan-utang?
‘Mulutmu adalah harimaumu’. Pribahasa ini mengajarkan kita agar berkata jujur. Kalau tidak ingin kesandung masalah dalam pergaulan, janganlah menyampaikan sesuatu yang tidak benar. Apalagi kalau informasi yang disampaikan itu nyata-nyata palsu. Kini, percaya atau tidak, semakin banyak perangkap hukum yang bisa menjerat Anda.
Coba tengok sudah berapa banyak orang yang kesandung UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tengok pula ancaman bagi orang yang memberikan sumpah palsu di pengadilan. Contoh lain, coba telusuri kasus-kasus orang menggunakan ijazah asli tapi palsu untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan tertentu.
Ada banyak pemberian informasi palsu atau pernyataan palsu yang bisa dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Sebagian besar jenis tindak pidana itu telah dirangkum oleh dua orang dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, lewat buku mereka Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan.
.
Judulnya panjang bukan? Untuk ringkasnya sebut saja Tindak Pidana Pemalsuan. Buku ini menarik, pertama, karena bukan saja merangkum pasal-pasal tindak pidana pemalsuan sehingga berguna sebagai alat komparasi; tetapi juga, kedua, memuat kritik penulis atas perumusan norma-norma pidana pemalsuan. Artinya, dari sisi teoritis ada problem perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan yang tersebar.
Untuk alasan yang pertama, perlulah disebut bahwa buku ini sebenarnya pengembangan dari buku Kejahatan Mengenai Pemalsuan yang pernah dikeluarkan penerbit yang sama pada tahun 2001. Rupanya, perundang-undangan sudah berkembang setelah itu. Ada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam kaitannya dengan ijazah dan menggunakan karya ilmiah palsu untuk mendapatkan gelar, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Terhadap alasan kedua, buku ini memuat kritik penulis terutama mengenai perumusan norma pidana yang kadang-kadang berlebihan. Penulis antara lain menyebut ‘cara pembentuk Undang-Undang merumuskan tindak pidana dalam UU ITE di luar kebiasaan’ (hal. 232).
Persoalan memberi keterangan palsu juga dikenal dalam perkara korupsi, seperti diatur Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi. Ada empat jenis tindak pidana dalam pasal dimaksud yaitu (i) tersangka sengaja melanggar kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan sesuai Pasal 28; (ii) pihak bank sengaja melanggar kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan sesuai pasal 29; (iii) saksi sengaja tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar sesuai pasal 35; dan (iv) saksi sengaja tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan sebagaimana dimaksud pasal 36. Menurut kedua penulis, maksud pembentukan empat macam tindak pidana ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum mengenai kelancaran penanganan dan pengungkapan kasus korupsi oleh penyidik, penyidik, dan majelis hakim (hal. 267).
Judul Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan
Penulis : Adami Chazawi dan Ardi Ferdian
Penerbit : RajaGrafindo Persada, Jakarta
Cet-1 : 2014
Ukuran : xii, 306, 23 cm
Dengan menelusuri perumusan tindak pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan, penulis menyimpulkan ada 11 unsur tindak pidana. Mereka adalah unsur melawan hukum, kesalahan, akibat konstitutif, keadaan yang menyertai, syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana, syarat tambahan untuk diperberatnya pidana, syarat tambahan untuk dapat dipidana, objek hukum tidak pidana, dan kualitas subjek hukum tindak pidana (hal. 2).
Dalam perumusan norma, ada unsur yang selalu dicantumkan, ada yang tidak. Unsur yang selalu dicantumkan adalah perbuatan dan objek. Perbuatan dan objek adalah syarat mutlak perumusan tindak pidana (Ibid).
Istilah pemalsuan tidak perlu selalu diartikan pada perbuatan yang menjadikan palsunya isi tulisan seperti surat atau sejenisnya; melainkan termasuk juga palsunya isi berita/informasi yang tidak dituliskan. Sekadar contoh adalah keterangan saksi yang diucapkan atau disampaikan secara verbal. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah di pengadilan dibahas langsung pada bab 2 buku ini.
Kedua penulis adalah akademisi yang mengkhususkan diri pada bidang pidana. Adami Chazawi tercatat sudah menerbitkan 19 karya buku, sebagian besar hukum pidana. Sedangkan Ardi Ferdian adalah alumnus Magister Konotariatan Universitas Brawijaya, dimana ia kemudian mengabdikan diri sebagai dosen.
Buku ini menarik untuk dibaca. Sayangnya, ada kemungkinan beberapa kesalahan percetakan pada edisi perdana. Jadi, periksa dulu sebelum membeli. Selamat membaca…
Coba tengok sudah berapa banyak orang yang kesandung UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tengok pula ancaman bagi orang yang memberikan sumpah palsu di pengadilan. Contoh lain, coba telusuri kasus-kasus orang menggunakan ijazah asli tapi palsu untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan tertentu.
Ada banyak pemberian informasi palsu atau pernyataan palsu yang bisa dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Sebagian besar jenis tindak pidana itu telah dirangkum oleh dua orang dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, lewat buku mereka Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan.
.
Judulnya panjang bukan? Untuk ringkasnya sebut saja Tindak Pidana Pemalsuan. Buku ini menarik, pertama, karena bukan saja merangkum pasal-pasal tindak pidana pemalsuan sehingga berguna sebagai alat komparasi; tetapi juga, kedua, memuat kritik penulis atas perumusan norma-norma pidana pemalsuan. Artinya, dari sisi teoritis ada problem perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan yang tersebar.
Untuk alasan yang pertama, perlulah disebut bahwa buku ini sebenarnya pengembangan dari buku Kejahatan Mengenai Pemalsuan yang pernah dikeluarkan penerbit yang sama pada tahun 2001. Rupanya, perundang-undangan sudah berkembang setelah itu. Ada UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam kaitannya dengan ijazah dan menggunakan karya ilmiah palsu untuk mendapatkan gelar, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Terhadap alasan kedua, buku ini memuat kritik penulis terutama mengenai perumusan norma pidana yang kadang-kadang berlebihan. Penulis antara lain menyebut ‘cara pembentuk Undang-Undang merumuskan tindak pidana dalam UU ITE di luar kebiasaan’ (hal. 232).
Persoalan memberi keterangan palsu juga dikenal dalam perkara korupsi, seperti diatur Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi. Ada empat jenis tindak pidana dalam pasal dimaksud yaitu (i) tersangka sengaja melanggar kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan sesuai Pasal 28; (ii) pihak bank sengaja melanggar kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan sesuai pasal 29; (iii) saksi sengaja tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar sesuai pasal 35; dan (iv) saksi sengaja tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk memberi keterangan sebagaimana dimaksud pasal 36. Menurut kedua penulis, maksud pembentukan empat macam tindak pidana ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum mengenai kelancaran penanganan dan pengungkapan kasus korupsi oleh penyidik, penyidik, dan majelis hakim (hal. 267).
Judul Tindak Pidana Pemalsuan: Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan
Penulis : Adami Chazawi dan Ardi Ferdian
Penerbit : RajaGrafindo Persada, Jakarta
Cet-1 : 2014
Ukuran : xii, 306, 23 cm
Dengan menelusuri perumusan tindak pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan, penulis menyimpulkan ada 11 unsur tindak pidana. Mereka adalah unsur melawan hukum, kesalahan, akibat konstitutif, keadaan yang menyertai, syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana, syarat tambahan untuk diperberatnya pidana, syarat tambahan untuk dapat dipidana, objek hukum tidak pidana, dan kualitas subjek hukum tindak pidana (hal. 2).
Dalam perumusan norma, ada unsur yang selalu dicantumkan, ada yang tidak. Unsur yang selalu dicantumkan adalah perbuatan dan objek. Perbuatan dan objek adalah syarat mutlak perumusan tindak pidana (Ibid).
Istilah pemalsuan tidak perlu selalu diartikan pada perbuatan yang menjadikan palsunya isi tulisan seperti surat atau sejenisnya; melainkan termasuk juga palsunya isi berita/informasi yang tidak dituliskan. Sekadar contoh adalah keterangan saksi yang diucapkan atau disampaikan secara verbal. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah di pengadilan dibahas langsung pada bab 2 buku ini.
Kedua penulis adalah akademisi yang mengkhususkan diri pada bidang pidana. Adami Chazawi tercatat sudah menerbitkan 19 karya buku, sebagian besar hukum pidana. Sedangkan Ardi Ferdian adalah alumnus Magister Konotariatan Universitas Brawijaya, dimana ia kemudian mengabdikan diri sebagai dosen.
Buku ini menarik untuk dibaca. Sayangnya, ada kemungkinan beberapa kesalahan percetakan pada edisi perdana. Jadi, periksa dulu sebelum membeli. Selamat membaca…
Resensi : hukumonline