Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) No 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“MK menyatakan bahwa frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 1/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Kamis (16/1).
Sehingga, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi, “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Melalui kuasa hukumnya, permohonan ini diajukan oleh Oei Alimin Sukamto Wijaya yang berstatus tersangka akibat berlakunya kedua pasal itu. Pemohon telah ditahan oleh Polsek Genteng Surabaya pada 5 Agustus 2012 lantaran bertengkar dengan pemilik Hotel Meritus (Haryono Winata), padahal pemohon dalam posisi dianiaya Haryono. Kala itu, Alimin berujar “Hei kamu jangan pukuli aku di sini (hotelmu), kalau berani ayo bertengkar (jembatan) di Suramadu.”
Pemohon menilai penerapan Pasal 335 ayat (1) KUHP secara konstitusional bisa melanggar hak siapapun ketika ada penyidik atau penuntut umum menggunakan pasal itu. Sebab, frasa dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP bersifat absurd (kabur) atau tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga siapapun dengan mudah bisa dijerat pasal karet itu.
Misalnya, orang meludah atau meletakkan barang di rumah orang lain selama pemilik rumah tidak suka, bisa dilaporkan ke polisi. Menurutnya, penerapan Pasal 335 ayat (1) KUHP sering disalahgunakan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Sebab, sesuai Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP, tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan ini dapat dilakukan penahanan. Praktiknya, ketika orang dituduh merusak barang atau asusila bisa ditahan, karena pasal yang dirujuk Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Mahkamah menilai frasa “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, implementasi ketentuan itu memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum terutama bagi pihak yang dilaporkan.
“Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalamproses penegakan hukum,” ujar Hakim Konstitusi, Ahmad Fadil Sumadi, saat membacakan pertimbangan hukum.
Menurut Mahkamah sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur, ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata.
“Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian itu, dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan,” kata Fadil
Namun, apabila laporan tidak terbukti di pengadilan, pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan penuntut umum. Terlebih, lagi apabila yang bersangkutan ditahan yang berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan sebagai hak asasinya.
Padahal hukum pidana dan hukum acara pidana justru ditujukan untuk melindungi hak asasi dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Selain itu, yang bersangkutan secara moral dan sosial telah dirugikan karena telah mengalami stigmatisasi sebagai orang yang tercela sebagai akibat laporan tersebut.
Karena itu, lanjut Fadil, permohonan Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP sepanjang frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” beralasan menurut hukum.
Usai persidangan, kuasa hukum Oie, M. Soleh sudah memperkirakan MK akan mencabut frasa ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Dia berharap pihak polisi ataupun jaksa tidak bisa lagi “memanfaatkan” frasa tersebut untuk menahan seseorang.
“Dengan dicabutnya frasa dalam pasal ini polisi tidak bisa bermain-main lagi. Frasanya dihilangkan. Ini pasal karet yang bisa lentur kemana-mana dan sudah menjadi musuh bersama,” kata Soleh.
Sehingga, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP selengkapnya berbunyi, “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Melalui kuasa hukumnya, permohonan ini diajukan oleh Oei Alimin Sukamto Wijaya yang berstatus tersangka akibat berlakunya kedua pasal itu. Pemohon telah ditahan oleh Polsek Genteng Surabaya pada 5 Agustus 2012 lantaran bertengkar dengan pemilik Hotel Meritus (Haryono Winata), padahal pemohon dalam posisi dianiaya Haryono. Kala itu, Alimin berujar “Hei kamu jangan pukuli aku di sini (hotelmu), kalau berani ayo bertengkar (jembatan) di Suramadu.”
Pemohon menilai penerapan Pasal 335 ayat (1) KUHP secara konstitusional bisa melanggar hak siapapun ketika ada penyidik atau penuntut umum menggunakan pasal itu. Sebab, frasa dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP bersifat absurd (kabur) atau tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga siapapun dengan mudah bisa dijerat pasal karet itu.
Misalnya, orang meludah atau meletakkan barang di rumah orang lain selama pemilik rumah tidak suka, bisa dilaporkan ke polisi. Menurutnya, penerapan Pasal 335 ayat (1) KUHP sering disalahgunakan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim. Sebab, sesuai Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP, tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan ini dapat dilakukan penahanan. Praktiknya, ketika orang dituduh merusak barang atau asusila bisa ditahan, karena pasal yang dirujuk Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Mahkamah menilai frasa “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, implementasi ketentuan itu memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan penyidik dan penuntut umum terutama bagi pihak yang dilaporkan.
“Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalamproses penegakan hukum,” ujar Hakim Konstitusi, Ahmad Fadil Sumadi, saat membacakan pertimbangan hukum.
Menurut Mahkamah sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur, ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata.
“Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian itu, dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain berdasarkan suatu laporan,” kata Fadil
Namun, apabila laporan tidak terbukti di pengadilan, pihak yang dilaporkan jelas telah menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan penuntut umum. Terlebih, lagi apabila yang bersangkutan ditahan yang berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan sebagai hak asasinya.
Padahal hukum pidana dan hukum acara pidana justru ditujukan untuk melindungi hak asasi dari kesewenang-wenangan penegak hukum. Selain itu, yang bersangkutan secara moral dan sosial telah dirugikan karena telah mengalami stigmatisasi sebagai orang yang tercela sebagai akibat laporan tersebut.
Karena itu, lanjut Fadil, permohonan Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP sepanjang frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” beralasan menurut hukum.
Usai persidangan, kuasa hukum Oie, M. Soleh sudah memperkirakan MK akan mencabut frasa ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Dia berharap pihak polisi ataupun jaksa tidak bisa lagi “memanfaatkan” frasa tersebut untuk menahan seseorang.
“Dengan dicabutnya frasa dalam pasal ini polisi tidak bisa bermain-main lagi. Frasanya dihilangkan. Ini pasal karet yang bisa lentur kemana-mana dan sudah menjadi musuh bersama,” kata Soleh.
[ KOMNAS LKPI - MK Cabut Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan ]
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tidak mempermasalahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghilangkan kata 'perbuatan tidak menyenangkan' dalam Pasal 335 KUHP. Sebab, apa yang sudah diputuskan MK bersifat final dan mengikat serta harus dihormati.
"Kita hormati putusan MK itu, dan sudah ada aturan mainnya. Kita menyikapinya, ya sesuai dengan aturan yang berlaku. Nanti kita lihat perkembangannya terkait kasus yang ada sangkaannya terhadap pasal 335," kata Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto di Gedung Kejagung, Jumat (24/1/2014).
Andhi menjelaskan, selama ini pasal 335 lebih kepada tindak pidana umum dan juga tidak banyak disangkakan atau didakwakan. Bagi perkara yang sudah berjalan dengan sangkaan Pasal 335 KUHP, nantinya akan tetap berjalan.
"Kalau udah berjalan, kan biar berjalan. Tapi itu memang ada satu ketentuan. Ketika undang-undang itu terjadi perbuhan, itu bisa memilih yang meringankan bagi tersangka. Kita lihat saja, kan final-nya di hakim," ujarnya.
Sementara menurut Wakapolri Komjen Oegroseno, dengan menghilangkan frasa 'perbuatan tidak menyenangkan' yang terdapat pada Pasal 335 KUHP itu, bukan berarti perbuatan tidak menyenangkan dihilangkan. Tetapi berubah menjadi perbuatan lain yang menjadikan tidak menyenangkan.
Artinya, lanjut Oegroseno, jika perkara ditemui frasa yang mengambang (tidak jelas), harus dibuktikan terlebih duhulu. "Harus ada unsur kekerasan dan ancaman kekerasan. Ada unsur kekerasan atau nggak. Kalau tidak, ya tidak bisa diteruskan. Kalau ada, ya diteruskan," kata Oegroseno di Mabes Polri.
MK menghilangkan frasa 'perbuatan tidak menyenangkan' dalam Pasal 335 KUHP. Dengan demikian Pasal 335 KUHP yang sering dianggap pasal karet kini lebih jelas dan mengikat hukum. Dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
MK berpendapat perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 KUHP sangat tidak mengikat hukum dan perbuatan tidak menyenangkan tidak dapat diukur.
Dengan demikian bunyi Pasal 335 KUHP berubah sebagai berikut:
"Barang siapa secara sengaja melawan hukum, memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."
[ Liputan6/Rmn/Ali - 01/12/2015 ]
"Kita hormati putusan MK itu, dan sudah ada aturan mainnya. Kita menyikapinya, ya sesuai dengan aturan yang berlaku. Nanti kita lihat perkembangannya terkait kasus yang ada sangkaannya terhadap pasal 335," kata Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto di Gedung Kejagung, Jumat (24/1/2014).
Andhi menjelaskan, selama ini pasal 335 lebih kepada tindak pidana umum dan juga tidak banyak disangkakan atau didakwakan. Bagi perkara yang sudah berjalan dengan sangkaan Pasal 335 KUHP, nantinya akan tetap berjalan.
"Kalau udah berjalan, kan biar berjalan. Tapi itu memang ada satu ketentuan. Ketika undang-undang itu terjadi perbuhan, itu bisa memilih yang meringankan bagi tersangka. Kita lihat saja, kan final-nya di hakim," ujarnya.
Sementara menurut Wakapolri Komjen Oegroseno, dengan menghilangkan frasa 'perbuatan tidak menyenangkan' yang terdapat pada Pasal 335 KUHP itu, bukan berarti perbuatan tidak menyenangkan dihilangkan. Tetapi berubah menjadi perbuatan lain yang menjadikan tidak menyenangkan.
Artinya, lanjut Oegroseno, jika perkara ditemui frasa yang mengambang (tidak jelas), harus dibuktikan terlebih duhulu. "Harus ada unsur kekerasan dan ancaman kekerasan. Ada unsur kekerasan atau nggak. Kalau tidak, ya tidak bisa diteruskan. Kalau ada, ya diteruskan," kata Oegroseno di Mabes Polri.
MK menghilangkan frasa 'perbuatan tidak menyenangkan' dalam Pasal 335 KUHP. Dengan demikian Pasal 335 KUHP yang sering dianggap pasal karet kini lebih jelas dan mengikat hukum. Dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
MK berpendapat perbuatan tidak menyenangkan dalam Pasal 335 KUHP sangat tidak mengikat hukum dan perbuatan tidak menyenangkan tidak dapat diukur.
Dengan demikian bunyi Pasal 335 KUHP berubah sebagai berikut:
"Barang siapa secara sengaja melawan hukum, memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."
[ Liputan6/Rmn/Ali - 01/12/2015 ]
Definisi tentang pencurian sebagaimana dalam KUHP Pasal 162 adalah : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepuyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum …”
Ketentuan tindak pencurian yang dapat dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil sebagaimana ketentuan pasal 142 ayat (1) angka 2 yang pada intinya menyebutkan : …. ketika melakukan pencurian menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diperolehnya karena hubungannya dengan angkatan perang itu.”
Penanganan masalah pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil barangkali tidak menimbulkan banyak kendala dalam proses penanganannya, hal ini akan menjadi lain apabila tindak pencurian tersebut dilakukan oleh anggota militer terhadap barang-barang milik masyarakat sipil, hal ini sangat memerlukan kerjasama dari semua terutama pihak Polisi Militer dan Kepolisian dalam penyidikan perkara tersebut.
Pendahuluan
Bahwa pemenuhan kebutuhan manusia dalam kondisi yang sangat terdesak tidak dapat disangkal lagi dapat menyebabkan cara-cara pemenuhan yang terkadang harus dilakukan dengan cara melanggar aturan. Siapapun juga tidak masyarakat sipil dan masyarakat di kalangan anggota militer sebagaimana manusia pada umumnya yang senantiasa dipenuhi dengan rasa dan keinginan yang selalu berlebih terhadap pemenuhan kebutuhan hidup apabila karena sangat terdesak, adanya kemungkinanan yang terbuka dan sedikit diikuti dengan keberanian, akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, walaupun dengan melakukan pelanggaran hukum.
Tindak pidana yang sering diakitkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup di masyarakat sekarang ini adalah delik pencurian, dimana pada banyak kasus yang dihadapi, alasan ekonomi dan terdesak dengan kebutuhan hidup yang ada menjadi sangat klasik setiap penanganan tindak pidana pencurian, baik itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil maupun masyarakatan dikalangan militer.
Penanganan kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil bagi aparat penyidik (kepolisian) barangkali tidak terlalu menghadapi permasalahan yang berarti apabila tindak tersebut apalagi jika tindak pencurian tersebut tidak diikuti dengan kondisi yang meberatkan terhadap tindak pidana pencurian seperti diikuti dengan penganiayaan atau pembunuhan. Akan tetapi permasalahannya akan menajdi berbeda apabila aparat penyidik (Kepolisian) harus melakukan penyidikan terhadap tindak pencurian atas barang-barang yang dimiliki oleh masyarakat yang dilakukan oleh aparat militer.
Bagaimanapun juga hukum harus ditegakkan, dan hukum tidak pernah memandang penegakkannya dengan memilah-milah masyarakat sebagai masyarakat sipil dan masyarakat militer. Oleh karenanya dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik dari aparat penyidik sipil (Kepolisian) maupun oditur militer, perpera dan ankum dalam menyeret anggota-anggota militer yang melakukan tindak pencurian terhadap barang-barang milik masyarakat sipil, sebagaimana yang banyak dilansir media sekarang ini adalah pencurian kendaraan bermotor yang terkadang “melibatkan” oknum anggota-anggota militer.
Permasalahan
1. Bagaimana pemahaman tindak pidana pencurian yang diatur dalam KUHPM dan KUHP di Indonesia ?
2. Bagaimana penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPM dan KUHP ?
Pembahasan
1. Pengertian pencurian menurut KUHPM dan KUHP
Sebelum memulai pembahasan tentang tindak pidana pencurian yang ada dalam ketentuan KUHPM dan KUHP, barangkali ada baiknya dikaji terlebih dahulu hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam system hukum pidana di Indonesia.
KUHP sebagai general rule ketentuan perundang-undangan pidana di Indonesia tentu saja tidak akan dapat memuat semua ketentuan-ketentuan tindak pidana yang ada dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, khususnya yang mengenai tindak pidana yang ada dalam kehidupan militer, oleh karenanya diperlukan adanya special rule yang mengatur tentang tindak-tindak pidana khusus yang belum atau tidak diatur dalam KUHP, akan tetapi sebagai general rule dari seluruh aturan-aturan yang ada dalam system hukum pidana, maka disyaratkan pula bahwa seluruh ketentuan yang ada dalam undang-undang pidana di luar KUHP harus tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan umum, khususnya yang ada dlam Buku I KUHP, sepanjang ketentuan tersebut tidak diatur lain dalam undang-undang pidana yang ada di luar KUHP.
Tentang bagaimana hubungan antara KUHPM dengan KUHP dalam system hukum pidana di Indonesia dapat dilihat dalam konteks bunyi Buku I, Bab IX pasal 103 KUHP yang menyebutkan bahwa semua ketentuan yang ada dalam Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya yakni undang-undang hukum pidana yang ada di luar KUHP diancam dengan pidana, kecuali perundang-undangan pidana yang ada di luar KUHP tersebut menentukan lain.
Sedangkan dalam ketentuan KUHPM khususnya dalam Buku I Bab Pendahuluan Pasal 1 dan Pasal yang menyebutkan bahwa dalam penerapan KUHPM juga berlaku ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan juga tindak pidana yang tidak tercantum dalam KUHPM yang dilakukan oleh anggota militer maka dapat diterapkan ketentuan dalam KUHP.
Dari beberapa ketentuan pasal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara KUHPM dan KUHP adalah saling melengkapi dimana ketentuan khusus mengatur tentang delik militer diatur dalam KUHPM akan tetapi tidak dapat dipisahkan pelaksanannya dengan ketentuan dalam KUHP apabila dalam KHUPM tidak mengatur secara tersendiri.
Tindak pidana pencurian di dalam KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) diatur dalam Buku II Tentang Kejahatan-Kejahatan Militer Bab VI Tentang Pencurian dan Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 144, sedangkan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) diatur dalam Bab XXII Tentang Pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367.
Definisi tentang pencurian sebagaimana dalam KUHP Pasal 162 yang menyebutkan : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepuyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum …” inipun juga dijadikan dasar dalam pemahaman pencurian yang ada di Pasal 140 KUHPM yang menyebutkan : “Diancam dengan penjara maksimal tahun, barangsiapa melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan kesempatan…”. Lebih khusus lagi menyangkut tindak pencurian yang dapat dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil ini sebagaimana ketentuan pasal 142 ayat (1) angka 2 yang pada intinya menyebutkan : …. ketika melakukan pencurian menyalah-gunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diperolehnya karena hubungannya dengan angkatan perang itu.”
Penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPM dan KUHP.
Berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil, maka proses penanganan hukumnya, khususnya yang berkaitan dengan penyidikan dapat dipergunakan ketentuan-ketentuan pasal-pasal tentang penyedikian yang dilakukan oleh aparat Kepolisian sebagimana ada di dalam KUHAP, sedangkan mengenai penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil yang didasarkan atas tindak pidana Pasal 142 ayat (1) angka 2 KUHPM, maka dapat dilakukan dengan menggunakan pasal-pasal peradilan koneksitas sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 89 sampai dengan pasal 94 KUHAP
Ketentuan-ketentuan tentang peradilan koneksitas dalam KUHAP adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. (Kecuali menurut keputusan Menhankam dan Menkumdang harus diadili dalam lingkungan peradilan militer)
2. Penyidik perkara dilaksanakan oleh tim yang dibentuk dengan SK Menhankam dan Menkumdang, terdiri atas penyidik Kepolisian dan Polisi Militer serta Oditur sesuai kewenangan masing-masing.
3. Untuk menentukan peradilan maka yang akan digunakan didasarkan atas hasil penelitian tim yang dilakukan oleh jaksa dan oditur militer
4. Jika perkara akan diajukan ke pengadilan umum, maka Perwira Penyerah Perkara (Perpera) segera membuat SK penyerahan perkara kepada Oditur Militer untuk diserahkan kepada penuntut umum sebagai dasar pengajuan perkara pada Pengadilan Negeri yang berwenang.
5. Delik pencurian yang dimajukan dalam siding peradilan umum maka akan dipergunakan acara sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981), sedangkan jika diajukan dalam siding peradilan militer maka akan dipergunakan KUHAPM (UU No. 31 Tahun 1997)
Kesimpulan
a. Tindak pidana pencurian dalam KUHPM sebagaimana yang diatur Buku II Tentang Kejahatan-Kejahatan Militer Bab VI Tentang Pencurian dan Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 144, dan khususnya yang menyangkut pencurian yang dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil sebagaimana ketentuan Pasal 142 ayat (1) angka 2 KUHPM. Dalam KUHP, delik pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367
b. Penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer apakah akan digunakan ketentuan KUHPM atau KUHP disesuaikan dengan hasil pengkajian atas penelitian tim yang dilakukan oleh jaksa dan oditur militer. Delik pencurian yang dimajukan dalam sidang peradilan umum maka akan dipergunakan acara siding sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981), sedangkan jika diajukan dalam sidang peradilan militer dipergunakan KUHAPM (UU No. 31 Tahun 1997)
Penutup
Untuk memberikan efek jera, kasus-kasus yang melibatkan anggota militer yang dilakukan teerhadap barang-barang milik sipil pada saat damai (bukan masa perang) disarankan diselesaikan melalui peradilan umum.
Ketentuan tindak pencurian yang dapat dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil sebagaimana ketentuan pasal 142 ayat (1) angka 2 yang pada intinya menyebutkan : …. ketika melakukan pencurian menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diperolehnya karena hubungannya dengan angkatan perang itu.”
Penanganan masalah pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil barangkali tidak menimbulkan banyak kendala dalam proses penanganannya, hal ini akan menjadi lain apabila tindak pencurian tersebut dilakukan oleh anggota militer terhadap barang-barang milik masyarakat sipil, hal ini sangat memerlukan kerjasama dari semua terutama pihak Polisi Militer dan Kepolisian dalam penyidikan perkara tersebut.
Pendahuluan
Bahwa pemenuhan kebutuhan manusia dalam kondisi yang sangat terdesak tidak dapat disangkal lagi dapat menyebabkan cara-cara pemenuhan yang terkadang harus dilakukan dengan cara melanggar aturan. Siapapun juga tidak masyarakat sipil dan masyarakat di kalangan anggota militer sebagaimana manusia pada umumnya yang senantiasa dipenuhi dengan rasa dan keinginan yang selalu berlebih terhadap pemenuhan kebutuhan hidup apabila karena sangat terdesak, adanya kemungkinanan yang terbuka dan sedikit diikuti dengan keberanian, akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut, walaupun dengan melakukan pelanggaran hukum.
Tindak pidana yang sering diakitkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup di masyarakat sekarang ini adalah delik pencurian, dimana pada banyak kasus yang dihadapi, alasan ekonomi dan terdesak dengan kebutuhan hidup yang ada menjadi sangat klasik setiap penanganan tindak pidana pencurian, baik itu yang dilakukan oleh masyarakat sipil maupun masyarakatan dikalangan militer.
Penanganan kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil bagi aparat penyidik (kepolisian) barangkali tidak terlalu menghadapi permasalahan yang berarti apabila tindak tersebut apalagi jika tindak pencurian tersebut tidak diikuti dengan kondisi yang meberatkan terhadap tindak pidana pencurian seperti diikuti dengan penganiayaan atau pembunuhan. Akan tetapi permasalahannya akan menajdi berbeda apabila aparat penyidik (Kepolisian) harus melakukan penyidikan terhadap tindak pencurian atas barang-barang yang dimiliki oleh masyarakat yang dilakukan oleh aparat militer.
Bagaimanapun juga hukum harus ditegakkan, dan hukum tidak pernah memandang penegakkannya dengan memilah-milah masyarakat sebagai masyarakat sipil dan masyarakat militer. Oleh karenanya dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik dari aparat penyidik sipil (Kepolisian) maupun oditur militer, perpera dan ankum dalam menyeret anggota-anggota militer yang melakukan tindak pencurian terhadap barang-barang milik masyarakat sipil, sebagaimana yang banyak dilansir media sekarang ini adalah pencurian kendaraan bermotor yang terkadang “melibatkan” oknum anggota-anggota militer.
Permasalahan
1. Bagaimana pemahaman tindak pidana pencurian yang diatur dalam KUHPM dan KUHP di Indonesia ?
2. Bagaimana penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPM dan KUHP ?
Pembahasan
1. Pengertian pencurian menurut KUHPM dan KUHP
Sebelum memulai pembahasan tentang tindak pidana pencurian yang ada dalam ketentuan KUHPM dan KUHP, barangkali ada baiknya dikaji terlebih dahulu hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam system hukum pidana di Indonesia.
KUHP sebagai general rule ketentuan perundang-undangan pidana di Indonesia tentu saja tidak akan dapat memuat semua ketentuan-ketentuan tindak pidana yang ada dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, khususnya yang mengenai tindak pidana yang ada dalam kehidupan militer, oleh karenanya diperlukan adanya special rule yang mengatur tentang tindak-tindak pidana khusus yang belum atau tidak diatur dalam KUHP, akan tetapi sebagai general rule dari seluruh aturan-aturan yang ada dalam system hukum pidana, maka disyaratkan pula bahwa seluruh ketentuan yang ada dalam undang-undang pidana di luar KUHP harus tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan umum, khususnya yang ada dlam Buku I KUHP, sepanjang ketentuan tersebut tidak diatur lain dalam undang-undang pidana yang ada di luar KUHP.
Tentang bagaimana hubungan antara KUHPM dengan KUHP dalam system hukum pidana di Indonesia dapat dilihat dalam konteks bunyi Buku I, Bab IX pasal 103 KUHP yang menyebutkan bahwa semua ketentuan yang ada dalam Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya yakni undang-undang hukum pidana yang ada di luar KUHP diancam dengan pidana, kecuali perundang-undangan pidana yang ada di luar KUHP tersebut menentukan lain.
Sedangkan dalam ketentuan KUHPM khususnya dalam Buku I Bab Pendahuluan Pasal 1 dan Pasal yang menyebutkan bahwa dalam penerapan KUHPM juga berlaku ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan juga tindak pidana yang tidak tercantum dalam KUHPM yang dilakukan oleh anggota militer maka dapat diterapkan ketentuan dalam KUHP.
Dari beberapa ketentuan pasal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara KUHPM dan KUHP adalah saling melengkapi dimana ketentuan khusus mengatur tentang delik militer diatur dalam KUHPM akan tetapi tidak dapat dipisahkan pelaksanannya dengan ketentuan dalam KUHP apabila dalam KHUPM tidak mengatur secara tersendiri.
Tindak pidana pencurian di dalam KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) diatur dalam Buku II Tentang Kejahatan-Kejahatan Militer Bab VI Tentang Pencurian dan Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 144, sedangkan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) diatur dalam Bab XXII Tentang Pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367.
Definisi tentang pencurian sebagaimana dalam KUHP Pasal 162 yang menyebutkan : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepuyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum …” inipun juga dijadikan dasar dalam pemahaman pencurian yang ada di Pasal 140 KUHPM yang menyebutkan : “Diancam dengan penjara maksimal tahun, barangsiapa melakukan pencurian dan dalam tindakan itu telah menyalahgunakan kesempatan…”. Lebih khusus lagi menyangkut tindak pencurian yang dapat dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil ini sebagaimana ketentuan pasal 142 ayat (1) angka 2 yang pada intinya menyebutkan : …. ketika melakukan pencurian menyalah-gunakan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diperolehnya karena hubungannya dengan angkatan perang itu.”
Penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer jika dikaitkan dengan ketentuan KUHPM dan KUHP.
Berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sipil, maka proses penanganan hukumnya, khususnya yang berkaitan dengan penyidikan dapat dipergunakan ketentuan-ketentuan pasal-pasal tentang penyedikian yang dilakukan oleh aparat Kepolisian sebagimana ada di dalam KUHAP, sedangkan mengenai penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil yang didasarkan atas tindak pidana Pasal 142 ayat (1) angka 2 KUHPM, maka dapat dilakukan dengan menggunakan pasal-pasal peradilan koneksitas sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 89 sampai dengan pasal 94 KUHAP
Ketentuan-ketentuan tentang peradilan koneksitas dalam KUHAP adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. (Kecuali menurut keputusan Menhankam dan Menkumdang harus diadili dalam lingkungan peradilan militer)
2. Penyidik perkara dilaksanakan oleh tim yang dibentuk dengan SK Menhankam dan Menkumdang, terdiri atas penyidik Kepolisian dan Polisi Militer serta Oditur sesuai kewenangan masing-masing.
3. Untuk menentukan peradilan maka yang akan digunakan didasarkan atas hasil penelitian tim yang dilakukan oleh jaksa dan oditur militer
4. Jika perkara akan diajukan ke pengadilan umum, maka Perwira Penyerah Perkara (Perpera) segera membuat SK penyerahan perkara kepada Oditur Militer untuk diserahkan kepada penuntut umum sebagai dasar pengajuan perkara pada Pengadilan Negeri yang berwenang.
5. Delik pencurian yang dimajukan dalam siding peradilan umum maka akan dipergunakan acara sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981), sedangkan jika diajukan dalam siding peradilan militer maka akan dipergunakan KUHAPM (UU No. 31 Tahun 1997)
Kesimpulan
a. Tindak pidana pencurian dalam KUHPM sebagaimana yang diatur Buku II Tentang Kejahatan-Kejahatan Militer Bab VI Tentang Pencurian dan Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 144, dan khususnya yang menyangkut pencurian yang dilakukan anggota militer terhadap masyarakat sipil sebagaimana ketentuan Pasal 142 ayat (1) angka 2 KUHPM. Dalam KUHP, delik pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 367
b. Penanganan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh militer apakah akan digunakan ketentuan KUHPM atau KUHP disesuaikan dengan hasil pengkajian atas penelitian tim yang dilakukan oleh jaksa dan oditur militer. Delik pencurian yang dimajukan dalam sidang peradilan umum maka akan dipergunakan acara siding sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU. No. 8 Tahun 1981), sedangkan jika diajukan dalam sidang peradilan militer dipergunakan KUHAPM (UU No. 31 Tahun 1997)
Penutup
Untuk memberikan efek jera, kasus-kasus yang melibatkan anggota militer yang dilakukan teerhadap barang-barang milik sipil pada saat damai (bukan masa perang) disarankan diselesaikan melalui peradilan umum.
[ Ditulis Oleh :Bambang Widiyantoro, SH.MH.MM - Penanganan Delik Pencurian Militer Dalam Kajian Yuridis Kuhpm Dan Kuhp ]
Mekanisme penyelesaian sengketa konsumen termasuk yang akan ditata. Mengakomodasi kemungkinan sengketa dalam jual beli elektronik.
Kementerian Perdagangan sedang mempersiapkan revisi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Sudah 15 tahun Undang-Undang ini dijalankan, dan bolong-bolongnya sudah kelihatan. UUPK lahir saat Indonesia baru saja menghadapi hantaman krisis moneter, dan menjadi salah satu prasyarat yang diajukan Dana Moneter Internasional (IMF) agar Indonesia diberi bantuan. Karena itu, saat dilakukan revisi.
Gagasan revisi itu antara lain dikemukakan Yohanes Gunawan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, ini berpendapat sudah saatnya UUPK direvisi sebab selama lima belas tahun berjalan penegakan hukum perlindungan konsumen masih menghadapi kendala. Salah satu penyebabnya UUPK punya kelemahan, kekurangan atau kekeliruan.
Kekeliruan, kekurangan dan kelemahan pengaturan dalam UUPK, kata Yohanes, bisa dilihat dari aspek gramatika, sistematika, tanggung jawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, dan kelembagaan. “UUPK harus dicabut dan dibentuk Undang-Undang baru karena UUPK dirancang dengan amat tergesa-gesa,” kata Yohanes dalam diskusi di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Selasa (24/11).
Sebagai pihak yang ikut menyusun naskah akademik perubahan UUPK sejak 2007, Yohanes mencatat setidaknya ada empat perubahan substansi dalam UUPK. Pertama, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa. Dalam naskah akademik, terdapat klausula bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen, penggantian istilah pelaku usaha jasa menjadi penyedia/pemasok jasa, rincian barang/jasa yang dibagi menjadi bergerak dan tidak bergerak, serta beraga/berwujud untuk barang, dan profesional atau komersial untuk jasa.
Naskah akademik juga memuat pemisahan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa, terutama hak dan kewajiban konsumen dan penyedia jasa. Jasa profesional wajib memiliki kode etik, sementara jasa komersial yang bertujuan untuk mencari laba tidak diwajibkan memiliki kode etik.
Kedua, perubahan UUPK harus menjelaskan secara rinci tanggung jawab pelaku usaha barang dan jasa.
Ketiga, perjanjian baku dan klausula baku. Menurut Johanes, seiring berkembangnya waktu, bentuk kontrak pun turut berkembang. Saat ini dikenal tiga kontrak yakni negotiated contract, standardized contract, dan digital contract. Namun kontrak yang dilakukan dalam e-commerce justru belum melindungi konsumen. Ia sepakat untuk membentuk cross border resolution dalam UUPK terutama untuk transaksi yang dilakukan secara online.
“Misalnya membeli sebuah produk di sebuah situs online seperti Amazone. Digital contract atau e-commerce, hukum yang berlaku apakah dari penjual atau pembeli? Ini belum ada aturannya, choice of law belum ada, apalagi choice of forum. Maka harus diatur e-commerce ini dalam UUPK,” jelasnya.
Keempat, mengenai penyelesaian sengketa konsumen atau kelembagaan perlindungan konsumen. Pasal 23 UUPK menjelaskan sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara yakni pengadilan dan luar pengadilan. UUPK menyebutkan putusan yang diselesaikan melalui jalur non litigasi atau BPSK adalah final dan mengikat. Kemudian atas putusan tersebut, ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan melalui pengadilan. Yohanes menyebut alur penyelesaian semacam itu keliru.
Dalam revisi UUPK, putusan BPSK final dan mengikat. Pelaku usaha wajib melaksanakan putusan dalam waktu tujuh hari kerja. Jika tidak, maka BPSK dipersilahkan untuk menyerahkan putusan kepada penyidik sesuai hukum acara pidana.
Guna memperkuat posisi BPKN, Yohanes mengusulkan BPKN merupakan badan yang dibentuk oleh Presiden untuk memberikan usul, melakukan evaluasi dan pengawasan negara untuk menjamin konsumen memperoleh perlindungan. Pemerintah pun wajib memberikan tanggapan atas usul, hasil evaluasi, dan hasil pengawasan BPKN, dan badan ini harus mengumumkan hasil evaluasi, usul, dan hasil pengawasan tersebut kepada masyarakat.
Sementara untuk usul kelembagaan perlindungan konsumen terdiri dari pemerintah dan pemerintah daerah, BPKN, BPSK, Badan Peradilan Umum, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Perhimpunan/Perkumpulan/Kelompok Konsumen, dan asosiasi pelaku usaha.
Ekonom Senior Australia Indonesia Partnership for Economic Governance Ahmad Sauqi menilai upaya perlindungan konsumen di Indonesia belum optimal. Pasalnya, UU PK sebagai dasar hukum perlindungan konsumen masih memiliki banyak kelemahan. Institusi pelaksana masih lemah, belum menjadi bagian utama dalam kebijakan ekonomi dan konsumen yang belum berdaya.
Menurut Sauqi, keberhasilan perlindungan konsumen ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kerangka kebijakan yang efektif, konsumen yang berdaya, dan kebijakan persaingan yang efektif. UUPK saat ini masih memiliki banyak kelemahan dalam gramatika dan sistematika materi, tidak memadai lagi dengan kemajuan ITC, dan kelemahan dalam pengaturan lembaga. “Sementara untuk materi perlindungan konsumen dalam UUPK sudah cukup komprehensif,” kata Sauqi dalam diskusi yang sama.
Sauqi mengatakan fungsi BPKN hanya sekadar memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Karena itu ia berharap cakupan tugas BPKN perlu diperluas, struktur organisasi harus optimal, sumber daya semakin ditingkatkan, dan harus masuk dalam mekanisme penyusunan kebijakan. Mengenai BPSK, Sauqi lebih melihat persoalan kapasitas yang rendah dan timpang antar wilayah. Sumber daya daerah belum memadai untuk mendukung BPSK, dan ketidakpastian komitmen pemerintah daerah dan sumber daya yang sangat terbatas. Masalah tersebut membuat BPSK menjadi tidak optimal.
Sehingga, lanjut Sauqi, perlu adanya pemberdayaan konsumen yang dilakukan oleh pemerintah dan LPKSM. Kebijakan persaingan guna melindungi konsumen, dan menyusun strategi nasional perlindungan konsumen. Salah satu caranya, reformasi penyelesaian sengketa konsumen. Langkah berikutnya adalah kebijakan persaingan. Sauqi berpendapat Pemerintah harus melakukan sinkronisasi kebijakan ekonomi dan kebijakan persaingan, pengarusutamaan kebijakan persaingan, dan kebijakan yang tepat untuk pengembangan industri dalam negeri agar kepentingan konsumen tidak dikorbankan.
Koordinator Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyampaikan bahwa sudah sepatutnya hak konsumen dimasukkan ke dalam UUD 1945. Selain itu, keberadaan lembaga konsumen lebih tepat berada di bawah Bappenas.
“Di negara lain, persoalan perlindungan konsumen itu erat hubungannya dengan aspek legal. Maka sebaiknya isu perlindungan konsumen di Indonesia juga dilakukan demikian,” pungkasnya.
Gagasan revisi itu antara lain dikemukakan Yohanes Gunawan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, ini berpendapat sudah saatnya UUPK direvisi sebab selama lima belas tahun berjalan penegakan hukum perlindungan konsumen masih menghadapi kendala. Salah satu penyebabnya UUPK punya kelemahan, kekurangan atau kekeliruan.
Kekeliruan, kekurangan dan kelemahan pengaturan dalam UUPK, kata Yohanes, bisa dilihat dari aspek gramatika, sistematika, tanggung jawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, dan kelembagaan. “UUPK harus dicabut dan dibentuk Undang-Undang baru karena UUPK dirancang dengan amat tergesa-gesa,” kata Yohanes dalam diskusi di Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, Selasa (24/11).
Sebagai pihak yang ikut menyusun naskah akademik perubahan UUPK sejak 2007, Yohanes mencatat setidaknya ada empat perubahan substansi dalam UUPK. Pertama, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa. Dalam naskah akademik, terdapat klausula bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen, penggantian istilah pelaku usaha jasa menjadi penyedia/pemasok jasa, rincian barang/jasa yang dibagi menjadi bergerak dan tidak bergerak, serta beraga/berwujud untuk barang, dan profesional atau komersial untuk jasa.
Naskah akademik juga memuat pemisahan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha/penyedia jasa, terutama hak dan kewajiban konsumen dan penyedia jasa. Jasa profesional wajib memiliki kode etik, sementara jasa komersial yang bertujuan untuk mencari laba tidak diwajibkan memiliki kode etik.
Kedua, perubahan UUPK harus menjelaskan secara rinci tanggung jawab pelaku usaha barang dan jasa.
Ketiga, perjanjian baku dan klausula baku. Menurut Johanes, seiring berkembangnya waktu, bentuk kontrak pun turut berkembang. Saat ini dikenal tiga kontrak yakni negotiated contract, standardized contract, dan digital contract. Namun kontrak yang dilakukan dalam e-commerce justru belum melindungi konsumen. Ia sepakat untuk membentuk cross border resolution dalam UUPK terutama untuk transaksi yang dilakukan secara online.
“Misalnya membeli sebuah produk di sebuah situs online seperti Amazone. Digital contract atau e-commerce, hukum yang berlaku apakah dari penjual atau pembeli? Ini belum ada aturannya, choice of law belum ada, apalagi choice of forum. Maka harus diatur e-commerce ini dalam UUPK,” jelasnya.
Keempat, mengenai penyelesaian sengketa konsumen atau kelembagaan perlindungan konsumen. Pasal 23 UUPK menjelaskan sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara yakni pengadilan dan luar pengadilan. UUPK menyebutkan putusan yang diselesaikan melalui jalur non litigasi atau BPSK adalah final dan mengikat. Kemudian atas putusan tersebut, ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan melalui pengadilan. Yohanes menyebut alur penyelesaian semacam itu keliru.
Dalam revisi UUPK, putusan BPSK final dan mengikat. Pelaku usaha wajib melaksanakan putusan dalam waktu tujuh hari kerja. Jika tidak, maka BPSK dipersilahkan untuk menyerahkan putusan kepada penyidik sesuai hukum acara pidana.
Guna memperkuat posisi BPKN, Yohanes mengusulkan BPKN merupakan badan yang dibentuk oleh Presiden untuk memberikan usul, melakukan evaluasi dan pengawasan negara untuk menjamin konsumen memperoleh perlindungan. Pemerintah pun wajib memberikan tanggapan atas usul, hasil evaluasi, dan hasil pengawasan BPKN, dan badan ini harus mengumumkan hasil evaluasi, usul, dan hasil pengawasan tersebut kepada masyarakat.
Sementara untuk usul kelembagaan perlindungan konsumen terdiri dari pemerintah dan pemerintah daerah, BPKN, BPSK, Badan Peradilan Umum, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Perhimpunan/Perkumpulan/Kelompok Konsumen, dan asosiasi pelaku usaha.
Ekonom Senior Australia Indonesia Partnership for Economic Governance Ahmad Sauqi menilai upaya perlindungan konsumen di Indonesia belum optimal. Pasalnya, UU PK sebagai dasar hukum perlindungan konsumen masih memiliki banyak kelemahan. Institusi pelaksana masih lemah, belum menjadi bagian utama dalam kebijakan ekonomi dan konsumen yang belum berdaya.
Menurut Sauqi, keberhasilan perlindungan konsumen ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kerangka kebijakan yang efektif, konsumen yang berdaya, dan kebijakan persaingan yang efektif. UUPK saat ini masih memiliki banyak kelemahan dalam gramatika dan sistematika materi, tidak memadai lagi dengan kemajuan ITC, dan kelemahan dalam pengaturan lembaga. “Sementara untuk materi perlindungan konsumen dalam UUPK sudah cukup komprehensif,” kata Sauqi dalam diskusi yang sama.
Sauqi mengatakan fungsi BPKN hanya sekadar memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Karena itu ia berharap cakupan tugas BPKN perlu diperluas, struktur organisasi harus optimal, sumber daya semakin ditingkatkan, dan harus masuk dalam mekanisme penyusunan kebijakan. Mengenai BPSK, Sauqi lebih melihat persoalan kapasitas yang rendah dan timpang antar wilayah. Sumber daya daerah belum memadai untuk mendukung BPSK, dan ketidakpastian komitmen pemerintah daerah dan sumber daya yang sangat terbatas. Masalah tersebut membuat BPSK menjadi tidak optimal.
Sehingga, lanjut Sauqi, perlu adanya pemberdayaan konsumen yang dilakukan oleh pemerintah dan LPKSM. Kebijakan persaingan guna melindungi konsumen, dan menyusun strategi nasional perlindungan konsumen. Salah satu caranya, reformasi penyelesaian sengketa konsumen. Langkah berikutnya adalah kebijakan persaingan. Sauqi berpendapat Pemerintah harus melakukan sinkronisasi kebijakan ekonomi dan kebijakan persaingan, pengarusutamaan kebijakan persaingan, dan kebijakan yang tepat untuk pengembangan industri dalam negeri agar kepentingan konsumen tidak dikorbankan.
Koordinator Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyampaikan bahwa sudah sepatutnya hak konsumen dimasukkan ke dalam UUD 1945. Selain itu, keberadaan lembaga konsumen lebih tepat berada di bawah Bappenas.
“Di negara lain, persoalan perlindungan konsumen itu erat hubungannya dengan aspek legal. Maka sebaiknya isu perlindungan konsumen di Indonesia juga dilakukan demikian,” pungkasnya.
[ Fitri N. Heriani - Poin-Poin Perubahan UU Perlindungan Konsumen - Hukum Online ]
Klausula Baku
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen (Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 butir 10)
Payung Hukum
- Undang-Undang Dasar 1945, beserta perubahannya Pasal 34, Ayat (3), Negara bertanggung jawab atas penyediaanfasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen :
- Klausula baku untuk produk barang Pasal 18, ayat (1) huruf b, d dan h.
- Klausula baku untuk produk jasa Pasal 18, ayat (1) huruf f dan g.
- Larangan pencantuman klausula baku untuk produk barang dan jasa Pasal 18, ayat (1) huruf a, c dan e.
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan, Pasal 33, 34, 38 dan 43.
Pedoman Umum
- Mengakomadasi kepentingan konsumen.
- Menciptakan adanya keseimbangan dan kesederajatan. Klausula baku tidak mutlak berada di tangan Palaku Usaha dan diawasi masyarakat dan BPSK.
- Dilarang mencantumkan klausula baku yang membebaskan, membatasi atau mengalihkan tanggungjawab pelaku usaha yang akan memberatkan konsumen (eksonerasi).
Bentuk Eksonerasi
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, contoh : Pihak PLN tidak bertanggung jawab atas penurunan voltase aliran listrik, padam atau biar- petnya listrik dan lainnya yang berkaitan dengan kwalitas distribusi listrik dan mutu pelayanannya.
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, contohnya : Struk bukti transaksi berbunyi : “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang / jasa yang dibeli konsumen, contohnya : Struk transaksi berbunyi : “Uang yang telah diserahkan tidak dapat diminta kembali”
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, contohnya: Apabila debitur lalai memenuhi kewajibannya membayar angsuran berturut-turut selama 2 (dua) bulan, maka debitur diwajibkan menyerahkan kendaraan tersebut kepada kreditur dan untuk itu, kreditur diberi kuasa dengan kekuasaan yang tidak dapat dicabut kembali untuk mengambil kendaraan tersebut dari debitur.
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen. Contohnya : Dalam dokumen atau perjanjian, telah diatur secara sepihak oleh pelaku usaha, mengenai pembuktian atas kehilangan kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang yang merugikan konsumen dan menguntungkan pelaku usaha.
6. Menyatakan tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa aturan baru tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya, contohnya : Konsumen menyatakan tunduk pada segala ketentuan yang berlaku di PLN, baik yang sekarang, maupun yang ada di kemudian hari.
7. Larangan lainnya.
a) Pasal 18, ayat (2), pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
b) Pasal 18, ayat (3), setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan yang tidak diperbolehkan sebagaimana dimaksud ayat (1 dan ayat (2) dinyatakan batal demi hokum.
c) Pasal 18, ayat (4), pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang perlindungan konsumen.
Sanksi-Sanksi
Sanksi Perdata :
Sanksi Pidana :
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU-PK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau dengan pidana denda paling banyak Rp. 2 milyar (dua milyar rupiah) Pasal 62, ayat (1) UU- Perlindungan Konsumen.
Beberapa Hukuman Tambahan Pasal 63 UU-PK :
Sanksi Perdata :
- Perjanjian standar yang dibuat oleh pelaku usaha jika digugat di depan pengadilan oleh konsumen, akan menyebabkan hakim harus membuat putusan bahwa perjanjian baku tersebut bahwa perjanjian baku tersebut batal demi hukum;
- Pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan klausula baku dalam dokumen atau perjanjian baku yang digunakannya wajib merevisi perjanjian baku yang digunakannya itu agar sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Sanksi Pidana :
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU-PK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau dengan pidana denda paling banyak Rp. 2 milyar (dua milyar rupiah) Pasal 62, ayat (1) UU- Perlindungan Konsumen.
Beberapa Hukuman Tambahan Pasal 63 UU-PK :
- Perampasan barang tertentu;
- Pengumuman keputusan hakim;
- Pembayaran ganti rugi;
- Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
- Kewajiban penerikan barang dari peredaran; atau
- Pencabutan izin usaha.
[ UUPK-ylpk Jatim ]
Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku diistilahkan secara beragam dalam bahasa Inggeris dengan standardized contract, standard contract atau contract of adhesion. Pada awal dimulainya sistem perjanjian, kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan unsur yang amat penting. Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, para pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau perjanjian baku.
Dengan cara yang praktis ini, pihak pemberi kontrak standar sering kali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya dan bahkan mengambil kesempatan di kala lawan perjanjian tidak berkesempatan membaca isinya secara detil atau tidak terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha – konsumen, maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen atau pelaku usaha. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang dibuat oleh Kessler bahwa perdagangan modern ditandai dengan kontrak standar yang berlaku secara massal, perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh produsen.
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan sebagai berikut:
Dengan cara yang praktis ini, pihak pemberi kontrak standar sering kali menggunakan kesempatan untuk membuat rumusan yang dibakukan itu lebih menguntungkan pihaknya dan bahkan mengambil kesempatan di kala lawan perjanjian tidak berkesempatan membaca isinya secara detil atau tidak terlalu memperhatikan isi perjanjian itu.
Dalam konteks hubungan pelaku usaha – konsumen, maka kontrak standar umumnya disediakan oleh produsen atau pelaku usaha. Hal ini sejalan dengan kesimpulan yang dibuat oleh Kessler bahwa perdagangan modern ditandai dengan kontrak standar yang berlaku secara massal, perbedaan posisi tawar antara konsumen dan perusahaan, sehingga konsekuensinya konsumen memiliki kemampuan yang terbatas untuk menentukan isi dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh produsen.
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan sebagai berikut:
"Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen".
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan palaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan :
Ayat (1)
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempaktan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau pernjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a), seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang pemproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menurut kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.
Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari larangan klasula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Larangan dalam huruf d dari Pasal 18 ayat (1) sudah tepat. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h.
Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1), tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.
Khusus menyangkut larangan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g dapat dimengerti bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan.
Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru mengatakan bahwa, praktek pembuatan klausula baku yang sekarang bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut sudah berlangsung sejak lama, sehingga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut tentu saja dimaksudkan untuk melarang praktek pembuatan klausula baku semacam itu. Hanya saja, jika tidak ada kemungkinan pengecualian larangan tersebut, dapat dipastikan bahwa penjual jasa tertentu, terutama bank tidak akan mematuhi ketentuan tersebut atau kalaupun bank mematuhinya, maka dalam kondisi tertentu bank tersebut akan bankrut.
Oleh karena itu menurut Ahmadi Miru, jika pelaku usaha terutama bank dilarang mencantumkan klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut, maka seharusnya pemerintah juga akan memberikan jaminan-jaminan tertentu kepada bank bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijaksanaan yang merugikan bank tersebut karena mematuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) g UUPK. Sebagai contoh, dalam hal Bank Indonesia membebankan bunga 12% per tahun kepada bank, maka kalau bank yang menyalurkan kredit kepada konsumen dilarang mengubah secara sepihak bunga yang dibebankan kepada konsumen, maka Bank Indonesia pun harus menjamin bahwa pihaknya tidak akan mengubah suku bunga yang sebagaimana terjadi pada awal-awal masa krisis ekonomi, sedangkan jika hanya kenaikan-kenaikan kecil dapat saja dianggap sudah dapat diperhitungkan oleh pihak bank berdasarkan keahliannya (sikap profesionalnya) dalam mengelola bank
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Sutarman Yodo mengatakan bahwa apabila klausula baku yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan baru, tambahan, dan/atau sejenisnya dalam masa konsumen memanfaatkan jasa, adalah untuk menghindari kerugian sebagai akibat kekeluruan manajeman pelaku usaha (bank) yang bersangkutan, maka larangan klausula baku seperti ini dianggap memenuhi asas keadilan atau asas keseimbangan
Adanya perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah, pihak perbankan tidak dapat menjadikan alasan untuk membebankan risiko kepada nasabah sebagai konsumen. Hal ini didasarkan karena risiko kerugian seperti ini dikualifikasi sebagai risiko akibat kekeliruan dalam manajemen usaha yang dikelola, teristimewa dengan praktek selama ini, belum adanya perubahan tingkat suku bunga kredit yang menguntungkan nasabah dari pemerintah, ikut mengubah tingkat suku bunga kredit nasabah yang sementara berjalan. Dalam kasus perubahan tingkat suku bunga yang selalu berubah dari pemerintah, bahwa seharusnya bank secara profesional sudah dapat memprediksikan berbagai kemungkinan yang terjadi berdasarkan pengalamannya. Demikian pula, bahwa sulit diterima itikad baik pemerintah, apabila perubahan tingkat suku bungan tersebut dimaksudkan untuk membebani konsumen.
Sementara itikad baik pemerintah yang dimaksud, sehubungan dengan kedudukannya sebagai lembaga eksekutif yang mewakili negara dalam mensejahterakan rakyatnya sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945
Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan pembangunan terutama bidang ekonomi, ditambah jumlah penduduk urutan ketiga setelah Cina dan India, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki pangsa pasar cukup menggiurkan palaku usaha termasuk pelaku usaha asing yang berkedudukan dan menjalankan usaha di Indonesia.
Jika memperhatikan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha. Walaupun demikian Pasal 18 ayat (1) huruf g juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan perbankan secara lebih profesional dalam manajemen usaha, sehingga lebih mampu bersaing terutama menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi (pasar bebas), yang dengan sendirinya juga untuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan secara berencana.
Dalam era globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bank-bank nasional, termasuk dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia. Bank-bank asing yang ada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa/pelayanan yang sebaik-baiknya, termasuk dalam hal ini bonafiditas usaha yang dijalankan dalam berhubungan dengan nasabahnya sebagai konsumen. Sudah jelas dalam persaingan ini, hanya bank-bank nasional yang professional dan bonafid dalam pengelolaan usaha yang mampu merebut pangsa pasar, sedangkan bank-bank yang kurang professional dan tidak bonafid termasuk bank asing akan ditinggalkan oleh pasar.
Walaupun antara kedua penulis memiliki perbedaan pendapat, namun keduanya sepakat menerima prubahan suku bunga jika hal itu dimaksudkan sebagai upaya mengurangi risiko akibat krisis moneter dan/ atau ekonomi sebagaimana terjadi mulai pertengahan tahun 1997. dengan demikian ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g perlu dipertimbangkan lagi.
Pengalaman di era krisis moneter, Pemerintah (Bank Indonesia) terpaksa harus mengubah tingkat suku bunga menjadi demikian tinggi, sehingga bank-bank umum terpaksa juga mengikuti perubahan tingkat suku bunga tersebut. Namun, untuk persoalan yang satu ini masih kurang adil apabila risiko perubahan itu seluruhnya dibebenkan kepada konsumen. Berapa persen risiko perubahan tersebut hendaknya menjadi tanggungan bersama antara bank di satu pihak dan nasabah sebagai konsumen di pihak lain, dan risiko kerugian perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah harus dihitung berdasarkan sisa kredit yang belum terlunasi, bukan plafon kredit yang disepakati di awal perjanjian.
Konsep berpikir seperti ini, semata-mata didasarkan karena alasan krisis yang menyebabkan terjadinya perubahan suku bunga yang demikian tinggi ditetapkan Pemerintah, dengan harapan agar pelaku usaha (pihak bank) tetap dapat menjalankan usahanya. Syarat-syarat ini menuntut semua pihak terutama Pemerintah (Bank Indonesia) untuk menentukan criteria “krisis” dan criteria “perubahan suku bunga tinggi”. Kriteria ini sangat penting untuk membedakan risiko kerugian akibat perubahan tingkat suku bunga, dan sebagai akibat kekeliruan manajemen yang dilakukan oleh pihak perbankan sendiri.
Klausula Eksonerasi
Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsure esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut manjadi beban konsumen.
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Penerapan klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak lemah, biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki cirri sebagai berikut:
a. isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada kreditur;
b. debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
c. terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara missal atau individual.
Pendapat Marian Darus Badrulzaman di atas memposisikan kreditur selalu dalam posisi yang lebih kuat, padahal dalam kenyataan, kreditur tidak selamanya memiliki posisi yang lebih kuat daripada debitur, karena dalam kasus tertentu posisi debitur justru lebih kuat daripada kreditur, dan justru debiturlah yang merancang perjanjian baku. Dengan demikian pendapat diatas tidak selamanya dapat dibenarkan.
Selain itu, salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian itu, juga tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang merancang perjanjian baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada umumnya tidak dapat ditawar adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia dalam perjanjian.
Berdasarkan alasan di atas, maka perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi cirinya, yaitu:
a. pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;
b. pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian;
c. terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Oleh karena perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara teoritis masih mengundang perdebatan, khususnya dalam kaitan dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian, maka di bawah ini juga akan dikemukakan berbagai pendapat tentang perjanjian baku.
Di dalam perjanjian baku, kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian, maka terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan perjanjian baku dalam hukum perjanjian. Adapun pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.
Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membutuhkan tandatangan pada fomulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.
Walaupun demikian, harus pula diakui bahwa perjanjian baku/perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maji dewasa ini, terutama karena dengan penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”.
Mengingat perjanjian baku, tetap mengikat para pihak dan pada umumnya beban tanggung gugat para pihak adalah berat sebelah, maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang atau membatasi penggunaan perjanjian baku melainkan melarang atau memebatasi penggunaan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku tersebut.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam perjanjian baku, adalah pencantuman klausula eksonerasi harus:
Penjelasan :
Ayat (1)
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempaktan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”
Apabila kita mencermati substansi Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau pernjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a), seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang pemproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menurut kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.
Menyangkut larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 huruf b, sebaiknya ada batas waktu yang wajar. Hal ini merupakan pasangan dari larangan klasula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen (huruf c). Jadi pelaku usaha dilarang untuk tidak menerima kembali barang yang sudah dijualnya dan tidak mengembalikan uang yang telah diterimanya sebagai pembayaran atas barang tersebut, tetapi tentu saja jika pengembalian barang tersebut dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Larangan dalam huruf d dari Pasal 18 ayat (1) sudah tepat. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dibeli secara angsuran adalah tidak adil. Disamping itu dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan konsumen, demikian juga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf f dan huruf h.
Ketentuan larangan membuat klausula baku bagi pelaku usaha yang tersebut dalam huruf e dari Pasal 18 ayat (1), tampak perlu pula direvisi. Larangan bagi pelaku usaha membuat klausula baku dalam huruf e seharusnya tidak hanya berkenaan dengan hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, tetapi juga perihal berkurangnya kegunaan barang atau jasa. Sehingga bunyi lengkapnya larangan tersebut yaitu, “mengatur perihal pembuktian atas hilangnya dan berkurangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen”. Apabila larangan klausula baku terbatas hanya pada perihal hilangnya kegunaan barang atau jasa, maka pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan aturan yang ada dengan menunjuk pada persoalan berkurangnya keguanaan barang atau jasa di dalam suatu klausula baku.
Khusus menyangkut larangan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g dapat dimengerti bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan.
Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang.
Berkenaan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru mengatakan bahwa, praktek pembuatan klausula baku yang sekarang bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut sudah berlangsung sejak lama, sehingga ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut tentu saja dimaksudkan untuk melarang praktek pembuatan klausula baku semacam itu. Hanya saja, jika tidak ada kemungkinan pengecualian larangan tersebut, dapat dipastikan bahwa penjual jasa tertentu, terutama bank tidak akan mematuhi ketentuan tersebut atau kalaupun bank mematuhinya, maka dalam kondisi tertentu bank tersebut akan bankrut.
Oleh karena itu menurut Ahmadi Miru, jika pelaku usaha terutama bank dilarang mencantumkan klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut, maka seharusnya pemerintah juga akan memberikan jaminan-jaminan tertentu kepada bank bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijaksanaan yang merugikan bank tersebut karena mematuhi ketentuan Pasal 18 ayat (1) g UUPK. Sebagai contoh, dalam hal Bank Indonesia membebankan bunga 12% per tahun kepada bank, maka kalau bank yang menyalurkan kredit kepada konsumen dilarang mengubah secara sepihak bunga yang dibebankan kepada konsumen, maka Bank Indonesia pun harus menjamin bahwa pihaknya tidak akan mengubah suku bunga yang sebagaimana terjadi pada awal-awal masa krisis ekonomi, sedangkan jika hanya kenaikan-kenaikan kecil dapat saja dianggap sudah dapat diperhitungkan oleh pihak bank berdasarkan keahliannya (sikap profesionalnya) dalam mengelola bank
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Sutarman Yodo mengatakan bahwa apabila klausula baku yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan baru, tambahan, dan/atau sejenisnya dalam masa konsumen memanfaatkan jasa, adalah untuk menghindari kerugian sebagai akibat kekeluruan manajeman pelaku usaha (bank) yang bersangkutan, maka larangan klausula baku seperti ini dianggap memenuhi asas keadilan atau asas keseimbangan
Adanya perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah, pihak perbankan tidak dapat menjadikan alasan untuk membebankan risiko kepada nasabah sebagai konsumen. Hal ini didasarkan karena risiko kerugian seperti ini dikualifikasi sebagai risiko akibat kekeliruan dalam manajemen usaha yang dikelola, teristimewa dengan praktek selama ini, belum adanya perubahan tingkat suku bunga kredit yang menguntungkan nasabah dari pemerintah, ikut mengubah tingkat suku bunga kredit nasabah yang sementara berjalan. Dalam kasus perubahan tingkat suku bunga yang selalu berubah dari pemerintah, bahwa seharusnya bank secara profesional sudah dapat memprediksikan berbagai kemungkinan yang terjadi berdasarkan pengalamannya. Demikian pula, bahwa sulit diterima itikad baik pemerintah, apabila perubahan tingkat suku bungan tersebut dimaksudkan untuk membebani konsumen.
Sementara itikad baik pemerintah yang dimaksud, sehubungan dengan kedudukannya sebagai lembaga eksekutif yang mewakili negara dalam mensejahterakan rakyatnya sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945
Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan pembangunan terutama bidang ekonomi, ditambah jumlah penduduk urutan ketiga setelah Cina dan India, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki pangsa pasar cukup menggiurkan palaku usaha termasuk pelaku usaha asing yang berkedudukan dan menjalankan usaha di Indonesia.
Jika memperhatikan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam kontrak dengan pelaku usaha. Walaupun demikian Pasal 18 ayat (1) huruf g juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan perbankan secara lebih profesional dalam manajemen usaha, sehingga lebih mampu bersaing terutama menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi (pasar bebas), yang dengan sendirinya juga untuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan secara berencana.
Dalam era globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bank-bank nasional, termasuk dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia. Bank-bank asing yang ada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa/pelayanan yang sebaik-baiknya, termasuk dalam hal ini bonafiditas usaha yang dijalankan dalam berhubungan dengan nasabahnya sebagai konsumen. Sudah jelas dalam persaingan ini, hanya bank-bank nasional yang professional dan bonafid dalam pengelolaan usaha yang mampu merebut pangsa pasar, sedangkan bank-bank yang kurang professional dan tidak bonafid termasuk bank asing akan ditinggalkan oleh pasar.
Walaupun antara kedua penulis memiliki perbedaan pendapat, namun keduanya sepakat menerima prubahan suku bunga jika hal itu dimaksudkan sebagai upaya mengurangi risiko akibat krisis moneter dan/ atau ekonomi sebagaimana terjadi mulai pertengahan tahun 1997. dengan demikian ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g perlu dipertimbangkan lagi.
Pengalaman di era krisis moneter, Pemerintah (Bank Indonesia) terpaksa harus mengubah tingkat suku bunga menjadi demikian tinggi, sehingga bank-bank umum terpaksa juga mengikuti perubahan tingkat suku bunga tersebut. Namun, untuk persoalan yang satu ini masih kurang adil apabila risiko perubahan itu seluruhnya dibebenkan kepada konsumen. Berapa persen risiko perubahan tersebut hendaknya menjadi tanggungan bersama antara bank di satu pihak dan nasabah sebagai konsumen di pihak lain, dan risiko kerugian perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah harus dihitung berdasarkan sisa kredit yang belum terlunasi, bukan plafon kredit yang disepakati di awal perjanjian.
Konsep berpikir seperti ini, semata-mata didasarkan karena alasan krisis yang menyebabkan terjadinya perubahan suku bunga yang demikian tinggi ditetapkan Pemerintah, dengan harapan agar pelaku usaha (pihak bank) tetap dapat menjalankan usahanya. Syarat-syarat ini menuntut semua pihak terutama Pemerintah (Bank Indonesia) untuk menentukan criteria “krisis” dan criteria “perubahan suku bunga tinggi”. Kriteria ini sangat penting untuk membedakan risiko kerugian akibat perubahan tingkat suku bunga, dan sebagai akibat kekeliruan manajemen yang dilakukan oleh pihak perbankan sendiri.
Klausula Eksonerasi
Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsure esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut manjadi beban konsumen.
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/menghapuskan beban-beban/kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Penerapan klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan sangat merugikan pihak lemah, biasa dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk membayar ganti kerugian kepada debitur, memiliki cirri sebagai berikut:
a. isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat daripada kreditur;
b. debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
c. terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara missal atau individual.
Pendapat Marian Darus Badrulzaman di atas memposisikan kreditur selalu dalam posisi yang lebih kuat, padahal dalam kenyataan, kreditur tidak selamanya memiliki posisi yang lebih kuat daripada debitur, karena dalam kasus tertentu posisi debitur justru lebih kuat daripada kreditur, dan justru debiturlah yang merancang perjanjian baku. Dengan demikian pendapat diatas tidak selamanya dapat dibenarkan.
Selain itu, salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu bahwa debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian itu, juga tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat dengan tetap memungkinkan pihak lain (bukan pihak yang merancang perjanjian baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang pada umumnya tidak dapat ditawar adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia dalam perjanjian.
Berdasarkan alasan di atas, maka perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi cirinya, yaitu:
a. pada umumnya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat;
b. pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsur aksidentalia dari perjanjian;
c. terdorong oleh kebutuhannya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. bentuknya tertulis;
e. dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
Oleh karena perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara teoritis masih mengundang perdebatan, khususnya dalam kaitan dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian, maka di bawah ini juga akan dikemukakan berbagai pendapat tentang perjanjian baku.
Di dalam perjanjian baku, kebebasan untuk melakukan kontrak serta pemberian kesepakatan terhadap kontrak tersebut tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan para pihak dalam menegosiasikan klausula perjanjian, maka terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan perjanjian baku dalam hukum perjanjian. Adapun pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.
Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membutuhkan tandatangan pada fomulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
Hondius dalam disertasinya mempertahankan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK.
Walaupun demikian, harus pula diakui bahwa perjanjian baku/perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maji dewasa ini, terutama karena dengan penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa “waktu adalah uang”.
Mengingat perjanjian baku, tetap mengikat para pihak dan pada umumnya beban tanggung gugat para pihak adalah berat sebelah, maka langkah yang harus dilakukan bukan melarang atau membatasi penggunaan perjanjian baku melainkan melarang atau memebatasi penggunaan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku tersebut.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam perjanjian baku, adalah pencantuman klausula eksonerasi harus:
a. Menonjol dan Jelas
Pengecualian terhadap tanggung gugat tidak dapat dibenarkan jika penulisannya tidak menonjol dan tidak jelas. Dengan demikian, maka penulisan pengecualian tanggung gugat yang ditulis di belakang suatu surat perjanjian atau yang ditulis dengan cetakan kecil, kemungkinan tidak efektif karena penulisan klausula tidak menonjol.
Agar suatu penulisan klausula dapat digolongkan menonjol, maka penulisannya dilakukan sedemikian rupa sehingga orang yang berkepentingan akan memperhatikannya, misalnya dicetak dalam huruf besar atau dicetak dengan tulisan dan warna yang kontras, dan tentu saja hal ini dimuat dalam bagian penting dari kontrak tersebut.
b. Disampaikan Tepat Waktu
Pengecualian tanggung gugat hanya efektif jika disampaikan tepat waktu. Dengan demikian, setiap pengecualian tanggung gugat harus disampaikan pada saat penutupan perjanjian, sehingga merupakan bagian dari kontrak. Jadi bukan disampaikan setelah perjanjian jual beli terjadi.
c. Pemenuhan Tujuan-tujuan Penting
Pembatasan tanggung gugat tidak dapat dilakukan jika pembatasan tersebut tidak akan memenuhi tujuan penting dari suatu jaminan, misalnya tanggung gugat terhadap cacat yang tersembunyi tidak dapat dibatasi dalam batas waktu tertentu, jika cacat tersembunyi tersebut tidak ditemukan dalam periode tersebut.
d. Adil
Jika pengadilan menemukan kontrak atau klausula kontrak yang tidak adil, maka pengadilan dapat menolak untuk melaksanakannya, atau melaksanakannya tanpa klausula yang tidak adil.
e. Penyalahgunaan Keadaan
Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen ini kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang dalam istilah Belanda dikenal dengan “misbruik van omstadigheden”. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.
Penyalahgunaan ini dapat terjadi jika suatu perjanjian lahir karena adanya keunggulan salah satu pihak, baik keunggulan ekonomi, keunggulan psikologi maupun keunggulan lainnya. Walaupun demikian, secara umum hanya dikenal dua kelompok penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, secara garis besar penyalahgunaan keadaan dikelompokkan dalam dua kelompok:
(a) penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomi dari satu pihak terhadap pihak lain;
(b) penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologi dari satu pihak terhadap pihak lainnya.
Di antara dua penyalahgunaan di atas, penyalahgunaan keunggulan ekonomi lebih banyak menghasilkan putusan hakim daripada penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis. Penyalahgunaan karena keunggulan ekonomi harus memenuhi syarat utama berikut ini.
- satu pihak dalam perjanjian lebih unggul dalam bidang ekonomi daripada pihak lainnya; sehingga
- pihak lain terdesak melakukan perjanjian yang bersangkutan.
Dengan demikian, ada keadaan terdesak dan tidak ada alternative lain bagi pihak yang lemah dari segi ekonomi, dan dalam keadaan itu, mereka tidak memungkinkan lagi mengadakan perundingan.
Berbeda dari syarat di atas, penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis, syaratnya adalah:
- adanya ketergantungan dari pihak lemah yang disalahgunakan oleh pihak yang mempunyai keunggulan psikologi;
- adanya kesukaan psikologi yang luar biasa antara pihak yang satu dengan pihak lain.
Pada penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologi ini, keunggulan yang dimiliki salah satu pihak disalahgunakan sehingga pihak lain melakukan tindakan hukum yang tidak bijaksana dan malahan merugikan dirinya.
Kasus yang sebenarnya merupakan penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologi tersebut bulum banyak diputuskan oleh hakim di Indonesia, walaupun secara mudah diasumsikan banyak terjadi di Indonesia, namun belum ada yang diputuskan sebagai penyalahgunaan keadaan. Kemungkinan diputuskan sebagai suatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik dalam masyarakat, sehingga putusan hakim menghasilkan pembatalan perjanjian karana tidak ada sebab yang halal (Pasal 1337 BW), yang berarti perjanjian dianggap tidak pernah ada/batal demi hukum (Pasal 1335 BW).
Di Inggris penanggulangan masalah kontraktual dilakukan melalui putusan-putusan hakim dan ketentuan perundang-undangan. Bahkan Law Commision dalam saran mereka untuk peninjauan masalah standard form contract mengemukakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penguji syarat-syarat baku tersebut, antara lain:
- kemampuan daya saing (bargaining power) para pihak,
- apakah konsumen ditawarkan syarat-syarat lain dengan tingkat harga yang lebih tinggi, tapi tanpa syarat eksonerasi dalam kontrak pembeliannya;
- apakah pelanggaran kontrak dengan syarat pengecualian tanggung jawab, disebabkan oleh hal atau peristiwa di luar kuasa pihak (konsumen) yang melakukannya.
Faktor- faktor tersebut di atas, perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah syarat-syarat kepatutan (reasonableness requirement) memang telah dipenuhi atau tidak, sehingga syarat-syarat baku tertentu dapat berlaku atau harus dibatalkan.
Di Amerika Serikat, transaksi-transaksi tertentu yang dilakukan dengan perjanjian baku, tidak diperbolehkan memuat syarat berikut:
- persetujuan pembeli untuk tidak melakukan gugatan terhadap pengusaha;
- pembebasan pembeli untuk menuntut penjual mengenai setiap perbuatan penagihan atau pemilikan kembali (barang yang dijual) yang dilakukan secara tidak sah;
- pemberian kuasa kepada penjual atau orang lain untuk kepentingannya, untuk menagih pembayaran atau pemilikan kembali barang tertentu;
- pembebasan penjual dari setiap tuntutan ganti kerugian pembeli terhadap penjual.
Sedangkan di Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan, telah dilakukan upaya-upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari penyalahgunaan keadaan. Hal ini tampak dengan adanya pembatasan terhadap penyalahgunaan keadaan yang dapat merugikan konsumen melalui Woeker Ordonantie tahun 1338. Berdasarkan Pasal 2 Ordonansi tersebut, para pihak yang dirugikan atau membatalkan perjanjian dalam hal hakim menemukan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban-kewajiban para pihak. Untuk melaksanakan kewanangan hakim tersebut, maka disyaratkan bahwa:
- pihak yang dirugikan mengajukan permohonan untuk itu;
- pihak yang dirugikan tidak secara penuh menyadari segala akibat perjanjian yang telah diadakannya; dan
- pihak yang dirugikan ternyata bertindak ceroboh, tanpa pengalaman atau dalam keadaan darurat.
Upaya perlindungan konsumen di atas tentu sangatlah terbatas, dan tidak mungkin memberikan perlindungan kepada konsumen secara keseluruhan. Akan tetapi upaya tersebut dapat dijadikan salah satu upaya untuk membatasi kerugian akibat penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian.
Setelah lahirnya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin baik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK, dilarang memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen.
Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.
[Ditulis Oleh : Afrida Nasution, S.H., M.H. - Perjanjian (Klausula) Baku Menjerat Konsumen]
Reading List :
- Ahmadi Miru, Larangan Penggunaan Kalusula Baku Tertentu dalam Perjanjian antara Konsumen dan Pelaku Usaha, Jurnal Hukum No. 17 vol. 8 Juni 2001, UII, Yogyakarta.
- Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
- Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.
- Az Nasution, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Kontrak Pembelian Rumah Murah, Makalah, Disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Pertanggungan Jawab Produk dan Kontrak Bangunan, Jakarta, 1988.
- Jerry J. Phillips, Products Liability. St. Paul Minnesota: West Publishing Company. 1993.
- Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
- Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994.
- Sutarman Yodo, Hakikat Pasal 18 ayat (1) Huruf g UUPK dalam menuju Era Globalisasi, Makalah Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makasar, Desember 2001.