• Home
  • Hukum
    • KUHP
    • KUHPerdata
    • UUPK
    • Perkawinan
    • Hukum Indonesia
  • Persidangan
  • Hukum Islam
  • Siaran Pers

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya bagi ahli waris

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.

Berdasarkan Surat Mahkamah Agung (“MA”) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991 ditentukan mengenai ketentuan kewenangan hukum berdasarkan masing-masing kelompok Penduduk di Indonesia yaitu::
  1. Penduduk Asli Indonesia, berlaku Hukum Adat;
  2. Orang Belanda, Eropa dan yang dipersamakan dengan itu berlaku Hukum Perdata BW;
  3. Keturunan Tiong Hoa sejak tahun 1919 berlaku Hukum Perdata Barat
  4. Keturunan Timur Asing Lainnya (Arab, Hindu, Pakistan dan Lain-lain) dalam Pewarisan Berlaku Hukum Negara Leluhurnya.
Pengaturan hukum waris merupakan hal yang cukup rumit dan sering kita jumpai sebagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun peliknya hukum waris dan tata cara pembagian warisan membuat orang menomor duakan masalah ini.

Sebenarnya melakukan perencanaan dana warisan
sangat penting. Namun agar tidak timbul perselisihan yang tak jarang terjadi saat membicarakan warisan, Anda harus terlebih dahulu memahami hukum waris di Indonesia.

Apa itu hukum waris?

Menurut pakar hukum Indonesia, Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976), hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia (pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (ahli waris).

Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata.

Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing.

Unsur-unsur Hukum Waris

Saat membicarakan hukum waris ada beberapa unsur yang harus Anda tahu:
  1. Pewaris: Orang yang meninggal dunia atau orang yang memberikan warisan disebut pewaris. Biasanya pewaris melimpahkan baik harta maupun kewajibannya (hutang) kepada orang lain (ahli waris).
  2. Ahli waris: Orang yang menerima warisan disebut sebagai ahli waris yang diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan kewajiban (hutang) yang ditinggalkan oleh pewaris.
  3. Harta warisan: warisan yaitu segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris untuk dimiliki pewaris, baik itu berupa hak atau harta seperti rumah, mobil, dan emas maupun kewajiban berupa hutang.

Hukum waris di Indonesia

Hingga kini belum ada hukum waris di Indonesia yang berlaku secara nasional. Namun ada tiga hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda dan berikut penjelasannya secara umum:

Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat.

Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.

Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.

Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?
  1. Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
  2. Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
  3. Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
  4. Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.

Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.

Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan:
  • Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
  • Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
  • Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan :
#     Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, paman, dll.
#     Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi dua syarat:
#     Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
#     Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai.
#     Apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi maka hartanya akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam.

Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).

Hukum waris perdata menganut sistem individual dimana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:

Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris.

Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya bagi ahli waris

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.

Berdasarkan Surat Mahkamah Agung (“MA”) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991 ditentukan mengenai ketentuan kewenangan hukum berdasarkan masing-masing kelompok Penduduk di Indonesia yaitu::
  1. Penduduk Asli Indonesia, berlaku Hukum Adat;
  2. Orang Belanda, Eropa dan yang dipersamakan dengan itu berlaku Hukum Perdata BW;
  3. Keturunan Tiong Hoa sejak tahun 1919 berlaku Hukum Perdata Barat
  4. Keturunan Timur Asing Lainnya (Arab, Hindu, Pakistan dan Lain-lain) dalam Pewarisan Berlaku Hukum Negara Leluhurnya.
Pengaturan hukum waris merupakan hal yang cukup rumit dan sering kita jumpai sebagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Namun peliknya hukum waris dan tata cara pembagian warisan membuat orang menomor duakan masalah ini.

Sebenarnya melakukan perencanaan dana warisan
sangat penting. Namun agar tidak timbul perselisihan yang tak jarang terjadi saat membicarakan warisan, Anda harus terlebih dahulu memahami hukum waris di Indonesia.

Apa itu hukum waris?

Menurut pakar hukum Indonesia, Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976), hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia (pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (ahli waris).

Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata.

Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing.

Unsur-unsur Hukum Waris

Saat membicarakan hukum waris ada beberapa unsur yang harus Anda tahu:
  1. Pewaris: Orang yang meninggal dunia atau orang yang memberikan warisan disebut pewaris. Biasanya pewaris melimpahkan baik harta maupun kewajibannya (hutang) kepada orang lain (ahli waris).
  2. Ahli waris: Orang yang menerima warisan disebut sebagai ahli waris yang diberi hak secara hukum untuk menerima harta dan kewajiban (hutang) yang ditinggalkan oleh pewaris.
  3. Harta warisan: warisan yaitu segala sesuatu yang diberikan kepada ahli waris untuk dimiliki pewaris, baik itu berupa hak atau harta seperti rumah, mobil, dan emas maupun kewajiban berupa hutang.

Hukum waris di Indonesia

Hingga kini belum ada hukum waris di Indonesia yang berlaku secara nasional. Namun ada tiga hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda dan berikut penjelasannya secara umum:

Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat.

Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.

Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.

Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?
  1. Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
  2. Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
  3. Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
  4. Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.

Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.

Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan:
  • Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
  • Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
  • Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan :
#     Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, paman, dll.
#     Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi dua syarat:
#     Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
#     Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai.
#     Apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi maka hartanya akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam.

Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).

Hukum waris perdata menganut sistem individual dimana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:

Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris.

Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.

Setelah lahirnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 atau yang disebut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), masalah Pewarisan bagi Penduduk Indonesia yang beragama Islam diatur dalam  Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214) KHI tersebut, adapun lembaga pengawas atas pewarisan tersebut adalah Peradilan Agama.

Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan Fatwa atau penetapan mengenai Pembagian Harta Peninggalan seorang pewaris yang beragama Islam. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 / 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama. Fatwa Waris dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas dasar permohonan ahli waris. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (ahli waris). Berdasarkan Fatwa Waris tersebut, Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk menjual tanah warisan dimaksud.

Berkenaan dengan itu, dalam prakteknya yang terjadi sekarang banyak dari Penduduk warga Negara Indonesia yang beragama selain Islam lebih memilih dan memakai Hukum Waris yang diatur dalam KUHPerdata daripada Hukum Waris yang ditentukan sesuai dengan isi “Fatwa Waris MA”, adapun upaya ini sering disebut dengan “Penundukan secara Sukarela” dan diperbolehkan berdasarkan Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan bahwa:

“Untuk orang-orang Indonesia, golongan Timur Asing atau bagian-bagian dari golongan-golongan itu, yang merupakan dua golongan dari penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat megnghendaki, diberlakukan baik ketentuan perundang-undangan untuk golongan Eropa, sedapat mungkin dengan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya, maupun ketentuan perundang-undangan yang sama dengan golongan Eropa, sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat-kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila temyata kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya”

Sehingga dengan adanya fasilitas Penundukan secara sukarela ini, sebagian besar Penduduk Indonesia yang beragama selain Islam melaksanakan kegiatan pewarisannya berdasarkan KUHPerdata. Oleh karena kecenderungan seperti itu banyak yang berspekulasi bahwa Hukum Kewarisan di Indonesia yang berlaku hanya 2 (dua) yaitu Hukum Kewarisan Islam berdasarkan KHI dan UU No. 3/ 2006 untuk Penduduk Indonesia yang beragama Islam dan Hukum Kewarisan Perdata Barat berdasarkan KUHPerdata untuk Penduduk Indonesia selain Islam. Pernyataan adalah salah meskipun dalam prakteknya terjadi demikian. Akan tetapi Hal tersebut tidak merubah keberlakukan Hukum Adat dan Hukum Agama masing-masing dari Penduduk Selain Islam untuk diterapkan.

Hukum Perdata Barat yang terdapat dalam KUHPerdata adalah bersifat mengatur atau yang disebut “anvullenrecht”, hal ini bermaksud bahwa sebenarnya tidak unsur paksaan harus diterapkannya ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata untuk diterapkan dalam permasalahan Kewarisan di Indonesia namun apabila mereka menginginkan untuk menggunakan KUHPerdata dalam penyelesaian Kewarisan mereka maka hal itu diperbolehkan.  Karena dalam prakteknya demikian, Penulis hanya membatasi pembahasan mengenai Hukum Kewarisan selain Islam khusus hanya sebatas Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata sebagaimana banyak digunakan dalam praktek.

Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).

 Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
  1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
  2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
  1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan ini karena :

Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.
 
Apabila saudara seandainya menghadapi masalah, contohnya Kakak anda meninggal (misal. bukan agama Islam), meninggalkan deposito bank dan rumah atas nama almarhum. Tidak ada surat wasiat dan tidak mempunyai anak. Kepada siapakah hak ahli waris tersebut? Apakah seutuhnya kepada istri/kepada saudara kandung almarhum? Dalam kasus seperti ini, walaupun kakak Anda tidak memiliki anak, namun masih memiliki seorang isteri. Dengan demikian, sebagai ahli waris Golongan I, maka isteri kakak Anda tersebut berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari mendiang kakak Anda.
Dasar Hukum:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
  • Surat Mahkamah Agung No. MA/kumdil/171/V/K/1991 (“Surat MA Tahun 1991”)
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (“UU No.3 / 2006”) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU No.7 / 1989”)
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU No.1/1974”)
Semoga Bermanfaat.

Setelah lahirnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 atau yang disebut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), masalah Pewarisan bagi Penduduk Indonesia yang beragama Islam diatur dalam  Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214) KHI tersebut, adapun lembaga pengawas atas pewarisan tersebut adalah Peradilan Agama.

Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan Fatwa atau penetapan mengenai Pembagian Harta Peninggalan seorang pewaris yang beragama Islam. Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 / 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 / 1989 tentang Peradilan Agama. Fatwa Waris dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas dasar permohonan ahli waris. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (ahli waris). Berdasarkan Fatwa Waris tersebut, Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk menjual tanah warisan dimaksud.

Berkenaan dengan itu, dalam prakteknya yang terjadi sekarang banyak dari Penduduk warga Negara Indonesia yang beragama selain Islam lebih memilih dan memakai Hukum Waris yang diatur dalam KUHPerdata daripada Hukum Waris yang ditentukan sesuai dengan isi “Fatwa Waris MA”, adapun upaya ini sering disebut dengan “Penundukan secara Sukarela” dan diperbolehkan berdasarkan Pasal 131 ayat (2) huruf b yang menjelaskan bahwa:

“Untuk orang-orang Indonesia, golongan Timur Asing atau bagian-bagian dari golongan-golongan itu, yang merupakan dua golongan dari penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat megnghendaki, diberlakukan baik ketentuan perundang-undangan untuk golongan Eropa, sedapat mungkin dengan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya, maupun ketentuan perundang-undangan yang sama dengan golongan Eropa, sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat-kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila temyata kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya”

Sehingga dengan adanya fasilitas Penundukan secara sukarela ini, sebagian besar Penduduk Indonesia yang beragama selain Islam melaksanakan kegiatan pewarisannya berdasarkan KUHPerdata. Oleh karena kecenderungan seperti itu banyak yang berspekulasi bahwa Hukum Kewarisan di Indonesia yang berlaku hanya 2 (dua) yaitu Hukum Kewarisan Islam berdasarkan KHI dan UU No. 3/ 2006 untuk Penduduk Indonesia yang beragama Islam dan Hukum Kewarisan Perdata Barat berdasarkan KUHPerdata untuk Penduduk Indonesia selain Islam. Pernyataan adalah salah meskipun dalam prakteknya terjadi demikian. Akan tetapi Hal tersebut tidak merubah keberlakukan Hukum Adat dan Hukum Agama masing-masing dari Penduduk Selain Islam untuk diterapkan.

Hukum Perdata Barat yang terdapat dalam KUHPerdata adalah bersifat mengatur atau yang disebut “anvullenrecht”, hal ini bermaksud bahwa sebenarnya tidak unsur paksaan harus diterapkannya ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata untuk diterapkan dalam permasalahan Kewarisan di Indonesia namun apabila mereka menginginkan untuk menggunakan KUHPerdata dalam penyelesaian Kewarisan mereka maka hal itu diperbolehkan.  Karena dalam prakteknya demikian, Penulis hanya membatasi pembahasan mengenai Hukum Kewarisan selain Islam khusus hanya sebatas Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata sebagaimana banyak digunakan dalam praktek.

Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).

 Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
  1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
  2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
  1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan ini karena :

Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.
 
Apabila saudara seandainya menghadapi masalah, contohnya Kakak anda meninggal (misal. bukan agama Islam), meninggalkan deposito bank dan rumah atas nama almarhum. Tidak ada surat wasiat dan tidak mempunyai anak. Kepada siapakah hak ahli waris tersebut? Apakah seutuhnya kepada istri/kepada saudara kandung almarhum? Dalam kasus seperti ini, walaupun kakak Anda tidak memiliki anak, namun masih memiliki seorang isteri. Dengan demikian, sebagai ahli waris Golongan I, maka isteri kakak Anda tersebut berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari mendiang kakak Anda.
Dasar Hukum:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
  • Surat Mahkamah Agung No. MA/kumdil/171/V/K/1991 (“Surat MA Tahun 1991”)
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (“UU No.3 / 2006”) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU No.7 / 1989”)
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU No.1/1974”)
Semoga Bermanfaat.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Filemon Gulö

  • Popular
  • Comments
  • Archives
    1. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
    2. Keterkaitan Wawasan Nusantara Dan Otonomi Daerah Di Indonesia
    3. Keterkaitan Otonomi Daerah Dengan Wawasan Nusantara
    4. KUHP Pasal 351 - 358 Tentang Penganiayaan
    5. KUHP Pasal 267 - 276 Tentang Pemalsuan Surat
    6. Manfaat dan Khasiat Tanaman Ciplukan
    7. Ya'ahowu Adalah Salam Ono Niha Yang Bermakna
    8. Pancasila Cuma Jadi Alat Kekuasaan
    1. Jan 21
    2. Jan 12
    3. Jan 11
    4. Jan 10
    5. Jan 08
    6. Des 21
    7. Des 15
    8. Des 12
    9. Des 11
    10. Des 10
    11. Des 07
    12. Nov 24
    13. Nov 22
    14. Nov 20
    15. Nov 13
    16. Nov 12
    17. Nov 10
    18. Nov 05
    19. Okt 26
    20. Okt 25
    21. Okt 24
    22. Okt 13
    23. Okt 12
    24. Okt 06
    25. Sep 30
    26. Sep 29
    27. Sep 26
    28. Sep 23
    29. Sep 22
    30. Sep 21
    31. Sep 20
    32. Sep 19
    33. Sep 17
    34. Sep 16
    35. Sep 12
    36. Sep 10
    37. Sep 04
    38. Sep 01
    39. Agu 31
    40. Agu 28
    41. Agu 26
    42. Agu 25
    43. Agu 24
    44. Agu 19
    45. Agu 18
    46. Agu 17
    47. Agu 14
    48. Agu 12
    49. Agu 10
    50. Agu 07
    51. Agu 01
    52. Jul 28
    53. Jul 27
    54. Jul 22
    55. Jul 18
    56. Jul 17
    57. Jul 13
    58. Jul 10
    59. Jul 07
    60. Jul 06
    61. Jul 05
    62. Jul 03
    63. Jul 01
    64. Jun 29
    65. Jun 26
    66. Jun 25
    67. Jun 23
    68. Jun 05
    69. Mei 13
    70. Mei 10
    71. Mei 07
    72. Mei 06
    73. Apr 11
    74. Apr 10
    75. Apr 06
    76. Mar 27
    77. Mar 22
    78. Mar 20
    79. Mar 14
    80. Mar 13
    81. Mar 11
    82. Mar 10
    83. Mar 09
    84. Mar 08
    85. Mar 07
    86. Mar 05
    87. Mar 04
    88. Mar 03
    89. Mar 02
    90. Mar 01
    91. Feb 29
    92. Feb 28
    93. Feb 27
    94. Feb 26
    95. Feb 25
    96. Feb 24
    97. Feb 23
    98. Feb 22
    99. Feb 21
    100. Feb 18
    101. Feb 17
    102. Feb 16
    103. Feb 15
    104. Feb 14
    105. Feb 12
    106. Feb 11
    107. Feb 10
    108. Feb 08
    109. Feb 07
    110. Feb 06
    111. Feb 05
    112. Feb 04
    113. Feb 03
    114. Feb 02
    115. Feb 01
    116. Jan 31
    117. Jan 30
    118. Jan 29
    119. Jan 28
    120. Jan 27
    121. Jan 26
    122. Jan 25
    123. Jan 24
    124. Jan 22
    125. Jan 21
    126. Jan 19
    127. Jan 18
    128. Jan 17
    129. Jan 14
    130. Jan 12
    131. Jan 11
    132. Jan 10
    133. Jan 09
    134. Jan 08
    135. Jan 07
    136. Jan 06
    137. Jan 04
    138. Jan 03
    139. Des 22
    140. Des 21
    141. Des 20
    142. Des 19
    143. Des 17
    144. Des 16
    145. Des 14
    146. Des 13
    147. Des 11
    148. Des 10
    149. Des 09
    150. Des 08
    151. Des 07
    152. Des 06
    153. Des 05
    154. Des 04
    155. Des 03
    156. Des 01
    157. Nov 30
    158. Nov 29
    159. Nov 27
    160. Nov 26
    161. Nov 25
    162. Nov 23
    163. Nov 22
    164. Nov 21
    165. Nov 16
    166. Nov 15
    167. Nov 12
    168. Nov 09
    169. Nov 08
    170. Nov 06
    171. Nov 05
    172. Nov 03
    173. Nov 02
    174. Nov 01
    175. Okt 28
    176. Okt 27
    177. Okt 26
    178. Okt 25
    179. Okt 23
    180. Okt 19
    181. Okt 18
    182. Okt 14
    183. Okt 11
    184. Sep 24
    185. Sep 17
    186. Sep 15
    187. Sep 13
    188. Sep 12
    189. Sep 08
    190. Sep 05
    191. Agu 31
    192. Agu 30
    193. Agu 28
    194. Agu 27
    195. Agu 24
    196. Agu 21
    197. Agu 20
    198. Agu 19
    199. Agu 17
    200. Agu 16
    201. Agu 10
    202. Agu 09
    203. Jun 24
    204. Sep 28
    205. Jul 13
    206. Jun 26
    207. Jun 19
    208. Jun 01
    209. Mei 25
    210. Apr 21
  • Buzz
  • Twitter
  • Facebook
  • RSS
  • Email

Advertisement

Recent Posts

Blogroll

  • Documentation
  • Plugins
  • Suggest Ideas
  • Support Forum
  • Themes
  • WordPress Blog
  • WordPress Planet

Advertisement

  • Home
  • About
  • Archives
  • Full Width
  • Links
  • Theme Options
Copyright 2017 Filemon. All rights reserved.