Mereka yang berkecimpung di bidang litigasi tentu sering mendengar frase ex aequo et bono. Lantas, apa sebenarnya arti frase itu sebenarnya?
Simak uraian berikut:
Sukri Tabrani Daeng Ngewa nyaris kehilangan rumah dan tanahnya di sebuah kawasan perumahan di Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan. Pengembang perumahan mempersoalkan keabsahan hak menggugat Sukri dan puluhan penghuni lainnya ke pengadilan. Putusan pengadilan tingkat pertama dan banding tak berpihak pada Sukri Cs. Ia agak diselamatkan ketika putusan kasasi turun. Sukri tak perlu terusir dari rumahnya, bahkan berhak atas aset itu setelah melunasi harta tanah yang telah disepakati sebelumnya.
Gugatan rekonvensi Sukri dikabulkan. Majelis hakim kasasi dipimpin Harifin A Tumpa mengabulkan gugatan rekonvensi Sukri Cs atas dasar ex aequo et bono. Perkara PT Pilar Nusantara Prima versus Sukri Tabrani Cs ini merupakan salah satu perkara dimana hakim mengabulkan gugatan atas dasar ex aequo et bono. Dan putusan nomor 2345 K/Pdt/2008 ini bukan satu-satunya putusan hakim yang mengabulkan gugatan atas dasar ex aequo et bono.
Mereka yang berkecimpung di bidang litigasi tentu sudah sering mendengar frase ex aequo et bono tersebut. Frase ini adalah bagian petitum dalam suatu gugatan atau permohonan. Biasanya digabung dengan kalimat “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)…” Lantas, apa arti frase tersebut?
Ex aequo et bono berasal dari bahasa Latin. Kamus Juridisch Latin karya GRW Gokkel dan N van der Wal –yang kemudian dialihbahasakan S Adiwinata (1986), hanya mendefinisikan secara singkat frase tersebut sebagai “menurut keadilan”.
Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”.
Pengadilan Indonesia tercatat sudah beberapa kali memutus berdasarkan ex aequo et bono. Pada Agustus 2008 silam, majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan hak pedagang Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan prioritas membeli kios atas dasar ex aequo et bono. Atas nama keadilan, majelis menilai para pedagang adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar Pemda. Karena itu, pedagang tetap berhak mendapatkan ruko semula.
Setahun sebelumnya, hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta memutus hak-hak karyawan demi keadilan. Kali lain, prinsip ex aequo et bono dijadikan hakim sebagai dasar mengabulkan sebagian gugatan Tim Advokasi Korban Ujian Nasional.
Ini berarti ex aequo et bono sudah diterima pengadilan sebagai bagian dari gugatan. Frase tersebut biasanya diajukan sebagai tuntutan antisipatif, jika ternyata hakim tidak mengabulkan tuntutan pokok atau primer.
Praktik di dunia internasional tak kalah menariknya karena acapkali menimbulkan perdebatan. Josephine K Mason, akademisi UC Hastings College of the Law, menulis esai kritis terhadap ex aequo et bono di salah satu jurnal Amerika Serikat. Berangkat dari kasus perbatasan Sudan, Josephine menulis “The Role of Ex Aequo et Bono in International Border Settlement : a Critique of the Sudanese Abyei Arbitration” (Februari 2010).
Dalam sengketa perbatasan, kata Josephine, adakalanya lebih berguna menggunakan ex aequo et bono demi keadilan dalam menyelesaikan konflik. Apalagi Pasal 38 ayat (2) Statuta International Court of Justice mengenal prinsip tersebut.
Petitum subsidair
Dalam literatur hukum acara perdata di Indonesia, tuntutan atau petitum penggugat dibedakan atas tuntutan primair dan tuntutan subsidair. Tuntutan primair adalah tuntutan pokok misalnya pembayaran ganti rugi. Mantan hakim agung, M Yahya Harahap (2008), memasukkan mohon keadilan ex aequo et bono sebagai petitum subsidair. Karakternya tidak mutlak, bersifat alternatif, sangat tergantung pada kebebasan hakim. Tuntutan subsidair diajukan sebagai antisipasi penggugat jika seandainya tuntutan primair tidak dikabulkan hakim.
Hakim boleh menggunakan ex aequo et bono dengan catatan harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan (appropriateness). Lalu, kelayakan atau kepatutan yang dikabulkan itu masih berada dalam kerangka jiwa petitum primair dan dalil gugatan.
Mahkamah Agung dalam putusan 12 Agustus 1972 (putusan No. 140 K/Sip/1971 dalam perkara Mertowidjojo Cs vs B. Mertodirdjo) juga menegaskan persyaratan yang disinggung Yahya Harahap di atas. Putusan hakim yang mengabulkan ex aequo et bono harus masih terkait dalam kerangka petitum primair. Tidak tepat bila amar putusan atas tuntutan subsidair melebihi hal-hal yang tidak dituntut penggugat dalam petitum primairnya, atau melebihi. Begitulah pandangan majelis hakim agung dipimpin Prof R Sardjono dalam perkara tersebut.
Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata, menyinggung acuan lain. Pada satu sisi, putusan ex aequo et bono tidak boleh melebihi materi pokok petitum primair, sehingga putusan yang dijatuhkan tidak melanggar ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Pada sisi lain, putusan itu tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat melakukan pembelaan kepentingannya.
[ Sumber: Hukum Online - Title : Bahasa Hukum: Ex Aequo et Bono ]
Gugatan rekonvensi Sukri dikabulkan. Majelis hakim kasasi dipimpin Harifin A Tumpa mengabulkan gugatan rekonvensi Sukri Cs atas dasar ex aequo et bono. Perkara PT Pilar Nusantara Prima versus Sukri Tabrani Cs ini merupakan salah satu perkara dimana hakim mengabulkan gugatan atas dasar ex aequo et bono. Dan putusan nomor 2345 K/Pdt/2008 ini bukan satu-satunya putusan hakim yang mengabulkan gugatan atas dasar ex aequo et bono.
Mereka yang berkecimpung di bidang litigasi tentu sudah sering mendengar frase ex aequo et bono tersebut. Frase ini adalah bagian petitum dalam suatu gugatan atau permohonan. Biasanya digabung dengan kalimat “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)…” Lantas, apa arti frase tersebut?
Ex aequo et bono berasal dari bahasa Latin. Kamus Juridisch Latin karya GRW Gokkel dan N van der Wal –yang kemudian dialihbahasakan S Adiwinata (1986), hanya mendefinisikan secara singkat frase tersebut sebagai “menurut keadilan”.
Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”.
Pengadilan Indonesia tercatat sudah beberapa kali memutus berdasarkan ex aequo et bono. Pada Agustus 2008 silam, majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan hak pedagang Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan prioritas membeli kios atas dasar ex aequo et bono. Atas nama keadilan, majelis menilai para pedagang adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar Pemda. Karena itu, pedagang tetap berhak mendapatkan ruko semula.
Setahun sebelumnya, hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta memutus hak-hak karyawan demi keadilan. Kali lain, prinsip ex aequo et bono dijadikan hakim sebagai dasar mengabulkan sebagian gugatan Tim Advokasi Korban Ujian Nasional.
Ini berarti ex aequo et bono sudah diterima pengadilan sebagai bagian dari gugatan. Frase tersebut biasanya diajukan sebagai tuntutan antisipatif, jika ternyata hakim tidak mengabulkan tuntutan pokok atau primer.
Praktik di dunia internasional tak kalah menariknya karena acapkali menimbulkan perdebatan. Josephine K Mason, akademisi UC Hastings College of the Law, menulis esai kritis terhadap ex aequo et bono di salah satu jurnal Amerika Serikat. Berangkat dari kasus perbatasan Sudan, Josephine menulis “The Role of Ex Aequo et Bono in International Border Settlement : a Critique of the Sudanese Abyei Arbitration” (Februari 2010).
Dalam sengketa perbatasan, kata Josephine, adakalanya lebih berguna menggunakan ex aequo et bono demi keadilan dalam menyelesaikan konflik. Apalagi Pasal 38 ayat (2) Statuta International Court of Justice mengenal prinsip tersebut.
Petitum subsidair
Dalam literatur hukum acara perdata di Indonesia, tuntutan atau petitum penggugat dibedakan atas tuntutan primair dan tuntutan subsidair. Tuntutan primair adalah tuntutan pokok misalnya pembayaran ganti rugi. Mantan hakim agung, M Yahya Harahap (2008), memasukkan mohon keadilan ex aequo et bono sebagai petitum subsidair. Karakternya tidak mutlak, bersifat alternatif, sangat tergantung pada kebebasan hakim. Tuntutan subsidair diajukan sebagai antisipasi penggugat jika seandainya tuntutan primair tidak dikabulkan hakim.
Hakim boleh menggunakan ex aequo et bono dengan catatan harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan (appropriateness). Lalu, kelayakan atau kepatutan yang dikabulkan itu masih berada dalam kerangka jiwa petitum primair dan dalil gugatan.
Mahkamah Agung dalam putusan 12 Agustus 1972 (putusan No. 140 K/Sip/1971 dalam perkara Mertowidjojo Cs vs B. Mertodirdjo) juga menegaskan persyaratan yang disinggung Yahya Harahap di atas. Putusan hakim yang mengabulkan ex aequo et bono harus masih terkait dalam kerangka petitum primair. Tidak tepat bila amar putusan atas tuntutan subsidair melebihi hal-hal yang tidak dituntut penggugat dalam petitum primairnya, atau melebihi. Begitulah pandangan majelis hakim agung dipimpin Prof R Sardjono dalam perkara tersebut.
Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata, menyinggung acuan lain. Pada satu sisi, putusan ex aequo et bono tidak boleh melebihi materi pokok petitum primair, sehingga putusan yang dijatuhkan tidak melanggar ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Pada sisi lain, putusan itu tidak boleh sampai berakibat merugikan tergugat melakukan pembelaan kepentingannya.
[ Sumber: Hukum Online - Title : Bahasa Hukum: Ex Aequo et Bono ]