Siarlingkungan News // Jakarta - Dari segi tugas dan kewenangan, tidak ada perbedaan antara hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan hakim pengadilan negeri (karier). Hanya saja, praktiknya hakim pengadilan negeri di PHI akan selalu menjadi ketua dan hakim ad hoc PHI menjadi anggota majelis yang semuanya sebagai hakim di bawah Mahkamah Agung (MA) yang berkedudukan sebagai pejabat negara.
pengadilan hubungan industrial |
Pandangan ini disampaikan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan saat memberi keterangan sebagai ahli di sidang keempat pengujian Pasal 67 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pengujian ini dimohonkan hakim ad hoc PHI, Mustofa dan Sahala Aritonang.
Maruarar mengatakan persamaan kedudukan dan status hakim ad hoc dan hakim karier ini disebutkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Beleid ini menyebutkan hakim pengadilan di bawah MA merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah MA.
“Adanya perbedaan batasan masa jabatan bagi hakim ad hoc PHI dengan hakim lain dalam lingkungan MA bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai prinsip konstitusi yang harus ditegakkan,” kata Maruarar dalam persidangan.
Ditegaskan Maruarar, adanya perbedaan perlakuan dan aturan antara hakim ad hoc PHI dan hakim karier menunjukkan bukti ketidaksamaan di hadapan hukum. Hakim ad hoc PHI hakikatnya sama seperti hakim karier. Hanya saja jalur rekrutmennya berbeda dengan hakim nonkarier.
“Hakim ad hoc PHI adalah hakim sebagai pengemban tugas penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah MA dari jalur nonkarier. Seharusnya diperlakukan sama,” tegasnya.
Menurut Rektor Universitas Kristen Indonesia itu, masa jabatan periodik hakim ad hoc PHI mirip seperti jabatan politik yang diangkat kembali untuk masa jabatan berikutnya selama 5 tahun. Padahal, jabatan hakim ad hoc PHI bukanlah jabatan politik yang potensial menghambat independensi. “Putusan MK No. 6/PUU-XIV/2016 tanggal 4 Agustus 2016 tentang uji materi Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, bisa menjadi rujukan persamaan perlakuan dan nondiskriminasi terhadap status hakim ad hoc PHI ini,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Pemohon menghadirkan beberapa orang saksi. Salah satunya hakim ad hoc PHI Surabaya, Alfil Syahril. Dalam keterangannya, Syahril menjelaskan tugas dan kewenangan yang sama dengan hakim karier, kecuali ada beberapa hak yang berbeda termasuk tunjangan hakim karier.
Para Pemohon menilai Pasal 67 ayat (2) UU PPHI yang mengatur masa tugas masa jabatan hakim ad hoc untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan berikutnya, ini menimbulkan perlakuan diskriminasi. Sebab, periodeisasi masa jabatan hakim ad hoc PHI tidak berlaku bagi hakim peradilan lain di bawah MA.
Menurutnya, periodisasi masa jabatan hakim ad hoc PHI menimbulkan masalah keberlanjutan penyelesaian perkara perselisihan hubungan industrial. Para Pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Karena itu, Para Pemohon meminta MK menghapus Pasal 67 ayat (2) UU PHI. Kalaupun tidak dihapus, MK bisa menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai frasa “masa tugas hakim ad hoc untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk jangka waktu 5 tahun berikutnya oleh Ketua MA hingga batas usia pensiun hakim yakni 62 tahun untuk ad hoc pada Pengadilan Negeri dan 67 tahun untuk hakim ad hoc pada MA”. (Hukumonline)
_____
Editor : Ferlin
Siarlingkungan News // Jakarta - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan, meskipun pemerintah menargetkan perekaman data kependudukan selesai pada 30 September mendatang, namun bukan berarti setelah tanggal itu warga tidak bisa mengurus perekaman data untuk memperoleh Nomor Induk Kependudukan (NIK) Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP El).
E-KTP / ilustrasi |
“Kita harap masyarakat datang. Tapi kalau tangal 30 September belum bisa datang, datanglah tanggal berikutnya. Masyarakat tak perlu khawatir pelayanan perekaman berhenti,” kata Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Zudan Arif Fakhrulloh, seperti dikutip dari situs Setkab, Kamis (1/9/16).
Namun Zudan mengingatkan, bagi warga yang melakukan perekaman data untuk memperoleh NIK KTP Elektronik bila di sejumlah daerah kehabisan blangko, warga harus meminta surat keterangan pengganti identitas ke petugas pelayanan KTP di kecamatan/dinas kabupaten.
“Mereka yang sudah merekam, bisa langsung dapat (KTP), bisa juga belum. Namun yang belum dapat KTP, dalam UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sudah diatur. Pemerintah daerah (Pemda) boleh menerbitkan yang namanya surat keterangan pengganti identitas. Itu berlaku sampai jadinya KTP El mereka. Di sana ada NIK sehingga bisa langsung diakses,” jelas Zudan
Zudan menjelaskan, dalam surat tersebut pengganti identitas tersebut, lanjut Zudan, tercantum data identitas seperti KTP, termasuk NIK warga yang merekam. Karena itu, meski belum ada fisik KTP El, lantaran kekurangan blangko, namun warga yang sudah merekam sudah tercatat memiliki NIK tunggal.
“Jadi mereka bisa mengurus keperluannya dengan surat itu,” ujarnya.
Diakui oleh Dirjen Dukcapil Kemendagri itu, tanpa memiliki KTP El, yang mencantumkan NIK baru, masyarakat memang akan kesulitan dalam mengurus berbagai keperluan administrasi seperti SIM, STNK, Kartu Kesehatan maupun perbankan. Namun setelah merekam dan memiliki NIK, meski hanya dalam surat pengantar tersebut, kata Zudan, mereka sudah bisa kembali mendapatkan pelayanan publik tersebut.
Zudan mengulang kembali pernyataannya, bahwa proses perekaman NIK KTP kini tidak lagi menyulitkan warga, karena mereka tidak harus membawa surat pengantar dari RT/RW. “Cukup membawa kartu keluarga (KK), kemudian mereka bisa langsung melakukan perekaman,” jelas Zudan seraya menegaskan, tidak ada pungutan atau biaya saat merekam. Semuanya gratis.
Sedangkan terkait masalah blangko KTP El, Dirjen Dukcapil Kemendagri itu menegaskan, bahwa ketersediaan bahan tersebut masih mencukupi. Hanya saja, pemerintah daerah harus berinisiatif mendatangi kantor pusat Ditjen Dukcapil Kemendagri di Pasar Minggu bila blangko yang mereka punya mulai menipis.
Dalam kesempatan itu, Dirjen Dukcapil juga menegaskan, bahwa KTP Elektronik berlaku seumur hidup, meski di dalam KTP Elektronik yang tercetak lebih dahulu ada tertulis masa berlakunya. Karena itu, Dirjen meminta aparat Kecamatan atau Dukcapil Daerah agar lebih memprioritaskan menyelesaikan perekaman data warga yang belum memiliki KTP Elektronik, bukan mereka yang ingin mengganti KTP Elektroniknya. (Hukumonline)
_____
Editor : Ferlin