SMS Massal adalah pengiriman Short Message Servise (SMS) secara simultan dari http://www.smsmassal.com/ ke nomor-nomor hand phone (hp) semua operator di Indonesia (Telkomsel, Axis, XL, IM3 , 3, ddl). Dengan konten yang sama atau berbeda (customize sms). Pesan di kirimkan secara periodik /berdasarkan waktu tertentu, boleh bersifat pemberitahuan kepada rekan bisnis, karyawan, keluarga, anggota partai maupun teman-teman anda. SMS Massal adalah solusi komunikasi pengiriman SMS berbasis web untuk menjalin hubungan dengan mitra, menawarkan produk atau promo terbaru dari perusahaan anda, bahkan menjalin tali silaturahim dengan kerabat atau teman, karena pesan di terima langsung oleh yang bersangkutan sehingga lebih intim, terarah dan produktif.
SMS Massal dapat digunakan oleh organisasi, kelompok, group maupun komunitas yang ada di masyarakat baik bersifat bisnis maupun nirlaba, misalnya: SMS marketing, iklan, promosi, customer service, community building, ucapan selamat dan sebagainya. Untuk mempraktekkan customer intimacy secara tepat-guna, efektif dan efisien, SMS Massal adalah tool yang anda butuhkan. SMS Massal lebih dari sekedar SMS gateway, SMS marketing, SMS iklan, SMS promosi, SMS kampanye, atau SMS bulk broadcaster yang anda ketahui.
Jika anda punya usaha atau bisnis, atau anda seorang marketing berpromosi dengan sms belum ketinggalan jaman, sepanjang konsumen atau klien anda masih menggunakan handphone (hp), maka sms masih merupakan alternatif berpromosi yang efektif dan efisien. Dengan smsmassal pengiriman message menjadi lebih cepat dengan bisa ribuan sms sekali kirim, maka anda tinggal menunggu respon dari klien, apalagi jika perusahaan anda sudah punya nama (terkenal punya pelanggan yang banyak) maka dengan smsmassal bisa mengingatkan kien atau pelanggan dengan promosi terbaru anda.
Produk SMS MASSAL ada 2 yaitu:
- SMS MASKING ALPHA SENDER, SMS yang pengirimnya berupa nama perusahan, group atau komunitas anda sehingga nampak lebih elegan, ekslusif dan profesional, dengan syarat yang diberlakukan operator yang berbedan kami siap membantu anda, dan harga yang bersaing dan paling murah.
- SMS STANDART NUMERIC SENDER, yaitu SMS yang pengirimnya berupa nomor yang bersumber dari server kami dengan paket yang lebih hemat untuk kemudahan dan kecepatan proses pengiriman. Untuk pengaktifan akun anda kurang lebih 1 jam tergantung syarat telah kami terima atau belum. Dan harga yang sangat hemat dan paling murah anda bisa menjangkau ribuan konsumen. Dan kesuksesan bisnis anda sudah di depan mata.
Beberapa Fitur SMS Massal :
- Unlimited Phone book & Grouping, anda dapat memasukkan semua data client anda ke phone book tanpa batas maksimal, mengelompokkan dalam group untuk memudahkan pengaturan dalam pengiriman sms serentak. Untuk kenyamanan anda, phonebook dapat diimport dari file text atau spreadsheet (Microsoft Excel). Untuk informasi bagaimana meng-import phonebook, dapat anda download pada Panduan Phone Book
- SMS ke Group, anda dapat mengirimkan sms ke group tertentu.
- Customize SMS (import from file), fasilitas ini sangat dibutuhkan bila anda ingin mengirimkan pesan berupa tagihan (billing), bonus, dll. Untuk informasi lebih lanjut, silakan download dokumentasi : Customize SMS (SMS From File).
- Scheduled SMS
- Birthday Greetings
- SMS Contest, Keyword System
- Voting / Polling System
Ayo tunggu apalagi daftarkan segera di SMSMASSAL atau REGISTRASI dan ikuti langkah-langkah selanjutnya.
Hal-hal berikut saya sajikan untuk kemudahan Anda membaca. Pembahasan di sini sepenuhnya saya uraikan dari sisi ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
1. Apakah UU Pilkada sudah sah berlaku? Belum. Meskipun pada 26 September 2014 pemungutan suara di DPR telah menyetujui RUU Pilkada menjadi UU, masih tersisa satu tahapan lagi, yakni pengesahan.
2. Apakah yang dimaksud dengan “pengesahan”? Hal ini adalah pembubuhan tanda tangan oleh Presiden Republik Indonesia. Pengesahan hanya dapat dilakukan di ibukota: Jakarta.
Prosesnya adalah sebagai berikut: dalam waktu paling lambat 7 hari (3 Oktober 2014) setelah Presiden dan DPR menyetujui RUU Pilkada, Pimpinan DPR mengirimkan RUU tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Paling lambat 30 hari (24 Oktober 2014) setelah persetujuan bersama tersebut, Presiden Republik Indonesia (bisa SBY, bisa Joko Widodo) dapat membubuhkan tanda tangannya.
3. Bisakah Presiden Republik Indonesia menolak mengesahkan UU Pilkada? Bisa, dan penolakan ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.
4. Jika Presiden Republik Indonesia (bisa SBY, bisa Joko Widodo) menolak, apakah UU Pilkada batal berlaku? Tidak. Setelah Presiden SBY dan DPR bersama-sama menyetujui RUU Pilkada menjadi UU, pengesahan hanyalah suatu perbuatan seremonial belaka. Berdasarkan Pasal 20 (5) UUD1945 (Perubahan Kedua), 30 hari (24 Oktober 2014) setelah persetujuan bersama tersebut UU Pilkada resmi berlaku.
5. Benarkah pendapat seorang ahli hukum tata negara bahwa Presiden memegang 50% kekuasaan legislatif? Benar. Meskipun menurut Pasal 20 (1) UUD 1945 (Perubahan Pertama) DPR memegang kekuasaan membentuk UU, namun DPR tidak bisa secara mandiri membuat, membahas,dan menyetujui suatu RUU menjadi UU. DPR harus bekerja sama dengan Presiden dalam membahas dan menyetujui RUU (Pilkada) menjadi UU (Pilkada).
6. Benarkah pendapat seorang ahli hukum tata negara lain bahwa “persetujuan bersama [Presiden dan DPR] itu dilakukan dalam sidang paripurna DPR?” Pernyataan ini tidak dapat diterima, karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku terkait pembuatan UU. RUU Pilkada telah menjalani dua tingkat pembicaraan.
Tingkat I adalah dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Di tingkat ini Presiden mengutus Menteri Dalam Negeri untuk berdiskusi dengan DPR.
Pembicaraan Tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna. Di tahap ini Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menyampaikan pendapat akhirnya. (Meski UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan tidak menjelaskan lebih lanjut kapan persisnya Presiden harus menyetujui suatu RUU, adalah suatu skandal ketatanegaraan jika pada tanggal 26 September 2014 kemarin DPR melakukan pemungutan suara atas RUU yang belum Presiden setujui!)
Berdasarkan tingkatan tersebut, jika Presiden tidak setuju dengan RUU, maka secara hukum tidak ada “persetujuan bersama” dengan DPR. Sulit untuk kita terima secara akal sehat bahwa tidak ada satu orang pun dari 560 anggota DPR yang tidak menyuarakan hal ini, yakni: “tidak adanya persetujuan dari Presiden (lewat Menteri Dalam Negeri)”.
Oleh karena itu pernyataan ini tidak memiliki kebenaran secara hukum, dan harus kita tolak. Pendapat ini sangat berbahaya, sebab secara tersirat telah dengan serius menuduh bahwa DPR melakukan fait accompliterhadap Presiden.
Pendapat ini juga sangat berbahaya, karena secara tersirat telah dengan serius menuduh ketidakbecusan kerja Presiden, dan jajarannya, sehingga dapat mengerucut pada pelanggaran sumpah jabatan.
Namun fakta hukum yang ada menunjukkan, pendapat di atas adalah jauh panggang dari api.
7. Apakah tantangan kepada SBY untuk menerbitkan Dekrit Presiden membatalkan UU Pilkada suatu langkah yang benar? Sama sekali tidak. Dekrit Presiden pertama-tama adalah produk politik, sekaligus produk hukum yang ekstra-parlementer. Kekuatan hukum Dekrit Presiden hanya dapat dibenarkan bila ada suasana kegentingan yang mendesak. Hal mana tidak terjadi dalam konteks UU Pilkada.
Selain itu, UU Pilkada adalah hasil persetujuan bersama Presiden SBY dan DPR. Desakan mengeluarkan dekrit hanya akan menyudutkan SBY untuk mengkhinanati DPR. Mengingat DPR yang menyetujui UU Pilkada akan bubar per 1 Oktober 2014, dan Presiden SBY juga akan selesai masa jabatannya per 20 Oktober 2014, Dekrit Presiden hanya akan meninggalkan masalah lebih runyam bagi Presiden Jokowi dan DPR 2014-2019.
8. SBY baru saja menyatakan posisi dilematisnya pasca pemungutan suara di DPR: “Di satu sisi, saya harus sesuai konstitusi, di sisi lain harus memperhatikan kehendak rakyat." Apakah penyataan ini secara hukum benar? Sama sekali tidak.
Dekrit Pilkada langsung adalah yang sesuai dengan UUD 1945. Sebagian dari rakyat menghendaki pilkada tetap langsung, sebagian lagi tidak langsung. Mereka yang menghendaki pilkada tidak langsung tidak bisa memberikan dasar hukum yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pendukung pilkada langsung bisa.
9. Jika posisi SBY benar dilematis, apakah yang seharusnya ia lakukan? Seharusnya ia sejak dulu memerintahkan Menteri Dalam Negeri menghentikan pembahasan RUU Pilkada dengan DPR, dan membiarkan Presiden Jokowi dan DPR 2014-2019 mengambil-alih.
10. Seberapa mendesakkah pembahasan RUU Pilkada? Sama sekali tidak mendesak! Tidak ada alasan rasional, baik secara hukum, ekonomi, maupun logika, mengapa kita harus punya UU Pilkada baru dalam waktu kurang dari 30 hari berakhirnya masa jabatan Presiden SBY.
11. Adakah cara Presiden SBY menolak UU Pilkada? Tidak, sekarang sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. UU Pilkada tetap akan berlaku meski SBY, sebagai Presiden, menolaknya.
12. Bertanggungjawabkah SBY atas UU Pilkada? Ya, SBY bertanggung jawab penuh, baik secara hukum maupun secara politik. SBY tidak bisa mengelak.
13. Bila SBY bertanggung jawab atas UU Pilkada, apakah itu artinya SBY telah berbuat salah? Secara hukum “bertanggung jawab” tidak sama dengan “benar atau salah”. Terlepas dari benar atau salah, presiden sebagai kepala negara bertanggung jawab atas semua yang terjadi di Indonesia selama masa jabatannya.
Ihwal “benar atau salah” harus terbukti dalam sidang di pengadilan. Karena persetujuan SBY atas UU Pilkada tidak termasuk ke dalam “pelanggaran hukum berupa pengkhinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela” (Pasal 7A UUD 1945 (Perubahan Ketiga)), maka Anda pribadi yang bisa sepenuhnya berhak menilai apakah SBY telah berbuat salah atau benar.
14. Apakah reaksi pendukung pilkada langsung rasional? Ya, karena pilkada langsung adalah yang sesuai dengan kedaulatan rakyat menurut UUD 1945.
15. Apakah pendukung pilkada tidak langsung tidak rasional? Sejauh alasan mereka yang kemukakan seperti efisiensi biaya pilkada, mencegah korupsi, dan lainnya, maka rasionalitasnya terukur secara ilmiah, yakni: ilmu ekonomi keuangan, ilmu makro-ekonomi, dll.
Namun pendukung pilkada tidak langsung tidak bisa memberikan argumentasi hukum yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, sejauh ini, secara hukum dukungan mereka tidak rasional.
16. Bukankah banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa Pilkada lewat DPRD jauh lebih efisien dan minim biaya? Tidak ada seorang pun ahli hukum yang kompeten untuk berpendapat tentang efisiensi biaya terkait pilkada! Hanya seorang ahli ekonomi (keuangan dan makro ekonomi) yang berhak dan kompeten untuk mengeluarkan pendapat terkait biaya pilkada.
17. Adakah cara untuk membatalkan UU Pilkada? Ada, dengan mengajukan judicial review.
18. Apakah yang dimaksud dengan judicial review atau “pengujian UU terhadap UUD 1945”? Pengujian adalah proses yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa apakah UU (Pilkada) sesuai atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ada dua hal yang dapat diuji: pertama, proses pembentukan UU Pilkada (formil); kedua, bunyi pasal atau ayat (materil).
19. Apakah UU Pilkada tetap berlaku ketika pengujian berlangsung? Ya, UU Pilkada tersebut tetap berlaku.
20. Apakah yang akan terjadi bila Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945? Baik pengujian formil maupun materil akan menghasilkan akibat hukum yang sama: UU Pilkada “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Artinya: pasal, ayat, atau keseluruhan UU Pilkada tersebut bukanlah hukum di Indonesia. Dengan kata lain, semua pihak harus mengabaikan bunyi ayat, pasal, atau keseluruhan UU Pilkada tersebut.
Kemudian DPR dan Presiden harus menyesuaikan bunyi pasal atau ayat UU Pilkada yang terbukti bertentangan dengan UUD 1945 agar sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
21. Apakah yang Mahkamah Konstitusi gunakan dalam menguji? Mahkamah Konstitusi hanya boleh membaca, memeriksa, dan menafsirkan UUD 1945 dan pengaturannya secara lebih lanjut dalam UU Pilkada. UU lain maupun keputusan pengadilan sebelumnya tidak boleh digunakan.
22. Siapa yang berhak mengajukan permohonan pengujian UU Pilkada terhadap UUD 1945? Siapa saja yang merasa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dikurangi, atau dipasung dengan berlakunya UU Pilkada.
23. Apakah (anggota) DPR dan Pemerintah bisa ikut menjadi pemohon? Tidak bisa, karena (anggota) DPR dan Pemerintah (baca: Presiden) adalah lembaga negara yang menyetujui UU Pilkada. Namun anggota DPR sebagai pribadi, bisa (ikut) menjadi pemohon.
24. Bisakah SBY, setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden, dan Partai Demokrasi menjadi pemohon? Tidak. Meski SBY terus-menerus menyatakan mendukung Pilkada langsung, namun secara hukum, tindakannya, sebagai Presiden maupun Ketua Umum Partai Demokrat, adalah mendukung UU Pilkada.
Meskipun Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi ke luar ruang sidang (walk out), namun secara kelembagaan ia adalah bagian dari DPR, yang berdasarkan hasil pemungutan suara menyetujui UU Pilkada.
25. Bisakah DPR dan Pemerintah (baca: Presiden) menjadi pihak dalam kasus pengujian UU Pilkada? Bisa, yakni sebagai pihak yang didengar keterangannya oleh Mahkamah Konstitusi.
26. Bila Joko Widodo sudah resmi jadi Presiden, bisakah beliau melakukan sesuatu? Bisa. Bila Presiden Jokowi konsisten menolak UU Pilkada (baca: pemilihan kepala daerah oleh DPRD), maka beliau tinggal memerintahkan satu hal kepada wakil pemerintah ke persidangan: “Presiden berpendapat UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu mengubah pendapat atas UU Pilkada.”
27. Apakah dampak dari perubahan posisi tersebut? Dampaknya luas secara hukum. Pertama, sebelum menjabat sebagai Presiden, Jokowi mengucapkan sumpah: “Demi Allah ... memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya."
Secara hukum sumpah adalah komitmen untuk mengemban tugas dengan benar dan lurus. Kedua, Presiden adalah lembaga negara. Pernyataan Presiden secara hukum wajib dicamkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan perubahan posisi tersebut, maka 1 dari 2 alat bukti yang dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan sudah terkumpul.
28. Alat bukti lain apakah yang Mahkamah Konstitusi butuhkan untuk mengabulkan permohonan? Cukup salah satu dari:
(a) surat atau tulisan, misalnya risalah rapat panitia kerja RUU Pilkada tanggal 6 Februari 2014 yang menunjukkan bahwa baik DPR maupun Pemerintah (baca: Presiden) sama-sama menyetujui pilkada langsung.
(b) Keterangan saksi, misalnya keterangan anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU Pilkada.
(c) Keterangan ahli, misalnya ahli hukum tentang pelanggaran terhadap UUD 1945 oleh UU Pilkada; atau ahli ekonomi tentang dampak ekonomi dari pilkada langsung dibandingkan dengan pilkada oleh DPRD.
(d) Keterangan para pihak, yakni pemohon, (anggota) DPR, Pemerintah, dan pihak pendukung maupun penolak UU Pilkada.
(e) Petunjuk, yakni segala sesuatu yang Hakim Konstitusi dapat tangkap sebagai bermanfaat dalam memeriksa permohonan.
(f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan optik atau yang serupa dengan itu. Misalnya, pernyataan SBY yang konsisten menyatakan mendukung pilkada langsung, atau tweet yang Anda buat untuk menyatakan dukungan terhadap pilkada langsung maupun kekecewaan/kemarahan terhadap UU Pilkada.
29. Kira-kira, apakah bunyi keputusan Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini secara etika tidak bisa saya jawab. Namun secara hukum, Mahkamah Konstitusi memutuskan berdasarkan dua alat bukti.
Persoalannya jadi mengerucut pada: bagaimana merumuskan permohonan yang secara hukum tidak terbantahkan bahwa UU Pilkada melanggar UUD 1945 dengan didukung dua alat bukti.
30. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keputusan? Tidak ada batasan hari untuk Mahkamah Konstitusi menjatuhkan keputusan.
31. Apakah yang bisa Anda lakukan? Banyak! Bila sebagai warga negara Anda merasa UU Pilkada adalah pelanggaran terhadap hak konstitusional, Anda bisa bergabung menjadi pemohon pengujian UU Pilkada.
Pertama, Anda bisa mencari segala dokumen pendukung: seperti risalah rapat panitia kerja RUU Pilkada, hasil positif dari kepala daerah yang dipilih langsung, perilaku negatif anggota DPRD di seantero Nusantara, perilaku koruptif anggota DPRD di seantero Nusantara, dampak positif secara sosiologis, antropologis, sosial, psikologis, hingga ekonomis dari pilkada langsung yang bisa menjadi alat bukti, surat atau tulisan.
Kedua, Anda bisa bekerja sama dengan Tim Pemohon untuk memberikan keterangan saksi di persidangan untuk menjadi alat bukti.
Selanjutnya, Anda bisa bekerja sama dengan Tim Pemohon untuk membantu para ahli dalam memberikan keterangan di persidangan untuk menjadi alat bukti.
Anda pun bisa berperan aktif memastikan Hakim Konstitusi tidak mungkin luput untuk memperhatikan hal-hal relevan, baik yang bersifat hukum maupun non-hukum, yang dapat menjadi alat bukti.
Anda bisa juga mengumpulkan tweet, blog, dll, baik buatan Anda pribadi maupun orang lain, dan menyusunnya menjadi alat bukti.
Terakhir, Anda bisa juga mencurahkan waktu dan perhatian terhadap jalannya pengujian UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
1. Apakah UU Pilkada sudah sah berlaku? Belum. Meskipun pada 26 September 2014 pemungutan suara di DPR telah menyetujui RUU Pilkada menjadi UU, masih tersisa satu tahapan lagi, yakni pengesahan.
2. Apakah yang dimaksud dengan “pengesahan”? Hal ini adalah pembubuhan tanda tangan oleh Presiden Republik Indonesia. Pengesahan hanya dapat dilakukan di ibukota: Jakarta.
Prosesnya adalah sebagai berikut: dalam waktu paling lambat 7 hari (3 Oktober 2014) setelah Presiden dan DPR menyetujui RUU Pilkada, Pimpinan DPR mengirimkan RUU tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Paling lambat 30 hari (24 Oktober 2014) setelah persetujuan bersama tersebut, Presiden Republik Indonesia (bisa SBY, bisa Joko Widodo) dapat membubuhkan tanda tangannya.
3. Bisakah Presiden Republik Indonesia menolak mengesahkan UU Pilkada? Bisa, dan penolakan ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.
4. Jika Presiden Republik Indonesia (bisa SBY, bisa Joko Widodo) menolak, apakah UU Pilkada batal berlaku? Tidak. Setelah Presiden SBY dan DPR bersama-sama menyetujui RUU Pilkada menjadi UU, pengesahan hanyalah suatu perbuatan seremonial belaka. Berdasarkan Pasal 20 (5) UUD1945 (Perubahan Kedua), 30 hari (24 Oktober 2014) setelah persetujuan bersama tersebut UU Pilkada resmi berlaku.
5. Benarkah pendapat seorang ahli hukum tata negara bahwa Presiden memegang 50% kekuasaan legislatif? Benar. Meskipun menurut Pasal 20 (1) UUD 1945 (Perubahan Pertama) DPR memegang kekuasaan membentuk UU, namun DPR tidak bisa secara mandiri membuat, membahas,dan menyetujui suatu RUU menjadi UU. DPR harus bekerja sama dengan Presiden dalam membahas dan menyetujui RUU (Pilkada) menjadi UU (Pilkada).
6. Benarkah pendapat seorang ahli hukum tata negara lain bahwa “persetujuan bersama [Presiden dan DPR] itu dilakukan dalam sidang paripurna DPR?” Pernyataan ini tidak dapat diterima, karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku terkait pembuatan UU. RUU Pilkada telah menjalani dua tingkat pembicaraan.
Tingkat I adalah dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Di tingkat ini Presiden mengutus Menteri Dalam Negeri untuk berdiskusi dengan DPR.
Pembicaraan Tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna. Di tahap ini Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menyampaikan pendapat akhirnya. (Meski UU Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan tidak menjelaskan lebih lanjut kapan persisnya Presiden harus menyetujui suatu RUU, adalah suatu skandal ketatanegaraan jika pada tanggal 26 September 2014 kemarin DPR melakukan pemungutan suara atas RUU yang belum Presiden setujui!)
Berdasarkan tingkatan tersebut, jika Presiden tidak setuju dengan RUU, maka secara hukum tidak ada “persetujuan bersama” dengan DPR. Sulit untuk kita terima secara akal sehat bahwa tidak ada satu orang pun dari 560 anggota DPR yang tidak menyuarakan hal ini, yakni: “tidak adanya persetujuan dari Presiden (lewat Menteri Dalam Negeri)”.
Oleh karena itu pernyataan ini tidak memiliki kebenaran secara hukum, dan harus kita tolak. Pendapat ini sangat berbahaya, sebab secara tersirat telah dengan serius menuduh bahwa DPR melakukan fait accompliterhadap Presiden.
Pendapat ini juga sangat berbahaya, karena secara tersirat telah dengan serius menuduh ketidakbecusan kerja Presiden, dan jajarannya, sehingga dapat mengerucut pada pelanggaran sumpah jabatan.
Namun fakta hukum yang ada menunjukkan, pendapat di atas adalah jauh panggang dari api.
7. Apakah tantangan kepada SBY untuk menerbitkan Dekrit Presiden membatalkan UU Pilkada suatu langkah yang benar? Sama sekali tidak. Dekrit Presiden pertama-tama adalah produk politik, sekaligus produk hukum yang ekstra-parlementer. Kekuatan hukum Dekrit Presiden hanya dapat dibenarkan bila ada suasana kegentingan yang mendesak. Hal mana tidak terjadi dalam konteks UU Pilkada.
Selain itu, UU Pilkada adalah hasil persetujuan bersama Presiden SBY dan DPR. Desakan mengeluarkan dekrit hanya akan menyudutkan SBY untuk mengkhinanati DPR. Mengingat DPR yang menyetujui UU Pilkada akan bubar per 1 Oktober 2014, dan Presiden SBY juga akan selesai masa jabatannya per 20 Oktober 2014, Dekrit Presiden hanya akan meninggalkan masalah lebih runyam bagi Presiden Jokowi dan DPR 2014-2019.
8. SBY baru saja menyatakan posisi dilematisnya pasca pemungutan suara di DPR: “Di satu sisi, saya harus sesuai konstitusi, di sisi lain harus memperhatikan kehendak rakyat." Apakah penyataan ini secara hukum benar? Sama sekali tidak.
Dekrit Pilkada langsung adalah yang sesuai dengan UUD 1945. Sebagian dari rakyat menghendaki pilkada tetap langsung, sebagian lagi tidak langsung. Mereka yang menghendaki pilkada tidak langsung tidak bisa memberikan dasar hukum yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pendukung pilkada langsung bisa.
9. Jika posisi SBY benar dilematis, apakah yang seharusnya ia lakukan? Seharusnya ia sejak dulu memerintahkan Menteri Dalam Negeri menghentikan pembahasan RUU Pilkada dengan DPR, dan membiarkan Presiden Jokowi dan DPR 2014-2019 mengambil-alih.
10. Seberapa mendesakkah pembahasan RUU Pilkada? Sama sekali tidak mendesak! Tidak ada alasan rasional, baik secara hukum, ekonomi, maupun logika, mengapa kita harus punya UU Pilkada baru dalam waktu kurang dari 30 hari berakhirnya masa jabatan Presiden SBY.
11. Adakah cara Presiden SBY menolak UU Pilkada? Tidak, sekarang sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. UU Pilkada tetap akan berlaku meski SBY, sebagai Presiden, menolaknya.
12. Bertanggungjawabkah SBY atas UU Pilkada? Ya, SBY bertanggung jawab penuh, baik secara hukum maupun secara politik. SBY tidak bisa mengelak.
13. Bila SBY bertanggung jawab atas UU Pilkada, apakah itu artinya SBY telah berbuat salah? Secara hukum “bertanggung jawab” tidak sama dengan “benar atau salah”. Terlepas dari benar atau salah, presiden sebagai kepala negara bertanggung jawab atas semua yang terjadi di Indonesia selama masa jabatannya.
Ihwal “benar atau salah” harus terbukti dalam sidang di pengadilan. Karena persetujuan SBY atas UU Pilkada tidak termasuk ke dalam “pelanggaran hukum berupa pengkhinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela” (Pasal 7A UUD 1945 (Perubahan Ketiga)), maka Anda pribadi yang bisa sepenuhnya berhak menilai apakah SBY telah berbuat salah atau benar.
14. Apakah reaksi pendukung pilkada langsung rasional? Ya, karena pilkada langsung adalah yang sesuai dengan kedaulatan rakyat menurut UUD 1945.
15. Apakah pendukung pilkada tidak langsung tidak rasional? Sejauh alasan mereka yang kemukakan seperti efisiensi biaya pilkada, mencegah korupsi, dan lainnya, maka rasionalitasnya terukur secara ilmiah, yakni: ilmu ekonomi keuangan, ilmu makro-ekonomi, dll.
Namun pendukung pilkada tidak langsung tidak bisa memberikan argumentasi hukum yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, sejauh ini, secara hukum dukungan mereka tidak rasional.
16. Bukankah banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa Pilkada lewat DPRD jauh lebih efisien dan minim biaya? Tidak ada seorang pun ahli hukum yang kompeten untuk berpendapat tentang efisiensi biaya terkait pilkada! Hanya seorang ahli ekonomi (keuangan dan makro ekonomi) yang berhak dan kompeten untuk mengeluarkan pendapat terkait biaya pilkada.
17. Adakah cara untuk membatalkan UU Pilkada? Ada, dengan mengajukan judicial review.
18. Apakah yang dimaksud dengan judicial review atau “pengujian UU terhadap UUD 1945”? Pengujian adalah proses yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa apakah UU (Pilkada) sesuai atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ada dua hal yang dapat diuji: pertama, proses pembentukan UU Pilkada (formil); kedua, bunyi pasal atau ayat (materil).
19. Apakah UU Pilkada tetap berlaku ketika pengujian berlangsung? Ya, UU Pilkada tersebut tetap berlaku.
20. Apakah yang akan terjadi bila Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945? Baik pengujian formil maupun materil akan menghasilkan akibat hukum yang sama: UU Pilkada “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Artinya: pasal, ayat, atau keseluruhan UU Pilkada tersebut bukanlah hukum di Indonesia. Dengan kata lain, semua pihak harus mengabaikan bunyi ayat, pasal, atau keseluruhan UU Pilkada tersebut.
Kemudian DPR dan Presiden harus menyesuaikan bunyi pasal atau ayat UU Pilkada yang terbukti bertentangan dengan UUD 1945 agar sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.
21. Apakah yang Mahkamah Konstitusi gunakan dalam menguji? Mahkamah Konstitusi hanya boleh membaca, memeriksa, dan menafsirkan UUD 1945 dan pengaturannya secara lebih lanjut dalam UU Pilkada. UU lain maupun keputusan pengadilan sebelumnya tidak boleh digunakan.
22. Siapa yang berhak mengajukan permohonan pengujian UU Pilkada terhadap UUD 1945? Siapa saja yang merasa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dikurangi, atau dipasung dengan berlakunya UU Pilkada.
23. Apakah (anggota) DPR dan Pemerintah bisa ikut menjadi pemohon? Tidak bisa, karena (anggota) DPR dan Pemerintah (baca: Presiden) adalah lembaga negara yang menyetujui UU Pilkada. Namun anggota DPR sebagai pribadi, bisa (ikut) menjadi pemohon.
24. Bisakah SBY, setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden, dan Partai Demokrasi menjadi pemohon? Tidak. Meski SBY terus-menerus menyatakan mendukung Pilkada langsung, namun secara hukum, tindakannya, sebagai Presiden maupun Ketua Umum Partai Demokrat, adalah mendukung UU Pilkada.
Meskipun Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi ke luar ruang sidang (walk out), namun secara kelembagaan ia adalah bagian dari DPR, yang berdasarkan hasil pemungutan suara menyetujui UU Pilkada.
25. Bisakah DPR dan Pemerintah (baca: Presiden) menjadi pihak dalam kasus pengujian UU Pilkada? Bisa, yakni sebagai pihak yang didengar keterangannya oleh Mahkamah Konstitusi.
26. Bila Joko Widodo sudah resmi jadi Presiden, bisakah beliau melakukan sesuatu? Bisa. Bila Presiden Jokowi konsisten menolak UU Pilkada (baca: pemilihan kepala daerah oleh DPRD), maka beliau tinggal memerintahkan satu hal kepada wakil pemerintah ke persidangan: “Presiden berpendapat UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu mengubah pendapat atas UU Pilkada.”
27. Apakah dampak dari perubahan posisi tersebut? Dampaknya luas secara hukum. Pertama, sebelum menjabat sebagai Presiden, Jokowi mengucapkan sumpah: “Demi Allah ... memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya."
Secara hukum sumpah adalah komitmen untuk mengemban tugas dengan benar dan lurus. Kedua, Presiden adalah lembaga negara. Pernyataan Presiden secara hukum wajib dicamkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan perubahan posisi tersebut, maka 1 dari 2 alat bukti yang dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan sudah terkumpul.
28. Alat bukti lain apakah yang Mahkamah Konstitusi butuhkan untuk mengabulkan permohonan? Cukup salah satu dari:
(a) surat atau tulisan, misalnya risalah rapat panitia kerja RUU Pilkada tanggal 6 Februari 2014 yang menunjukkan bahwa baik DPR maupun Pemerintah (baca: Presiden) sama-sama menyetujui pilkada langsung.
(b) Keterangan saksi, misalnya keterangan anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU Pilkada.
(c) Keterangan ahli, misalnya ahli hukum tentang pelanggaran terhadap UUD 1945 oleh UU Pilkada; atau ahli ekonomi tentang dampak ekonomi dari pilkada langsung dibandingkan dengan pilkada oleh DPRD.
(d) Keterangan para pihak, yakni pemohon, (anggota) DPR, Pemerintah, dan pihak pendukung maupun penolak UU Pilkada.
(e) Petunjuk, yakni segala sesuatu yang Hakim Konstitusi dapat tangkap sebagai bermanfaat dalam memeriksa permohonan.
(f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan optik atau yang serupa dengan itu. Misalnya, pernyataan SBY yang konsisten menyatakan mendukung pilkada langsung, atau tweet yang Anda buat untuk menyatakan dukungan terhadap pilkada langsung maupun kekecewaan/kemarahan terhadap UU Pilkada.
29. Kira-kira, apakah bunyi keputusan Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan ini secara etika tidak bisa saya jawab. Namun secara hukum, Mahkamah Konstitusi memutuskan berdasarkan dua alat bukti.
Persoalannya jadi mengerucut pada: bagaimana merumuskan permohonan yang secara hukum tidak terbantahkan bahwa UU Pilkada melanggar UUD 1945 dengan didukung dua alat bukti.
30. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keputusan? Tidak ada batasan hari untuk Mahkamah Konstitusi menjatuhkan keputusan.
31. Apakah yang bisa Anda lakukan? Banyak! Bila sebagai warga negara Anda merasa UU Pilkada adalah pelanggaran terhadap hak konstitusional, Anda bisa bergabung menjadi pemohon pengujian UU Pilkada.
Pertama, Anda bisa mencari segala dokumen pendukung: seperti risalah rapat panitia kerja RUU Pilkada, hasil positif dari kepala daerah yang dipilih langsung, perilaku negatif anggota DPRD di seantero Nusantara, perilaku koruptif anggota DPRD di seantero Nusantara, dampak positif secara sosiologis, antropologis, sosial, psikologis, hingga ekonomis dari pilkada langsung yang bisa menjadi alat bukti, surat atau tulisan.
Kedua, Anda bisa bekerja sama dengan Tim Pemohon untuk memberikan keterangan saksi di persidangan untuk menjadi alat bukti.
Selanjutnya, Anda bisa bekerja sama dengan Tim Pemohon untuk membantu para ahli dalam memberikan keterangan di persidangan untuk menjadi alat bukti.
Anda pun bisa berperan aktif memastikan Hakim Konstitusi tidak mungkin luput untuk memperhatikan hal-hal relevan, baik yang bersifat hukum maupun non-hukum, yang dapat menjadi alat bukti.
Anda bisa juga mengumpulkan tweet, blog, dll, baik buatan Anda pribadi maupun orang lain, dan menyusunnya menjadi alat bukti.
Terakhir, Anda bisa juga mencurahkan waktu dan perhatian terhadap jalannya pengujian UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
[ Yu Un Oppusunggu, Dosen FH UI, Rabu, 01 Oktober 2014 | 11:00 WIB, Selasar.com ]
JAKARTA, KOMPAS - Pada saat kebakaran hutan marak terjadi, seperti sekarang ini, efektivitas penegakan hukum selalu dipertanyakan. Penegakan hukum yang selama ini diandalkan pemerintah adalah jalur pidana. Untuk kebakaran tahun ini saja, misalnya, Polri telah menetapkan 140 tersangka (Baca Polri Tetapkan 140 Tersangka Pembakar Hutan Sumatera-Kalimantan).
Sementara itu, baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) telah menguatkan putusan yang memenangkan gugatan pemerintah kepada perusahaan pembakar hutan. Melalui putusan ini, perusahaan diwajibkan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan senilai Rp 366 miliar. Ini sebuah nilai fantastis untuk kasus pencemaran.
Namun, penegakan hukum melalui gugatan perdata ternyata jarang digunakan oleh pemerintah. Minimnya penggunaan gugatan perdata ini patut disayangkan, sebab pertanggungjawaban perdata yang ada di negara kita sebenarnya sudah cukup maju, serta dapat memudahkan penegak hukum untuk menjerat perusahaan pembakar hutan.
Tanggung jawab mutlak
Pembakar hutan di Indonesia dapat dimintai pertanggungjawaban dengan menggunakan doktrin perbuatan melawan hukum. Melalui sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan ini, penggugat harus membuktikan setidaknya empat hal. Pertama, adanya perbuatan pembakaran hutan. Kedua, pembakaran ini merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Ketiga, kerugian penggugat. Keempat, hubungan kausalitas antara pembakaran hutan dan kerugian.
Selain itu, pertanggungjawaban dapat pula didasarkan pada strict liability, yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan, yang di Indonesia pertanggungjawaban ini diterjemahkan sebagai tanggung jawab mutlak. Dalam sistem ini, penggugat masih harus membuktikan bahwa, pertama, kegiatan/usaha tergugat di bidang kehutanan merupakan kegiatan/usaha yang berbahaya dan dapat menimbulkan risiko kebakaran hutan. Kedua, adanya kerugian penggugat. Ketiga, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kegiatan/usaha tergugat.
Dalam sistem ini, tergugat dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan/usahanya sehingga bukti adanya kesalahan, misalnya, kegiatan pembakaran, tidaklah diperlukan. Namun, sering kali kita mendengar dalih tergugat bahwa kebakaran terjadi karena perbuatan pihak lain atau bahkan karena faktor alam. Apakah dalih seperti ini dapat membebaskan (mengecualikan) tergugat dari pertanggungjawaban?
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan sepertinya telah disusun sedemikian rupa sehingga mereka yang terlibat dalam kebakaran hutan harus bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi tanpa melihat apa dan siapa yang menjadi penyebab dari kebakaran tersebut. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa pemegang hak atau izin berkewajiban melakukan perlindungan hutan, termasuk dengan melakukan pencegahan kebakaran hutan (Pasal 48), dan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 49).
Ketentuan yang hampir sama juga dapat ditemukan di dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 18 dari Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Selanjutnya, PP No 45/2004 tentang Perlindungan Hutan menyatakan bahwa "... termasuk ke dalam upaya perlindungan hutan adalah kewajiban untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena perbuatan manusia maupun alam" (Pasal 18). PP ini bahkan menegaskan adanya tanggung jawab pemegang izin atas kebakaran hutan di areal kerjanya, yang meliputi tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti rugi, atau sanksi administrasi (Pasal 30).
Tanpa pengecualian
Dari berbagai ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemegang izin memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di wilayahnya. Pada sisi lain, pemegang izin memiliki tanggung jawab hukum apabila kebakaran terjadi di wilayahnya. Dengan demikian, sebenarnya pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan diam-diam telah menganut absolute liability, yaitu suatu pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang tidak memungkinkan diterimanya dalih pengecualian dari pihak tergugat (Vernon Palmer, 1988: 1329).
Tulisan singkat ini memperlihatkan bagaimana gugatan perdata sebenarnya menjanjikan efektivitas yang cukup tinggi. Pada satu sisi, gugatan perdata mampu memberikan ganti rugi yang sangat tinggi, berkali-kali lipat di atas jumlah denda maksimum untuk sanksi pidana. Sementara pada sisi lain, sistem pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia menempatkan pemegang izin kehutanan untuk selalu bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayahnya tanpa melihat ada tidaknya kesalahan pemegang izin. Bahkan, dalam kasus semacam ini dapat pula dimintai pertanggungjawaban tanpa melihat siapa dan apa penyebab dari kebakaran hutan.
Sayangnya, semua itu tidak pernah dijalankan optimal untuk menyeret para pelaku dan mereka semua yang seharusnya bertanggung jawab atas bencana asap yang menyengsarakan banyak warga tak bersalah. Dengan kemudahan ini, pemerintah seyogianya lebih sering lagi menggunakan gugatan perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia.
Andri G Wibisana
Dosen Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sementara itu, baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) telah menguatkan putusan yang memenangkan gugatan pemerintah kepada perusahaan pembakar hutan. Melalui putusan ini, perusahaan diwajibkan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan senilai Rp 366 miliar. Ini sebuah nilai fantastis untuk kasus pencemaran.
Namun, penegakan hukum melalui gugatan perdata ternyata jarang digunakan oleh pemerintah. Minimnya penggunaan gugatan perdata ini patut disayangkan, sebab pertanggungjawaban perdata yang ada di negara kita sebenarnya sudah cukup maju, serta dapat memudahkan penegak hukum untuk menjerat perusahaan pembakar hutan.
Tanggung jawab mutlak
Pembakar hutan di Indonesia dapat dimintai pertanggungjawaban dengan menggunakan doktrin perbuatan melawan hukum. Melalui sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan ini, penggugat harus membuktikan setidaknya empat hal. Pertama, adanya perbuatan pembakaran hutan. Kedua, pembakaran ini merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Ketiga, kerugian penggugat. Keempat, hubungan kausalitas antara pembakaran hutan dan kerugian.
Selain itu, pertanggungjawaban dapat pula didasarkan pada strict liability, yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan, yang di Indonesia pertanggungjawaban ini diterjemahkan sebagai tanggung jawab mutlak. Dalam sistem ini, penggugat masih harus membuktikan bahwa, pertama, kegiatan/usaha tergugat di bidang kehutanan merupakan kegiatan/usaha yang berbahaya dan dapat menimbulkan risiko kebakaran hutan. Kedua, adanya kerugian penggugat. Ketiga, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kegiatan/usaha tergugat.
Dalam sistem ini, tergugat dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan/usahanya sehingga bukti adanya kesalahan, misalnya, kegiatan pembakaran, tidaklah diperlukan. Namun, sering kali kita mendengar dalih tergugat bahwa kebakaran terjadi karena perbuatan pihak lain atau bahkan karena faktor alam. Apakah dalih seperti ini dapat membebaskan (mengecualikan) tergugat dari pertanggungjawaban?
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan sepertinya telah disusun sedemikian rupa sehingga mereka yang terlibat dalam kebakaran hutan harus bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi tanpa melihat apa dan siapa yang menjadi penyebab dari kebakaran tersebut. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa pemegang hak atau izin berkewajiban melakukan perlindungan hutan, termasuk dengan melakukan pencegahan kebakaran hutan (Pasal 48), dan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 49).
Ketentuan yang hampir sama juga dapat ditemukan di dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 18 dari Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Selanjutnya, PP No 45/2004 tentang Perlindungan Hutan menyatakan bahwa "... termasuk ke dalam upaya perlindungan hutan adalah kewajiban untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena perbuatan manusia maupun alam" (Pasal 18). PP ini bahkan menegaskan adanya tanggung jawab pemegang izin atas kebakaran hutan di areal kerjanya, yang meliputi tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti rugi, atau sanksi administrasi (Pasal 30).
Tanpa pengecualian
Dari berbagai ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemegang izin memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di wilayahnya. Pada sisi lain, pemegang izin memiliki tanggung jawab hukum apabila kebakaran terjadi di wilayahnya. Dengan demikian, sebenarnya pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan diam-diam telah menganut absolute liability, yaitu suatu pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang tidak memungkinkan diterimanya dalih pengecualian dari pihak tergugat (Vernon Palmer, 1988: 1329).
Tulisan singkat ini memperlihatkan bagaimana gugatan perdata sebenarnya menjanjikan efektivitas yang cukup tinggi. Pada satu sisi, gugatan perdata mampu memberikan ganti rugi yang sangat tinggi, berkali-kali lipat di atas jumlah denda maksimum untuk sanksi pidana. Sementara pada sisi lain, sistem pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia menempatkan pemegang izin kehutanan untuk selalu bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayahnya tanpa melihat ada tidaknya kesalahan pemegang izin. Bahkan, dalam kasus semacam ini dapat pula dimintai pertanggungjawaban tanpa melihat siapa dan apa penyebab dari kebakaran hutan.
Sayangnya, semua itu tidak pernah dijalankan optimal untuk menyeret para pelaku dan mereka semua yang seharusnya bertanggung jawab atas bencana asap yang menyengsarakan banyak warga tak bersalah. Dengan kemudahan ini, pemerintah seyogianya lebih sering lagi menggunakan gugatan perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia.
Andri G Wibisana
Dosen Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Menggugat Kebakaran Hutan".
Pembuktian Dipersidangan - Dimuka persidangan pihak-pihak yang Berperkara Perdata tentu akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar untuk menguatkan hak perdatanya, namun tidak cukup hanya dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi harus disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Artinya, peristiwa-peristiwa tersebut harus disertai pembuktian secara yuridis.
Yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
Dalam hal pembuktian ini pihak-pihak berperkara harus aktif dan berkewajiban untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan, sedangkan hakim bersifat pasif. Pihak-pihak yang berperkara tidak perlu memberitahukan dan membuktikan peraturan hukumnya, tetapi yang perlu dibuktikan adalah peristiwanya atau hubungan hukumnya yang menjadi dasar adanya hak perdata pihak-pihak berperkara. Mengapa demikian? Karena hakim menurut asas hukum acara perdata dianggap mengetahui akan hukumnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, dan hakimlah yang bertugas menerapkan hukum perdata (materiil) terhadap perkara yang diperiksa dan diputuskannya.
Dalam melakukan pembuktian pihak-pihak berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara perdata di persidangan, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR (Pasal 162 sampai dengan Pasal 177), RBg (Pasal 282 sampai dengan Pasal 314), Stb. 1867 Nomor 29 (tentang kekuatan pembuktian akta dibawah tangan), dan BW Buku IV (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945). Dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW alat-alat bukti dalam perkara perdata, yaitu : Tulisan; Saksi-saksi; Persangkaan; Pengakuan; dan Sumpah.
Yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
Dalam hal pembuktian ini pihak-pihak berperkara harus aktif dan berkewajiban untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang dikemukakan, sedangkan hakim bersifat pasif. Pihak-pihak yang berperkara tidak perlu memberitahukan dan membuktikan peraturan hukumnya, tetapi yang perlu dibuktikan adalah peristiwanya atau hubungan hukumnya yang menjadi dasar adanya hak perdata pihak-pihak berperkara. Mengapa demikian? Karena hakim menurut asas hukum acara perdata dianggap mengetahui akan hukumnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, dan hakimlah yang bertugas menerapkan hukum perdata (materiil) terhadap perkara yang diperiksa dan diputuskannya.
Dalam melakukan pembuktian pihak-pihak berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara perdata di persidangan, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR (Pasal 162 sampai dengan Pasal 177), RBg (Pasal 282 sampai dengan Pasal 314), Stb. 1867 Nomor 29 (tentang kekuatan pembuktian akta dibawah tangan), dan BW Buku IV (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945). Dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW alat-alat bukti dalam perkara perdata, yaitu : Tulisan; Saksi-saksi; Persangkaan; Pengakuan; dan Sumpah.
[ Sumber : H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009 - Komnas LKPI ]
Kasus : Guru Memukul Siswa.
Guru sebagai pribadi adalah panutan bagi anak didiknya. Guru tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, namun juga budi pekerti yang kemudian akan membentuk pribadi anak didik yang diharapkan menjadi generasi muda Indonesia yang berkualitas. Demikian mulianya profesi guru, maka terdapat aturan main dalam menjalankan profesinya yang tertuang dalam Kode Etik Guru Indonesia;
Secara tegas dalam beberapa peraturan mengenai hal ini. Aturan-aturan yang dimaksud adalah:
1. Pasal 20 huruf d Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan:
“Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban :
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika;”
2. Pasal 6 ayat (1) huruf f Kode Etik Guru Indonesia yang menyatakan :
“Hubungan guru dengan peserta didik :
(f). Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”;
3. Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang menyatakan :
Secara tegas dalam beberapa peraturan mengenai hal ini. Aturan-aturan yang dimaksud adalah:
1. Pasal 20 huruf d Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan:
“Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban :
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika;”
2. Pasal 6 ayat (1) huruf f Kode Etik Guru Indonesia yang menyatakan :
“Hubungan guru dengan peserta didik :
(f). Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”;
3. Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang menyatakan :
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya didalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Berdasarkan aturan-aturan yang saya sebutkan di atas, maka tindakan kekerasan fisik sebagaimana digambarkan dalam kasus ini adalah tindakan yang sama sekali tidak diperbolehkan, dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
Namun, perlu ditinjau lebih lanjut tentang kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru. Selama tindakan yang dilakukan itu tidak menimbulkan cedera fisik ataupun psikis, maka perlu ditinjau lebih dalam perihal apa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Karena guru sebagai tenaga pengajar jelas telah memiliki sertifikasi dan kualifikasi yang layak sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru, sehingga pastilah ada alasan yang melatarbelakangi tindakan yang diduga merupakan kekerasan terhadap anak didik tersebut.
Upaya hukum yang dapat dilakukan :
1. Sebagai sebuah institusi pendidikan, maka seyogyanya permasalahan yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Hal ini adalah dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang terjadi secara kekeluargaan. Terhadap upaya hukum ini maka apabila terbukti guru telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak didik, maka tingkat pemberian sanksi akan mengikuti peraturan sekolah yang bersangkutan;
2. Terhadap dugaan tindakan kekerasan dapat juga ditempuh upaya hukum pidana dengan melaporkan guru yang bersangkutan kepada pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU Perlindungan Anak;
Semoga Bermanfaat
Berdasarkan aturan-aturan yang saya sebutkan di atas, maka tindakan kekerasan fisik sebagaimana digambarkan dalam kasus ini adalah tindakan yang sama sekali tidak diperbolehkan, dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
Namun, perlu ditinjau lebih lanjut tentang kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru. Selama tindakan yang dilakukan itu tidak menimbulkan cedera fisik ataupun psikis, maka perlu ditinjau lebih dalam perihal apa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut. Karena guru sebagai tenaga pengajar jelas telah memiliki sertifikasi dan kualifikasi yang layak sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru, sehingga pastilah ada alasan yang melatarbelakangi tindakan yang diduga merupakan kekerasan terhadap anak didik tersebut.
Upaya hukum yang dapat dilakukan :
1. Sebagai sebuah institusi pendidikan, maka seyogyanya permasalahan yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Hal ini adalah dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang terjadi secara kekeluargaan. Terhadap upaya hukum ini maka apabila terbukti guru telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak didik, maka tingkat pemberian sanksi akan mengikuti peraturan sekolah yang bersangkutan;
2. Terhadap dugaan tindakan kekerasan dapat juga ditempuh upaya hukum pidana dengan melaporkan guru yang bersangkutan kepada pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU Perlindungan Anak;
Semoga Bermanfaat
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3. Kode Etik Guru Indonesia
[ Penjawab : John I.M. Pattiwael, S.H. - Langkah Hukum Jika Anak Ditempeleng Guru - Sumber : Hukum Online ]
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) Berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal ini menunjukkan bahwa UUD 1945 telah melimpahkan pengaturan mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul secara lebih spesifik kepada Undang-Undang di bawahnya, terutama Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia (“HAM”). Fungsi UUD 1945 itu sendiri hanyalah sebagai hukum dasar tertinggi yang menjamin hak konstitusional warga negara.
UU HAM sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 28 UUD 1945 juga dapat dilihat dalam bagian konsiderans “Mengingat” pada UU HAM:
Mengingat:
UU HAM sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 28 UUD 1945 juga dapat dilihat dalam bagian konsiderans “Mengingat” pada UU HAM:
Mengingat:
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia;
Selain diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, hak untuk berserikat dan berkumpul juga telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU HAM:
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 24 ayat (1) UU HAM:
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”
Contoh :
PT. X yang menghalangi adanya perkumpulan pedagang pasar. Tindakan tersebut merupakan kategori pelanggaran HAM, yakni dalam kasus tersebut adalah hak berserikat dan berkumpul. Ini karena menurut Pasal 1 angka 6 UU HAM, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Sayangnya, undang-undang ini tidak menyebutkan sanksi pidana bagi mereka yang melanggar hak untuk berserikat dan berkumpul. Di dalam penjelasan umum UU HAM hanya menyebutkan bahwa pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Memang ada pelanggaran HAM yang dapat diproses secara hukum melalui Pengadilan HAM. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Pengadilan HAM hanya dapat mengadili pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) dan Pasal 104 ayat (1) UU HAM. Menurut Pasal 7 UU Pengadilan HAM, yang termasuk sebagai pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Merujuk pada Pasal 8 UU Pengadilan HAM, kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil (Pasal 9 UU Pengadilan HAM).
Melihat pada ketentuan-ketentuan mengenai apa yang termasuk pelanggaran HAM berat, maka pelarangan hak untuk berserikat dan berkumpul bukanlah termasuk kategori Pelanggaran HAM Berat. Oleh karena itu, untuk pelanggaran terhadap hak untuk berserikat dan berkumpul tidak dapat diproses melalui pengadilan HAM.
Akan tetapi, sebagaimana telah dikatakan dalam penjelasan umum HAM, bahwa pelanggaran HAM dapat dikenai sanksi pidana, perdata, atau administratif, maka Anda dapat menggunakan ketentuan hukum pidana atas permasalahan ini.
Berdasarkan hukum pidana, Anda dapat menggunakan Pasal 335 ayat (1) ke- 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
Akan tetapi, sebagaimana telah dikatakan dalam penjelasan umum HAM, bahwa pelanggaran HAM dapat dikenai sanksi pidana, perdata, atau administratif, maka Anda dapat menggunakan ketentuan hukum pidana atas permasalahan ini.
Berdasarkan hukum pidana, Anda dapat menggunakan Pasal 335 ayat (1) ke- 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
- barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
- barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Dalam hal ini, Anda dan pedagang yang lainnya harus dapat membuktikan bahwa ada paksaan untuk tidak melakukan sesuatu (membuat perkumpulan) dengan menggunakan kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan.
Jika Anda tidak ingin menempuh jalur pidana, Anda dapat melakukan mediasi melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”). UU HAM telah menujuk Komnas HAM sebagai lembaga mandiri untuk melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia (Pasal 1 angka (7) dan Pasal 76 ayat (1) UU HAM). Akan tetapi perlu diingat bahwa mediasi ini hanya berlaku untuk perkara perdata (Penjelasan Pasal 89 ayat (4) huruf b UU HAM). Jadi, apabila para pedagang pasar merasa dirugikan terhadap tindakan PT. X yang melarang adanya perkumpulan dan tidak ingin menempuh jalur pidana, maka pedagang pasar dapat mengambil upaya hukum melalui pengaduan pelanggaran HAM ke Komnas HAM agar dilakukan mediasi. Sebagai referensi mengenai mediasi melalui Komnas HAM, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Mengintip Mediasi di Komnas HAM.
Selanjutnya mengenai dasar hukum PT. X mengeluarkan larangan, tidak ada dasar hukum bagi PT. X untuk melarang pedagang pasar membentuk suatu perkumpulan tersebut. Pada dasarnya, negara menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul.
semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
[ Penjawab : Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. - Sanksi Pelanggaran Hak Berserikat dan Berkumpul - Sumber : Hukum Online ]
Jakarta [Siarlingkungan] - Seorang oknum polisi gadungan bernama Parsiman (40) diamankan oleh Kodim Jakarta Utara, Sabtu (5/12/15) dalam kasus pencurian di daerah Sunter, Jakarta Utara.
Peristiwa berawal dari laporan seorang warga atas nama Suhadak kepada Serka Mashudi yang merupakan anggota Babinsa Sunter Jaya Koramil Tanjung Priok. Berdasarkan informasi tersebut Komandan Kodim 0502/JU Letkol Arm Stefie Jantje Nuhujanan, melakukan pengintaian dan menangkap pelaku pada Jumat (4/12/15) sore.
"Korban atas nama Suhadak melapor ke anggota Babinsa kami dari jajaran Kodim 0502/JU," ungkap Letkol Stefie kepada media.
Korban lantas memergoki Parsiman sedang melintas di kawasan Sunter dengan mengendarai mobil yang sebelumnya diketahui pelaku membawa kabur sepeda motor dan uang milik Suhadak. Tak terima dirinya ditipu, Suhadak kemudian melapor kepada Serka Mashudi yang akhirnya mengikuti korban.
dikutip dari detikcom, Serka Mashudi lalu menghubungi personel unit intel Kodim Jakarta Utara untuk meminta bantuan penangkapan kepada pelaku yang melakukan penipuan terhadap korban. Penyergapan dilakukan di rumah seorang pengusaha di daerah Sunter sekitar pukul 16.00 WIB.
Dalam penangkapan tersebut Pelaku berhasil diamankan beserta 2 pucuk pistol rakitan aktif, 1 pucuk pistol replika, 1 pucuk senjata laras panjang replika, puluhan peluru tajam kaliber 9 mm, 1 senjata tajam keris. Juga turut diamankan seragam kepolisian, 1 unit mobil sedan putih Suzuki Exsover B 1433 BFS, sejumlah pelat nomor kendaraan, serta 2 BPKB mobil dan motor kepada korban.
"Korban atas nama Suhadak melapor ke anggota Babinsa kami dari jajaran Kodim 0502/JU," ungkap Letkol Stefie kepada media.
Korban lantas memergoki Parsiman sedang melintas di kawasan Sunter dengan mengendarai mobil yang sebelumnya diketahui pelaku membawa kabur sepeda motor dan uang milik Suhadak. Tak terima dirinya ditipu, Suhadak kemudian melapor kepada Serka Mashudi yang akhirnya mengikuti korban.
dikutip dari detikcom, Serka Mashudi lalu menghubungi personel unit intel Kodim Jakarta Utara untuk meminta bantuan penangkapan kepada pelaku yang melakukan penipuan terhadap korban. Penyergapan dilakukan di rumah seorang pengusaha di daerah Sunter sekitar pukul 16.00 WIB.
Dalam penangkapan tersebut Pelaku berhasil diamankan beserta 2 pucuk pistol rakitan aktif, 1 pucuk pistol replika, 1 pucuk senjata laras panjang replika, puluhan peluru tajam kaliber 9 mm, 1 senjata tajam keris. Juga turut diamankan seragam kepolisian, 1 unit mobil sedan putih Suzuki Exsover B 1433 BFS, sejumlah pelat nomor kendaraan, serta 2 BPKB mobil dan motor kepada korban.
Dalam penyergapan itu pelaku mengaku sebagai pecatan anggota Polres Depok pada tahun 2009 karena kasus narkoba," kata Stefie.
Untuk perkembangan lebih lanjut, pelaku yang memiliki tato ular di dadanya itu dibawa ke Makodim Jakarta Utara kemudian diserahkan kepada jajaran Polres Jakarta Utara termasuk barang bukti yang ditemukan saat penyergapan untuk pendataan awal.
Untuk perkembangan lebih lanjut, pelaku yang memiliki tato ular di dadanya itu dibawa ke Makodim Jakarta Utara kemudian diserahkan kepada jajaran Polres Jakarta Utara termasuk barang bukti yang ditemukan saat penyergapan untuk pendataan awal.
Tersangka bohong, ternyata bukan pecatan polisi tapi oknum polisi gadungan dan sekarang sudah kami serahkan ke jajaran kepolisian" ucap Stefie.
(ear/jor/red)
_____
Editor : Kelvin