Sebelumnya, kami menyimpulkan bahwa dokumen yang Anda maksud di sini adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian). Demikian definisi dokumen yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang kami akses dari laman resmi Pusat Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. akta-akta otentik;
2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.
Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:
1. dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
2. dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
1. membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.
3. memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah).
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah: (Ibid, hal. 196)
1. pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan;
2. penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup;
3. yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik. Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum seperti notaris (hal. 197).
Sebagai contoh kasus dapat kita jumpai dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa dengan sengaja menggunakan surat pemberitahuan pajak tentang (SPPT) palsu atau yang dipalsukan dengan cara mengubah data di dalamnya. Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemalsuan surat” dan menghukumnya dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005.
Referensi:
1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
2. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 8 Oktober 2014 pukul 15.48 WIB
Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen
***
Yth, Sdra/i Pembaca bangkilhi.or.id
Seluruh isi Tindak Pidana Pemalsuan Data adalah artikel yang diambil dari hukumonline.
Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat dapat kita jumpai ketentuannya dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. akta-akta otentik;
2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.
Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:
1. dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
2. dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
1. membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.
3. memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah).
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah: (Ibid, hal. 196)
1. pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan;
2. penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup;
3. yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik. Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum seperti notaris (hal. 197).
Sebagai contoh kasus dapat kita jumpai dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa dengan sengaja menggunakan surat pemberitahuan pajak tentang (SPPT) palsu atau yang dipalsukan dengan cara mengubah data di dalamnya. Hakim menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemalsuan surat” dan menghukumnya dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 71 PK/Pid/2005.
Referensi:
1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
2. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 8 Oktober 2014 pukul 15.48 WIB
Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54340fa96fb6c/unsur-pidana-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen
***
Yth, Sdra/i Pembaca bangkilhi.or.id
Seluruh isi Tindak Pidana Pemalsuan Data adalah artikel yang diambil dari hukumonline.
PP No. 42 Tahun 2013 memperkokoh dasar pendampingan oleh dosen, mahasiswa dan paralegal.
Mahasiswa fakultas hukum tetap boleh menjalankan praktik litigasi dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan pengadilan.
Dalam program bantuan hukum yang anggarannya disediakan pemerintah, mahasiswa, dosen, dan paralegal boleh menjalankan praktik litigasi dan non-litigasi. Tetapi untuk litigasi, ada syarat yang harus dipenuhi mahasiswa.
PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP 42) menyebutkan litigasi pada dasarnya dilakukan oleh advokat yang menjadi pengurus organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) atau advokat luar yang direkrut PBH.
PBH boleh merekrut mahasiswa fakultas hukum (FH) jika jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah PBH tidak memadai. Mahasiswa tersebut baru bisa beracara dengan melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat, baik advokat PBH atau advokat dari luar yang direkrut untuk menangani kasus tertentu.
Syarat lainnya, mahasiswa harus sudah lulus mata kuliah hukum acara. Tidak disebutkan apakah nilai kelulusan A, B, atau C; dan tidak disebutkan apakah semua hukum acara atau cukup acara pidana dan acara perdata. Mahasiswa tersebut juga harus sudah ikut pelatihan paralegal. Pasal 13 ayat (4) PP 42 hanya menyebutkan mahasiswa FH tersebut ‘harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal’.
Berdasarkan catatan hukumonline, para mahasiswa biasanya banyak menimba ilmu dalam berbagai pelatihan di lembaga bantuan hukum. Program magang di kantor pengacara adalah pilihan lain.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH-M), misalnya, menawarkan program magang (internship) kepada mahasiswa setiap tahun. Juli tahun ini, ada 10 mahasiswa yang dinyatakan lolos ikut program tersebut. Selain program internship, masih ada program magang reguler di LBH-M.
Mahasiswa yang magang reguler inilah yang sering ikut menangani kasus meskipun, menurut Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif LBH-M, yang maju ke pengadilan tetap advokat. “Belum ada yang sampai duduk beracara,” ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Paralegal Indonesia (JPI), Ismail Hasani, mengapresiasi ketentuan PP 42. Dengan aturan tersebut berarti memperkokoh payung hukum buat mahasiswa, paralegal, dan dosen untuk beracara. “Aturan itu patut kita apresiasi karena lebih memperkokoh,” ucapnya kepada hukumonline.
Daerah Minim Advokat
Dalam konteks penyelenggaraan bantuan hukum untuk warga miskin, kehadiran mahasiswa FH sebenarnya sangat penting terutama di daerah-daerah yang jumlah advokat, dosen hukum dan paralegal tidak memadai. Itu sebabnya, kata Ismail, dalam proses pembentukan UU Bantuan Hukum dan peraturan teknisnya, PJI berharap lebih dari sekadar pendampingan oleh advokat.
Ditegaskan Ismail, di daerah yang minim advokat seharusnya mahasiswa dan paralegal diperbolehkan membantu warga miskin dalam proses litigasi. Syaratnya, tetap perlu mendapat izin dari ketua pengadilan setempat. “Harapannya, mereka bisa beracara di daerah-daerah yang tidak ada atau minim advokatnya, tetapi tetap seizin ketua pengadilan,” jelas Ismail.
Ismail berpendapat tidak perlu ada pembatasan perkara yang bisa ditangani. Tidak perlu ada kekhawatiran paralegal dan mahasiswa mengambil ‘jatah’ advokat. Pada umumnya, paralegal lebih fokus menangani kasus-kasus yangmelibatkan komunitas.
Pembatasan pada tahap beracara bagi mahasiswa juga tak perlu. Pasal 15 PP 42 juga sudah mengakomodasi ketentuan pendampingan atau menjalankan kuasa. Mahasiswa boleh mendampingi atau menjalankan kuasa di tingkat penyidikan, penuntutan, di muka persidangan, atau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Di daerah-daerah yang minim advokat, mahasiswa juga bisa menjalankan tugas memberi bantuan hukum non-litigasi. Termasuk dalam cakupan non-litigasi tersebut adalah peyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, dan drafting dokumen hukum.
Di daerah-daerah bencana, mahasiswa, dosen, dan paralegal juga bisa memberikan bantuan hukum kepada para korban. PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial memasukkan bantuan hukum sebagai bagian dari perlindungan sosial. Beleid ini memberi ruang kepada warga yang mengalami kerentanan sosial untuk mendapatkan bantuan hukum.
Mahasiswa fakultas hukum tetap boleh menjalankan praktik litigasi dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan pengadilan.
Dalam program bantuan hukum yang anggarannya disediakan pemerintah, mahasiswa, dosen, dan paralegal boleh menjalankan praktik litigasi dan non-litigasi. Tetapi untuk litigasi, ada syarat yang harus dipenuhi mahasiswa.
PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP 42) menyebutkan litigasi pada dasarnya dilakukan oleh advokat yang menjadi pengurus organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) atau advokat luar yang direkrut PBH.
PBH boleh merekrut mahasiswa fakultas hukum (FH) jika jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah PBH tidak memadai. Mahasiswa tersebut baru bisa beracara dengan melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat, baik advokat PBH atau advokat dari luar yang direkrut untuk menangani kasus tertentu.
Syarat lainnya, mahasiswa harus sudah lulus mata kuliah hukum acara. Tidak disebutkan apakah nilai kelulusan A, B, atau C; dan tidak disebutkan apakah semua hukum acara atau cukup acara pidana dan acara perdata. Mahasiswa tersebut juga harus sudah ikut pelatihan paralegal. Pasal 13 ayat (4) PP 42 hanya menyebutkan mahasiswa FH tersebut ‘harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal’.
Berdasarkan catatan hukumonline, para mahasiswa biasanya banyak menimba ilmu dalam berbagai pelatihan di lembaga bantuan hukum. Program magang di kantor pengacara adalah pilihan lain.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH-M), misalnya, menawarkan program magang (internship) kepada mahasiswa setiap tahun. Juli tahun ini, ada 10 mahasiswa yang dinyatakan lolos ikut program tersebut. Selain program internship, masih ada program magang reguler di LBH-M.
Mahasiswa yang magang reguler inilah yang sering ikut menangani kasus meskipun, menurut Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif LBH-M, yang maju ke pengadilan tetap advokat. “Belum ada yang sampai duduk beracara,” ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Paralegal Indonesia (JPI), Ismail Hasani, mengapresiasi ketentuan PP 42. Dengan aturan tersebut berarti memperkokoh payung hukum buat mahasiswa, paralegal, dan dosen untuk beracara. “Aturan itu patut kita apresiasi karena lebih memperkokoh,” ucapnya kepada hukumonline.
Daerah Minim Advokat
Dalam konteks penyelenggaraan bantuan hukum untuk warga miskin, kehadiran mahasiswa FH sebenarnya sangat penting terutama di daerah-daerah yang jumlah advokat, dosen hukum dan paralegal tidak memadai. Itu sebabnya, kata Ismail, dalam proses pembentukan UU Bantuan Hukum dan peraturan teknisnya, PJI berharap lebih dari sekadar pendampingan oleh advokat.
Ditegaskan Ismail, di daerah yang minim advokat seharusnya mahasiswa dan paralegal diperbolehkan membantu warga miskin dalam proses litigasi. Syaratnya, tetap perlu mendapat izin dari ketua pengadilan setempat. “Harapannya, mereka bisa beracara di daerah-daerah yang tidak ada atau minim advokatnya, tetapi tetap seizin ketua pengadilan,” jelas Ismail.
Ismail berpendapat tidak perlu ada pembatasan perkara yang bisa ditangani. Tidak perlu ada kekhawatiran paralegal dan mahasiswa mengambil ‘jatah’ advokat. Pada umumnya, paralegal lebih fokus menangani kasus-kasus yangmelibatkan komunitas.
Pembatasan pada tahap beracara bagi mahasiswa juga tak perlu. Pasal 15 PP 42 juga sudah mengakomodasi ketentuan pendampingan atau menjalankan kuasa. Mahasiswa boleh mendampingi atau menjalankan kuasa di tingkat penyidikan, penuntutan, di muka persidangan, atau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Di daerah-daerah yang minim advokat, mahasiswa juga bisa menjalankan tugas memberi bantuan hukum non-litigasi. Termasuk dalam cakupan non-litigasi tersebut adalah peyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, dan drafting dokumen hukum.
Di daerah-daerah bencana, mahasiswa, dosen, dan paralegal juga bisa memberikan bantuan hukum kepada para korban. PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial memasukkan bantuan hukum sebagai bagian dari perlindungan sosial. Beleid ini memberi ruang kepada warga yang mengalami kerentanan sosial untuk mendapatkan bantuan hukum.
Sumber :
Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.
Putusan Mahkamah Agung tersebut akan diseleksi oleh Tim Khusus dan apabila dianggap layak untuk menjadi Yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh Mahkamah Agung. Judul atau Nama dari publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.
Penerbitkan buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian terhadap putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh Puslitbang ini belum dilakukan secara reguler. Sayangnya jumlah eksemplar cetakannya dibatasi, yakni disesuaikan dengan jumlah hakim yang ada di seluruh Indonesia dan jumlah perpustakaan yang akan dikirimi publikasi tersebut.
Buku yurisprudensi ini dibagikan secara gratis. Namun karena banyak pihak lain di luar korps hakim dan perpustakaan, khususnya kalangan pengacara, yang ingin memiliki Yurisprudensi MA, maka biasanya pihak MA akan mencari dana di luar dana APBN untuk mencetak lebih banyak lagi buku yurisprudensi tersebut dan menjualnya ke masyarakat yang berminat.
Putusan Mahkamah Agung tersebut akan diseleksi oleh Tim Khusus dan apabila dianggap layak untuk menjadi Yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh Mahkamah Agung. Judul atau Nama dari publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.
Penerbitkan buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian terhadap putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh Puslitbang ini belum dilakukan secara reguler. Sayangnya jumlah eksemplar cetakannya dibatasi, yakni disesuaikan dengan jumlah hakim yang ada di seluruh Indonesia dan jumlah perpustakaan yang akan dikirimi publikasi tersebut.
Buku yurisprudensi ini dibagikan secara gratis. Namun karena banyak pihak lain di luar korps hakim dan perpustakaan, khususnya kalangan pengacara, yang ingin memiliki Yurisprudensi MA, maka biasanya pihak MA akan mencari dana di luar dana APBN untuk mencetak lebih banyak lagi buku yurisprudensi tersebut dan menjualnya ke masyarakat yang berminat.
Rujukan :
Hukum perkawinan di Indonesia adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hukum perkawinan di Indonesia ini meliputi :
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Sejak berlakunya UU No. 1 1974, maka segala peraturan yang mengatur tentang perkawinan menjadi tidak berlaku. Hal ini dijelaskan dalam pasal 66 undang-undang perkawinan yang menyatakan : untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang hukum perdata (Burgerlijk wetbook), ordonansi perkawinan Indonesia Kristen (Huwerlijk ordonantie Christen indonesiers S. 1933 No. 74), peraturan perkawinan campuran (Regelling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan peraturan-praturan lain yang mengatur tentang perlawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
Peraturan pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tersebut, yang diharapkan akan dapat memperlancar dan mengamankan pelaksanan dari undang-undang tersebut. Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, maka telah pastilah saat mulainya pelaksanaan secara efektif undang-undang No. 1 tahunm 1974 tentang perkawinan tersebut, ialah pada tanggal 1 oktober 1975.
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai pegangan bagi para hakim bagi pengadilan agama memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadikan kewenangannya. KHI juga sebagai pegangan bagi masyarakat mengenai hukum islam yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang diambil dari berbagai kitab fiqh yang semula tidak dapat mereka baca secara langsung.
Berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991, dan Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia No. 154 Tahun 1991, dan surat edaran pembinaan badan peradilan agam islam atas nama direktur jendral pembinaan kelembagaan agama islam No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi agama dan ketua pengadilan agama diseluruh indonesi, kompilasi hukum islam berlaku sebagai hukum materiil di pengadilan agama yang merupakan pengadilan bagi yang beragama Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun1974 menyatakan : (a). pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam, (b). pengadilan umum bagi lainnya.
Pengertian nasab.
nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 undang-undang perkawinan. Pasal 42 dimyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 45 (1) kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 47 (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan ornag tuanya selama merka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
Dan pada pasal 98 dan 99 kompilasi hukum islam. Pasal 98 menyatakan (1) batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsingkan perkawinan. (2) orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. (3) pangadilan agama adapat menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Pasal 99 : anak yang sah adalah (1) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.
Dalam hukum perkawinan Indonesia hubungan ini tidak dititik beratkan pada salah satu garis keturunan ayah atau ibunya, melainkan kepada keduanya secara seimbang. Namun seorang anak menjadi tanggungjawab bersama antara isteri dan suami.
Dasar-dasar nasab
Seorang anak, dilihat dalam Hukum Perkawinan Indonesia secara lansung memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ini dapat dipahami dari pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Penentuan nasab anak kepada bapaknya dalam hukum perkawinan Indonesia didasarkan pada:
Perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya. Setiap perkainan harus dicatat menurut perturan perundang-ungan yang berlaku. Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, diatur dalam beberapa ketentuan yaitu: Pertama, UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 yang berbunyi : ”anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Kedua, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Dapat di pahami dari peraturan peraturan tersebut, seorang anak dapat dikategorikan sah, bila memenuhi salah satu dari 3 syarat :
- Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan, Pertama, Setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut, namun kira perlu pertanyaan yang besar apakah memeng demikian ?.
- Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akaibat dari adanya perkawian yang sah.
- Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami istri yang sah, dan kemudian dilahirkan oleh istrinya. Ketentuan ini untuk menjawab kemajuan teknologi tentang bayi tabung.
Perkawinan yang dibatalkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 76 menyatakan batalnya perkawinan tidak akan memutuskan hukum antara anak dan orang tuanya. Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan hanya keputusan Pengadilan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan dengan syarat-syarat sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 22-28. Pasal 22: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melansungkan perkawinan. Pasal 23: yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: Para keluarga dari garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; Suami atau istri; Pejabat perkawinan hanya selama perkawina belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk tersebut UU Perkawinan pasal 16 ayat (2) dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara lansung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawian itu putus. Pasal 24: Barang siapa karena perkawinan masih terkat diri dangan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan yang baru dengan tidak dmengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan. Pasal 25: Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di man perkawinan dilansungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, Suami atau istri.
Pasal 26: (1) perkawinan yang dilansungkan di muka pegawai pencatat perkawian yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilansungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri jaksa dan suami atau istri. (2) Hak untuk membatalakan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawian yang dibuat pegawi pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharu supaya sah.
Pasal 27: (1)seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu belansungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. (3) Apabila ancaman itu telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dmempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28: (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan dberlaku sejak saat berlansungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan dari perkawian tersebut; suami istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; orang ketiga lainnya tidak dtermasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Seterusnya sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 70-76 yang menyatakan: Pasal 70: Perkawinan batal apabila: (a) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah dmempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj‟i. (b) Seseorang menikahi istrinya yang telah dili‟annya. (c) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah dmenikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dhukkul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. (d) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susunan sampai derajat tertentu yang manghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu: Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seoarng denga saudara neneknya; Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi dan paman sesusuan; (e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemaenakan dari istri atau istri-istrinya.
ada pasal 71: Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:(a) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; (b) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih sebagai istri orang lain yang mafqud; (c) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih dalam iddah dari suami lain;(d) perkawian yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana yang ditetapkan pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (e) Perkawinan yang dilansungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak dberhak; (f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72: (1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilansungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.(2) Seorang suami atau istri dapat dmengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlansung nya perkawinan terjadi dpenipuan atau slah sangka mngenai diri suami atau istri. (3) Apabila ancaman itu telah berhenti, atau berslah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak dmempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73: Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawian yaitu: Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenag mengawasi pelaksanaan perkawian menurut Undang-Undang; para pihak yang dberkepentingan yang mengetaui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Selanjutnya pada pasal 74: (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan Pengadilan Agama yang ddmewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilansungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlansungnya perkawinan.
Pasal 75:, dijelaskan bahwa keputusan pembatan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: (a) Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad; (b) Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;(c) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad abaik, sebeblum keputusan pembatan perkawinan mempunyai dkekuatan hukum yang tetap.
Selanjutnya pasal 76: Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dapat dipahami dari maksud ketentuan tidak berakhirnya hubungan hukum antara seorang anak dengan orang tuanya, jika perkawinan kedua orang tuanya dibatalkan oleh pengadilan adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan didasarkan pada pertimbangan masa depan si anak.
Penulis : Rahmat Hidayat, S.H. M.H
Jabatan : Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Situs : http://www.negarahukum.com/
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. Kali ini saya akan menulis artikel tentang Upaya Hukum Biasa (BANDING, KASASI dan VERZET). Dan Insya Allah ke depannya saya akan menulis Artikel tentang UPAYA HUKUM LUAR BIASA. Semoga Artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.....
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1. BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2. KASASI
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3. VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.
Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi. Kali ini saya akan menulis artikel tentang Upaya Hukum Biasa (BANDING, KASASI dan VERZET). Dan Insya Allah ke depannya saya akan menulis Artikel tentang UPAYA HUKUM LUAR BIASA. Semoga Artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.....
UPAYA HUKUM BIASA
Upaya hukum biasa terdiri dari : banding, kasasi dan verzet.
1. BANDING
PENGERTIAN
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
DASAR HUKUM
Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING
Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1. Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
2. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
3. Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
4. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
5. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6. Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2. KASASI
PENGERTIAN
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi.Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan "casser" yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3. Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5. Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)
3. VERZET
PENGERTIAN
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
3. Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.
Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
Rujukan :
Catatan Ringkas Penegakan Hukum Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang dianggap sebagai master piece anak bangsa dalam produk perundang-undangan, banyak pihak berahap penegakan hukum – khususnya hukum pidana – menuju ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Penegakan hukum yang baik dan bermartabat diharapkan mampu memberikan keadilan bagi semua pihak dan golongan, yang tentunya bukan hanya bagi para korban dugaan tindak pidana melainkan juga keadilan dan perlindungan hak-hak hukum bagi setiap orang yang disangka dan/atau diduga melakukan suatu tindak pidana. KUHAP sendiri memberikan batasan sangat kuat untuk melindungi hak-hak tersangka dan/atau terdakwa agar tidak ada lagi tindakan aparatur penegak hukum yang tidak berperikemanusiaan dalam penanganan suatu dugaan tindak pidana. Semua ini berangkat dari pertimbangan bahwa pada dasarnya tersangka dan/atau terdakwa bukan sekedar obyek dalam penegakan hukum pidana melainkan salah satu subyek hukum pidana itu sendiri. Selain itu, hal ini sangat erat kaitan dengan asas hukum pidana yang menegaskan “seorang tersangka/terdakwa tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” atau dikenal dengan istilah “praduga tidak bersalah” sehingga dirasa perlu aturan hukum acara yang mampu memberikan perlindungan fundamental terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Diperlukannya produk perundang-undangan untuk melindungi hak-hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana merupakan prinsip yang harus selalu dikedepankan guna tercapainya keseimbangan posisi antara para pihak dalam perkara pidana untuk menghasilkan putusan yang berkeadilan. Meski demikian, pemenuhan hak-hak fundamental tersangka/terdakwa bukanlah dasar untuk memberikan kebebasan tersangka/terdakwa dan kemudian akan menimbulkan kerugian terhadap korban atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Namun, kenyataan dilapangan tidaklah seindah untaian kata-kata serta buaian manis pasal-pasal KUHAP. Ternyata, masih banyak praktek penegakan hukum dalam proses peradilan pidana yang sangat mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa hingga saat ini. Padahal, proses hukum yang adil dalam system peradilan pidana ibarat 2 (dua) sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Bahwa proses hukum yang adil merupakan jiwa atau ruh dari system peradilan pidana yang ditandai dengan perlindungan secara penuh terhadap hak-hak asasi manusia termasuk dalam hal ini adalah hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Akibat belum berjalan proses hukum yang adil dalam peradilan pidana, masyarakat pencari keadilan secara terus menerus tidak lagi percaya terhadap institusi hukum. Ujung-ujungnya, saat ini beberapa masyarakat mulai menampakkan serta memberikan tekanan pada institusi penegak hukum baik itu kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat. Tekanan yang diberikan masyarakat bisa berlangsung dalam skala kecil hingga skala besar dengan melakukan pelecehan terhadap proses persidangan ataupun pengrusakan kantar-kantor institusi penegak hukum yang dianggap sebagai representasi penegak hukum. Hal ini karena makin kuatnya rasa kecewa pencari keadilan akibat tindakan aparatur penegak hukum yang telah menjauh dari nilai keadilan. Pada dasarnya, dalam penegakan hukum pidana selalu ada 2 (dua) aspek yang saling berbenturan yaitu aspek individu dengan aspek kepentingan umum. Pada kepentingan individu akan selalu menghendaki adanya kebebasan pribadi tapi disisi lain aspek kepentingan umum menghendaki terciptanya social orde sebagaimana termaktub dalam aturan hukum. Dengan perbenturan dua aspek ini, sangat diperlukan harmonisasi guna terciptanya keseimbangan menuju ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini, idealnya pada suatu proses peradilan pidana, penegak hukum haruslah mempertimbangkan tujuan hukum itu sendiri yaitu; kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Tapi, kenyataannya agar terpenuhinya ketiga tujuan hukum ini sangat mustahil karena seringnya perbenturan antara masing-masing tujuan hukum tersebut. Untuk itu, diperlukan aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, peradilan dan advokat) yang mampu berpikir serta bertindak holistic dan bukan sekedar corong undang-undang yang malah melupakan pokok dari hukum itu sendiri. Untuk mewujudkan aparatur penegak hukum yang berpikir dan bertindak holistic bukanlah pekerjaan mudah karena telah berurat dan berakarnya pola pikir aparatur penegak hukum yang jauh dari nilai-nilai holistic. Dalam hal ini, diperlukan aparatur penegak hukum dengan mentalitas baik serta selalu menjunjung tinggi sumpah profesinya masing-masing. Bagaimanapaun baiknya produk perundang-undangan tanpa mentalitas baik aparatur penegak hukum maka penegakan hukum yang bermartabat dan berkeadilan tidak akan pernah mampu diwujudkan dan hanya sekedar menjadi teori perkuliahan semata di bangku-bangku fakultas hukum negeri ini. Adagium hukum telah jelas menggambarkan hal ini “perudang-undangan yang baik dengan aparatur penegak hukum yang jelek maka akan menghasilkan penegakan hukum yang jelek pula serta perundang-undangan yang jelek dengan aparatur penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang baik”. Tapi, alangkah lebih baiknya apabila kita semua mampu mewujudkan “perundang-undangan yang baik dengan penegak hukum yang baik demi terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan berkeadilan”.
Sumber : http://pengacara-muda.blogspot.co.id/2011/12/hukum-yang-berkeadilan.html
Sumber : http://pengacara-muda.blogspot.co.id/2011/12/hukum-yang-berkeadilan.html
PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP) Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun. (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian. Berbagai jenis tindak pidana telah terangkum cukup banyak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan dari jajahan Belanda, dimana dulunya dikenal dengan istilah Wetbook Van Straftrecht (WvS). Setelah Indonesia merdeka, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini, WvS kemudian dijadikan sebagai peraturan pidana yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dan diubah dengan nama KUHP. Keberadaan KUHP sebagai pedoman umum dalam pemeriksaan perkara pidana, hingga saat ini masih berlaku secara hukum dan mengikat setiap warga Negara meskipun telah diadakan RUU KUHP baru yang dirancang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan filosofis Bangsa Indonesia. Tapi, hingga saat ini, RUU KUHP belum pernah disahkan menjadi suatu aturan hukum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia. Di luar KUHP sendiri, telah ada beberapa peraturan pidana lainnya yang mengkhususkan pada tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perikanan, tindak pidana terhadap anak, dan lain sebagainya dala suatu undang-undang yang telah terpisah dari KUHP. Salah satu jenis ke jahatan yang dikenal dalam KUHP adalah kejahatan pemalsuan surat, dimana pada awalnya pembentukan peraturan pidana ini bertujuan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran suatu surat atau akte otentik. Kebenaran pada suatu surat atau akte otentik sendiri sendiri terdiri atas 4 macam , yaitu : 1. Surat atau akte yang menimbulkan suatu hak; 2. Surat atau akte yang menerbitkan suatu perikatan; 3. Surat atau akte yang menimbulkan pembebasan utang; dan 4. Surat atau akte yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Dan, dalam hal surat atau akte ini perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) atau tindakan perbuatan memalsu (vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah suatu perbuatan atau tindakan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu. Dua unsur perbuatan dan 4 unsur objek surat atau akte tersebut merupakan sesuatu yang bersifat alternative, dimana dalam mendalilkannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 263 KUHP harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Dimana, dalam proses pembuktiannya melalui dan dengan dengan menggunakan hukum pembuktian sebagaimana telah diatur pada Pasal 183 jo 184 KUHAP. Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai suatu surat atau akte misalnya Akte Kelahiran, sehingga menghasilkan sebuah Akte Kelahiran. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan waktunya (tempusnya) dan dimana lokasi atau terjadinya peristiwa tersebut(lokusnya). Dalam hal ini, semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan tanpa keraguan sama sekali. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti oleh seseorang mengenai akte tersebut. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi setiap orang di negara ini, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis pada suatu perkara yang ditanganinya. Pada pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang juga harus dilandasi syarat objektif. Harus ada suatu keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Dasar keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minimal 2 alat bukti yang syah tersebut adalah hakim yakin tindak pidana telah terjadi, hakim yakin terdakwa tersebut yang telah melakukannya dan hakim yakin terdakwa telah bersalah dalam mealakukan tindak pidana tanpa adanya hal-hal yang bisa memaafkan atau menghapuskan pidana. Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah Akte Kelahiran yang diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja dan tidak membuktikan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 263 KUHP. Terlebih lagi, untuk terbitnya sebuah Akte Kelahiran selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja. Di dalam sebuah Akte Kelahiran harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Kepala Kantor Catatan Sipil asli, tapi namanya yang fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Kepala Kantor Catatan Sipil atau orang-orang lain? Menggunakan sebuah surat atau akte adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya. Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain. Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti, jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah yang bersangkutan tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan. Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi.
Dua orang yang saling mencintai dan sudah sama-sama dewasa yang keduanya masing-masing tidak terikat oleh perkawinan resmi, dapatkah dituntut secara hukum? Dan apakah tindakan warga setempat yang mencoba men-sweeping dan mengusir itu dapat dibenarkan secara hukum? Atau justru dapat dituntut balik? Karena mengingat ini adalah privasi dan hak asasi masing-masing individu? Terima kasih.
Sebaiknya Anda Tahu:
Pada dasarnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang melarang pasangan pria-wanita yang sudah dewasa dan masing-masing tidak terikat perkawinan resmi, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.
Perlu diketahui bahwa yang disebut dewasa adalah mereka yang bukan termasuk sebagai anak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Mengenai tindakan warga setempat yang hendak men-sweeping dan mengusir pasangan tersebut, maka mereka dapat dituntut berdasarkan Pasal 335 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, terkait pasal ini, mengatakan bahwa yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah:
1. Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu;
2. Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain.
Perlu diketahui bahwa yang disebut dewasa adalah mereka yang bukan termasuk sebagai anak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Mengenai tindakan warga setempat yang hendak men-sweeping dan mengusir pasangan tersebut, maka mereka dapat dituntut berdasarkan Pasal 335 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, terkait pasal ini, mengatakan bahwa yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah:
1. Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu;
2. Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain.
Dalam hal ini, para warga tidak mempunyai hak untuk mengusir orang lain dari kediamannya sendiri. Sehingga para warga dapat dipidana dengan Pasal 335 ayat (1) ke- 1 KUHP karena dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu, yaitu memaksa orang lain untuk keluar dari rumahnya.
Pada sisi lain, dalam kelompok masyarakat tertentu juga berlaku hukum adat. Seperti misalnya dalam masyarakat hukum adat batak Toba. J.C. Vergouwen, dalam bukunya yang berjudul Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (hal. 216-217) menjelaskan mengenai adat yang berlaku di batak Toba. Ada hubungan yang tidak diperkenankan dalam masyarakat batak Toba. Dikatakan bahwa jika pasangan sepakat untuk secara diam-diam menjadi suami istri (marpadan-padan, berkencan gelap), juga disebut marmainan (melacur), dan marlangaka pilit (mengambil jalan sesat), maka perkawinan harus dilaksanakan segera setelah hal itu diketahui.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pasangan muda-mudi itu juga diminta untuk mengakui kesalahan (manopotim) di depan para tetua dan orang tua kedua belah pihak. Hukuman bagi pasangan muda-mudi itu ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka. Jika pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak menghendaki perkawinan, maka hukumannya akan lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pengurasion (penyucian) dan menenangkan hati parboru dengan memberikan piso.
J.C. Vergouwen (Ibid, hal. 217) juga menjelaskan bahwa hidup bersama secara terbuka dan tidak sah sebagai suami istri (marbagas roha-roha) tidak dikenal di kalangan pemuda dan tidak selaras dengan hubungan gadis dengan parboru-nya. Namun, hal seperti itu banyak terjadi di kawasan yang disiplin hukum dan adat istiadatnya lemah, yaitu di antara orang-orang yang sudah tua dan sudah pernah kawin. Ini adalah pelanggaran terhadap adat (sala tu adat) dan pantas dituntut dan dihukum oleh penguasa. Di Padang Lawas, tindakan seperti itu disebut manaporkon ogung ni raja (memecahkan gong raja). Dalam arti menyalahi hukum masyarakat. Perbuatan seperti itu dapat dijatuhi hukum adat, kualifikasi ini menunjukkan pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Jadi, pada dasarnya walaupun tidak ada hukum negara yang dapat menghukum pasangan pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan tersebut, namun perbuatan tersebut dapat saja memiliki konsekuensi tertentu menurut hukum adat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Referensi:
1. J.C. Vergouwen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. LKiS Yogyakarta;
2. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia – Bogor.
Pada sisi lain, dalam kelompok masyarakat tertentu juga berlaku hukum adat. Seperti misalnya dalam masyarakat hukum adat batak Toba. J.C. Vergouwen, dalam bukunya yang berjudul Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (hal. 216-217) menjelaskan mengenai adat yang berlaku di batak Toba. Ada hubungan yang tidak diperkenankan dalam masyarakat batak Toba. Dikatakan bahwa jika pasangan sepakat untuk secara diam-diam menjadi suami istri (marpadan-padan, berkencan gelap), juga disebut marmainan (melacur), dan marlangaka pilit (mengambil jalan sesat), maka perkawinan harus dilaksanakan segera setelah hal itu diketahui.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pasangan muda-mudi itu juga diminta untuk mengakui kesalahan (manopotim) di depan para tetua dan orang tua kedua belah pihak. Hukuman bagi pasangan muda-mudi itu ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka. Jika pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak menghendaki perkawinan, maka hukumannya akan lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pengurasion (penyucian) dan menenangkan hati parboru dengan memberikan piso.
J.C. Vergouwen (Ibid, hal. 217) juga menjelaskan bahwa hidup bersama secara terbuka dan tidak sah sebagai suami istri (marbagas roha-roha) tidak dikenal di kalangan pemuda dan tidak selaras dengan hubungan gadis dengan parboru-nya. Namun, hal seperti itu banyak terjadi di kawasan yang disiplin hukum dan adat istiadatnya lemah, yaitu di antara orang-orang yang sudah tua dan sudah pernah kawin. Ini adalah pelanggaran terhadap adat (sala tu adat) dan pantas dituntut dan dihukum oleh penguasa. Di Padang Lawas, tindakan seperti itu disebut manaporkon ogung ni raja (memecahkan gong raja). Dalam arti menyalahi hukum masyarakat. Perbuatan seperti itu dapat dijatuhi hukum adat, kualifikasi ini menunjukkan pelanggaran terhadap ketertiban umum.
Jadi, pada dasarnya walaupun tidak ada hukum negara yang dapat menghukum pasangan pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan tersebut, namun perbuatan tersebut dapat saja memiliki konsekuensi tertentu menurut hukum adat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Referensi:
1. J.C. Vergouwen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. LKiS Yogyakarta;
2. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia – Bogor.