POKROL BAMBU - Dalam ungkapan bahasa kita ada istilah ‘berdebat seperti pokrol bambu’ untuk menggambarkan perbantahan antara dua manusia yang tidak ada ujung pangkal atau sering disebut juga dengan debat kusir. Istilah pokrol bambu sudah ada setidak-tidaknya seratus tahun yang lalu mengacu pada profesi pengacara pribumi di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Yang menarik untuk ditelusuri adalah mengapa mereka dijuluki dengan ‘pokrol bambu’?
Koran Tua Belanda Yang Diberi Judul ‘De Pokrol Bamboe In De Desa’. |
Dari koran kuno Belanda ‘Algemeen Handelsblad’ terbitan tanggal 22 Oktober 1913 (berarti hampir seratus tahun silam) sedikitnya saya mendapat pencerahan mengapa oknum-oknum pengacara yang banyak berseliweran di desa-desa ini disebut dengan ‘pokrol bamboe’. Pokrol adalah pengindonesiaan dari kata ‘procureur’ yang bermakna ‘pengacara’. Lalu harian ini mencoba menjelaskan mengapa ada embel-embel ‘bamboe’ pada kata pokrol ini. Wartawan ini menulis bahwa bambu adalah tanaman yang banyak dijumpai di pulau Jawa dan banyak ragamnya. Ada bambu tali, bambu gombong, bambu bitung, bambu apus. Dari nama jenis bambu yang terakhir disebutkan tadi, profesi pokrol ini diberi julukan.
Apus dalam bahasa Jawa bermakna ‘menipu’ atau ‘memperdaya’. Jadi kata ‘bambu apus’ dikonotasikan dengan ‘oplichter’ (bahasa Belanda yang bermakna ‘penipu’) atau ‘crook’ dalam bahasa Inggris. Jadi nama lengkapnya pengacara ini adalah ‘pokrol bambu apus’, dan dalam perjalanan waktu disingkat saja dengan ‘pokrol bambu’. Jadi nampaknya sudah dari ‘tempo doeloe’ pengacara ini dianggap berlaku culas, pandai membolak-balikkan fakta, yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam. Dengan kepiawaian bersilat lidah ini, mereka menjadi pengacara bagi tuan tanah di desa-desa melawan petani.
Untuk memberikan penampilan yang meyakinkan mereka berpakaian perlente yang terasa aneh di mata penduduk desa waktu itu. Mereka mengenakan jas dari kain laken, blangkon Solo dan scarf, topi Panama, sepatu kanvas lengkap dengan tongkat rotannya (een lakensche jas, Solosche kam en hoofddoek, Panama, zeildoek schoenen en een vervaarlijke wandelsto). Penghasilan pokrol bambu kelas dusun ini tak kalah hebatnya dengan pengacara kondang zaman sekarang ini. Karena tindak tanduknya yang ‘bengkok’ ini, tak jarang pokrol bambu ini justru diseret ke meja hijau. Yang jelas petani miskin tak pernah bersimpati kepada mereka, dan ini terbukti dengan julukan yang disandangkan kepada mereka ini yaitu ‘pokrol bambu’.
Inilah sejarah nama ‘pokrol bambu’ yang saya dapatkan dari koran tua Belanda yang diberi judul ‘De Pokrol Bamboe in de Desa’.
(penulis : Gustaaf Kusno)
Sumber : kompasiana.com/
Ketentuan Pidana Tentang :
- Menggunakan gelar lulusan yang palsu?
- Perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup dan masih beroperasi?
- Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau professor?
- Menggunakan ijazah palsu?
Secara khusus, ketentuan ini diatur dalam Bab XX dalam 5 pasal.
Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.
Contohnya hanya tamatan Sekolah Mengah Atas (SMA) apalagi hanya tamatan Sekolah Dasar, tiba-tiba di belakang namanya tertera gelar akademik, Misalnya nama sebelumnya Hasanah, tahu-tahu ia ikut di suatu organisasi/kegiatan/pelamaran dsb, maka nama Hasanah tadi berubah menjadi Hasanah, SH. Padahal, kita ketahui bahwasanya yang bersangkutan hanya tamatan SMA apalagi kalau yang bersangkutan hanya tau tulis dan tau baca (belum tamat SD misalnya). Karena yang bersangkutan Berani dan Nekat sehingga di belakang namanya tertera gelar akademik.
Hal tersebut diatas adalah suatu tindakan melawan hukum dan dapat dipidana.
Berikut bunyi ketentuan dimaksud :
Bab XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 67
(1). Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2). Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutp berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3). Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau professor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 23 ayat (1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau professor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4). Penyenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 31 ayat (3)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pasal 68
(1). Setiap orang yang membantu ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2). Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3). Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 21 ayat (4)
Penggunaan gelar akdemik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4). Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 23 ayat (1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23 ayat (2)
Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tingggi.
Pasal 69
(1). Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2). Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 61 ayat (2)
Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
Pasal 61 ayat (3)
Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 25 ayat (2)
Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 62 ayat (1)
Setiap satuan pendidikan formal maupun nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.
Kami kutip dari www.kompasiana.com Jumat (23/10/15)
Hati-hati Menggunakan Gelar Akademik
Oleh Yosafati Gulo
Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.
Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT (Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?
Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau lebih kompeten daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau tak punya. Maka setiap menulis nama pun, termasuk di surat undangan kondangan, pernikahan, atau di tembok, gelar akademik selalu dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila namanya ditulis tanpa disertai gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan.
Ketentuan Undang-undang
Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang pemakaian gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya. Terbaru diatur dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.” Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut hanya dibenarkan bila diberikan oleh PT terakreditasi.
Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak terakreditasi, maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan tentang ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut. Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.”
Hal serupa berlaku bagi pemakai ijazah atau sertifikat dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat. Seseorang yang nekat menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak terakreditas atau tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi dalam menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan dilarang dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di sektor publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).
Bukan itu saja. Perorangan yang memakai gelar yang tak legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat ditindak secara pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan, bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak menggambarkan Kapasitas
Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan atau belakang nama, untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus PT? Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah, belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah, belajar, adalah membentuk dan menyempurnakan diri. Ya sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara keseluruhan. Itulah sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam bentuk sikap, mental, ketrampilan, dan kepribadian.
Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan. Tapi itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses formal di lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia diberi ijazah C atau D dan dianggap layak atau kapabel untuk tertentu. Maka kalau menulis nama terkait dengan pekerjaan atau jabatan tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya, tentu tidak. Seorang dokter, tak relevan menulis dr di depan namanya ketika nama-nama penyumbang sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia menulis resep untuk pasien. Gelar dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti administrasi bahwa ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap memiliki kapasitas, otoritas, keilmuan memberikan resep.
Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah memberikan bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang. Sekalipun Anda memiliki nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak akan pernah bisa menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun terkait dengan kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi masing-masing.
Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang gagal kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia lebih hebat dari sejumlah doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita, Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang membuktikan diri memiliki hampir semua hal walaupun tidak memiliki gelar Magister atau doktor.
Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri yang memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan posisi atau pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan manakala tidak dapat mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan ini merupakan penipuan yang sulit dimaafkan, oleh diri sendiri sekalipun?(***)
Semoga Bermanfaat.
Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.
Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT (Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?
Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau lebih kompeten daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau tak punya. Maka setiap menulis nama pun, termasuk di surat undangan kondangan, pernikahan, atau di tembok, gelar akademik selalu dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila namanya ditulis tanpa disertai gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan.
Ketentuan Undang-undang
Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang pemakaian gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya. Terbaru diatur dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.” Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut hanya dibenarkan bila diberikan oleh PT terakreditasi.
Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak terakreditasi, maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan tentang ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut. Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.”
Hal serupa berlaku bagi pemakai ijazah atau sertifikat dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat. Seseorang yang nekat menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak terakreditas atau tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi dalam menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan dilarang dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di sektor publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).
Bukan itu saja. Perorangan yang memakai gelar yang tak legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat ditindak secara pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan, bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak menggambarkan Kapasitas
Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan atau belakang nama, untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus PT? Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah, belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah, belajar, adalah membentuk dan menyempurnakan diri. Ya sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara keseluruhan. Itulah sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam bentuk sikap, mental, ketrampilan, dan kepribadian.
Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan. Tapi itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses formal di lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia diberi ijazah C atau D dan dianggap layak atau kapabel untuk tertentu. Maka kalau menulis nama terkait dengan pekerjaan atau jabatan tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya, tentu tidak. Seorang dokter, tak relevan menulis dr di depan namanya ketika nama-nama penyumbang sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia menulis resep untuk pasien. Gelar dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti administrasi bahwa ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap memiliki kapasitas, otoritas, keilmuan memberikan resep.
Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah memberikan bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang. Sekalipun Anda memiliki nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak akan pernah bisa menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun terkait dengan kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi masing-masing.
Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang gagal kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia lebih hebat dari sejumlah doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita, Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang membuktikan diri memiliki hampir semua hal walaupun tidak memiliki gelar Magister atau doktor.
Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri yang memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan posisi atau pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan manakala tidak dapat mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan ini merupakan penipuan yang sulit dimaafkan, oleh diri sendiri sekalipun?(***)
Semoga Bermanfaat.
Mungkin Anda Bertanya:
Bolehkah Polantas Razia Kendaraan di Jalan Komplek Perumahan?
Razia kendaraan yang dilakukan polantas di jalan yang terletak di daerah perumahan “semi komplek” sah menurut hukum sepanjang “jalan alternatif” itu dimaknai sebagai jalan untuk lalu lintas umum. Dengan kata lain, selama jalan itu dilalui oleh umum, jalan tersebut termasuk jalan dimana polantas berwenang melakukan razia kendaraan bermotor sebagaimana yang dimaksud dalam UU LLAJ.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).
Pemasangan Plang Tanda Adanya Razia
Kami berkesimpulan bahwa plang yang Anda maksud adalah sebuah tanda adanya razia kendaraan bermotor. Pada dasarnya, pada tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, yang ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan jalan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.[1]
Jadi, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memberhentikan pengendara bermotor dan memeriksa surat-surat pada dasarnya wajib memasang tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan. Lebih lanjut, tanda tersebut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan.[2] Jadi, polisi lalu lintas (“polantas”) yang melakukan razia/pemeriksaan dan tidak dilengkapi dengan tanda yang menunjukan adanya razia kendaraan bermotor, hal tersebut bertentangan dengan hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Jika Tiba-tiba Diberhentikan Polisi di Jalan.
Bolehkah Polantas Razia di Wilayah Komplek Perumahan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “jalan” dalam UU LLAJ, apakah termasuk jalan-jalan di wilayah “semi komplek” perumahan seperti yang Anda sebut.
Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada definisi jalan di atas, maka razia kendaraan yang dilakukan polantas di jalan alternatif yang terletak di daerah perumahan semi komplek sah menurut hukum sepanjang “jalan alternatif” itu dimaknai sebagai jalan untuk lalu lintas umum. Dengan kata lain, selama jalan itu dilalui oleh umum, jalan tersebut termasuk jalan di mana polantas berwenang melakukan razia kendaraan bermotor.
Jadi, melakukan razia di jalan-jalan kampung atau komplek perumahan merupakan wewenang polisi yang justru di jalan itulah pelanggaran lalin selalu terjadi. Selama jalan itu memang dilalui lalu lintas umum, maka jalan itu tetap menjadi daerah hukum polisi untuk melakukan razia.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Razia kendaraan yang dilakukan polantas di jalan yang terletak di daerah perumahan “semi komplek” sah menurut hukum sepanjang “jalan alternatif” itu dimaknai sebagai jalan untuk lalu lintas umum. Dengan kata lain, selama jalan itu dilalui oleh umum, jalan tersebut termasuk jalan dimana polantas berwenang melakukan razia kendaraan bermotor sebagaimana yang dimaksud dalam UU LLAJ.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).
Pemasangan Plang Tanda Adanya Razia
Kami berkesimpulan bahwa plang yang Anda maksud adalah sebuah tanda adanya razia kendaraan bermotor. Pada dasarnya, pada tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, yang ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan jalan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.[1]
Jadi, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memberhentikan pengendara bermotor dan memeriksa surat-surat pada dasarnya wajib memasang tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan. Lebih lanjut, tanda tersebut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan.[2] Jadi, polisi lalu lintas (“polantas”) yang melakukan razia/pemeriksaan dan tidak dilengkapi dengan tanda yang menunjukan adanya razia kendaraan bermotor, hal tersebut bertentangan dengan hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Jika Tiba-tiba Diberhentikan Polisi di Jalan.
Bolehkah Polantas Razia di Wilayah Komplek Perumahan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “jalan” dalam UU LLAJ, apakah termasuk jalan-jalan di wilayah “semi komplek” perumahan seperti yang Anda sebut.
Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada definisi jalan di atas, maka razia kendaraan yang dilakukan polantas di jalan alternatif yang terletak di daerah perumahan semi komplek sah menurut hukum sepanjang “jalan alternatif” itu dimaknai sebagai jalan untuk lalu lintas umum. Dengan kata lain, selama jalan itu dilalui oleh umum, jalan tersebut termasuk jalan di mana polantas berwenang melakukan razia kendaraan bermotor.
Jadi, melakukan razia di jalan-jalan kampung atau komplek perumahan merupakan wewenang polisi yang justru di jalan itulah pelanggaran lalin selalu terjadi. Selama jalan itu memang dilalui lalu lintas umum, maka jalan itu tetap menjadi daerah hukum polisi untuk melakukan razia.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mengacu pada PP 80/2012, razia kendaraan bermotor di tikungan jalan merupakan pelanggaran hukum karena razia itu harus dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas; yakni misalnya tidak dilakukan di tikungan jalan. Ini untuk menghindari pengendara yang terkejut dengan polisi yang tiba-tiba menghadang, yang mana hal tersebut dapat membahayakan pengguna jalan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).
Razia Kendaraan di Jalan oleh Polisi
Pada dasarnya, pada tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor, yang ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan jalan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.[1]
Razia Kendaraan di Tikungan Jalan
Untuk menjawabnya, mari kita simak bunyi Pasal 21 PP 80/2012:
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Yang dimaksud dengan “tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas” misalnya tidak dilakukan di tikungan jalan.
Apakah Polisi Bisa Menilang Walau Tanpa Razia?
Bolehkah Polantas Razia Kendaraan di Jalan Komplek Perumahan?
Bolehkah Meminta Polisi Menunjukkan Surat Tugas Razia?
Siapa yang Menindak Bila Polantas Melanggar Lalu Lintas?
Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan
Tentang Tilang Elektronik
Jerat Pidana Jika Menumpuk Sampah di Pinggir Jalan
Hukuman Bagi Kepala Desa yang Menggunakan Ijazah Palsu
Apakah Perkara Pemilu Masuk ke Dalam Ranah Hukum Pidana?
Legalkah Profesi Detektif Swasta di Indonesia?
Jadi, dari bunyi pasal di atas dan penjelasannya jelas dan tegas diatur bahwa tikungan jalan merupakan tempat yang antara lain mengganggu keamanan dan keselamatan lalu lintas sehingga razia kendaraan bermotor yang dilakukan di tikungan jalan merupakan pelanggaran hukum.
Demikian pula kondisinya jika razia dilakukan di flyover. Padahal sebagaimana kita ketahui, flyover alias jalan layang dibangun pemerintah untuk mengatasi atau mengurangi kemacetan. Jika razia dilakukan di flyover, hampir dipastikan akan menggunakan badan jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran lalu lintas jalan.
Di samping itu, ada pendapat yang mengemukakan bahwa razia lalu lintas yang digelar di tikungan jalan kerap membahayakan pengguna jalan, terutama pemotor. Dalam artikel Razia di Tikungan Tajam, Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan yang kami akses dari laman detik.com, sebagaimana kami sarikan, dijelaskan bahwa razia kendaraan bermotor di tikungan jalan seringkali digelar hanya beberapa meter setelah tikungan tajam, seringkali pemotor nyaris terjatuh lantaran terkejut dengan petugas yang tiba-tiba menghadang, tanpa ada rambu-rambu peringatan. Akibatnya, pemotor kerap kelabakan dan nyaris jatuh dari motornya.
Melihat hal ini dan mengacu pada aturan, kami berpendapat polisi tetap wajib mengutamakan keselamatan pengendara saat menggelar razia kendaraan bermotor dengan tidak menggelar razia di tikungan jalan maupun di flyover.
Oleh karena itu, Anda sebagai pengendara kendaraan bermotor memiliki hak menolak untuk diperiksa apabila polisi lalu lintas (“polantas”) yang memberhentikan kendaraan Anda tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas. Menurut hemat kami, jika Anda diberhentikan di tikungan jalan atau fly over, Anda bisa melaporkan keberatan Anda kepada polantas yang bersangkutan atau penanggung jawab pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (3) PP 80/2012.
Dasar Hukum:
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).
Razia Kendaraan di Jalan oleh Polisi
Pada dasarnya, pada tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor, yang ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan jalan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.[1]
Razia Kendaraan di Tikungan Jalan
Untuk menjawabnya, mari kita simak bunyi Pasal 21 PP 80/2012:
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Yang dimaksud dengan “tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas” misalnya tidak dilakukan di tikungan jalan.
Apakah Polisi Bisa Menilang Walau Tanpa Razia?
Bolehkah Polantas Razia Kendaraan di Jalan Komplek Perumahan?
Bolehkah Meminta Polisi Menunjukkan Surat Tugas Razia?
Siapa yang Menindak Bila Polantas Melanggar Lalu Lintas?
Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan
Tentang Tilang Elektronik
Jerat Pidana Jika Menumpuk Sampah di Pinggir Jalan
Hukuman Bagi Kepala Desa yang Menggunakan Ijazah Palsu
Apakah Perkara Pemilu Masuk ke Dalam Ranah Hukum Pidana?
Legalkah Profesi Detektif Swasta di Indonesia?
Jadi, dari bunyi pasal di atas dan penjelasannya jelas dan tegas diatur bahwa tikungan jalan merupakan tempat yang antara lain mengganggu keamanan dan keselamatan lalu lintas sehingga razia kendaraan bermotor yang dilakukan di tikungan jalan merupakan pelanggaran hukum.
Demikian pula kondisinya jika razia dilakukan di flyover. Padahal sebagaimana kita ketahui, flyover alias jalan layang dibangun pemerintah untuk mengatasi atau mengurangi kemacetan. Jika razia dilakukan di flyover, hampir dipastikan akan menggunakan badan jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran lalu lintas jalan.
Di samping itu, ada pendapat yang mengemukakan bahwa razia lalu lintas yang digelar di tikungan jalan kerap membahayakan pengguna jalan, terutama pemotor. Dalam artikel Razia di Tikungan Tajam, Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan yang kami akses dari laman detik.com, sebagaimana kami sarikan, dijelaskan bahwa razia kendaraan bermotor di tikungan jalan seringkali digelar hanya beberapa meter setelah tikungan tajam, seringkali pemotor nyaris terjatuh lantaran terkejut dengan petugas yang tiba-tiba menghadang, tanpa ada rambu-rambu peringatan. Akibatnya, pemotor kerap kelabakan dan nyaris jatuh dari motornya.
Melihat hal ini dan mengacu pada aturan, kami berpendapat polisi tetap wajib mengutamakan keselamatan pengendara saat menggelar razia kendaraan bermotor dengan tidak menggelar razia di tikungan jalan maupun di flyover.
Oleh karena itu, Anda sebagai pengendara kendaraan bermotor memiliki hak menolak untuk diperiksa apabila polisi lalu lintas (“polantas”) yang memberhentikan kendaraan Anda tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas. Menurut hemat kami, jika Anda diberhentikan di tikungan jalan atau fly over, Anda bisa melaporkan keberatan Anda kepada polantas yang bersangkutan atau penanggung jawab pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (3) PP 80/2012.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan yang kami akses dari laman detik.com
[Akses, 17/10/15]
Razia di Tikungan Tajam, Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan |
Mojokerto - Razia lalu lintas yang digelar Sat Lantas Polres Kota Mojokerto kerap membahayakan pengguna jalan, terutama pemotor. Bagaimana tidak, razia tersebut kerap digelar hanya beberapa meter setelah tikungan tajam tanpa ada rambu-rambu peringatan. Akibatnya, pemotor kerap kelabakan dan nyaris jatuh dari motornya.
Seperti yang terlihat di tikungan tajam Jalan Raya Surodinawan tepatnya di selatan RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, Lingkungan Pekuncen, Kelurahan Surodinawan, Kecamatan Prajurit Kulon, Sabtu (20/6/2015). Polisi menghadang pengendara roda 2 yang menuju Kota Mojokerto tepat beberapa meter saja setelah tikungan tersebut.
Sekitar 5 orang petugas bersabuk putih menghadang para pengendara motor. Mereka berdiri di tengah jalan sembari membentangkan kedua tangannya. Sontak sejumlah pemotor yang laju kendaraannya cukup kencang terkejut dan kelabakan menghentikan laju motornya. Tak sedikit pula yang nyaris terjatuh.
"Polisi sengaja memilih razia di tikungan supaya dapat mangsa banyak. Seharusnya kan ada rambu-rambu peringatan sebelum lokasi razia. Apalagi ini di tikungan yang tak terlihat. Mereka tak menghiraukan keselamatan pengguna jalan," kata salah seorang pengguna jalan, Budi (27) kepada detikcom di lokasi.
Hal senada dikatakan pemilik warung di seberang tikungan Pekuncen. Pria yang enggan menyebutkan namanya ini mengaku sudah biasa melihat pemandangan seperti ini. Menurutnya, polisi menggelar razia di lokasi yang sama setidaknya 2 kali dalam seminggu.
Dia menambahkan, akibat lokasi razia yang berjarak beberapa meter dari tikungan tajam, kerap kali pemotor nyaris terjatuh lantaran terkejut dengan petugas yang tiba-tiba menghadang. Memang tak terlihat rambu peringatan adanya razia lalu lintas sebelum tikungan tersebut.
"Sering kali pengguna jalan hampir jatuh karena kaget, terutama yang laju motornya cukup kencang saat menikung. Paling tidak seharusnya ada rambu-rambu peringatan," ungkapnya.
Lokasi yang dipilih untuk razia lalu lintas ini memang strategis. Para pengendara roda 2 yang melanggar tak berkutik lantaran tak bisa balik arah atau masuk ke jalan tikus untuk menghindari petugas.
Dikonfirmasi terpisah, Kasat Lantas Polres Mojokerto Kota AKP Endang Srie Narullita mengaku terkejut. Dia justru tak tahu ada anggotanya yang menggelar razia lalu lintas di lokasi yang membahayakan pengguna jalan. Namun, dia menegaskan lokasi yang dipilih sangat berbahaya dan tak seharusnya dijadikan tempat razia lalu lintas.
"Pada prinsipnya, kita menentukan tempat (razia) ada beberapa pertimbangan. Yang pertama tidak mengganggu pengemudi lainnya, tidak membahayakan petugas dan tidak menyebabkan laka lantas itu sendiri. Jadi intinya sesuai SOP seharusnya tidak membahayakan pengemudi dan petugas," tandasnya.
Namun, Endang enggan berkomentar menyikapi razia lalu lintas oleh anggotanya yang dinilai menyalahi aturan dan membahayakan pengguna jalan ini.
(bdh/bdh)
Seperti yang terlihat di tikungan tajam Jalan Raya Surodinawan tepatnya di selatan RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, Lingkungan Pekuncen, Kelurahan Surodinawan, Kecamatan Prajurit Kulon, Sabtu (20/6/2015). Polisi menghadang pengendara roda 2 yang menuju Kota Mojokerto tepat beberapa meter saja setelah tikungan tersebut.
Sekitar 5 orang petugas bersabuk putih menghadang para pengendara motor. Mereka berdiri di tengah jalan sembari membentangkan kedua tangannya. Sontak sejumlah pemotor yang laju kendaraannya cukup kencang terkejut dan kelabakan menghentikan laju motornya. Tak sedikit pula yang nyaris terjatuh.
"Polisi sengaja memilih razia di tikungan supaya dapat mangsa banyak. Seharusnya kan ada rambu-rambu peringatan sebelum lokasi razia. Apalagi ini di tikungan yang tak terlihat. Mereka tak menghiraukan keselamatan pengguna jalan," kata salah seorang pengguna jalan, Budi (27) kepada detikcom di lokasi.
Hal senada dikatakan pemilik warung di seberang tikungan Pekuncen. Pria yang enggan menyebutkan namanya ini mengaku sudah biasa melihat pemandangan seperti ini. Menurutnya, polisi menggelar razia di lokasi yang sama setidaknya 2 kali dalam seminggu.
Dia menambahkan, akibat lokasi razia yang berjarak beberapa meter dari tikungan tajam, kerap kali pemotor nyaris terjatuh lantaran terkejut dengan petugas yang tiba-tiba menghadang. Memang tak terlihat rambu peringatan adanya razia lalu lintas sebelum tikungan tersebut.
"Sering kali pengguna jalan hampir jatuh karena kaget, terutama yang laju motornya cukup kencang saat menikung. Paling tidak seharusnya ada rambu-rambu peringatan," ungkapnya.
Lokasi yang dipilih untuk razia lalu lintas ini memang strategis. Para pengendara roda 2 yang melanggar tak berkutik lantaran tak bisa balik arah atau masuk ke jalan tikus untuk menghindari petugas.
Dikonfirmasi terpisah, Kasat Lantas Polres Mojokerto Kota AKP Endang Srie Narullita mengaku terkejut. Dia justru tak tahu ada anggotanya yang menggelar razia lalu lintas di lokasi yang membahayakan pengguna jalan. Namun, dia menegaskan lokasi yang dipilih sangat berbahaya dan tak seharusnya dijadikan tempat razia lalu lintas.
"Pada prinsipnya, kita menentukan tempat (razia) ada beberapa pertimbangan. Yang pertama tidak mengganggu pengemudi lainnya, tidak membahayakan petugas dan tidak menyebabkan laka lantas itu sendiri. Jadi intinya sesuai SOP seharusnya tidak membahayakan pengemudi dan petugas," tandasnya.
Namun, Endang enggan berkomentar menyikapi razia lalu lintas oleh anggotanya yang dinilai menyalahi aturan dan membahayakan pengguna jalan ini.
(bdh/bdh)
Mediasi adalah upaya Penyelesaian Konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.
Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik.
Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.
Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik.
Jenis Mediasi
Jenis mediasi menurut filsuf skolastik :
1) Medium quod
Yaitu sesuatu yang sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu, sesuatu yang lain yang diketahui. Contoh yang biasa diberikan untuk mediasi ini adalah premis-premis dalam silogisme. Pengetahuan tentang premis-premis membawa kita kepada pengetahuan tentang kesimpulan. Contoh lain : lampu merah lampu lalu lintas berwarna merah harus berhenti harus berhenti, jadi kendaraan harus berhenti.
2) Medium quo
Yaitu sesuatu yang sendiri tidak disadari tetapi melaluinya sesuatu yang lain bisa diketahui. Contohnya : lensa kacamata yang kita pakai, kita melihat benda-benda di sekitar kita tapi kacamata itu sendiri tidak secara langsung kita sadari.
3) Medium in quo
Sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang di dalamnya diketahui sesuatu yang lain. Contohnya : kaca spion di mobil, supir mobil melihat kendaran di belakang dan hal-hal lain di sekitarnya dalam kaca spion sendiri tidak secara langsung ia sadari
Yaitu sesuatu yang sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu, sesuatu yang lain yang diketahui. Contoh yang biasa diberikan untuk mediasi ini adalah premis-premis dalam silogisme. Pengetahuan tentang premis-premis membawa kita kepada pengetahuan tentang kesimpulan. Contoh lain : lampu merah lampu lalu lintas berwarna merah harus berhenti harus berhenti, jadi kendaraan harus berhenti.
2) Medium quo
Yaitu sesuatu yang sendiri tidak disadari tetapi melaluinya sesuatu yang lain bisa diketahui. Contohnya : lensa kacamata yang kita pakai, kita melihat benda-benda di sekitar kita tapi kacamata itu sendiri tidak secara langsung kita sadari.
3) Medium in quo
Sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang di dalamnya diketahui sesuatu yang lain. Contohnya : kaca spion di mobil, supir mobil melihat kendaran di belakang dan hal-hal lain di sekitarnya dalam kaca spion sendiri tidak secara langsung ia sadari
Perilaku Mediator
Perilaku yang harus dilakukan oleh mediator :
Perilaku yang harus dilakukan oleh mediator :
- Problem solving atau integrasi, yaitu usaha menemukan jalan keluar “win-win solution”. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menerapkan pendekatan ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sangat mungkin dicapai.
- Kompensasi atau usaha mengajak pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau mencapai kesepakatan dengan menjanjikan mereka imbalan atau keuntungan. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sulit dicapai.
- Tekanan, yaitu tindakan memaksa pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau sepakat dengan memberikan hukuman atau ancaman hukuman. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kesepakatan yang menang-menang sulit dicapai.
- Diam atau inaction, yaitu ketika mediator secara sengaja membiarkan pihak-pihak yang bertikai menangani konflik mereka sendiri. Mediator diduga akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kemungkinan mencapai kesepakatan “win-win solution”.
Hal-hal yang harus dihindari dalam mediasi :
- Ketidaksiapan mediator.
- Kehilangan kendali oleh mediator.
- Kehilangan netralitas.
- Mengabaikan emosi
Tahapan mediasi