• Home
  • Hukum
    • KUHP
    • KUHPerdata
    • UUPK
    • Perkawinan
    • Hukum Indonesia
  • Persidangan
  • Hukum Islam
  • Siaran Pers

POKROL BAMBU - Dalam ungkapan bahasa kita ada istilah ‘berdebat seperti pokrol bambu’ untuk menggambarkan perbantahan antara dua manusia yang tidak ada ujung pangkal atau sering disebut juga dengan debat kusir. Istilah pokrol bambu sudah ada setidak-tidaknya seratus tahun yang lalu mengacu pada profesi pengacara pribumi di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Yang menarik untuk ditelusuri adalah mengapa mereka dijuluki dengan ‘pokrol bambu’?

Koran Tua Belanda Yang Diberi Judul ‘De Pokrol Bamboe In De Desa’.

Dari koran kuno Belanda ‘Algemeen Handelsblad’ terbitan tanggal 22 Oktober 1913 (berarti hampir seratus tahun silam) sedikitnya saya mendapat pencerahan mengapa oknum-oknum pengacara yang banyak berseliweran di desa-desa ini disebut dengan ‘pokrol bamboe’. Pokrol adalah pengindonesiaan dari kata ‘procureur’ yang bermakna ‘pengacara’. Lalu harian ini mencoba menjelaskan mengapa ada embel-embel ‘bamboe’ pada kata pokrol ini. Wartawan ini menulis bahwa bambu adalah tanaman yang banyak dijumpai di pulau Jawa dan banyak ragamnya. Ada bambu tali, bambu gombong, bambu bitung, bambu apus. Dari nama jenis bambu yang terakhir disebutkan tadi, profesi pokrol ini diberi julukan.


Apus dalam bahasa Jawa bermakna ‘menipu’ atau ‘memperdaya’. Jadi kata ‘bambu apus’ dikonotasikan dengan ‘oplichter’ (bahasa Belanda yang bermakna ‘penipu’) atau ‘crook’ dalam bahasa Inggris. Jadi nama lengkapnya pengacara ini adalah ‘pokrol bambu apus’, dan dalam perjalanan waktu disingkat saja dengan ‘pokrol bambu’. Jadi nampaknya sudah dari ‘tempo doeloe’ pengacara ini dianggap berlaku culas, pandai membolak-balikkan fakta, yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam. Dengan kepiawaian bersilat lidah ini, mereka menjadi pengacara bagi tuan tanah di desa-desa melawan petani.


Untuk memberikan penampilan yang meyakinkan mereka berpakaian perlente yang terasa aneh di mata penduduk desa waktu itu. Mereka mengenakan jas dari kain laken, blangkon Solo dan scarf, topi Panama, sepatu kanvas lengkap dengan tongkat rotannya (een lakensche jas, Solosche kam en hoofddoek, Panama, zeildoek schoenen en een vervaarlijke wandelsto). Penghasilan pokrol bambu kelas dusun ini tak kalah hebatnya dengan pengacara kondang zaman sekarang ini. Karena tindak tanduknya yang ‘bengkok’ ini, tak jarang pokrol bambu ini justru diseret ke meja hijau. Yang jelas petani miskin tak pernah bersimpati kepada mereka, dan ini terbukti dengan julukan yang disandangkan kepada mereka ini yaitu ‘pokrol bambu’.


Inilah sejarah nama ‘pokrol bambu’ yang saya dapatkan dari koran tua Belanda yang diberi judul ‘De Pokrol Bamboe in de Desa’.

(penulis : Gustaaf Kusno)



Sumber : kompasiana.com/

Ketentuan Pidana Tentang  :
  • Menggunakan gelar lulusan yang palsu?
  • Perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup dan masih beroperasi?
  • Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau professor?
  • Menggunakan ijazah palsu?
 
Secara khusus, ketentuan ini diatur dalam Bab XX dalam 5 pasal. 

Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.

Contohnya hanya tamatan Sekolah Mengah Atas (SMA) apalagi hanya tamatan Sekolah Dasar, tiba-tiba di belakang namanya tertera gelar akademik, Misalnya nama sebelumnya Hasanah, tahu-tahu ia ikut di suatu organisasi/kegiatan/pelamaran dsb, maka nama Hasanah tadi berubah menjadi Hasanah, SH. Padahal, kita ketahui bahwasanya yang bersangkutan hanya tamatan SMA apalagi kalau yang bersangkutan hanya tau tulis dan tau baca (belum tamat SD misalnya). Karena yang bersangkutan Berani dan Nekat sehingga di belakang namanya tertera gelar akademik.

Hal tersebut diatas adalah suatu tindakan melawan hukum dan dapat dipidana.

Berikut bunyi ketentuan dimaksud :




Bab XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 67

(1).  Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2).  Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutp berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3). Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau professor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 23 ayat (1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau professor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4). Penyenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 31 ayat (3)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Pasal 68
(1).  Setiap orang yang membantu ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2).  Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3).   Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 21 ayat (4)
Penggunaan gelar akdemik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

(4).   Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 23 ayat (1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23 ayat (2)
Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tingggi.

Pasal 69
(1).   Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2).  Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 61 ayat (2)
Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Pasal 61 ayat (3)
Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 25 ayat (2)
Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 62 ayat (1)
Setiap satuan pendidikan formal maupun nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.




Kami kutip dari www.kompasiana.com Jumat (23/10/15)

Hati-hati Menggunakan Gelar Akademik

Oleh Yosafati Gulo

Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.

Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT (Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?

Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau lebih kompeten daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau tak punya. Maka setiap menulis nama pun, termasuk di surat undangan kondangan, pernikahan, atau di tembok, gelar akademik selalu dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila namanya ditulis tanpa disertai gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan.

Ketentuan Undang-undang

Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang pemakaian gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya. Terbaru diatur dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.” Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut hanya dibenarkan bila diberikan oleh PT terakreditasi.

Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak terakreditasi, maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan tentang ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut. Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.”

Hal serupa berlaku bagi pemakai ijazah atau sertifikat dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat. Seseorang yang nekat menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak terakreditas atau tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi dalam menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan dilarang dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di sektor publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).

Bukan itu saja. Perorangan yang memakai gelar yang tak legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat ditindak secara pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan, bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tidak menggambarkan Kapasitas
Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan atau belakang nama, untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus PT? Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah, belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah, belajar, adalah membentuk dan menyempurnakan diri. Ya sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara keseluruhan. Itulah sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam bentuk sikap, mental, ketrampilan, dan kepribadian.

Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan. Tapi itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses formal di lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia diberi ijazah C atau D dan dianggap layak atau kapabel untuk tertentu. Maka kalau menulis nama terkait dengan pekerjaan atau jabatan tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya, tentu tidak. Seorang dokter, tak relevan menulis dr di depan namanya ketika nama-nama penyumbang sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia menulis resep untuk pasien. Gelar dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti administrasi bahwa ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap memiliki kapasitas, otoritas, keilmuan memberikan resep.

Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah memberikan bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang. Sekalipun Anda memiliki nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak akan pernah bisa menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun terkait dengan kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi masing-masing.

Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang gagal kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia lebih hebat dari sejumlah doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita, Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang membuktikan diri memiliki hampir semua hal walaupun tidak memiliki gelar Magister atau doktor.

Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri yang memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan posisi atau pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan manakala tidak dapat mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan ini merupakan penipuan yang sulit dimaafkan, oleh diri sendiri sekalipun?(***)



Semoga Bermanfaat.

Mungkin Anda Bertanya:
Bolehkah Polantas Razia Kendaraan di Jalan Komplek Perumahan?


Razia kendaraan yang dilakukan polantas di jalan yang terletak di daerah perumahan “semi komplek” sah menurut hukum sepanjang “jalan alternatif” itu dimaknai sebagai jalan untuk lalu lintas umum. Dengan kata lain, selama jalan itu dilalui oleh umum, jalan tersebut termasuk jalan dimana polantas berwenang melakukan razia kendaraan bermotor sebagaimana yang dimaksud dalam UU LLAJ.


Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.


Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).



Pemasangan Plang Tanda Adanya Razia


Kami berkesimpulan bahwa plang yang Anda maksud adalah sebuah tanda adanya razia kendaraan bermotor. Pada dasarnya, pada tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, yang ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan jalan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.[1]


Jadi, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang memberhentikan pengendara bermotor dan memeriksa surat-surat pada dasarnya wajib memasang tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan. Lebih lanjut, tanda tersebut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan.[2] Jadi, polisi lalu lintas (“polantas”) yang melakukan razia/pemeriksaan dan tidak dilengkapi dengan tanda yang menunjukan adanya razia kendaraan bermotor, hal tersebut bertentangan dengan hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Jika Tiba-tiba Diberhentikan Polisi di Jalan.



Bolehkah Polantas Razia di Wilayah Komplek Perumahan?


Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud “jalan” dalam UU LLAJ, apakah termasuk jalan-jalan di wilayah “semi komplek” perumahan seperti yang Anda sebut.


Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.


Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada definisi jalan di atas, maka razia kendaraan yang dilakukan polantas di jalan alternatif yang terletak di daerah perumahan semi komplek sah menurut hukum sepanjang “jalan alternatif” itu dimaknai sebagai jalan untuk lalu lintas umum. Dengan kata lain, selama jalan itu dilalui oleh umum, jalan tersebut termasuk jalan di mana polantas berwenang melakukan razia kendaraan bermotor.


Jadi, melakukan razia di jalan-jalan kampung atau komplek perumahan merupakan wewenang polisi yang justru di jalan itulah pelanggaran lalin selalu terjadi. Selama jalan itu memang dilalui lalu lintas umum, maka jalan itu tetap menjadi daerah hukum polisi untuk melakukan razia.


Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

2.  Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Mengacu pada PP 80/2012, razia kendaraan bermotor di tikungan jalan merupakan pelanggaran hukum karena razia itu harus dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas; yakni misalnya tidak dilakukan di tikungan jalan. Ini untuk menghindari pengendara yang terkejut dengan polisi yang tiba-tiba menghadang, yang mana hal tersebut dapat membahayakan pengguna jalan.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”).


Razia Kendaraan di Jalan oleh Polisi

Pada dasarnya, pada tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor, yang ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan jalan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.[1]


Razia Kendaraan di Tikungan Jalan

Untuk menjawabnya, mari kita simak bunyi Pasal 21 PP 80/2012:


Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.


Yang dimaksud dengan “tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas” misalnya tidak dilakukan di tikungan jalan.

    Apakah Polisi Bisa Menilang Walau Tanpa Razia?
    Bolehkah Polantas Razia Kendaraan di Jalan Komplek Perumahan?
    Bolehkah Meminta Polisi Menunjukkan Surat Tugas Razia?
    Siapa yang Menindak Bila Polantas Melanggar Lalu Lintas?
    Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan



    Tentang Tilang Elektronik
    Jerat Pidana Jika Menumpuk Sampah di Pinggir Jalan
    Hukuman Bagi Kepala Desa yang Menggunakan Ijazah Palsu
    Apakah Perkara Pemilu Masuk ke Dalam Ranah Hukum Pidana?
    Legalkah Profesi Detektif Swasta di Indonesia?


Jadi, dari bunyi pasal di atas dan penjelasannya jelas dan tegas diatur bahwa tikungan jalan merupakan tempat yang antara lain mengganggu keamanan dan keselamatan lalu lintas sehingga razia kendaraan bermotor yang dilakukan di tikungan jalan merupakan pelanggaran hukum.

Demikian pula kondisinya jika razia dilakukan di flyover. Padahal sebagaimana kita ketahui, flyover alias jalan layang dibangun pemerintah untuk mengatasi atau mengurangi kemacetan. Jika razia dilakukan di flyover, hampir dipastikan akan menggunakan badan jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran lalu lintas jalan.

Di samping itu, ada pendapat yang mengemukakan bahwa razia lalu lintas yang digelar di tikungan jalan kerap membahayakan pengguna jalan, terutama pemotor. Dalam artikel Razia di Tikungan Tajam, Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan yang kami akses dari laman detik.com, sebagaimana kami sarikan, dijelaskan bahwa razia kendaraan bermotor di tikungan jalan seringkali digelar hanya beberapa meter setelah tikungan tajam, seringkali pemotor nyaris terjatuh lantaran terkejut dengan petugas yang tiba-tiba menghadang, tanpa ada rambu-rambu peringatan. Akibatnya, pemotor kerap kelabakan dan nyaris jatuh dari motornya.

Melihat hal ini dan mengacu pada aturan, kami berpendapat polisi tetap wajib mengutamakan keselamatan pengendara saat menggelar razia kendaraan bermotor dengan tidak menggelar razia di tikungan jalan maupun di flyover.

Oleh karena itu, Anda sebagai pengendara kendaraan bermotor memiliki hak menolak untuk diperiksa apabila polisi lalu lintas (“polantas”) yang memberhentikan kendaraan Anda tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas. Menurut hemat kami, jika Anda diberhentikan di tikungan jalan atau fly over, Anda bisa melaporkan keberatan Anda kepada polantas yang bersangkutan atau penanggung jawab pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (3) PP 80/2012.


Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan yang kami akses dari laman detik.com
[Akses, 17/10/15]


Razia di Tikungan Tajam, Polisi Bahayakan Keselamatan Pengguna Jalan

Mojokerto - Razia lalu lintas yang digelar Sat Lantas Polres Kota Mojokerto kerap membahayakan pengguna jalan, terutama pemotor. Bagaimana tidak, razia tersebut kerap digelar hanya beberapa meter setelah tikungan tajam tanpa ada rambu-rambu peringatan. Akibatnya, pemotor kerap kelabakan dan nyaris jatuh dari motornya.

Seperti yang terlihat di tikungan tajam Jalan Raya Surodinawan tepatnya di selatan RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, Lingkungan Pekuncen, Kelurahan Surodinawan, Kecamatan Prajurit Kulon, Sabtu (20/6/2015). Polisi menghadang pengendara roda 2 yang menuju Kota Mojokerto tepat beberapa meter saja setelah tikungan tersebut.

Sekitar 5 orang petugas bersabuk putih menghadang para pengendara motor. Mereka berdiri di tengah jalan sembari membentangkan kedua tangannya. Sontak sejumlah pemotor yang laju kendaraannya cukup kencang terkejut dan kelabakan menghentikan laju motornya. Tak sedikit pula yang nyaris terjatuh.

"Polisi sengaja memilih razia di tikungan supaya dapat mangsa banyak. Seharusnya kan ada rambu-rambu peringatan sebelum lokasi razia. Apalagi ini di tikungan yang tak terlihat. Mereka tak menghiraukan keselamatan pengguna jalan," kata salah seorang pengguna jalan, Budi (27) kepada detikcom di lokasi.

Hal senada dikatakan pemilik warung di seberang tikungan Pekuncen. Pria yang enggan menyebutkan namanya ini mengaku sudah biasa melihat pemandangan seperti ini. Menurutnya, polisi menggelar razia di lokasi yang sama setidaknya 2 kali dalam seminggu.

Dia menambahkan, akibat lokasi razia yang berjarak beberapa meter dari tikungan tajam, kerap kali pemotor nyaris terjatuh lantaran terkejut dengan petugas yang tiba-tiba menghadang. Memang tak terlihat rambu peringatan adanya razia lalu lintas sebelum tikungan tersebut.

"Sering kali pengguna jalan hampir jatuh karena kaget, terutama yang laju motornya cukup kencang saat menikung. Paling tidak seharusnya ada rambu-rambu peringatan," ungkapnya.

Lokasi yang dipilih untuk razia lalu lintas ini memang strategis. Para pengendara roda 2 yang melanggar tak berkutik lantaran tak bisa balik arah atau masuk ke jalan tikus untuk menghindari petugas.

Dikonfirmasi terpisah, Kasat Lantas Polres Mojokerto Kota AKP Endang Srie Narullita mengaku terkejut. Dia justru tak tahu ada anggotanya yang menggelar razia lalu lintas di lokasi yang membahayakan pengguna jalan. Namun, dia menegaskan lokasi yang dipilih sangat berbahaya dan tak seharusnya dijadikan tempat razia lalu lintas.

"Pada prinsipnya, kita menentukan tempat (razia) ada beberapa pertimbangan. Yang pertama tidak mengganggu pengemudi lainnya, tidak membahayakan petugas dan tidak menyebabkan laka lantas itu sendiri. Jadi intinya sesuai SOP seharusnya tidak membahayakan pengemudi dan petugas," tandasnya.

Namun, Endang enggan berkomentar menyikapi razia lalu lintas oleh anggotanya yang dinilai menyalahi aturan dan membahayakan pengguna jalan ini.
(bdh/bdh)

Mediasi adalah upaya Penyelesaian Konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.

Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan kepada berbagai kasus konflik.


Jenis Mediasi

Jenis mediasi menurut filsuf skolastik :
 
1)   Medium quod

Yaitu sesuatu yang sendiri diketahui dan dalam mengetahui sesuatu itu, sesuatu yang lain yang diketahui. Contoh yang biasa diberikan untuk mediasi ini adalah premis-premis dalam silogisme. Pengetahuan tentang premis-premis membawa kita kepada pengetahuan tentang kesimpulan. Contoh lain : lampu merah lampu lalu lintas berwarna merah harus berhenti harus berhenti, jadi kendaraan harus berhenti.

2)   Medium quo

Yaitu sesuatu yang sendiri tidak disadari tetapi melaluinya sesuatu yang lain bisa diketahui. Contohnya : lensa kacamata yang kita pakai, kita melihat benda-benda di sekitar kita tapi kacamata itu sendiri tidak secara langsung kita sadari.

3)   Medium in quo

Sesuatu yang tidak disadari secara langsung dan yang di dalamnya diketahui sesuatu yang lain. Contohnya : kaca spion di mobil, supir mobil melihat kendaran di belakang dan hal-hal lain di sekitarnya dalam kaca spion sendiri tidak secara langsung ia sadari


Perilaku Mediator

Perilaku yang harus dilakukan oleh mediator :
  1. Problem solving atau integrasi, yaitu usaha menemukan jalan keluar “win-win solution”. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menerapkan pendekatan ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sangat mungkin dicapai. 
  2. Kompensasi atau usaha mengajak pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau mencapai kesepakatan dengan menjanjikan mereka imbalan atau keuntungan. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sulit dicapai.
  3. Tekanan, yaitu tindakan memaksa pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau sepakat dengan memberikan hukuman atau ancaman hukuman. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kesepakatan yang menang-menang sulit dicapai.
  4. Diam atau inaction, yaitu ketika mediator secara sengaja membiarkan pihak-pihak yang bertikai menangani konflik mereka sendiri. Mediator diduga akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kemungkinan mencapai kesepakatan “win-win solution”.

Hal-hal yang harus dihindari dalam mediasi :
  1. Ketidaksiapan mediator. 
  2. Kehilangan kendali oleh mediator.
  3. Kehilangan netralitas.
  4. Mengabaikan emosi


Tahapan mediasi
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Filemon Gulö

  • Popular
  • Comments
  • Archives
    1. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
    2. Keterkaitan Wawasan Nusantara Dan Otonomi Daerah Di Indonesia
    3. Keterkaitan Otonomi Daerah Dengan Wawasan Nusantara
    4. KUHP Pasal 351 - 358 Tentang Penganiayaan
    5. KUHP Pasal 267 - 276 Tentang Pemalsuan Surat
    6. Manfaat dan Khasiat Tanaman Ciplukan
    7. Ya'ahowu Adalah Salam Ono Niha Yang Bermakna
    8. Pancasila Cuma Jadi Alat Kekuasaan
    1. Jan 21
    2. Jan 12
    3. Jan 11
    4. Jan 10
    5. Jan 08
    6. Des 21
    7. Des 15
    8. Des 12
    9. Des 11
    10. Des 10
    11. Des 07
    12. Nov 24
    13. Nov 22
    14. Nov 20
    15. Nov 13
    16. Nov 12
    17. Nov 10
    18. Nov 05
    19. Okt 26
    20. Okt 25
    21. Okt 24
    22. Okt 13
    23. Okt 12
    24. Okt 06
    25. Sep 30
    26. Sep 29
    27. Sep 26
    28. Sep 23
    29. Sep 22
    30. Sep 21
    31. Sep 20
    32. Sep 19
    33. Sep 17
    34. Sep 16
    35. Sep 12
    36. Sep 10
    37. Sep 04
    38. Sep 01
    39. Agu 31
    40. Agu 28
    41. Agu 26
    42. Agu 25
    43. Agu 24
    44. Agu 19
    45. Agu 18
    46. Agu 17
    47. Agu 14
    48. Agu 12
    49. Agu 10
    50. Agu 07
    51. Agu 01
    52. Jul 28
    53. Jul 27
    54. Jul 22
    55. Jul 18
    56. Jul 17
    57. Jul 13
    58. Jul 10
    59. Jul 07
    60. Jul 06
    61. Jul 05
    62. Jul 03
    63. Jul 01
    64. Jun 29
    65. Jun 26
    66. Jun 25
    67. Jun 23
    68. Jun 05
    69. Mei 13
    70. Mei 10
    71. Mei 07
    72. Mei 06
    73. Apr 11
    74. Apr 10
    75. Apr 06
    76. Mar 27
    77. Mar 22
    78. Mar 20
    79. Mar 14
    80. Mar 13
    81. Mar 11
    82. Mar 10
    83. Mar 09
    84. Mar 08
    85. Mar 07
    86. Mar 05
    87. Mar 04
    88. Mar 03
    89. Mar 02
    90. Mar 01
    91. Feb 29
    92. Feb 28
    93. Feb 27
    94. Feb 26
    95. Feb 25
    96. Feb 24
    97. Feb 23
    98. Feb 22
    99. Feb 21
    100. Feb 18
    101. Feb 17
    102. Feb 16
    103. Feb 15
    104. Feb 14
    105. Feb 12
    106. Feb 11
    107. Feb 10
    108. Feb 08
    109. Feb 07
    110. Feb 06
    111. Feb 05
    112. Feb 04
    113. Feb 03
    114. Feb 02
    115. Feb 01
    116. Jan 31
    117. Jan 30
    118. Jan 29
    119. Jan 28
    120. Jan 27
    121. Jan 26
    122. Jan 25
    123. Jan 24
    124. Jan 22
    125. Jan 21
    126. Jan 19
    127. Jan 18
    128. Jan 17
    129. Jan 14
    130. Jan 12
    131. Jan 11
    132. Jan 10
    133. Jan 09
    134. Jan 08
    135. Jan 07
    136. Jan 06
    137. Jan 04
    138. Jan 03
    139. Des 22
    140. Des 21
    141. Des 20
    142. Des 19
    143. Des 17
    144. Des 16
    145. Des 14
    146. Des 13
    147. Des 11
    148. Des 10
    149. Des 09
    150. Des 08
    151. Des 07
    152. Des 06
    153. Des 05
    154. Des 04
    155. Des 03
    156. Des 01
    157. Nov 30
    158. Nov 29
    159. Nov 27
    160. Nov 26
    161. Nov 25
    162. Nov 23
    163. Nov 22
    164. Nov 21
    165. Nov 16
    166. Nov 15
    167. Nov 12
    168. Nov 09
    169. Nov 08
    170. Nov 06
    171. Nov 05
    172. Nov 03
    173. Nov 02
    174. Nov 01
    175. Okt 28
    176. Okt 27
    177. Okt 26
    178. Okt 25
    179. Okt 23
    180. Okt 19
    181. Okt 18
    182. Okt 14
    183. Okt 11
    184. Sep 24
    185. Sep 17
    186. Sep 15
    187. Sep 13
    188. Sep 12
    189. Sep 08
    190. Sep 05
    191. Agu 31
    192. Agu 30
    193. Agu 28
    194. Agu 27
    195. Agu 24
    196. Agu 21
    197. Agu 20
    198. Agu 19
    199. Agu 17
    200. Agu 16
    201. Agu 10
    202. Agu 09
    203. Jun 24
    204. Sep 28
    205. Jul 13
    206. Jun 26
    207. Jun 19
    208. Jun 01
    209. Mei 25
    210. Apr 21
  • Buzz
  • Twitter
  • Facebook
  • RSS
  • Email

Advertisement

Recent Posts

Blogroll

  • Documentation
  • Plugins
  • Suggest Ideas
  • Support Forum
  • Themes
  • WordPress Blog
  • WordPress Planet

Advertisement

  • Home
  • About
  • Archives
  • Full Width
  • Links
  • Theme Options
Copyright 2017 Filemon. All rights reserved.