Siarlingkungan.com // Jakarta - Badan Reserse Kriminal Polri menghentikan sementara penyelidikan terhadap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar terkait dengan upaya mengumpulkan fakta melalui tim independen.
"Prioritas utama menempuh langkah-langkah konfirmasi tentang testimoni Fredi. Belum mengarah ke projusticia," kata
Haris dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan organisasi masyarakat Pemuda Panca Marga setelah mempublikasikan artikel hasil percakapannya bersama bandar sekaligus terpidana mati kasus narkotik Fredi Budiman. Cerita itu diberi judul Cerita Busuk dari Seorang Bandit.
Dalam artikel itu, Haris menyampaikan bahwa Fredi diduga memberikan upeti sebesar Rp450 miliar kepada oknum anggota BNN dan Rp90 miliar kepada oknum anggota Polri untuk memuluskan bisnis narkotiknya.
Bahkan, Haris menyebutkan, Fredi juga bisa menikmati fasilitas kendaraan seorang jenderal TNI bintang dua untuk membawa narkotik dari Medan menuju Jakarta, tanpa gangguan apapun.
Belum melakukan penyelidikan terhadap keempat laporan itu, Polri justru membentuk tim independen. Menurut Boy, tim itu akan menelusuri kebenaran informasi dalam cerita Haris.
Tim itu akan dipimpin Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno, dan beranggotakan personel Bareskrim Polri, Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Ketua Setara Institute Hendardi, anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, serta pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali.
Terkait dengan langkah penghentian sementara proses penyelidikan itu, bekas Kepala Polda Banten itu menyampaikan bahwa Polri ingin mendapatkan kepastian hukum. "Semua laporan (penyelidikannya dihentikan)," ujar dia.
Dia menuturkan pihaknya akan menindaklanjuti cerita Haris secara objektif. Boy mengatakan dirinya mengkhawatirkan apa yang disampaikan oleh Haris bisa memperlemah penanganan masalah narkotik di Indonesia.
Sebelumnya, Polri, BNN, dan TNI melaporkan Haris ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Haris dituduh telah mencemarkan nama baik institusi penegak hukum dengan menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta. Polri juga sempat menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh sembarangan mengeluarkan informasi yang belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar saat memberikan konferensi pers bersama Haris di salah satu rumah makan, Jakarta Selatan pada Rabu (10/8/16).
_____
Editor : Philipus
Sumber : Cnn Indinesia
Haris dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan organisasi masyarakat Pemuda Panca Marga setelah mempublikasikan artikel hasil percakapannya bersama bandar sekaligus terpidana mati kasus narkotik Fredi Budiman. Cerita itu diberi judul Cerita Busuk dari Seorang Bandit.
Dalam artikel itu, Haris menyampaikan bahwa Fredi diduga memberikan upeti sebesar Rp450 miliar kepada oknum anggota BNN dan Rp90 miliar kepada oknum anggota Polri untuk memuluskan bisnis narkotiknya.
Bahkan, Haris menyebutkan, Fredi juga bisa menikmati fasilitas kendaraan seorang jenderal TNI bintang dua untuk membawa narkotik dari Medan menuju Jakarta, tanpa gangguan apapun.
Belum melakukan penyelidikan terhadap keempat laporan itu, Polri justru membentuk tim independen. Menurut Boy, tim itu akan menelusuri kebenaran informasi dalam cerita Haris.
Tim itu akan dipimpin Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno, dan beranggotakan personel Bareskrim Polri, Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Ketua Setara Institute Hendardi, anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, serta pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali.
Terkait dengan langkah penghentian sementara proses penyelidikan itu, bekas Kepala Polda Banten itu menyampaikan bahwa Polri ingin mendapatkan kepastian hukum. "Semua laporan (penyelidikannya dihentikan)," ujar dia.
Dia menuturkan pihaknya akan menindaklanjuti cerita Haris secara objektif. Boy mengatakan dirinya mengkhawatirkan apa yang disampaikan oleh Haris bisa memperlemah penanganan masalah narkotik di Indonesia.
Sebelumnya, Polri, BNN, dan TNI melaporkan Haris ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Haris dituduh telah mencemarkan nama baik institusi penegak hukum dengan menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta. Polri juga sempat menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh sembarangan mengeluarkan informasi yang belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar saat memberikan konferensi pers bersama Haris di salah satu rumah makan, Jakarta Selatan pada Rabu (10/8/16).
_____
Editor : Philipus
Sumber : Cnn Indinesia
Siarlingkungan.com // Jakarta - Kasus suap Raperda Reklamasi dengan terdakwa Mantan Bos PT Agung Podomoro Land dan PT Muara Wisesa Samudera, Ariesman Widjaja dituntut 4 tahun penjara. Dalam kasus tersebut Jaksa pada KPK menilai terdakwa kasus Raperda Reklamasi ini terbukti melakukan korupsi, ujar Jaksa Penuntut Umum KPK, Irene Putri, saat membacakan tuntutannya dalam persidangan di PN Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakpus, Rabu (10/8/2016).
Ariesman Widjaja |
"Terdakwa Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro terbukti secara sah dan meyakinkan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menuntut Ariesman Widjaja dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 250 juta subsidair 6 bulan kurungan dan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan,"
Selain Ariesman, jaksa juga menuntut anak buah Ariesman, Trinanda Prihantoro, 3,5 tahun penjara. Mereka terbukti memberikan suap untuk memuluskan keinginan mereka menghilangkan pasal tentang kontribusi tambahan 15 persen di pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi (RWZP3K) DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Sementara Trinanda Prihantoro dituntut 3,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsidair 6 bulan penjara. JPU juga meminta agar Trinanda untuk tetap ditahan.
Dalam pertimbangannya, JPU menganggap Ariesman dan Trinanda tidak mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan negara yang bebas KKN.
"Sementara untuk Ariesman, terdakwa merupakan aktor intelektual dalam penyuapan tersebut," kata Jaksa. Untuk Trinanda, ada satu hal yang meringankan, yakni peranannya yang lebih kecil dibandingkan peran Ariesman dalam kasus ini.
Atas tuntutan tersebut, majelis hakim yang diketuai Hakim Sumpeno memberikan waktu bagi Ariesman dan Trinanda untuk berdiskusi dengan kuasa hukum masing-masing. Sidang akan dilanjutkan pada 22 Agustus 2016 dengan agenda pembelaan.
Ariesman didakwa memberikan suap Rp 2 miliar kepada M Sanusi untuk memuluskan keinginannya menghilangkan pasal mengenai kontribusi tambahan di Raperda Reklamasi tersebut. Sebanyak 26 orang saksi telah diperiksa dalam rangkaian persidangan ini,seperti Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi hingga Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.
Di persidangan pekan sebelumnya sebagaimana yang diberitakan detikcom, Ariesman mengatakan uang Rp 2 miliar untuk Mohamad Sanusi itu diberikan sebagai bantuan untuk Sanusi yang berniat untuk mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Gubernur 2017 nanti. Ariesman menolak disebut bantuan itu berkaitan dengan hilangnya satu pasal yang mengatur tentang tambahan kontribusi 15 persen.
Atas perbuatannya, Ariesman dan Trinanda dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
_____
Editor : Philipus
Selain Ariesman, jaksa juga menuntut anak buah Ariesman, Trinanda Prihantoro, 3,5 tahun penjara. Mereka terbukti memberikan suap untuk memuluskan keinginan mereka menghilangkan pasal tentang kontribusi tambahan 15 persen di pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi (RWZP3K) DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Sementara Trinanda Prihantoro dituntut 3,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsidair 6 bulan penjara. JPU juga meminta agar Trinanda untuk tetap ditahan.
Dalam pertimbangannya, JPU menganggap Ariesman dan Trinanda tidak mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan negara yang bebas KKN.
"Sementara untuk Ariesman, terdakwa merupakan aktor intelektual dalam penyuapan tersebut," kata Jaksa. Untuk Trinanda, ada satu hal yang meringankan, yakni peranannya yang lebih kecil dibandingkan peran Ariesman dalam kasus ini.
Atas tuntutan tersebut, majelis hakim yang diketuai Hakim Sumpeno memberikan waktu bagi Ariesman dan Trinanda untuk berdiskusi dengan kuasa hukum masing-masing. Sidang akan dilanjutkan pada 22 Agustus 2016 dengan agenda pembelaan.
Ariesman didakwa memberikan suap Rp 2 miliar kepada M Sanusi untuk memuluskan keinginannya menghilangkan pasal mengenai kontribusi tambahan di Raperda Reklamasi tersebut. Sebanyak 26 orang saksi telah diperiksa dalam rangkaian persidangan ini,seperti Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi hingga Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.
Di persidangan pekan sebelumnya sebagaimana yang diberitakan detikcom, Ariesman mengatakan uang Rp 2 miliar untuk Mohamad Sanusi itu diberikan sebagai bantuan untuk Sanusi yang berniat untuk mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Gubernur 2017 nanti. Ariesman menolak disebut bantuan itu berkaitan dengan hilangnya satu pasal yang mengatur tentang tambahan kontribusi 15 persen.
Atas perbuatannya, Ariesman dan Trinanda dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana Diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
_____
Editor : Philipus