Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Bagian Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa pembagian bahan-bahan galian (bahan tambang) terdiri dari :
- Golongan bahan galian yang strategis atau golongan A berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian Negara. Seperti; minyak bumi, aspal dan lain-lain.
- Golongan bahan galian vital atau golongan B berarti menjamin hajat hidup orang banyak seperti; emas, besi, pasir besi, dan lain-lain.
- Golongan bahan yang tidak termasuk dalam golongan A dan B yakni; galian C yang sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, seperti nitrat, asbes, batu apung, batu kali, pasir, tras, dampal dan lain-lain.
Bahan tambang umumnya berada didekat permukaan atau jauh di bawah permukaan bumi. Keduanya tertimbun oleh batuan dan tanah di atasnya. Proses pengambilan bahan tambang pada umumnya dikenal dengan cara penambangan terbuka (surface mining) dan penambangan bawah tanah (underground mining). Masing-masing jenis penambangan memiliki metode yang berbeda dalam mengambil bahan tambang dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkannya pun tentunya berbeda. Pada umumnya proses pembukaan lahan tambang dimulai dengan pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi kemudian dilanjutkan dengan penggalian dan pengupasan tanah bagian atas (top soil) atau dikenal sebagai tanah pucuk. Setelah itu dilanjutkan kemudian dengan pengupasan batuan penutup (overburden), tergantung pada kedalaman bahan tambang berada. Proses tersebut secara nyata akan merubah bentuk topografi dari suatu lahan, baik dari lahan yg berbukit menjadi datar maupun membentuk lubang besar dan dalam pada permukaan lahan khususnya terjadi pada jenis surface mining.
Setelah didapatkan bahan tambang maka dilakukanlah proses pengolahan. Proses pengolahan dilakukan untuk memisahkan bahan tambang utama dengan berbagai metode hingga didapatkan hasil yang berkualitas. Pada proses pemisahan ini kemudian menghasilkan limbah yang disebut tailing. Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tambang dan kehadirannya dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari. Sebagai limbah sisa pengolahan batuan-batuan yang mengandung mineral, tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga. Kandungan mineral pada tailing tersebut disebabkan karena pengolahan bijih untuk memperoleh mineral yang dapat dimanfaatkan pada industri pertambangan tidak akan mencapai perolehan (recovery) 100%.
Proses akhir dari aktivitas pertambangan adalah kegiatan pascatambang yang terdiri dari reklamasi dan penutupan tambang (mining closure). Setiap perusahaan tambang wajib melakukan hal tersebut sebagaimana telah diatur oleh pemerintah (Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 tahun 2008).
Kerusakan Lahan Akibat Aktivitas Pertambangan
Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002). Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula.
Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak yang ditimbulkan akan berbeda pada setiap jenis pertambangan, tergantung pada metode dan teknologi yang digunakan (Direktorat Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, 2003). Kebanyakan kerusakan lahan yang terjadi disebabkan oleh perusahaan tambang yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dan adanya penambangan tanpa izin (PETI) yang melakukan proses penambangan secara liar dan tidak ramah lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2002). Semakin besar skala kegiatan pertambangan, makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula.
Secara umum kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan antara lain :
1. Perubahan vegetasi penutup
Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Apalagi kegiatan pertambangan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung. Hilangnya vegetasi akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.
2. Perubahan topografi
Pengupasan tanah pucuk mengakibatkan perubahan topografi pada daerah tambang. Areal yang berubah umumnya lebih luas dari dari lubang tambang karena digunakan untuk menumpuk hasil galian (tanah pucuk dan overburden) dan pembangunan infrastruktur. Hal ini sering menjadi masalah pada perusahaan tambang kecil karena keterbatasan lahan. Seperti halnya dampak hilangnya vegetasi, perubahan topografi yang tidak teratur atau membentuk lereng yang curam akan memperbesar laju aliran permukaan dan meningkatkan erosi. Kondisi bentang alam/topografi yang membutuhkan waktu lama untuk terbentuk, dalam sekejap dapat berubah akibat aktivitas pertambangan dan akan sulit dikembalikan dalam keadaan yang semula.
3. Perubahan pola hidrologi
Kondisi hidrologi daerah sekitar tambang terbuka mengalami perubahan akibatnya hilangnya vegetasi yang merupakan salah satu kunci dalam siklus hidrologi. Ditambah lagi pada sistem penambangan terbuka saat beroperasi, air dipompa lewat sumur-sumur bor untuk mengeringkan areal yang dieksploitasi untuk memudahkan pengambilan bahan tambang. Setelah tambang tidak beroperasi, aktivitas sumur pompa dihentikan maka tinggi muka air tanah (ground water table) berubah yang mengindikasikan pengurangan cadangan air tanah untuk keperluan lain dan berpotensi tercemarnya badan air akibat tersingkapnya batuan yang mengandung sulfida sehingga kualitasnya menurun.
4. Kerusakan tubuh tanah
Kerusakan tubuh tanah dapat terjadi pada saat pengupasan dan penimbunan kembali tanah pucuk untuk proses reklamasi. Kerusakan terjadi diakibatkan tercampurnya tubuh tanah (top soil dan sub soil) secara tidak teratur sehingga akan mengganggu kesuburan fisik, kimia, dan biolagi tanah. Hal ini tentunya membuat tanah sebagai media tumbuh tak dapat berfungsi dengan baik bagi tanaman nantinya dan tanpa adanya vegetasi penutup akan membuatnya rentan terhadap erosi baik oleh hujan maupun angin. Terkikisnya lapisan topsoil dan serasah sebagai sumber karbon untuk menyokong kelangsungan hidup mikroba tanah potensial, merupakan salah satu penyebab utama menurunnya populasi dan aktifitas mikroba tanah yang berfungsi penting dalam penyediaan unsur-unsur hara dan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan tanaman. Selain itu dengan mobilitas operasi alat berat di atas tanah mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar.
Proses pengupasan tanah dan batuan yang menutupi bahan tambang juga akan berdampak pada kerusakan tubuh tanah dan lingkungan sekitarnya. Menurut Suprapto (2008) membongkar dan memindahkan batuan mengandung sulfida (overburden) menyebabkan terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas. Pada kondisi terekspos pada udara bebas mineral sulfida akan teroksidasi dan terlarutkan dalam air membentuk Air Asam Tambang. Air Asam Tambang berpotensi melarutkan logam yang terlewati sehingga membentuk aliran mengandung bahan beracun berbahaya yang akan menurunkan kualitas lingkungan.
Sementara itu proses pengolahan bijih mineral dari hasil tambang yang menghasilkan limbah tailing juga berpotensi mengandung bahan pembentuk asam, sehingga akan merusak lingkungan karena keberadaannya yang bisa jauh ke luar arel tambang.
Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 telah dirumuskan dan disahkan sejak tahun 2009 namun baru diberlakukan di Indonesia pada 12 Januari 2014. Undang-undang ini beresensi agar semua bahan baku mineral seperti emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batubara mengalami proses nilai tambah sebelum diekspor. Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar. Diharapkan pembangunan smelter ini akan meningkatkan investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang ada saat ini masih terbatas. Peraturan ini ditetapkan melalui pertimbangan agar tercipta nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara memiliki peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata pada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Namun, pemberlakuan undang-undang ini menuai pro-kontra dari beberapa pihak khususnya pihak pekerja tambang dan pemilik usaha terkait dengan risiko yang dapat dihadapi setelah undang-undang ini diimplementasikan. Risiko yang pasti akan dihadapi perusahaan adalah risiko regulasi dikarenakan perubahan regulasi yang ada akan berdampak pada perubahan aktivitas perusahaan. Pelarangan ekspor bahan mentah membuat perusahaan harus menambah proses produksi dan pengadaan smelter untuk menunjang proses produksi selanjutnya. Selain itu, dengan adanya pelarangan dan kewajiban tersebut, perusahaan juga akan menghadapi risiko stratejik yang muncul akibat keputusan bisnis yang merugikan atau pelaksanaan yang tidak tepat dan berujung pada pendapatan atau modal. Dalam hal ini, tingkat pendapatan menurun akibat pelarangan ekspor dan keharusan untuk penyediaan fasilitas smelter. Di kutip dari CRMSIndonesia "apabila perusahaan tidak memenuhi pengadaan smelter hingga batas waktu yang diberikan pemerintah, yakni tahun 2014, pemerintah akan melakukan penutupan perusahaan. Risiko lain yang dapat dihadapi oleh perusahaan yaitu risiko kehilangan pangsa pasar yang selama ini telah menampung supply barang mentah yang dikirim perusahaan-perusahaan Indonesia". Dengan penetapan peraturan ini, perusahaan perlu mencari pangsa pasar baru untuk produk mereka.
Para pekerja tambang juga menghadapi risiko dari pemberlakuan Undang-Undang Minerba ini, yakni risiko kehilangan pekerjaan akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pihak perusahaan dan kehilangan sumber pendapatannya. [Seperti bulan Januari 2014, perusahaan pertambangan telah memutus hubungan kerja buruhnya dan sekitar 2.700 buruh tambang telah terkena dampak ini]. Secara keseluruhan, Indonesia pun dapat menghadapi risiko keuangan akibat pelarangan ekspor bahan mentah ini. Penurunan angka ekspor diperkirakan akan terjadi selama satu tahun sampai dengan 1,5 tahun pasca-penetapan Undang-Undang Minerba, namun hal ini tetap perlu dilakukan untuk menekan defisit neraca perdagangan Indonesia kedepannya.
Penetapan Undang-Undang Minerba ini memang diharapkan dapat memberi kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasional dan untuk mengurangi eksploitasi berlebih pada lingkungan (akibat harga produk yang terlalu rendah). Namun di sisi lain, penetapan peraturan ini membawa risiko-risiko yang diatas. Untuk memitigasi terjadinya risiko tersebut, perusahaan dapat mencari investor untuk pembangunan smelter sehingga perusahaan dapat memenuhi peraturan pemerintah tanpa terbelit masalah biaya. Perusahaan juga dapat mengambil tindakan untuk merumahkan sementara para buruh tambang selama pendapatan perusahaan menurun, sehingga para buruh tambang tidak perlu kehilangan sumber pendapatan secara permanen.
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara memiliki peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata pada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Namun, pemberlakuan undang-undang ini menuai pro-kontra dari beberapa pihak khususnya pihak pekerja tambang dan pemilik usaha terkait dengan risiko yang dapat dihadapi setelah undang-undang ini diimplementasikan. Risiko yang pasti akan dihadapi perusahaan adalah risiko regulasi dikarenakan perubahan regulasi yang ada akan berdampak pada perubahan aktivitas perusahaan. Pelarangan ekspor bahan mentah membuat perusahaan harus menambah proses produksi dan pengadaan smelter untuk menunjang proses produksi selanjutnya. Selain itu, dengan adanya pelarangan dan kewajiban tersebut, perusahaan juga akan menghadapi risiko stratejik yang muncul akibat keputusan bisnis yang merugikan atau pelaksanaan yang tidak tepat dan berujung pada pendapatan atau modal. Dalam hal ini, tingkat pendapatan menurun akibat pelarangan ekspor dan keharusan untuk penyediaan fasilitas smelter. Di kutip dari CRMSIndonesia "apabila perusahaan tidak memenuhi pengadaan smelter hingga batas waktu yang diberikan pemerintah, yakni tahun 2014, pemerintah akan melakukan penutupan perusahaan. Risiko lain yang dapat dihadapi oleh perusahaan yaitu risiko kehilangan pangsa pasar yang selama ini telah menampung supply barang mentah yang dikirim perusahaan-perusahaan Indonesia". Dengan penetapan peraturan ini, perusahaan perlu mencari pangsa pasar baru untuk produk mereka.
Para pekerja tambang juga menghadapi risiko dari pemberlakuan Undang-Undang Minerba ini, yakni risiko kehilangan pekerjaan akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pihak perusahaan dan kehilangan sumber pendapatannya. [Seperti bulan Januari 2014, perusahaan pertambangan telah memutus hubungan kerja buruhnya dan sekitar 2.700 buruh tambang telah terkena dampak ini]. Secara keseluruhan, Indonesia pun dapat menghadapi risiko keuangan akibat pelarangan ekspor bahan mentah ini. Penurunan angka ekspor diperkirakan akan terjadi selama satu tahun sampai dengan 1,5 tahun pasca-penetapan Undang-Undang Minerba, namun hal ini tetap perlu dilakukan untuk menekan defisit neraca perdagangan Indonesia kedepannya.
Penetapan Undang-Undang Minerba ini memang diharapkan dapat memberi kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasional dan untuk mengurangi eksploitasi berlebih pada lingkungan (akibat harga produk yang terlalu rendah). Namun di sisi lain, penetapan peraturan ini membawa risiko-risiko yang diatas. Untuk memitigasi terjadinya risiko tersebut, perusahaan dapat mencari investor untuk pembangunan smelter sehingga perusahaan dapat memenuhi peraturan pemerintah tanpa terbelit masalah biaya. Perusahaan juga dapat mengambil tindakan untuk merumahkan sementara para buruh tambang selama pendapatan perusahaan menurun, sehingga para buruh tambang tidak perlu kehilangan sumber pendapatan secara permanen.
Dasar Hukum :
- Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [[ Download ]]
- Undang-Undang No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
- Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2016.
- Keputusan Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara Nomor 953.K/32/DJB/2015 Tahun 2015.