Siarlingkungan.com // Jakarta - Polisi kembali membongkar praktik prostitusi online. Kali ini, modusnya dilakukan dengan menawarkan perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai pramugari, model, dan sales promotion girl (SPG).
Ilustrasi prostitusi online |
Direskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Fadil Imran mengatakan, pengungkapan kasus ini berawal dari patroli cyber terhadap suatu situs agen penyalur model.
"Ini berawal dari kecurigaan petugas cyber crime yang menemukan sebuah situs penyewaan model dan SPG untuk acara-acara. Setelah ditelusuri, ternyata jasa penyewaan itu hanyalah kedok prostitusi," kata Fadil dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/8/2016).
Kasubdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu mengatakan, admin situs itu mengaku sebagai penyalur jasa model, pramugari, dan SPG.
Situs tersebut menampilkan foto-foto dan data diri wanita muda. Polisi kemudian melakukan penyamaran untuk memancing para terduga pelaku.
Polisi yang menyamar dengan menghubungi founder dan CEO situs berinisial AN lewat WhatsApp.
AN kemudian mengirimkan daftar sejumlah wanita, lengkap dengan foto, data umur, dan tarif wanita tersebut.
"Dalam berkomunikasi, AN hanya mau berhubungan dengan pelanggan lewat WhatsApp dan BBM (Blackberry Messenger)," ujar Roberto.
Kepada anggota yang menyamar, AN sempat menawarkan seorang pramugari berinisial V dengan harga Rp 7 juta untuk sekali kencan.
Setelah tawar menawar, anggota ditawari seorang mantan model berinisial T dengan tarif Rp 5 juta per sekali kencan.
Polisi lantas menangkap AN di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. AN dan T dibekuk setelah bertransaksi. (Kompas)
____
Editor : Eni
Siarlingkungan.com // Gunungsitoli, Sumut - Presiden Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana Jokowi tiba di Bandar Udara Binaka, Kota Gunungsitoli, Sumut, sekitar pukul 11.46 WIB, setelah terbang sekitar satu jam dengan CN-295 dari Bandara Kualanamu Medan, Jumat (19/8/2016).
Presiden RI Joko Widodo Mengawali Kunjungan Kerjanya di Sumatera Utara Dengan Mengunjungi Pulau Nias, Jumat (19/8/2016)/ Siarlingkungan.com |
Presiden Joko Widodo mengawali kunjungan kerjanya di Sumatera Utara dengan mengunjungi Pulau Nias. Presiden dan rombongan harus menggunakan pesawat TNI AU jenis CN-295 untuk sampai di Nias.
Melalui kunjungan ini, Presiden Jokowi disambut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang sudah lebih dulu tiba di Nias, kampung halamannya. Hadir juga seluruh kepala daerah di Pulau Nias menyambut Jokowi.
Dalam sambutannya, saat berdialog dengan pemerintah daerah, masyarakat, dan tokoh adat setempat di Pendopo Kabupaten Nias, Presiden Jokowi meminta kepada pemerintah daerah setempat agar fokus terhadap pengembangan potensi pariwisata.
Presiden meyakini, bila Kabupaten Nias fokus pada dua potensi tersebut, pertumbuhan ekonomi daerah tersebut akan meningkat dengan tajam. Presiden juga meminta pembangunan industri cold storage di daerah tersebut dapat segera dimulai.
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa jika proyek pariwisata daerah di Nias sudah berkembang, Presiden berjanji akan menambah 25 megawatt lagi untuk menambah 27 megawatt yang ada saat ini.
Kemudian, Penambahan yang kedua ini ditargetkan pada akhir 2017, sehingga total jumlah pasokan listrik yang akan dibangun pemerintah di Kabupaten Nias adalah sebesar 50 megawatt.
Sementara, terkait persoalan runway bandara yang tidak mendukung kehadiran pesawat-pesawat besar, Presiden Jokowi juga berjanji akan membenahinya dengan menambahkan panjang runway Bandara Binaka tersebut.
_____
Penulis : Fakhili
Editor : Eni
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan seringkali terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam.
KHI |
Keinginan itulah kemudian memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang suatu saat bisa dijadikan pegangan para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUHP.
Pembentukan KHI atas SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama, KHI yang dipimpin Bustanil Arifin ini bertugas melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum. Prioritas utama mengkaji kitab-kitab yang diperguanakan sebagai putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
Memang KHI masih banyak yang pro-kontra tentang kemampuan yuridisnya. Misalnya, Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H. menyatakan bahwa KHI tetap berada diluar tatanan hukum positif Indonesia dan itu merupakan pendapat sekelompok ulama dan pakar hukum Islam, atau bisa dikatakan sebagai ijma kalangan tersebut. Anggota Komisi Hukum Nasional Fajrul Falakh yang masih digunakan sebagai books of authority dalam Peradilan Agama. Karena itu KHI di hadapan lembaga Yudikatif, khususnya Peradilan tidak dapat dijadikan rujukan. Meski demikian banyak kalangan menyambut tidak munculnya KHI tersebut.
Landasan hukum pembentukan KHI adalah Pasal 27 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi : Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan landasan fungsional, yaitu KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan umat Islam Indonesia. Bukan mazhab baru tetapi mengarah kepada penyatuan berbagai pendapat mazhab dalam hukum Islam untuk menyatukan persepsi para hakim tentang hukum Islam. Untuk menuju kepastian hukum bagi umat Islam.
Yang diatur dalam KHI terdiri dari tiga hukum, yaitu Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan. Sistematikanya sebagai berikut:
- Buku I Hukum Perkawinan: 170 pasal (Pasal 1 – 170)
- Buku II Hukum Kewarisan: 44 pasal (Pasal 171 – 214)
- Buku III Hukum Perwakafan: 1 pasal (Pasal 215 – 229)
1. Hukum Perkawinan
Menurut Undang – undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 yang dimaksud perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa berlaku untuk semua agama.
Perkawinan menurut KHI pasal 2 Bab II : perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu aqad yang sangat kuat atau mitaqon gholidhan untk menta’ati perintah Allah dan melaksanakanya adalah ibadah.
Peristiwa perkawinan-pernikahan merupakan suatu perikatan hukum antara suami-isteri sehingga mengakibatkan berlakunya hukum tentang pergaulan suami-isteri dalam islam dengan segala akibat-akibat hukumnya. Karenanya disebut mistaqon gholidan/ikatan yang sangat kuat.
Tujuan perkawinan menurut KHI pasal 3: perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah .
Rukundan Syarat Perkawinan :
- Adanya calon suami
- Adanya calon istri
- Harus adanya wali nikah calon istri
- Harus ada dua orang saksi laki – laki
- Harus ada mahar.
- Adanya Ijab Qobul
Adapun syarat – syarat mahar yaitu :
- Sesuatu benda yang diserahkan olrh calon suami
- Halal artinya baik bendanya maupun cara perolehan benda yang akan dijadikan mahar adalah halal.
Dengan uraian tersebut jelas kiranya suatu perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan hukum Syara’ dalam hal ini hukum islam.
Menurut Undang – undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan syarat sahnya perkawinan adalah sebagai berikut :
- Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
- Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa calon mempelai laki – laki harus sudah berumur 19 tahun dan untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun.
- Pasal 6 Ayat 2 disebutkan apabila calon suami atau calon istri belum berumur seperti disebutkan pada pasal 7 Ayat 1 maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum dewasa secara hukum.
Peminangan
Peminangan menurut KHI pasal 1 huruf a : peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang wanita. Lafaz perjodohan bermakna perkawinan.
Teknis peminangan menurut KHI pasal 11 : peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan perantara yang dapat dipercaya.
Syarat meminang yang dirincikan pada pasal 12 adalah:
- Pinangan dilakukan oleh seorang laki-laki atau pihak dari laki-laki kepada seoran wanita atau dari pihak wanitanya sebagaimana di syaratkan pada pasal 12 (1)
- Wanita yang dipinang adalah wanita yang perawan, wanita yang tidak terikat perkawinan dengan orang lain, wanita yang tidak masih dalam iddah raji’ah, janda yang habis masa iddahnya
Larangan meminang yang dirincikan pasal 12 adalah:
- Wanita yang masih dalam iddah rajiyah baik dengan terang-terangan ataupun sindiran
- Wanita yang masih dalam iddah karena wafatnya suami (masa tunggu 130 hari). di bolehkan meminangnya kecuali dengan sindiran.
- Wanita yang sedang dipinang oleh pria lain selama pinangannya tersebut putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita
- Wanita yang sedang atau telah dipinang oleh orang lain sedangkan pinangan tersebut belum dputuskan baik dari pihak wanitanya atau laki-lakinya
- Wanita yang tergolong muharrimat/senasab
Rukun perkawinan menurut pasal 14 KHI adalah: untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
- calon suami (mencapai 21 thn)/ minimal 19 thn (hrs mendapatkan izin dari Orto). ( Pasal 15 KHI)
- calon isteri (mencapai 21 thn)/ minimal 16 thn (hrs mendapatkan izin dari Orto). ( Pasal 15 KHI)
- wali nikah ( pasal 19 KHI)
- dua orang saksi ( pasal 24-26 KHI )
- ijab dan Kabul ( pasal 27-29 KHI )
“Tanpa wali nikah maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan( pasal 19 KHI)”
Pembagian wali nikah pada pasal 20 KHI yaitu : wali nasab dan wali hakim
1. wali nasab ( pasal 21 ) terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan.
Pembagian wali nikah pada pasal 20 KHI yaitu : wali nasab dan wali hakim
1. wali nasab ( pasal 21 ) terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan.
- Kerabat laki-laki seayah
- Keturunan laki-laki mereka (laki-laki seayah)
- Kerabat paman ( saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki dari mereka)
- Saudara laki-laki kandung kakek,saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka
2. wali hakim ( pasal 23 ) :
wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan.
Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah stelah ada keputusan dari Pengadilan Agama
Urutan wali nikah yang di utamakan adalah :
- Wali nasab paling dekat ( nasab aqrab) yaitu ayah/kakek mempelai wanita
- wali nasab yang jauh ( nasab ab’ad)
- Wali hakim
Cita – cita reformasi untuk mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan – angan. Bila dicermati suramnya wajah hokum merupakan akibat dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang dalam keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka penegakannya diskriminatif.
Praktik – praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, bahkan kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari – hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang 'kumuh' sepeti itu menjadikan hukum dinegeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa ''hukum adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan di benak kita apa yang terjadi di sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan aparat penegak hukum?. Diberbagai kasus ditingkat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang tidak mempunyai uang tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
PERMASALAHAN SISTEM HUKUM INDONESIA |
Kalau dilihat dari struktur negara kita, Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan hukum telah menjamur di negeri ini. Mungkin ironis sekali jika hal ini menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi mereka yang miskin, hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus – kasus besar pelanggaran hukum di tanah air akhir – akhir ini sungguh merisaukan dan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras. Kasus century, rusaknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap – menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan hukum di Indonesia.
Dari sekian banyak kasus itu, mencuat kasus – kasus korupsi yang sering melatar belakanginya. Padahal kita semua tahu, hukum adalah salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri, egois, dan individualis. Jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka akan melahirkan penindasan dan perbudakan modern ditengah masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang – undang. Tapi sayangnya, undang – undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor – koruptor dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu asyiknya melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh orang – orang miskin ini.
Tercatat, negara ini menempati peringkat kedua dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam ditingkat dunia. Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial dilembaga hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo hari. Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum tentu tidak akan berani menyentuh, sebaliknya bagi mereka yang miskin dan banyak dibelit persoalan ekonomi, hukum seperti tidak mau lagi berkompromi sedikit pun.
Drs. IGM. Nurdjana, SH, MH menjelaskan,
pertama, lemahnya integritas penegakan hokum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang – undangan pidana potensi korupsi.
Kedua, secara struktur hukum atau kelembagaan terdapat overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri, Jaksa dan KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc. Terakhir, terjadinya kesenjangan dan keterbatasan anggaran sarana dan prasarana sehingga secara cultural hukum menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para koruptor berteriak kegirangan. Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim terhadap koruptor tersebut banyak yang hasil akhirnya bebas.
Selama ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati. Karena itu wajar bila korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang. Itulah gambaran penegakan hukum dinegeri ini.
Padahal telah jelas, unsur – unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung dan dilakukan oleh pejabat public atau penyelenggara negara maupun masyarakat. Hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah menguatnya perhatian dan penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang dinilai kurang adil. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan hukum dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Dan solusi seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum?.
Semoga Bermanfaat.
Hukum adat (adat-recht) pertama kali digunakan oleh Christian Snouck Hurgronye pada tahun 1893 sebagai sebutan bagi hukum rakyat indonesia yang tidak terkodifikasi. Hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak lama yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu baik nilai asli maupun sinkretis nilai-nilai asli dengan nilai-nilai yang datang dari luar dan hanya berlaku bagi masyarakat itu saja. Secara umum hukum adat tidaklah tertulis, ia hidup dalam kebiasaan masyarakat, berkembang dalam tutur kata rakyat indonesia disampaikan dengan bahasa oral sesuai dengan logat, intuisi dan bahasa daerah hukum adat itu hidup.
Alam pikiran yang mempengaruhi hukum adat adalah terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat itu sendiri, baik keseimbangan sesama manusia individu, antar kelompok, individu dengan kelompok, antar kelompok, keseimbangan manusia dengan alam maupun keseimbangan dunia lahir dan dunia bathin. Oleh karena keseimbangan ini terusik maka akan berbuah bencana bagi manusia, maka hukum adat harus ditegakkan dan siapapun yang dinyatakan bersalah harus menerima sanksi adat agar keseimbangan tersebut kembali seperti semula.
Pemberlakuan hukum adat di Indonesia sangatlah beragam, setiap daerah mempunyai hukum adat tersendiri dan berbeda satu sama lainnya. Mulai dari yang secara jelas sangat dekat dengan hukum Islam sampai pada yang masih menganut animisme, ada hukum adat yang menganut patrilineal, matrilineal namun juga ada yang menganut sistem bilateral. Van Vollenhoven membagi 19 lingkaran hukum adat yang ada di Indonesia, yaitu Aceh, Gayo, Minangkabau, Sumatera Selatan, Melayu, Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate, Maluku, Irian, Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah dan Jawa Timur Solo-Yogyakarta dan Jawa Barat.
Negara hukum Pancasila merupakan bentuk prismatik dari semua sistem hukum, yaitu bergabungnya semua unsur baik dari semua sistem hukum yang ada. Oleh sebab itu, maka hukum adat sebenarnya harus mendapatkan tempat yang layak dalam sistem hukum di dalam negara hukum Indonesia, karena hukum adat merupakan hukum asli orang Indonesia dan merupakan karya cipta bangsa Indonesia itu sendiri. Selanjutnya, hukum adat lebih sesuai dengan karakter, kepribadian, serta kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan hukum lainnya, baik rechstaat, rule of law maupun Nomokrasi Islam.
Alam pikiran yang mempengaruhi hukum adat adalah terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat itu sendiri, baik keseimbangan sesama manusia individu, antar kelompok, individu dengan kelompok, antar kelompok, keseimbangan manusia dengan alam maupun keseimbangan dunia lahir dan dunia bathin. Oleh karena keseimbangan ini terusik maka akan berbuah bencana bagi manusia, maka hukum adat harus ditegakkan dan siapapun yang dinyatakan bersalah harus menerima sanksi adat agar keseimbangan tersebut kembali seperti semula.
Pemberlakuan hukum adat di Indonesia sangatlah beragam, setiap daerah mempunyai hukum adat tersendiri dan berbeda satu sama lainnya. Mulai dari yang secara jelas sangat dekat dengan hukum Islam sampai pada yang masih menganut animisme, ada hukum adat yang menganut patrilineal, matrilineal namun juga ada yang menganut sistem bilateral. Van Vollenhoven membagi 19 lingkaran hukum adat yang ada di Indonesia, yaitu Aceh, Gayo, Minangkabau, Sumatera Selatan, Melayu, Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate, Maluku, Irian, Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah dan Jawa Timur Solo-Yogyakarta dan Jawa Barat.
Negara hukum Pancasila merupakan bentuk prismatik dari semua sistem hukum, yaitu bergabungnya semua unsur baik dari semua sistem hukum yang ada. Oleh sebab itu, maka hukum adat sebenarnya harus mendapatkan tempat yang layak dalam sistem hukum di dalam negara hukum Indonesia, karena hukum adat merupakan hukum asli orang Indonesia dan merupakan karya cipta bangsa Indonesia itu sendiri. Selanjutnya, hukum adat lebih sesuai dengan karakter, kepribadian, serta kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan hukum lainnya, baik rechstaat, rule of law maupun Nomokrasi Islam.
Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli
Berikut ini informasi seputar pengertian hukum adat menurut para ahli yang mungkin anda cari untuk keperluan pendidikan. Silahkan dibaca pengertian hukum adat menurut para ahli dibawah ini.
Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll.
Hukum Adat
adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level antara lain :
Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level antara lain :
- Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.
- Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah ditetapkan.
- Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah masyarakatnya.
- Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
- Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
- Hukum kebiasaan. Yaitu hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :
1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2. Tidak tersusun secara sistematis.
3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4. Tidak tertatur.
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970 tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti. Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain, adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua menjadi terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tidap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan bagwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan, diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli hukum mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak semurna, tidak tegas. Oleh orang asing hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang siur. Karena sulit dimengerti. Dan oleh karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati urat akar hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka sebenarnya banyak hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat. Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat, menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)
1. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia
Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah :
1. Bercorak Relegiues- Magis :
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Relegieus Magis adalah :
- Bersifat kesatuan batin
- Ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
- Ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
- Percaya adanya kekuatan gaib
- Pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
- Setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
- Percaya adanya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
- Percaya adanya kekuatan sakti
- Adanya beberapa pantangan-pantangan.
2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan..
Secara singkat arti dari Komunal adalah :
- Manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya.
- Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya.
- Hak subyektif berfungsi sosial
- Kepentingan bersama lebih diutamakan
- Bersifat gotong royong
- Sopan santun dan sabar
- Sangka baik
- Saling hormat menghormati
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan :
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
2. Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
- Hukum Eropa
- Hukum Eropa yang telah diubah
- Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
- Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :
- Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
- Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
- Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
- Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Sumber-Sumber Hukum Adat
Sumber-sumber hukum adat adalah :
- Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
- Kebudayaan tradisionil rakyat
- Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
- Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
- Pepatah adat
- Yurisprudensi adat
- Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan - ketentuan hukum yang hidup.
- Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
- Doktrin tentang hukum adat
- Hasil-hasil penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
4. Pembidangan Hukum Adat
Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum delik
10. Sistem sanksi.
Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan pembidangnya sebagai berikut :
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5. Hukum Hutang piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10. Hukum Delik
11. Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
Siarlingkungan.com // Medan - Tim Advokasi Pers Sumatera Utara mendatangi markas Satuan Polisi Militer di Pangkalan TNI AU Soewondo, Jalan Adi Sucipto, Medan, Kamis (18/8/16).
Kebrutalan TNI AU Di Medan Polonia |
Kedatangan mereka guna membuat laporan kasus penganiayaan dan intimidasi terhadap sejumlah jurnalis yang dilakukan oleh prajurit TNI AU saat melakukan peliputan bentrok warga Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, dengan prajurit TNI AU, Senin (15/8).
Adapun jurnalis yang didampingi Tim Advokasi Pers Sumatera Utara adalah Array Argus (Harian Tribun Medan), Teddy Akbari (Harian Sumut Pos), Fajar Siddik (medanbagus.com), dan Prayugo Utomo (menaranews.com).
Sementara korban lain, Adel (matatelinga.com) dan Heri Chaniago (Jurnal Asia) hingga kini belum membuat laporan. Untuk korban Andri Syafrin (MNC TV) didampingi oleh Tim Pengacara Muslim.
"Kita mendesak laporan ini diproses dan disidangkan di peradilan militer. Para prajurit TNI yang terlibat harus diberi sanksi hukum tegas, bahkan berupa pemecatan," kata Koordinator Tim Advokasi Pers Sumut, Wilfred Sinaga, saat mendampingi para korban membuat laporan kepada petugas penyidik POM TNI AU.
Dia menjelaskan, pengaduan akan mengedepankan UU Pers No 40 Tahun 1999, agar menjadi acuan untuk ke depannya agar TNI AU atau pihak yang lainnya tidak bertindak semena-mena kepada para jurnalis yang sedang melakukan tugas peliputan.
"Seharusnya TNI menjaga keamanan negara, bukan menyakiti masyarakat dan jurnalis. Pengusutan kasus ini harus dilakukan upaya hukum, agar ke depannya kejadian seperti ini tidak terulang lagi," ujarnya.
Ada dua perkara yang dilaporkan Tim Advokasi Pers Sumatera Utara, yakni pelanggaran Pasal 351 jo Pasal 170 KUHPidana dan pelanggaran Pasal 18 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Pengaduan ini juga diharapkan jadi dasar bagi Komnas HAM dan Panglima TNI untuk memberikan sanksi atas penganiayaan yang dilakukan oleh prajurit TNI AU. Kami berharap tidak ada pembelaan terhadap oknum-oknum yang mencoreng institusi negara," jelas Wilfred.
Sementara itu, salah seorang jurnalis korban penganiayaan TNI AU, Array Argus, membantah pernyataan Kadispen TNI AU, Marsma TNI Jemi Tri Sonjaya, yang menyatakan masalah penganiayaan terhadap jurnalis telah selesai, dimana TNI AU dan jurnalis yang dianiaya telah bertemu dan sepakat berdamai.
"Tidak ada kata selesai dan damai. Kasus ini akan tetap berlanjut ke proses hukum," ucapnya.
Array menyatakan, prajurit TNI AU yang melakukan penganiayaan dan intimidasi terhadap dirinya dan beberapa jurnalis lain harus diproses hukum dan diberi sanksi tegas berupa pemecatan.
"Dalam menjalani tugas kami dilindungi UU Pers. Saya sudah menyatakan bahwa saya jurnalis, tapi mereka (prajurit TNI AU-red) tidak perduli. Mereka menganiaya dan bahkan mengancam bunuh," tukasnya.
Sementara Kasi Idik POM TNI AU Lanud Soewondo, Kapten M Sadin Ajie mengaku, telah menerima laporan korban.
"Laporannya sudah kita terima dan selanjutnya akan kita proses," pungkasnya. (Analisadaily)
____
Editor : Eni