Siarlingkungan.com // Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Asrul Sani yang juga anggota Panja Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) menganggap pasal terkait pemidanaan orang yang menyebarkan paham di luar Pancasila, seperti komunisme dan leninisme pasal substansial. Pancasila sebagai ideologi negara harus dilindungi, kata Arsul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Namun, Ia menggarisbawahi poin, jika paham tersebut hanya didiskusikan secara ilmiah dan sekadar ditulis maka tak perlu masuk ke dalam delik pidana.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Aspehupiki), Prof. Muladi berpendapat pencantuman delik ideologi di dalam RUU KUHP merupakan sesuatu yang wajar.
Namun, Muladi menilai wajar adanya larangan ideologi tertentu dalam sebuah negara. Larangan semacam itu pun dikenal di negara-negara demokratis. Contohnya di Eropa. Aparat akan memidanakan Anda jika Anda menyangkal Nazi melakukan pembantaian, tuturnya memberi amsal.
Meski demikian, Muladi sepakat jika delik ini berupa delik material. Artinya, si penyebar ajaran merah ini akan dihukum jika pikiran-pikiran kirinya terbukti menimbulkan kerusuhan.
Pencantuman delik ideologi dalam RUU KUHP memang mendapat kritik tajam. Dalam konsultasi publik RUU KUHP, Juli tahun lalu, peneliti Fajromei A. Ghofar melihat rumusan delik ideologi dalam RUU berpotensi mengancam hak asasi manusia. Pada tataran teoritis, delik ideologi juga masih belum jelas pengertiannya. Perumusannya, kata Fajromei, masih ambigu. Ia mempertanyakan apakah semua ajaran Marxisme/Leninisme dilarang, atau hanya ajaran yang ingin mengganti Pancasila?
Dalam Pasal 219 - 221 draf RUU KUHP disebutkan larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme (Pasal 219 dan 220), dan mengenai peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (Pasal 221).
Disebutkan dalam salah satu pasal 219 ayat 1, setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Selain KUHP, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini melibatkan revisi UU 8/1981 tentang KUHAP, RUU Perampasan Aset, serta revisi UU 31/1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semoga DPR tidak disibukkan oleh agenda Pemilu 2009, timpal Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta beberapa minggu yang lalu.
Rancangan pertama KUHP muncul pada 1964. Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita mengungkapkan, butuh waktu tiga bulan untuk menuntaskan 40 pasal. Ini RUU yang paling alot, tutur Romli, yang pernah terlibat dalam penyusunan KUHP.
KUHP - Ilustrasi |
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Aspehupiki), Prof. Muladi berpendapat pencantuman delik ideologi di dalam RUU KUHP merupakan sesuatu yang wajar.
Namun, Muladi menilai wajar adanya larangan ideologi tertentu dalam sebuah negara. Larangan semacam itu pun dikenal di negara-negara demokratis. Contohnya di Eropa. Aparat akan memidanakan Anda jika Anda menyangkal Nazi melakukan pembantaian, tuturnya memberi amsal.
Meski demikian, Muladi sepakat jika delik ini berupa delik material. Artinya, si penyebar ajaran merah ini akan dihukum jika pikiran-pikiran kirinya terbukti menimbulkan kerusuhan.
Pencantuman delik ideologi dalam RUU KUHP memang mendapat kritik tajam. Dalam konsultasi publik RUU KUHP, Juli tahun lalu, peneliti Fajromei A. Ghofar melihat rumusan delik ideologi dalam RUU berpotensi mengancam hak asasi manusia. Pada tataran teoritis, delik ideologi juga masih belum jelas pengertiannya. Perumusannya, kata Fajromei, masih ambigu. Ia mempertanyakan apakah semua ajaran Marxisme/Leninisme dilarang, atau hanya ajaran yang ingin mengganti Pancasila?
Dalam Pasal 219 - 221 draf RUU KUHP disebutkan larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme (Pasal 219 dan 220), dan mengenai peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (Pasal 221).
Disebutkan dalam salah satu pasal 219 ayat 1, setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Selain KUHP, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini melibatkan revisi UU 8/1981 tentang KUHAP, RUU Perampasan Aset, serta revisi UU 31/1999 tentang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semoga DPR tidak disibukkan oleh agenda Pemilu 2009, timpal Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta beberapa minggu yang lalu.
Rancangan pertama KUHP muncul pada 1964. Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita mengungkapkan, butuh waktu tiga bulan untuk menuntaskan 40 pasal. Ini RUU yang paling alot, tutur Romli, yang pernah terlibat dalam penyusunan KUHP.
_____
Penulis : Pemred
Editor : Ferlin
Siarlingkungan.com // Pekanbaru - Kapolri Jenderal Tito Karnavian akan menggelar video conference terkait penghentian penyidikan kasus kebakaran hutan dan lahan oleh 15 perusahaan di Riau. Tito akan mendengar keterangan Polda Riau lebih dahulu. Demikian disampaikan Tito di Rupatama Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2016)
Tito mengatakan, video confrence dilakukan bersama dengan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Kepala BMKG, kepala BNPB yang berada di Kalimantan Barat dan beberapa lainnya besok.
Video conference tersebut akan digelar besok, Kamis (25/08/16) sekitar pukul 13.00 atau 14.00 WIB.
Kami akan video confrence bersama besok di wilayah bersama dengan delapan Polda yang ada kebakaran hutan dan BNPB di wilayah masing-masing, Kanwil kehutanan di wilayah masing-masing, BMKG di wilayah masing-masing dan Gubernur wilayah masing-masing," ujarnya.
Tito menuturkan, video conference itu terkait penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan, seperti sudah berapa banyak yang ditangkap, berapa titik yang terbakar termasuk perbandingan tahun ini dengan tahun lalu. (***)
_____
Tito mengatakan, video confrence dilakukan bersama dengan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Kepala BMKG, kepala BNPB yang berada di Kalimantan Barat dan beberapa lainnya besok.
Video conference tersebut akan digelar besok, Kamis (25/08/16) sekitar pukul 13.00 atau 14.00 WIB.
Kami akan video confrence bersama besok di wilayah bersama dengan delapan Polda yang ada kebakaran hutan dan BNPB di wilayah masing-masing, Kanwil kehutanan di wilayah masing-masing, BMKG di wilayah masing-masing dan Gubernur wilayah masing-masing," ujarnya.
Tito menuturkan, video conference itu terkait penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan, seperti sudah berapa banyak yang ditangkap, berapa titik yang terbakar termasuk perbandingan tahun ini dengan tahun lalu. (***)
_____
Editor : Eni
Siarlingkungan.com // Jakarta - Mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi didakwa melakukan dua tindak pidana sekaligus. Anggota DPRD dari Fraksi Gerindra ini diduga menerima uang Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mencapai Rp45,287 miliar sepanjang 2012-2015.
Penuntut umum KPK Ronald F Worotikan mengatakan, penerimaan uang dari Ariesman untuk membantu mempercepat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, serta mengupayakan keinginan Ariesman selaku Presiden Direktur PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MWS).
Sanusi saat mengikuti sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES/Hukumonline |
PT MWS diketahui merupakan perusahaan pemegang persetujuan prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G. Ariesman memberikan uang tersebut agar Sanusi mengupayakan untuk mengakomodasi keinginan Ariesman dalam ketentuan pasal-pasal Raperda yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
"Padahal, diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakan agar (terdakwa) melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya selaku anggota DPRD DKI Jakarta," kata Ronald saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/8/16).
Sementara, untuk dakwaan TPPU, Sanusi diduga membelanjakan atau membayarkan harta kekayaan berupa uang sejumlah Rp45,287 miliar untuk pembelian tanah dan bangunan, serta kendaraan bermotor dan perbuatan lain atas harta kekayaan dengan menyimpan uang sejumlah AS$10 ribu dalam brankas di rumahnya.
Penuntut umum Budhi Sarumpaet menyatakan, pencucian uang itu dilakukan Sanusi saat menjabat anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 dan 2014-2019. "Dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan, agar harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana korupsi tersebut seolah-olah bukan berasal dari suatu kejahatan," ujarnya.
Bermula ketika Sanusi menjabat sebagai anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 dan 2014-2019. Dalam kurun waktu September 2009 sampai April 2016, Sanusi menerima penghasilam resmi sebesar Rp2,237 miliar perbulan. Berdasarkan SPT tahunan Pajak Penghasilan (PPh), Sanusi juga memiliki penghasilan lain dari usaha properti.
Penghasilan lain itu diperoleh Sanusi dari PT Bumi Raya Properti yang terdiri dari komponen gaji/pensiun atau JHT/THT, tunjangan PPh, tantiem, bonus, gratifikasi, jasa produksi, THR (tunjangan hari raya), serta penghasilan sewa dan penghasilan lainnya yang jumlah keseluruhannya sebesar Rp2,599 miliar.
Budhi menjelaskan, selaku anggota DPRD DKI Jakarta, Sanusi tidak pernah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK. Sanusi, selain menerima uang dari Ariesman, ternyata pernah pula menerima uang-uang lain dari rekanan Pemprov DKI Jakarta dalam kurun waktu 20 Desember 2012-13 Juli 2015.
Sebagaimana diketahui, Komisi D DPRD DKI Jakarta memiliki mitra kerja, antara lain dengan Dinas Tata Air Pemprov DKI Jakarta. Dari rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI Jakarta ini, Sanusi diduga menerima uang sejumlah Rp45,287 miliar yang disamarkan dengan pembelian aset berupa tanah, bangunan, serta kendaraan bermotor.
Pertama, untuk pembelian tanah dan bangunan dengan total Rp21,18 miliar. Pada 20 Desember 2012, Sanusi membeli beberapa bidang tanah beserta bangunan yang kemudian digunakan Sanusi sebagai gedung Sanusi Center. Untuk membeli tanah dan bangunan di Kramat Jati itu, Sanusi meminta dibayarkan oleh Direktur Utama PT Wirabayu Pratama, Danu Wira.
Budhi mengungkapkan, PT Wirabayu Pratama merupakan rekanan yang melaksanakan proyek pekerjaan di Dinas Tata Air Pemprov DKI Jakarta antara tahun 2012 sampai dengan 2015. Sanusi meminta Danu Wira untuk membayarkan dua unit rumah tersebut langsung ke rekening pemilik rumah dan diatasnamakan Danu Wira.
Kemudian, Danu Wira juga diminta membayarkan pembelian dua unit rumah susun di Thamrin Executive Residence ke rekening PT Jakarta Realty. Untuk pembayaran rumah susun dilakukan secara bertahap, mulai dari down payment hingga angsuran kedua belas. Sedangkan, sisanya dibayarkan melalui Gina Aprilianti dan pihak lain.
Danu Wira diminta pula membayarkan pembelian tanah dan bangunan dari PT Putra Adhi Prima yang kepemilikannya diatasnamakan Sanusi di Perumahan Vimala Hills Villa and Resorts Cluster Alpen, Mega Mendung, Bogor hingga angsuran keenam belas, sedangkan sisanya dibayarkan melalui Gina Aprilianti, Hendrikus Kangean, PT Bumi Raya Properti, dan pihak lain.
Selain itu, Danu Wira diminta membayarkan pembelian satu unit rumah susun di Soho Pancoran South Jakarta, Tebet yang kepemilikannya diatasnamakan Sanusi. Pembayaran dilakukan langsung dari rekening Danu Wira ke rekening PT Cipta Pesona Karya selaku pengembang rumah susun Soho Pancoran South Jakarta.
Pada 17 September 2014, Sanusi meminta Danu Wira untuk membayarkan pembelian dua unit Apartemen Callila (Park Center Pulomas) dari PT Indomarine Square yang terletak di Jl Kayu Putih Raya dan Jl Perintis Kemerdekaan, Pulo Gadung. Pada 19 September 2014, Danu Wira juga diminta membayarkan satu unit rumah susun Residence 8 @Senopati, Kebayoran Baru.
Rumah susun di Residence 8 diatasnamakan Gina Aprilianti. Pada 25 Juni 2015, Sanusi meminta Danu Wira membayarkan pembelian sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Jl Haji Kelik, Komplek Perumahan Permata Regency Blok F Nomor 1, Kembangan, Jakarta Barat. Rumah diatasnamakan Naomi Shallima.
Lalu, pada 13 Juli 2015, Sanusi meminta Danu Wira membayarkan pembelian sebidang tanah dan bangunan di Jl Saidi I Nomor 23, Cipete, Kebayoran Baru yang kepemilikannya diatasnamakan Jeffry Setiawan Tan. Untuk pembayaran tersebut, Sanusi meminta Danu Wira mengirimkan uang melalui rekening Trian Subekhi.
Kedua, Sanusi juga mencuci uang dalam bentuk pembelian kendaraan bermotor, yaitu mobil Audi A5 2.0 TFSI AT tahun 2013 yang dibayarkan sejumlah Rp850 juta oleh Danu Wira dan mobil Jaguar Tipe XJL 3.0 V6 A/T tahun 2013 yang diatasnamakan PT Imemba Contractors dan dibaliknamakan atas nama Gerard Archie Istiarso.
Budhi menyebutkan, Jaguar itu dipesan oleh Sanusi dengan harga Rp2,25 miliar. Untuk melakukan pembayaran atas pembelian Jaguar, Sanusi meminta uang kepada Boy Ishak sejumlah Rp2 miliar yang dikirim ke rekening PT Wahana Auto Ekamarga, sedangkan sisanya, Rp250 juta dibayarkan pihak lain melalui pencairan cek Bank Mandiri.
Dengan demikian, Sanusi telah menerima uang dari Danu Wira sejumlah Rp21,180 miliar dan Boy Ishak sejumlah Rp2 miliar yang kemudian dibayarkan untuk pembelian tanah, bangunan, dan kendaraan bermotor. Selain itu, ada juga penerimaan-penerimaan dari pihak lain kepada Sanusi sejumlah Rp22,106 miliar.
Adapun perbuatan lain atas harta kekayaan, sambung Budhi, Sanusi menyimpan uang puluhan ribu dollar Amerika Serikat di dalam brankasnya. "Yaitu terdakwa menyimpan uang sejumlah AS$10 ribu dalam brankas di lantai 1, rumah Jl Saidi I Nomor 23 RT 011/ RW 007 Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru," terangnya.
Atas perbuatannya, Sanusi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Menanggapi dakwaan penuntut umum, pengacara Sanusi, Maqdir Ismail menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan, meski ada beberapa catatan uraian dakwaan yang kurang jelas. Maqdir lebih mempertimbangkan untuk menerapkan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya murah.
Maqdir berpendapat, cukup banyak catatan uraian dakwaan yang tidak jelas, terutama yang berhubungan dengan predicat crime (tindak pidana asal). Misalnya, ketika penuntut umum menyebutkan ada penerimaan-penerimaan dari pihak lain atau Sanusi meminta uang kepada seseorang untuk membeli rumah atau mobil.
"Ini dalam kerangka apa? Tidak jelas. Kan kalau meminta uang bukan (otomatis) pencucian uang namanya. Saya kira itu catatan-catatan yang kita lihat untuk kepentingan ke depan, sehingga orang tidak terlalu mudah dijadikan tersangka dalam perkara TPPU. Apalagi, misalnya pembelian rumah," tuturnya.
Kemudian, Maqdir membantah permintaan uang ke rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI Jakarta. Menurutnya, tidak ada kaitan antara uang dengan proyek. "Itu tidak ada. Orang cuma dapat satu proyek nilainya Rp21 miliar proyek yang diambil, masa' dia kasih ke Uci sampai Rp22 miliar. Kan tidak mungkin," tandasnya.
_____
Editor : Eni
Sumber : Hukum Online