Siarlingkungan.com // - Hepatitis A tergolong sebagai penyakit dengan gejala ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Namun penyakit ini tak boleh disepelekan. Kejadian luar biasa (KLB) hepatitis A di lingkungan kampus di Indonesia tercatat sering terjadi.
Pada rentang 2008-2009, KLB hepatitis A pernah terjadi di sekitaran kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, bahkan hingga menulari ratusan orang. Di tahun 2011 sedikitnya 48 orang juga tertular hepatitis A di lingkungan kampus Universitas Parahyangan Bandung.
Yang terbaru, hepatitis A melumpuhkan 37 mahasiswa Institut Pertanian Bogor di pertengahan Desember lalu, 16 di antaranya mahasiswa dan 21 lainnya mahasiswi. Karena belasan mahasiswa yang terserang penyakit ini, IPB pun memberlakukan kejadian luar biasa (KLB) di lingkungan kampus mereka di Dramaga, Bogor terhitung mulai November hingga Desember 2015.
Bertepatan dengan merebaknya wabah tersebut, salah seorang mahasiswi IPB pun dinyatakan meninggal. Sempat diduga karena hepatitis A, pihak IPB mengklarifikasi dengan menyatakan mahasiswi tersebut meninggal karena hepatitis B yang telah diidapnya.
"Meninggalnya 7 Desember, karena kejadian waktunya berbarengan jadi ada yang menilai seolah-olah karena kejadian sekarang," kata Sugeng Santoso, Direktur Kemahasiswaan IPB.
Sebagai upaya penanganan, tim dari Kemenkes bersama tim dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor turun tangan untuk mengambil sampel dari sejumlah titik, seperti kantin, sumur dan tempat isi ulang air mineral yang ada di sekitaran IPB.
Untuk menunjukkan keseriusannya menghadapi KLB hepatitis A, IPB juga langsung menggelar pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh kepada mahasiswa satu hari setelah penetapan KLB. 50 dus desinfektan juga dipersiapkan untuk membersihkan tujuh gedung asrama dan 137 kantin yang dimiliki kampus ini.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, Dr HM Subuh, MPPM memastikan terdapat jejak virus hepatitis A pada galon air minum, baik di asrama maupun di kantin kampus IPB.
"Walaupun kantin-kantin itu bersih, tetapi ada sumber-sumber air dari galon yang kurang higienis dalam hal pengelolaannya sehingga terjadilah hepatitis A," ungkapnya.
Namun yang dikhawatirkan Subuh bukan hanya itu. Meskipun tempat makannya bersih, ia juga cemas bila ternyata mahasiswa atau penjual yang menjamah makanan tadi tidak menjaga kebersihan dirinya semisal tidak cuci tangan setelah buang air, sehingga masih ada virus yang menempel dan masuk ke tubuh ketika dipakai menyentuh makanan.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) Dr dr Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH mengaitkan kepadatan populasi dengan higiene dan sanitasi. Di permukiman yang terlalu padat, konstruksi jamban dan sumur biasanya terlalu dekat sehingga rawan kontaminasi.
"Jika airnya tidak dimasak dengan baik, maka bisa menularkan virus hepatitis A," jelasnya.
Menurut dr Rino, langkah penanggulangan KLB yang dilakukan di IPB saat ini sudah sangat tepat, namun itu saja tidak cukup. Selanjutnya, sosialisasi tentang perilaku hidup bersih serta higiene dan sanitasi juga penting dilakukan untuk mengurangi risiko kemunculan kembali KLB di masa mendatang.
"Tidak bisa dilihat hanya dari jumlah jumlah pasiennya. Hepatitis A ini sama juga seperti HIV (Human Imunodeficiency Virus), yang kelihatan hanya puncak sebuah gunung es. Nggak bisa dianggap enteng hanya karena yang tertular cuma 37 orang," ujar dr Rino.
Virus hepatitis A juga diketahui memiliki kemampuan menyebar yang tinggi. Seseorang bahkan bisa tak sadar sudah terkena virus dan menularkannya ke orang lain karena virus ini tidak menunjukkan gejala hingga berminggu-minggu.
dr Yessy Desputri, Kepala Seksi Surveillance Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menambahkan, infeksi virus hepatitis A ditandai dengan gejala mual, demam, kencing seperti teh pekat, serta nyeri hati. Virus ini mempunyai masa inkubasi 15-50 hari dan akan mati pada pemanasan 85 derajat Celcius.
"Cukup dengan cuci tangan pakai sabun, 80 persen rantai penularan bisa diputus," katanya.
Pada rentang 2008-2009, KLB hepatitis A pernah terjadi di sekitaran kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, bahkan hingga menulari ratusan orang. Di tahun 2011 sedikitnya 48 orang juga tertular hepatitis A di lingkungan kampus Universitas Parahyangan Bandung.
Yang terbaru, hepatitis A melumpuhkan 37 mahasiswa Institut Pertanian Bogor di pertengahan Desember lalu, 16 di antaranya mahasiswa dan 21 lainnya mahasiswi. Karena belasan mahasiswa yang terserang penyakit ini, IPB pun memberlakukan kejadian luar biasa (KLB) di lingkungan kampus mereka di Dramaga, Bogor terhitung mulai November hingga Desember 2015.
Bertepatan dengan merebaknya wabah tersebut, salah seorang mahasiswi IPB pun dinyatakan meninggal. Sempat diduga karena hepatitis A, pihak IPB mengklarifikasi dengan menyatakan mahasiswi tersebut meninggal karena hepatitis B yang telah diidapnya.
"Meninggalnya 7 Desember, karena kejadian waktunya berbarengan jadi ada yang menilai seolah-olah karena kejadian sekarang," kata Sugeng Santoso, Direktur Kemahasiswaan IPB.
Sebagai upaya penanganan, tim dari Kemenkes bersama tim dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor turun tangan untuk mengambil sampel dari sejumlah titik, seperti kantin, sumur dan tempat isi ulang air mineral yang ada di sekitaran IPB.
Untuk menunjukkan keseriusannya menghadapi KLB hepatitis A, IPB juga langsung menggelar pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh kepada mahasiswa satu hari setelah penetapan KLB. 50 dus desinfektan juga dipersiapkan untuk membersihkan tujuh gedung asrama dan 137 kantin yang dimiliki kampus ini.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, Dr HM Subuh, MPPM memastikan terdapat jejak virus hepatitis A pada galon air minum, baik di asrama maupun di kantin kampus IPB.
"Walaupun kantin-kantin itu bersih, tetapi ada sumber-sumber air dari galon yang kurang higienis dalam hal pengelolaannya sehingga terjadilah hepatitis A," ungkapnya.
Namun yang dikhawatirkan Subuh bukan hanya itu. Meskipun tempat makannya bersih, ia juga cemas bila ternyata mahasiswa atau penjual yang menjamah makanan tadi tidak menjaga kebersihan dirinya semisal tidak cuci tangan setelah buang air, sehingga masih ada virus yang menempel dan masuk ke tubuh ketika dipakai menyentuh makanan.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) Dr dr Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH mengaitkan kepadatan populasi dengan higiene dan sanitasi. Di permukiman yang terlalu padat, konstruksi jamban dan sumur biasanya terlalu dekat sehingga rawan kontaminasi.
"Jika airnya tidak dimasak dengan baik, maka bisa menularkan virus hepatitis A," jelasnya.
Menurut dr Rino, langkah penanggulangan KLB yang dilakukan di IPB saat ini sudah sangat tepat, namun itu saja tidak cukup. Selanjutnya, sosialisasi tentang perilaku hidup bersih serta higiene dan sanitasi juga penting dilakukan untuk mengurangi risiko kemunculan kembali KLB di masa mendatang.
"Tidak bisa dilihat hanya dari jumlah jumlah pasiennya. Hepatitis A ini sama juga seperti HIV (Human Imunodeficiency Virus), yang kelihatan hanya puncak sebuah gunung es. Nggak bisa dianggap enteng hanya karena yang tertular cuma 37 orang," ujar dr Rino.
Virus hepatitis A juga diketahui memiliki kemampuan menyebar yang tinggi. Seseorang bahkan bisa tak sadar sudah terkena virus dan menularkannya ke orang lain karena virus ini tidak menunjukkan gejala hingga berminggu-minggu.
dr Yessy Desputri, Kepala Seksi Surveillance Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menambahkan, infeksi virus hepatitis A ditandai dengan gejala mual, demam, kencing seperti teh pekat, serta nyeri hati. Virus ini mempunyai masa inkubasi 15-50 hari dan akan mati pada pemanasan 85 derajat Celcius.
"Cukup dengan cuci tangan pakai sabun, 80 persen rantai penularan bisa diputus," katanya.
_____
Penulis : Rahma Lillahi Sativa/detikHealth /lll/up
Editor : Eni