Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika nampaknya harus mengurungkan niat membuat peraturan pemerintah tentang tata cara intersepsi atau penyadapan. Sebab, Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengamanatkan pembentukan PP tersebut telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” kata Ketua Majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (24/2).
Permohonan ini diajukan tiga orang warga negara yakni Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar. Mereka menguji Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pemohon berdalil, tindakan penyadapan merupakan bentuk pembatasan terhadap hak privasi seseorang yang merupakan bagian dari HAM yang seharusnya diatur dengan undang-undang, bukan lewat PP.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan hingga saat ini belum ada pengaturan yang komprehensif mengenai penyadapan. Sejauh ini, pengaturan penyadapan masih tersebar di beberapa undang-undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda-beda. Seperti diatur dalam UU ITE, UU No 40 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Aturan yang ada masih belum memberikan tata cara penyadapan yang jelas, seperti bagaimana prosedur pemberian izin, batas kewenangan, dan orang yang berwenang menyadap. Ini memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya yang berpotensi melanggar hak konstitusional karena pengaturan penyadapan masih tergantung kebijakan instansi,” kata Hakim Konstitusi M Akil Mochtar.
Mahmakah berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran right of privacy sebagai bagian dari HAM yang dapat dibatasi. Hal ini jelas melanggar UUD 1945. Namun, pembatasan atas hak privasi ini hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Lebih jelasnya, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Karena itu, perlu dibuat undang-undang khusus yang mengatur prosedur penyadapan yang dilakukan oleh lembaga yang diberi wewenang. Sebab, PP tidak dapat mengatur pembatasan HAM. “Bentuk PP hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan menampung pembatasan HAM.”
Untuk memperkuat argumentasinya, Mahkamah mengutip pertimbangan putusan MK No 006/PUU-I/2003 tertanggal 30 Maret 2004. “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang penyadapan dan perekaman perlu ditetapkan perangkat aturan soal tata cara penyadapan dan perekaman…” Kemudian dipertegas dalam putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan pembatasan HAM melalui penyadapan harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar HAM.
Usai sidang kuasa hukum pemohon, Wahyu Wagiman mengapresiasi putusan majelis MK. “Ini sebagai bentuk perlindungan HAM karena jika aturan itu dipertahankan justru akan melanggar HAM,” kata Wagiman. Selanjutnya, ia meminta pemerintah dan DPR segera menyusun aturan soal penyadapan secara komprehensif dalam bentuk undang-undang.
“Menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat,” kata Ketua Majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (24/2).
Permohonan ini diajukan tiga orang warga negara yakni Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar. Mereka menguji Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pemohon berdalil, tindakan penyadapan merupakan bentuk pembatasan terhadap hak privasi seseorang yang merupakan bagian dari HAM yang seharusnya diatur dengan undang-undang, bukan lewat PP.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan hingga saat ini belum ada pengaturan yang komprehensif mengenai penyadapan. Sejauh ini, pengaturan penyadapan masih tersebar di beberapa undang-undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda-beda. Seperti diatur dalam UU ITE, UU No 40 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Aturan yang ada masih belum memberikan tata cara penyadapan yang jelas, seperti bagaimana prosedur pemberian izin, batas kewenangan, dan orang yang berwenang menyadap. Ini memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya yang berpotensi melanggar hak konstitusional karena pengaturan penyadapan masih tergantung kebijakan instansi,” kata Hakim Konstitusi M Akil Mochtar.
Mahmakah berpendapat penyadapan merupakan bentuk pelanggaran right of privacy sebagai bagian dari HAM yang dapat dibatasi. Hal ini jelas melanggar UUD 1945. Namun, pembatasan atas hak privasi ini hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Lebih jelasnya, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Karena itu, perlu dibuat undang-undang khusus yang mengatur prosedur penyadapan yang dilakukan oleh lembaga yang diberi wewenang. Sebab, PP tidak dapat mengatur pembatasan HAM. “Bentuk PP hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan menampung pembatasan HAM.”
Untuk memperkuat argumentasinya, Mahkamah mengutip pertimbangan putusan MK No 006/PUU-I/2003 tertanggal 30 Maret 2004. “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang penyadapan dan perekaman perlu ditetapkan perangkat aturan soal tata cara penyadapan dan perekaman…” Kemudian dipertegas dalam putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menyatakan pembatasan HAM melalui penyadapan harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar HAM.
Usai sidang kuasa hukum pemohon, Wahyu Wagiman mengapresiasi putusan majelis MK. “Ini sebagai bentuk perlindungan HAM karena jika aturan itu dipertahankan justru akan melanggar HAM,” kata Wagiman. Selanjutnya, ia meminta pemerintah dan DPR segera menyusun aturan soal penyadapan secara komprehensif dalam bentuk undang-undang.
Artikel Terkait :
[ Sumber : Hukum Online ]
Penyadapan hampir di seluruh negara, termasuk di Indonesia, hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang penyadapan.
Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan telekomunikasi diatur Pasal 40, sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang” dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum mengaturnya sama sekali.
Pasal 31 UU ITE:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau PENGHENTIAN Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan UU Telekomunikasi, penyadapan adalah perbuatan pidana. Secara eksplisit ketentuan Pasal 40 undang-undang a quo menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (Pasal 28F UUD 1945). Demikian pula Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, tiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dari sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya (lex specialis derogat legi generali).
Dalam sejumlah undang-undang di Indonesia, penyidik diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada empat undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu:
Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan telekomunikasi diatur Pasal 40, sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang” dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum mengaturnya sama sekali.
Pasal 31 UU ITE:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau PENGHENTIAN Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan UU Telekomunikasi, penyadapan adalah perbuatan pidana. Secara eksplisit ketentuan Pasal 40 undang-undang a quo menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (Pasal 28F UUD 1945). Demikian pula Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, tiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dari sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya (lex specialis derogat legi generali).
Dalam sejumlah undang-undang di Indonesia, penyidik diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada empat undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu:
- Undang-Undang Psikotropika.
- Undang-Undang Narkotika.
- Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan
- Undang-Undang KPK.
UU Psikotropika dan UU Narkotika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan harus dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30 hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.
Berbeda dengan kedua undang-undang itu, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.
Bandingkan dengan UU KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia.
Ke depan, prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal, yaitu :
Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.
Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.
Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.
Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.
[ Sumber : didiindra.wordpress.com ]
Pasal 1 UU ITE mencantumkan definisi Informasi Elektronik.
Berikut kutipannya :
Berikut kutipannya :
"Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna diantaranya :
Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna diantaranya :
- Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik
- Informasi Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
- Informasi Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.
jadi, informasi elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan arti. Mengapa informasi elektronik tidak didefinisikan saja sebagai satu atau sekumpulan data elektronik? Mengapa perlu pula dinyatakan wujudnya dan memiliki arti? Informasi Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan bersifat tersembunyi. Informasi Elektronik dapat dikenali dan dibuktikan keberadaannya dari wujud dan arti dari Informasi Elektronik.
HUBUNGAN PENYADAPAN DENGAN IT FORENSIK DAN UU ITE
Kriminalitas pada abad 21 semakin meningkat dan semakin canggih peralatannya sehingga menimbulkan dampak luar biasa terhadap kesejahteraan bangsa-bangsa. Ancaman dunia kejahatan (underworld) terbukti telah banyak memakan korban manusia dan negara. Hal ini karena, menurut perkiraan, harta kekayaan organisasi kejahatan tersebut mencapai tiga kali lipat APBN negara berkembang. Kecanggihan organisasi dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan kejahatan lintas negara memperkuat posisi tawar mereka dengan aparatur penegak hukum yang ada. Untuk itu, para penegak hukum tentu tak boleh kalah canggih dari organisasi-organisasi kejahatan.
Salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping). Kedua teknik tersebut terbukti merupakan teknik yang andal dalam membongkar tuntas organisasi kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditangkap. Kedua teknik tersebut lazimnya hanya ditujukan terhadap mereka yang telah memiliki “track record” yang buruk di kepolisian.
Terhadap mereka yang masih “bersih” dari arsip kepolisian, sudah tentu penggunaan kedua teknik itu wajib dipertanggungjawabkan di muka sidang pengadilan. Berangkat dari masalah ini dan menguatnya perjuangan hak asasi manusia, maka penerapan kedua teknik tersebut dihadapkan kepada prinsip due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.
Penggunaan keduanya harus memperoleh izin pengadilan atau atas perintah pengadilan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu dan mendesak izin atau perintah pengadilan tidak diperlukan, hanya dilaporkan seketika setelah dilaksanakan. Penyadapan hampir di seluruh negara, termasuk di Indonesia, hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang penyadapan.
Sekalipun bentuk hukum tentang penyadapan adalah suatu RPP, akan tetapi RPP tersebut merupakan perintah UU ITE (Pasal 32) dan merupakan bagian tidak terpisahkan pemberlakuannya dengan UU ITE.
Di antara materi muatan yang penting antara lain tata cara penyadapan, jangka waktu, siapa objek tersadapnya, pertanggungjawaban penyalahgunaan penyadapan, serta siapa yang mengawasi proses penyadapan tersebut.
[ Sumber : didiindra.wordpress.com ]
Siarlingkungan.com // Banyuwangi, Jatim - Karir Briptu Rio Dipta Wibawa, anggota Polres Banyuwangi berakhir. Anggota Seksi Umum (Sieum) ini diberi sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) karena melanggar kode etik kepolisian dan tersangkut narkoba.
Sesuai surat keputusan Kapolda Jatim Irjen Anton Setiadji, karir Rio di Polres Banyuwangi berakhir sejak 30 November 2015 lalu. Namun upacara PTDH baru digelar pagi ini, Senin (14/12/2015) sekitar pukul 08.00 wib.
Kapolres Banyuwangi AKBP Bastoni Purnama memimpin langsung jalannya pelucutan seragam dan atribut Polri yang dipakai Rio. Sejumlah anggota polisi dan bhayangkari melihat langsung jalannya pelucutan atribut kepolisian itu.
"Rio dipecat karena sudah tiga kali tersandung kasus narkoba. Terakhir dia ditangkap aparat Badan Narkotika Nasional Propinsi (BNNP) Jatim sekitar Oktober lalu. Akhirnya diputuskan pemecatan," tegas Kapolres usai upacara PTDH di halaman Polres Banyuwangi.
AKBP Bastoni Purnama bukanlah Kapolres pertama yang tegas memberedel keterlibatan oknum polisi narkoba. Dua oknum polisi Banyuwangi yang telah resmi diberi sanksi PTDH dengan kasus narkoba sebelumnya yakni Briptu Andik Triana dan Brigadir Herman Supriyanto. Pemberhentian keduanya diumumkan secara resmi pada 2009 lalu, oleh Kapolres Banyuwangi yang kala itu dijabat AKBP Rahmat Mulyana.
Briptu Andik di sanksi PTDH setelah Pengadilan Negeri Banyuwangi menyatakan ia terbukti terlibat kasus penyalahgunaan narkoba tahun 2008 lalu dan menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara. Sedangkan Brigadir Herman divonis hukuman 10 bulan penjara setelah diketahui menyimpan narkoba di rumah dinasnya.
Aipda ME yang tertangkap tangan oleh BNNP karena kepemilikan narkoba pada (28/9) lalu kini juga sedang menunggu proses pelaksanakan hukum, lalu dilanjutkan dengan sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) di Polda Jatim.
Meski begitu ada hal yang berbeda dengan karir Brigadir Sigit Dwi Susanto. Pria yang telah ditegaskan Pengadilan Negeri Banyuwangi terbukti terlibat jaringan pengedar narkoba dan telah divonis empat tahun penjara kini tetap berlanjut. Setelah bebas bersyarat dari Lapas Banyuwangi tanggal 2 Januari 2015 lalu, Brigadir Sigit sempat "diselamatkan" dengan pindah tugas di Banit Subdit Diresnarkoba Polda Jatim. Meski telah terbukti sebagai pelaku pengedar narkoba, karir kepolisian Brigadir Sigit tetap mulus tanpa hambatan.
"Tugas sebagai anggota kepolisian harus konsekuen. Ikuti aturan etik dan harus patuh pada hukum. Jangan melanggar hukum," pungkasnya.
Sesuai surat keputusan Kapolda Jatim Irjen Anton Setiadji, karir Rio di Polres Banyuwangi berakhir sejak 30 November 2015 lalu. Namun upacara PTDH baru digelar pagi ini, Senin (14/12/2015) sekitar pukul 08.00 wib.
Kapolres Banyuwangi AKBP Bastoni Purnama memimpin langsung jalannya pelucutan seragam dan atribut Polri yang dipakai Rio. Sejumlah anggota polisi dan bhayangkari melihat langsung jalannya pelucutan atribut kepolisian itu.
"Rio dipecat karena sudah tiga kali tersandung kasus narkoba. Terakhir dia ditangkap aparat Badan Narkotika Nasional Propinsi (BNNP) Jatim sekitar Oktober lalu. Akhirnya diputuskan pemecatan," tegas Kapolres usai upacara PTDH di halaman Polres Banyuwangi.
AKBP Bastoni Purnama bukanlah Kapolres pertama yang tegas memberedel keterlibatan oknum polisi narkoba. Dua oknum polisi Banyuwangi yang telah resmi diberi sanksi PTDH dengan kasus narkoba sebelumnya yakni Briptu Andik Triana dan Brigadir Herman Supriyanto. Pemberhentian keduanya diumumkan secara resmi pada 2009 lalu, oleh Kapolres Banyuwangi yang kala itu dijabat AKBP Rahmat Mulyana.
Briptu Andik di sanksi PTDH setelah Pengadilan Negeri Banyuwangi menyatakan ia terbukti terlibat kasus penyalahgunaan narkoba tahun 2008 lalu dan menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara. Sedangkan Brigadir Herman divonis hukuman 10 bulan penjara setelah diketahui menyimpan narkoba di rumah dinasnya.
Aipda ME yang tertangkap tangan oleh BNNP karena kepemilikan narkoba pada (28/9) lalu kini juga sedang menunggu proses pelaksanakan hukum, lalu dilanjutkan dengan sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) di Polda Jatim.
Meski begitu ada hal yang berbeda dengan karir Brigadir Sigit Dwi Susanto. Pria yang telah ditegaskan Pengadilan Negeri Banyuwangi terbukti terlibat jaringan pengedar narkoba dan telah divonis empat tahun penjara kini tetap berlanjut. Setelah bebas bersyarat dari Lapas Banyuwangi tanggal 2 Januari 2015 lalu, Brigadir Sigit sempat "diselamatkan" dengan pindah tugas di Banit Subdit Diresnarkoba Polda Jatim. Meski telah terbukti sebagai pelaku pengedar narkoba, karir kepolisian Brigadir Sigit tetap mulus tanpa hambatan.
"Tugas sebagai anggota kepolisian harus konsekuen. Ikuti aturan etik dan harus patuh pada hukum. Jangan melanggar hukum," pungkasnya.
(detikcom/Putri Akmal)
_____
Editor : Kelvin
Siarlingkungan.com // - Secara umum Grafologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tulisan tangan. Istilah grafologi pertama kali digunakan oleh seorang Perancis bernama Michon pada tahun 1875. Kata grafologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu: grapho yang berarti saya menulis dan logos yang berarti ilmu. Tujuan dari grafologi adalah mengungkapkan karakter dan kepribadian seseorang melalui tulisannya.
Kepribadian yang dimaksud termasuk kekuatan diri, kelemahan, dan kelebihannya. Hal ini didasarkan bahwa tulisan tangan muncul dari alam bawah sadar, maka ia memberikan informasi yang sangat berharga untuk menginterpretasikan karakter seseorang.
Angeline adalah pakar grafologi berserttifikat sekaligus penulis buku 7 Jurus Negosiasi Menghindari Penolakan, Sukses Mencapai Deal dengan Grafologi menjelaskan bahwa ilmu grafologi adalah ilmu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Ilmu membaca karakter lewat tulisan tangan bukanlah ilmu ramalan.
"Ilmu ini bisa dipelajari oleh siapapun, bisa otodidak. Tapi saran saya carilah mentor grafologi, yang sudah punya pengalaman," ujar Angeline, saat ditemui di Kompas Gramedia Fair 2015, JCC, Sabtu (12/12/2015).
"Ilmu ini bisa dipelajari oleh siapapun, bisa otodidak. Tapi saran saya carilah mentor grafologi, yang sudah punya pengalaman," ujar Angeline, saat ditemui di Kompas Gramedia Fair 2015, JCC, Sabtu (12/12/2015).
Angeline menjelaskan bahwa ilmu grafologi tidak memerlukan sixth sense alias indera keenam seperti meramal.
"Kesulitannya ilmu ini tidak ada penelitian ilmiah, tidak ada kampus, dan tidak ada legalisasi," imbuhnya.
Lebih lanjutnya Angeline mengingatkan, jika ilmu grafologi bukanlah ilmu pasti yang diklaim 100 persen benar.
"Ilmu ini mencari tahu kejujuran atau kebohongan. Grafologi adalah ilmu sosial. Tidak memutuskan dan menghakimi. Ilmu ini disampaikan lewat analogi," pungkasnya.
Selain berfungsi untuk mengungkap karakter seseorang agar dapat bermanfaat bagi kemampuan bersosialisasi, grafologi juga dapat mengungkap kecenderungan bentuk kebohongan, misalnya perselingkuhan, tindak kriminal, sampai cocok atau tidaknya pasangan kekasih yang akan menikah.
"Kesulitannya ilmu ini tidak ada penelitian ilmiah, tidak ada kampus, dan tidak ada legalisasi," imbuhnya.
Lebih lanjutnya Angeline mengingatkan, jika ilmu grafologi bukanlah ilmu pasti yang diklaim 100 persen benar.
"Ilmu ini mencari tahu kejujuran atau kebohongan. Grafologi adalah ilmu sosial. Tidak memutuskan dan menghakimi. Ilmu ini disampaikan lewat analogi," pungkasnya.
Selain berfungsi untuk mengungkap karakter seseorang agar dapat bermanfaat bagi kemampuan bersosialisasi, grafologi juga dapat mengungkap kecenderungan bentuk kebohongan, misalnya perselingkuhan, tindak kriminal, sampai cocok atau tidaknya pasangan kekasih yang akan menikah.
Seperti dikutip Siarlingkungan.com dari mediametafisika, ada beberapa contoh grafologi dilihat dari gaya tulisan:
1. Gaya sambung biasa
Orang yang punya model tulisan begini biasanya senang memberi respon pada setiap masalah, bisa menerima ide dari orang lain, mudah bergaul dan disenangi teman. Baginya berbakat untuk menjadi seorang pemimpin.
2. Gaya sambung berbentuk petak
Mengandung arti penulisnya mudah dipengaruhi, selalu menilai enteng setiap persoalan, hingga tindakannya kadang terkesan sembrono, tanpa pemikiran matang.
3. Gaya Sambung Berliku
Tulisan yang banyak luka-likunya, mengandung makna bahwa penulisnya sangat formil, hati-hati dan sering menonjolkan status, namun umumnya sifat mereka pendiam, gemar menyendiri dan biasanya banyak memiliki keahlian atau bakat.
4. Gaya Lurus dan Lancip
Tulisan tangan model demikian menunjukkan penulisnya orang agresif, sangat tekun mengerjakan sesuatu, walau kadang enggan berkompromi dengan orang lain. Bila lancipnya pada huruf awal saja maka pertanda dirinya orang yang banyak mengalami konflik psikologis, sehingga kadang bersikap agresif.
5. Gaya Campuran
Bentuk tulisan bersambung yang tak karuan menuliskan cepat, dan kadang sukar membacanya hal ini mengandung arti bahwa penulisnya adalah orang yang biasa berpikir cepat, kreatif tapi paling tersinggung kalau dikritik. Bahkan, bila tidak sesuai dengan kehendaknya jangan harap orang bisa mendapatkan bantuannya karena dia paling doyan mengelak dalam memberi pertolongan.
Penulis :Pemred
Medan [Siarlingkungan] - Dua orang polisi gadungan dibekuk polisi di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Pelaku ditangkap setelah memukul, memborgol dan mencoba memeras tamu hotel.
"Pelaku bernama Razak (33) dan Jaya Handoko (27). Keduanya warga Medan. Sedangkan korbannya seorang lelaki berinisial LYH (58)," kata Kapolsekta Medan Kota Kompol Ronald Sipayung kepada detikcom, Minggu (13/11/2015).
Kasus ini bermula ketika istri dari Razak, yakni berinisial N (22) sedang berada di salah satu hotel bersama LYH pada Minggu (6/12) sore. Jaya Handoko yang mengetahui hal itu memberitahukan kepada Razak.
"Mendapatkan informasi itu, Razak mengajak Jaya ke hotel tersebut dan langsung menggerebek kamar hotel seterusnya melakukan pemukulan terhadap korban lalu memborgolnya," ucap Ronald.
Setelah itu, kedua pelaku pun membawa korban ke salah satu kawasan di Medan dan mengaku anggota polisi. Korban yang ketakutan pun memberikan uang Rp 700 ribu kepada pelaku. Tak puas, kedua pelaku mencoba meminta uang Rp 10 juta kepada korban.
"Korban pun berjanji akan menyanggupi permintaan pelaku sebagai uang perdamaian sehingga korban dibawa kembali ke dalam hotel. Pelaku pun menyuruh korban menghubungi keluarganya," terang Ronald.
Dilansir detikcom, Polisi yang mengetahui kejadian itu dari pihak hotel pun menuju ke lokasi seterusnya melakukan penangkapan kepada dua orang polisi gadungan pada Senin (7/12) dini hari. Dari tangan pelaku, petugas menyita satu unit telepon genggam, uang tunai Rp 200 ribu dan satu unit mobil Suzuki Karimun.
"Borgol tersebut diperoleh Razak saat ia menjadi sekuriti. Sebelumnya kita duga aksi ini sudah diskenariokan terlebih dahulu yang melibatkan N, namun Razak membantahnya," jelas Ronald.
Akibat perbuatannya, kedua pelaku dikenakan Pasal 365 Subsider 368 dan 333 KUHPidana dengan ancaman 9 tahun penjara.
"Pelaku bernama Razak (33) dan Jaya Handoko (27). Keduanya warga Medan. Sedangkan korbannya seorang lelaki berinisial LYH (58)," kata Kapolsekta Medan Kota Kompol Ronald Sipayung kepada detikcom, Minggu (13/11/2015).
Kasus ini bermula ketika istri dari Razak, yakni berinisial N (22) sedang berada di salah satu hotel bersama LYH pada Minggu (6/12) sore. Jaya Handoko yang mengetahui hal itu memberitahukan kepada Razak.
"Mendapatkan informasi itu, Razak mengajak Jaya ke hotel tersebut dan langsung menggerebek kamar hotel seterusnya melakukan pemukulan terhadap korban lalu memborgolnya," ucap Ronald.
Setelah itu, kedua pelaku pun membawa korban ke salah satu kawasan di Medan dan mengaku anggota polisi. Korban yang ketakutan pun memberikan uang Rp 700 ribu kepada pelaku. Tak puas, kedua pelaku mencoba meminta uang Rp 10 juta kepada korban.
"Korban pun berjanji akan menyanggupi permintaan pelaku sebagai uang perdamaian sehingga korban dibawa kembali ke dalam hotel. Pelaku pun menyuruh korban menghubungi keluarganya," terang Ronald.
Dilansir detikcom, Polisi yang mengetahui kejadian itu dari pihak hotel pun menuju ke lokasi seterusnya melakukan penangkapan kepada dua orang polisi gadungan pada Senin (7/12) dini hari. Dari tangan pelaku, petugas menyita satu unit telepon genggam, uang tunai Rp 200 ribu dan satu unit mobil Suzuki Karimun.
"Borgol tersebut diperoleh Razak saat ia menjadi sekuriti. Sebelumnya kita duga aksi ini sudah diskenariokan terlebih dahulu yang melibatkan N, namun Razak membantahnya," jelas Ronald.
Akibat perbuatannya, kedua pelaku dikenakan Pasal 365 Subsider 368 dan 333 KUHPidana dengan ancaman 9 tahun penjara.
(Jefris Santama)
_____
Editor : Eni
Siarlingkungan.com // Jakarta - Karena menagih hutang, Ria Warianti (26), ditemukan tewas mengenaskan di sebuah rumah di Kampung Cipondo, Kelurahan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Minggu (13/12/15) sekitar pukul 13.00 WIB.
Kejadian tersebut bermula, pada saat Ria datang kerumah pelaku di Kampung Cipondo, RT 03 RW 08, yang diduga korban datang untuk menagih utang kepada pelaku. Namun saat ditagih, pelaku malah naik pitam dan memarahi korban dan akhirnya menghunuskan sebilah pisau ke tubuh korban.
Dari penyelidikan sementara, pelaku pembunuhan diduga adalah Doni (24), warga Kampung Cipondo, Kelurahan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Dari pihak jajaran Polsek Kalideres masih mencari keberadaan Doni untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tutur Herru.
Dalam peristiwa tersebut, sebelum korban tewas sempat memberi perlawanan, sehingga Doni langsung diantar ke puskesmas terdekat untuk mengobati luka di lengannya. Setelah itu, bapaknya tersangka, Madali dan istrinya Mariyah yang menyaksikan kejadian tersebut sempat membawa korban ke rumah sakit namun di perjalanan meninggal dunia," terang Herru.
Namun sampai sekarang belum jelas keberadaan pelaku," ucap Herru.
Dikutip dari liputan6 saat ini tengah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diduga mengetahui kejadian itu. Selain itu, polisi juga telah melakukan visum jenazah korban dan olah tempat kejadian perkara. tutup Herru.
_____
Penulis : K012
Penulis : K012
Editor : Eni
Siarlingkungan.com // - Jika Anda adalah seorang yang hobi bepergian, maka sepatu menjadi benda wajib yang mesti dikenakan untuk melindungi kaki Anda. Datangnya musim hujan seringkali membuat kita repot karena jemuran sulit kering, apalagi jika harus mengeringkan sepatu yang kehujanan.
Banyak orang terburu-buru membungkus sepatu mereka dan memilih bertelanjang kaki saat hujan mengguyur, karena tak mau kerepotan mengeringkan sepatu mereka nantinya.
Jangan khawatir, kali ini Siarlingkungan.Com akan memberimu tips bagaiamana cara membuat permukaan sepatu biasa menjadi tahan basah. Hanya butuh lilin dan waktu hanya beberapa menit, anggaplah kurang lebih 5 menit untuk melakukannya.
Caranya :
- Gosokkan lilin pada bagian sepatu hingga merata.
- Pada bagian-bagian yang rawan kemasukan air.
- Kasih lilin lebih banyak.
- Kemudian, panasi lapisan lilin tersebut menggunakan alat pengering rambut (hair dryer) agar lilin lebih menempel dan menutup rata permukaan sepatu.
- Sepatu Anda telah menjadi tahan air dan aman digunakan di saat hujan.
Kenapa demikian, karena zat kimia yang terkandung dalam lilin seperti yang ada dalam minyak bumi, yakni tidak bisa menyatu dengan air. Semoga bermanfaat.
_____
_____
Editor : Kelvin