Siarlingkungan News // Pekanbaru - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau menilai ada kejanggalan dalam proses penerbitan surat pemberhentian penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang menjadi tersangka pembakar hutan pada Januari lalu. Menurut Ketua Komisi A DPRD Riau Hazmi Setiadi, bukti lapangan sudah kuat untuk setidaknya memproses perusahaan ke pengadilan.
Kebakaran hutan/Foto:republika |
Hazmi menjelaskan, selama tinjauan panitia khusus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 15 perusahaan, titik koordinat api terbukti berada pada wilayah konsesi perusahaan. Polisi seharusnya dapat menyelidiki dan menyingkap kasus karhutla secara menyeluruh dengan melihat indikasi pelanggaran lain yang dilakukan perusahaan.
Berdasarkan pemantauan tim pansus, kata Hazmi, ada tiga pelanggaran yang dilakukan 15 perusahaan yang bisa ditindaklanjuti. Indikasi pelanggaran karena membakar hutan dengan sengaja, merambah lahan tanpa izin, dan mengganggu daerah aliran sungai dengan perambahan lahan.
"Seyogyanya Pak Polisi dapat melakukan pengamanan berlapis dari ketiga pelanggaran itu. Tapi anehnya (perusahaan) bisa lepas seluruhnya," kata Hazmi dalam rapat dengar pendapat bersama komisi III DPR, Selasa (20/9).
Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Noviwaldy Jusman mengatakan, penerbitan SP3 tidak dilandasi alasan kuat dan jelas. Alasan Kapolda Riau terkait tidak ada bukti yang cukup untuk melanjutkan proses hukum bagi 15 perusahaan itu dinilai tidak masuk akal.
"Untuk menetapkan individu atau korporasi jadi tersangka, perlu bukti. Kalau alasan SP3 karena tidak menemukan bukti cukup kenapa bisa tetapkan (15 perusahaan) jadi tersangka?" ujar Noviwaldy.
Noviwaldy menyatakan, kasus karhutla khususnya di Riau telah meresahkan masyarakat. DPRD melalui panitia khusus Karhutla terus memantau pemanfaatan lahan di Riau dalam menanggulangi karhutla.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, SP3 memang merupakan wewenang dari kepolisian daerah. Namun penerbitan SP3 harus bisa dipertanggungjawabkan.
Benny menyatakan, penerbitan SP3 oleh Kapolda Riau pada Januari lalu tanpa memberikan penjelasan kepada publik secara jelas.
Dengan dibentuknya panitia kerja (panja) karhutla, tutur Benny, DPR ingin memastikan proses penetapan dan penerbitan SP3 sesuai dengan tata kelola yang diatur dalam undang-undang.
"Itu saja yang ingin kami cek di sini, penerbitan SP3 telah sesuai dengan kaidah dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Benny.
Komisi III selanjutnya akan memanggil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kapolda Riau, dan beberapa perusahaan bermasalah yang mendapat SP3.
Pada 2015, Polda Riau menangani 18 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan. Namun dari jumlah itu, hanya tiga kasus yang dinyatakan lengkap dan layak dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Ketiga kasus itu melibatkan tiga korporasi yaitu PT Langgam Inti Hibrindo, PT Palm Lestari Makmur, dan PT Wahana Subur Sawit. Ketiganya sudah diproses di pengadilan. Hanya ada satu putusan berkekuatan hukum tetap dan membebaskan perusahaan, yakni PT Langgam Inti Hibrindo.
Sementara, 15 perusahaan lain penyidikannya dihentikan oleh Polda Riau.
Perusahan-perusahaan itu antara lain PT Bina Duta Laksana, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia, PT Ruas Utama Jaya, PT Suntara Gajah Pati, PT Dexter Perkasa Industri, PT Siak Raya Timber, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam, PT Rimba Lazuardi, PT Langgam Inti Hibrindo, PT Palm Lestari Makmur, dan PT Wahana Subur Sawit.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mempersilakan siapa pun untuk mengajukan permohonan praperadilan terhadap SP3 dalam kasus pembakaran hutan dan lahan di Riau.
Tito mengatakan, pemberian SP3 dalam kasus itu diberikan sebelum dirinya menjabat sebagai Kapolri. Polda sampai dengan Polres saat ini dilarang untuk mengeluarkan SP3, melainkan harus diputuskan di Mabes Polri.
_____
Editor : Enimawani
Sumber : CNN Indonesia