Kami sampaikan bahwa untuk saat ini tidak ada aturan yang secara eksplisit mensyaratkan seorang calon jaksa tidak boleh cacat fisik. Syarat yang ada bagi seorang calon jaksa adalah sehat jasmani dan rohani. Sedangkan syarat tidak boleh cacat fisik itu adalah persyaratan khusus bagi Pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia.
Jika seorang jaksa mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya salah satu anggota tubuhnya/cacat fisik sehingga ia tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka jaksa tersebut dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Jika seorang jaksa mengalami kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya salah satu anggota tubuhnya/cacat fisik sehingga ia tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka jaksa tersebut dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Berdasarkan Pertanyaan Anda,
- Mengapa calon jaksa tidak boleh cacat fisik?
- Seandainya seorang jaksa terjadi kecelakaan mengakibatkan kehilangan salah satu anggota tubuhnya/cacat fisik, apakah boleh menjadi jaksa kembali?
- Apa syarat menjadi advokat? Terima kasih atas pengetahuannya.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu mengetahui apa saja syarat-syarat menjadi seorang jaksa, yaitu:[1]
- warga negara Indonesia;
- bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- berijazah paling rendah sarjana hukum;
- berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
- sehat jasmani dan rohani;
- berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
- pegawai negeri sipil
Selain syarat-syarat di atas, untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
Babul Khoir Harahap (Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung yang saat itu) menegaskan bahwa proses rekrutmen menjadi seorang jaksa itu tidak mudah dan panjang. Ia menyatakan syarat-syaratnya telah diatur dalam UU Kejaksaan dan Peraturan Jaksa Agung (Perja).
Peraturan Jaksa Agung (Perja) yang dimaksud adalah Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-064/A/Ja/07/2007 tentang Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia (“Perja Per-064/A/Ja/07/2007”).
Persyaratan untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa, adalah:[2]
- Pegawai Kejaksaan dengan masa kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun.
- Sarjana Hukum.
- Berpangkat serendah-rendahnya Yuana Wira/golongan III/a.
- Usia serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat dilantik menjadi Jaksa.
- Berkelakuan tidak tercela.
- Sehat fisik dan mental dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan secara lengkap (general check up) pada rumah sakit yang ditunjuk, mempunyai postur badan yang ideal dan keterangan bebas dari narkoba yang dibuktikan dengan hasil laboratorium.
- Memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam melaksanakan jabatan jaksa yang dinyatakan secara obyektif oleh atasan minimal eselon III.
- Telah membantu melaksanakan proses penanganan perkara baik dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara serta dibuktikan dengan sertifikasi oleh Kepala Kejaksaan setempat dengan standar yang ditentukan.
- Lulus penyaringan yang diselenggarakan oleh Panitia Rekrutmen Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia.
Jadi, di sini kami luruskan bahwa tidak ada aturan yang mensyaratkan seorang calon jaksa tidak boleh cacat fisik, syarat yang ada bagi seorang calon jaksa adalah sehat jasmani dan rohani.
Mengenai syarat tidak boleh cacat fisik, itu adalah persyaratan khusus bagi Pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (“CPNS”) Kejaksaan Republik Indonesia.[3]
Menjawab pertanyaan kedua Anda, kami asumsikan yang Anda tanyakan adalah apakah jaksa yang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik tersebut masih bisa kembali melakukan tugasnya sebagai jaksa. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita harus melihat hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya. Yaitu antara lain karena:[4]
Menjawab pertanyaan kedua Anda, kami asumsikan yang Anda tanyakan adalah apakah jaksa yang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cacat fisik tersebut masih bisa kembali melakukan tugasnya sebagai jaksa. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita harus melihat hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya. Yaitu antara lain karena:[4]
- permintaan sendiri;
- sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
- telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;
- meninggal dunia;
- tidak cakap dalam menjalankan tugas.
Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau rohani terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5] Jika memang cacat fisik ini diartikan bahwa ia sakit jasmani sehingga tidak mampu lagi menjalankan tugas kewajibannya, maka ia dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya.
Menjawab pertanyaan ketiga Anda tentang syarat menjadi advokat, kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[6]
- warga negara Republik Indonesia;
- bertempat tinggal di Indonesia;
- tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
- berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
- berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
- lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
- magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
- tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
- berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Demikian gambaran umum terhadap suatu informasi dan permasalahan hukum yang sedang dihadapi, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
- Peraturan Jaksa Agung Republik IndonesiaNomor : Per-064/A/Ja/07/2007 tentang Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil dan Calon Jaksa Kejaksaan Republik Indonesia.
_____
[1] Pasal 9 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”)
[2] Pasal 19 Perja Per-064/A/Ja/07/2007
[3] Pasal 8 Perja Per-064/A/Ja/07/2007
[4] Pasal 12 UU Kejaksaan
[5] Penjelasan Pasal 12 huruf b UU Kejaksaan
[6] Pasal 3 ayat (1) UU Advokat
[2] Pasal 19 Perja Per-064/A/Ja/07/2007
[3] Pasal 8 Perja Per-064/A/Ja/07/2007
[4] Pasal 12 UU Kejaksaan
[5] Penjelasan Pasal 12 huruf b UU Kejaksaan
[6] Pasal 3 ayat (1) UU Advokat
_____
[ Dijawab oleh : Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. - Title : Syarat Fisik/Jasmani untuk Menjadi Jaksa - Sumber : Hukum Online ]
Dengan mengacu pada kode etik hakim dan kode etik advokat, diskusi antara hakim dan advokat yang menangani kasus anak seorang hakim, bukanlah tindakan yang dapat disalahkan. Kedudukan hakim di sini adalah selaku anggota keluarga dari anak yang perkaranya sedang ditangani advokat, bukan sebagai hakim yang turut memutus dan memeriksa perkaranya. Oleh karena itu, tidak ada kaitannya dengan independensi hakim dalam memutus perkara.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Kode Etik Advokat Indonesia yang kami akses dari laman Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Soal hubungan antara advokat dengan hakim tersebut, pada dasarnya sebagai sesama penegak hukum memang harus memiliki hubungan yang baik. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Di samping itu, advokat adalah juga penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Demikian antara lain yang diterangkan dalam Pembukaan Kode Etik Advokat.
Berdasarkan keterangan yang Anda berikan, hakim tersebut memang tidak memiliki hubungan dengan perkaranya langsung. Menurut hemat kami dengan mengacu pada Kode Etik Advokat, advokat berdiskusi dengan hakim terkait kasus anaknya (yang mana juga tidak ditangani oleh si hakim) bukanlah tindakan yang dapat disalahkan. Kedudukan hakim di sini adalah selaku anggota keluarga dari anak yang perkaranya sedang ditangani advokat, bukan sebagai hakim yang turut memutus dan memeriksa perkaranya.
Berbeda halnya apabila hakim itu yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dari sisi kedudukan hakim, hakim tersebut dilarang memeriksa dan memutus perkara anggota keluarganya. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.[1]
Hakim juga dilarang berdiskusi dengan pihak-pihak yang berperkara di luar pengadilan karena ini akan mempengaruhi independensi hakim dalam mengadili perkara. Hal ini juga telah dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (“UUD 1945”):
Soal hubungan antara advokat dengan hakim tersebut, pada dasarnya sebagai sesama penegak hukum memang harus memiliki hubungan yang baik. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Di samping itu, advokat adalah juga penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Demikian antara lain yang diterangkan dalam Pembukaan Kode Etik Advokat.
Berdasarkan keterangan yang Anda berikan, hakim tersebut memang tidak memiliki hubungan dengan perkaranya langsung. Menurut hemat kami dengan mengacu pada Kode Etik Advokat, advokat berdiskusi dengan hakim terkait kasus anaknya (yang mana juga tidak ditangani oleh si hakim) bukanlah tindakan yang dapat disalahkan. Kedudukan hakim di sini adalah selaku anggota keluarga dari anak yang perkaranya sedang ditangani advokat, bukan sebagai hakim yang turut memutus dan memeriksa perkaranya.
Berbeda halnya apabila hakim itu yang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Dari sisi kedudukan hakim, hakim tersebut dilarang memeriksa dan memutus perkara anggota keluarganya. Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.[1]
Hakim juga dilarang berdiskusi dengan pihak-pihak yang berperkara di luar pengadilan karena ini akan mempengaruhi independensi hakim dalam mengadili perkara. Hal ini juga telah dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Prinsip ini dipertegas kembali dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”):
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
Yang dimaksud dengan kemandirian peradilan adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Jadi, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, termasuk dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi oleh pihak luar.
Sedangkan dari sisi kedudukan advokat, dalam perkara perdata yang sedang berjalan, advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan advokat pihak lawan. Sementara dalam perkara pidana yang sedang berjalan, advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.[2]
Jadi, boleh saja advokat sering berkunjung kerumah hakim untuk berdiskusi soal kasus anak hakim tersebut, sepanjang memang baik advokat dan hakim tidak terlibat menangani kasus yang sama. Jika advokat terbukti melanggar kode etik, maka proses hukum terhadap advokat tersebut dapat Anda simak dalam artikel [Prosedur Pemanggilan Advokat yang Diduga Melanggar Hukum.]
Demikian gambaran umum terhadap suatu informasi dan permasalahan hukum yang sedang dihadapi, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Kode Etik Advokat Indonesia;
- Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor: 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
_____
[1] Pasal 7 ayat (3) huruf a dan Pasal 9 ayat (5) huruf a Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor: 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan PPH”)
[2] Pasal 7 huruf c dan d Kode Etik Advokat
[2] Pasal 7 huruf c dan d Kode Etik Advokat
_____
[ Dijawab oleh : Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. - Title : Bolehkah Hakim Berdiskusi dengan Advokat yang Menangani Kasus Keluarganya? - Sumber : Hukum Online ]
Pasca bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, salah satu bisnis yang menjamur adalah bisnis jasa hukum, khususnya dalam bentuk kantor advokat. Bersamaan dengan itu, pilihan profesi hukum tiba-tiba menjadi populer, pendidikan tinggi hukum pun menjadi idaman para lulusan sekolah menengah. Fenomena ini konon muncul karena kesadaran warga negara atas hak-hak hukum pasca reformasi cenderung meningkat. Perselisihan antar individu atau antara individu dengan subyek hukum lainnya, termasuk dengan institusi negara sekalipun, dengan mudahnya bermuara ke pengadilan. Kondisi ini semakin didukung maraknya restrukturisasi perusahaan khususnya perbankan akibat krisis moneter.
Sejarah keberadaan kantor advokat di Indonesia dapat dikatakan sama tuanya dengan usia bangsa ini. Sebagai ilustrasi, Yap Thiam Hien, seorang icon di kalangan advokat Indonesia, telah mendirikan kantor pengacara pertamanya bersama-sama dengan John Karuwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar pada tahun 1950. Jauh sebelum Yap, telah berkiprah sejumlah advokat yang juga dikenal sebagai pejuang nasional seperti Besar Mertokusumo, Sartono, Ishak, Maramis, Soejoedi, dan M. Yamin.
Meskipun sudah eksis cukup lama, perangkat hukum yang khusus mengatur tentang bentuk badan hukum sebuah kantor advokat belum ada. Berdasarkan catatan sejarah, minimnya perangkat hukum merupakan salah satu refleksi rendahnya pengakuan negara atas eksistensi profesi advokat. Bahkan UU No. 18 Tahun 2003 yang secara khusus mengatur tentang Advokat sekalipun tidak memuat ketentuan mengenai bentuk badan hukum kantor advokat. Alhasil, rujukannya masih bertumpu pada peraturan �warisan kolonial', yakni KUH Perdata dan KUHD.
Secara umum, bentuk hukum sebuah kantor advokat berkisar pada dua, yakni persekutuan perdata dan firma. Persekutuan perdata (burgerlijke maatschap) sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata adalah suatu perjanjian, dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Persekutuan Perdata didirikan atas dasar perjanjian saja, dan tidak mengharuskan adanya syarat tertulis, artinya dapat didirikan dengan lisan saja.
Apabila seorang sekutu mengadakan hubungan dengan hukum dengan pihak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas perbuatan perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun dia mengatakan bahwa perbuatannya untuk kepentingan sekutu, kecuali jika sekutu-sekutu lainnya memang nyata-nyata memberikan kuasa atas perbuatannya.
Persekutuan Perdata berakhir atau bubar diantaranya karena waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai, atau seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Firma lebih unggul
Sementara itu, firma sebagaimana diatur dalam Pasal 16 KUHD adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama. Firma harus didirikan dengan akta notaris, namun demikian jika firma tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga, pendirian dengan tanpa akte notaris pun telah dianggap berdiri. Kemudian Akta pendirian tersebut harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan melalui Berita Negara.
Firma dianggap bubar diantaranya karena waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai, atau seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia. Namun, dalam prakteknya, pengunduran sendiri seorang anggota tidak selalu membuat firma menjadi bubar. Seringkali terjadi seorang anggota firma yang mundur digantikan oleh orang lain dengan tetap mempertahankan firma yang ada.
Pasal 31 KUHD mengatur bahwa pembubaran firma sebelum waktu yang ditentukan (karena pengunduran diri atau pemberhentian) harua dilakukan dengan suatu akte otentik, didaftarkan pada Pengadilan Negeri, dan diumumkan dalam Berita Negara. Apabila hal ini tidak dilakukan maka firma tetap dianggap ada terhadap pihak ketiga. Apabila suatu firma jatuh pailit, maka seluruh anggotanya pun jatuh pailit karena hutang-hutang firma sekaligus menjadi hutang mereka yang harus ditanggung sampai dengan kekayaan pribadi.
Setiap sekutu firma dapat melakukan perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk dan atas nama perseroan, tanpa perlu adanya surat kuasa khusus dari sekutu lainnya. Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan salah satu sekutu firma akan menjadi tanggung jawab sekutu yang lain. Tanggung jawab demikian dinamakan tanggung jawab renteng atau tanggung jawab tanggung-menanggung atau tanggung jawab solider.
Kelebihan firma dibandingkan Persekutuan Perdata secara umum adalah firma lebih terbuka atau terang-terangan terhadap pihak ketiga, sehingga akan mendapatkan kepercayaan yang lebih dibanding Persekutuan Perdata yang dianggap usaha perseorangan oleh pihak ketiga.
Dewasa ini, kebutuhan akan jasa hukum cenderung meningkat yang artinya kebutuhan akan profesi advokat juga melambung. Sayangnya, hingga kini pengaturan tentang kantor advokat sangat minim. Untuk itu, UU Advokat yang awalnya hanya diproyeksikan untuk memperjelas status dan kedudukan profesi advokat sudah saatnya direvisi. UU Advokat seyogyanya juga mampu menciptakan kepastian dan ketertiban bagi dunia advokat.
Sejarah keberadaan kantor advokat di Indonesia dapat dikatakan sama tuanya dengan usia bangsa ini. Sebagai ilustrasi, Yap Thiam Hien, seorang icon di kalangan advokat Indonesia, telah mendirikan kantor pengacara pertamanya bersama-sama dengan John Karuwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar pada tahun 1950. Jauh sebelum Yap, telah berkiprah sejumlah advokat yang juga dikenal sebagai pejuang nasional seperti Besar Mertokusumo, Sartono, Ishak, Maramis, Soejoedi, dan M. Yamin.
Meskipun sudah eksis cukup lama, perangkat hukum yang khusus mengatur tentang bentuk badan hukum sebuah kantor advokat belum ada. Berdasarkan catatan sejarah, minimnya perangkat hukum merupakan salah satu refleksi rendahnya pengakuan negara atas eksistensi profesi advokat. Bahkan UU No. 18 Tahun 2003 yang secara khusus mengatur tentang Advokat sekalipun tidak memuat ketentuan mengenai bentuk badan hukum kantor advokat. Alhasil, rujukannya masih bertumpu pada peraturan �warisan kolonial', yakni KUH Perdata dan KUHD.
Secara umum, bentuk hukum sebuah kantor advokat berkisar pada dua, yakni persekutuan perdata dan firma. Persekutuan perdata (burgerlijke maatschap) sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata adalah suatu perjanjian, dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Persekutuan Perdata didirikan atas dasar perjanjian saja, dan tidak mengharuskan adanya syarat tertulis, artinya dapat didirikan dengan lisan saja.
Apabila seorang sekutu mengadakan hubungan dengan hukum dengan pihak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas perbuatan perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun dia mengatakan bahwa perbuatannya untuk kepentingan sekutu, kecuali jika sekutu-sekutu lainnya memang nyata-nyata memberikan kuasa atas perbuatannya.
Persekutuan Perdata berakhir atau bubar diantaranya karena waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai, atau seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Firma lebih unggul
Sementara itu, firma sebagaimana diatur dalam Pasal 16 KUHD adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama. Firma harus didirikan dengan akta notaris, namun demikian jika firma tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga, pendirian dengan tanpa akte notaris pun telah dianggap berdiri. Kemudian Akta pendirian tersebut harus didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan melalui Berita Negara.
Firma dianggap bubar diantaranya karena waktu yang ditentukan untuk bekerja telah lampau, barang musnah atau usaha yang menjadi tugas pokok selesai, atau seorang atau lebih anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia. Namun, dalam prakteknya, pengunduran sendiri seorang anggota tidak selalu membuat firma menjadi bubar. Seringkali terjadi seorang anggota firma yang mundur digantikan oleh orang lain dengan tetap mempertahankan firma yang ada.
Pasal 31 KUHD mengatur bahwa pembubaran firma sebelum waktu yang ditentukan (karena pengunduran diri atau pemberhentian) harua dilakukan dengan suatu akte otentik, didaftarkan pada Pengadilan Negeri, dan diumumkan dalam Berita Negara. Apabila hal ini tidak dilakukan maka firma tetap dianggap ada terhadap pihak ketiga. Apabila suatu firma jatuh pailit, maka seluruh anggotanya pun jatuh pailit karena hutang-hutang firma sekaligus menjadi hutang mereka yang harus ditanggung sampai dengan kekayaan pribadi.
Setiap sekutu firma dapat melakukan perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga untuk dan atas nama perseroan, tanpa perlu adanya surat kuasa khusus dari sekutu lainnya. Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan salah satu sekutu firma akan menjadi tanggung jawab sekutu yang lain. Tanggung jawab demikian dinamakan tanggung jawab renteng atau tanggung jawab tanggung-menanggung atau tanggung jawab solider.
Kelebihan firma dibandingkan Persekutuan Perdata secara umum adalah firma lebih terbuka atau terang-terangan terhadap pihak ketiga, sehingga akan mendapatkan kepercayaan yang lebih dibanding Persekutuan Perdata yang dianggap usaha perseorangan oleh pihak ketiga.
Dewasa ini, kebutuhan akan jasa hukum cenderung meningkat yang artinya kebutuhan akan profesi advokat juga melambung. Sayangnya, hingga kini pengaturan tentang kantor advokat sangat minim. Untuk itu, UU Advokat yang awalnya hanya diproyeksikan untuk memperjelas status dan kedudukan profesi advokat sudah saatnya direvisi. UU Advokat seyogyanya juga mampu menciptakan kepastian dan ketertiban bagi dunia advokat.
_____
Sumber : Hukum Online - [ Kantor Advokat, Antara Firma dan Persekutuan Perdata ]
Bisakah advokat mendirikan lebih dari satu kantor hukum? Secara aturan, seorang Advokat bisa membuka atau mendirikan lebih dari satu kantor hukum, asalkan Advokat tersebut menaati aturan hukum soal pendirian kantor advokat, yakni dengan memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat, serta tidak didirikan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
Dalam praktiknya, hal penting yang perlu dipahami adalah jangan sampai ada konflik antara kantor hukum di satu daerah dengan daerah lain karena tidak mudah mengatur manajemen dua kantor di dua tempat yang berbeda.
Penjelasan lebih lanjut, Pendirian Kantor Advokat
Pada dasarnya, bentuk kantor advokat tidak dibatasi pada suatu bentuk tertentu. Kantor hukum atau kantor advokat dapat berbentuk:
1. Usaha perseorangan
2. Firma
3. Persekutuan perdata atau maatschap
Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga bentuk kantor advokat di atas dan tata cara pendiriannya dapat Anda simak dalam artikel Syarat-syarat Pendirian Kantor Konsultan Hukum
Pendirian kantor hukum atau kantor advokat berkaitan dengan wilayah kerja advokat, yakni meliputi seluruh wilayah negara Indonesia seperti yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”):
Dalam praktiknya, hal penting yang perlu dipahami adalah jangan sampai ada konflik antara kantor hukum di satu daerah dengan daerah lain karena tidak mudah mengatur manajemen dua kantor di dua tempat yang berbeda.
Penjelasan lebih lanjut, Pendirian Kantor Advokat
Pada dasarnya, bentuk kantor advokat tidak dibatasi pada suatu bentuk tertentu. Kantor hukum atau kantor advokat dapat berbentuk:
1. Usaha perseorangan
2. Firma
3. Persekutuan perdata atau maatschap
Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga bentuk kantor advokat di atas dan tata cara pendiriannya dapat Anda simak dalam artikel Syarat-syarat Pendirian Kantor Konsultan Hukum
Pendirian kantor hukum atau kantor advokat berkaitan dengan wilayah kerja advokat, yakni meliputi seluruh wilayah negara Indonesia seperti yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”):
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Ini artinya, seorang advokat tentu bisa membuka kantor sepanjang memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat. Termasuk jika advokat tersebut akan membuka atau mendirikan kantor di Jakarta atau Kalimantan.
Lalu, apakah boleh advokat mendirikan atau membuka lebih dari satu kantor advokat?
Ini artinya, seorang advokat tentu bisa membuka kantor sepanjang memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat. Termasuk jika advokat tersebut akan membuka atau mendirikan kantor di Jakarta atau Kalimantan.
Lalu, apakah boleh advokat mendirikan atau membuka lebih dari satu kantor advokat?
Kode Etik Advokat tentang Pendirian Kantor Advokat
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Kode Etik Advokat Indonesia yang kami akses dari laman Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Pasal 8 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia berbunyi:
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Kode Etik Advokat Indonesia yang kami akses dari laman Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Pasal 8 huruf c Kode Etik Advokat Indonesia berbunyi:
"Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat."
Ini artinya, bahkan dalam Kode Etik Advokat Indonesia dibenarkan seorang advokat untuk membuka cabang kantornya (lebih dari satu kantor advokat). Dengan catatan, kantor itu tidak didirikan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat advokat, juga tentu menaati aturan hukum soal pendirian kantor advokat lainnya.
Pendirian Lebih Dari Satu Kantor Advokat dalam Praktik
Berdasarkan wawancara hukum Online dengan Abadi Abi Tisnadisastra pada tanggal 27 Agustus 2015, pukul 11.06 WIB untuk meminta pendapatnya soal pendirian lebih dari satu kantor advokat, dimana, Abadi Abi Tisnadisastrasalah adalah satu pendiri (founding partner) Firma Hukum Akset Law, kedua aturan (UU Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia) itu telah memberikan justifikasi pendirian lebih dari satu kantor advokat oleh seorang advokat. Abi menjelaskan bahwa di luar negeri firma-firma hukum pasti punya cabang di seluruh penjuruh wilayah. Sementara di Indonesia memang saat ini masih Jakarta sentris. Ia berharap ke depan akan banyak firma hukum yang membuka cabang di daerah-daerah lain.
Abi menambahkan –dalam konteks pertanyaan ini-, perlu ada sinergisitas antara kantor hukum di Jakarta dan di Kalimantan. Misalnya, di Jakarta ada 5 advokat dan di Kalimantan 5 advokat, itu feasible saja. Secara aturan, boleh mendirikan lebih dari satu kantor advokat selama tidak ada konflik dalam penanganan perkara klien antara daerah satu dengan daerah lainnya. Saat ini, masyarakat semakin pintar dan merasakan kebutuhan akan advokat. Mereka tentu akan lebih memilih advokat yang memberikan perhatian lebih dari pada yang lain. Idealnya, masyarakat membutuhkan advokat yang kapanpun dapat memberikan perhatian terhadap isu yang dihadapi.
Secara bisnis, menurut Abi, pendirian lebih dari satu kantor advokat menguntungkan dan baik, bisa memperluas market, dan bisa “hands on” langsung klien. Namun, secara manajemen, tidak akan mudah dan dibutuhkan manpower yang memadai.
Demikian gambaran umum terhadap suatu informasi dan permasalahan hukum yang sedang dihadapi, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
2. Kode Etik Advokat Indonesia.
Referensi:
http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5, diakses pada 26 Agustus 2015 pukul 16.29 WIB.
2. Kode Etik Advokat Indonesia.
Referensi:
http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/5, diakses pada 26 Agustus 2015 pukul 16.29 WIB.
[ Dijawab oleh : Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. - Title : Bisakah Advokat Mendirikan Lebih dari Satu Kantor Hukum? - Sumber : Hukum Online ]
Sebelumnya perlu dipahami bahwa konsultan hukum non-litigasi atau yang memberikan jasa hukum di luar pengadilan juga wajib memiliki izin advokat. Hal ini sesuai dengan definisi jasa hukum yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) yaitu merupakan jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (lihat Pasal 1 ayat [2] UU Advokat).
Lebih lanjut, Apakah Konsultan Hukum Non-litigasi Juga Harus Punya Izin?
Pada dasarnya, bentuk kantor advokat tidak dibatasi pada suatu bentuk tertentu. Kantor hukum atau kantor advokat dapat berbentuk:
Jadi, jika ada lebih dari satu orang yang akan mendirikan kantor advokat, maka Anda dan rekan-rekan advokat lainnya dapat memilih bentuk firma atau maatschap. Dalam praktiknya, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam buku Mendirikan Badan Usaha (hal. 20), para pengacara (advokat) di Indonesia sering menggunakan bentuk firma (Firma hukum). Namun, menurutnya, kantor advokat lebih tepat menggunakan bentuk maatschap karena dalam maatschap masing-masing advokat yang menjadi teman serikat bertindak sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi (lihat Pasal 1642 KUHPer).
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendirian atau pembukaan kantor advokat adalah mengenai kewajiban menyampaikan pemberitahuan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat (lihat Penjelasan Pasal 5 ayat [2] UU Advokat).
Untuk menambah referensi Anda, simak juga artikel-artikel di bawah ini:
Lebih lanjut, Apakah Konsultan Hukum Non-litigasi Juga Harus Punya Izin?
Pada dasarnya, bentuk kantor advokat tidak dibatasi pada suatu bentuk tertentu. Kantor hukum atau kantor advokat dapat berbentuk:
- Usaha perseorangan. Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk usaha perseorangan dapat Anda simak dalam artikel ini.
- Firma. Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk firma dapat Anda simak dalam artikel ini.
- Persekutuan perdata atau maatschap (berdasarkan Pasal 1618 KUHPerdata atau lihat juga Pasal 1 angka 4 Kepmenhukham No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004). Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk persekutuan perdata sama dengan yang berbentuk firma. Karena syarat pendirian persekutuan perdata sama dengan firma, yaitu harus didirikan oleh paling sedikit dua orang berdasarkan perjanjian dengan Akta Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
Jadi, jika ada lebih dari satu orang yang akan mendirikan kantor advokat, maka Anda dan rekan-rekan advokat lainnya dapat memilih bentuk firma atau maatschap. Dalam praktiknya, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam buku Mendirikan Badan Usaha (hal. 20), para pengacara (advokat) di Indonesia sering menggunakan bentuk firma (Firma hukum). Namun, menurutnya, kantor advokat lebih tepat menggunakan bentuk maatschap karena dalam maatschap masing-masing advokat yang menjadi teman serikat bertindak sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi (lihat Pasal 1642 KUHPer).
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendirian atau pembukaan kantor advokat adalah mengenai kewajiban menyampaikan pemberitahuan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat (lihat Penjelasan Pasal 5 ayat [2] UU Advokat).
Untuk menambah referensi Anda, simak juga artikel-artikel di bawah ini:
- Tentang Kantor Hukum, Lembaga bantuan Hukum, dan Konsultan Hukum (membahas antara lain tentang perbedaan pokok kantor advokat dengan lembaga bantuan hukum);
- Kantor Advokat, Antara Firma dan Persekutuan Perdata (membahas soal perbandingan kantor advokat berbentuk firma dan persekutuan perdata);
- Bentuk Badan Usaha Kantor Hukum (membahas soal latar belakang kantor advokat Indonesia lebih memilih bentuk firma ketimbang bentuk badan usaha lain);
- Seputar Profesi Pengacara (membahas tentang manajemen jenjang karir di kantor advokat).
Demikian gambaran umum terhadap suatu informasi dan permasalahan hukum yang sedang dihadapi, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
- Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
- Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 tentang Tatacara Memperkerjakan Advokat Asing serta Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada Dunia Pendidikan dan Penelitian Hukum
[ Dijawab oleh : Diana Kusumasari, S.H., M.H. - Title : Apa Syarat-syarat Pendirian Kantor Konsultan Hukum? - Sumber : Hukum Online ]