Dunia maya yang telah berkembang pesat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat saat ini menjadikan hubungan sosial, ekonomi dan budaya menjadi tanpa batas (borderless). Segala informasi yang tertuang dalam lingkup dunia maya dapat berlangsung signifikan secara cepat dan meluas ke setiap orang, baik yang memiliki akses secara langsung ke dunia maya itu sendiri maupun yang tidak.
Bayangkan, jika sesorang diinformasikan kejelekannya melalui web forum, blog atau e-mail, kemudian orang yang mengakses informasi tersebut menjadikannya sebagai bahan pembicaraan kepada rekannya yang sebenarnya tidak pernah mengakses informasi tersebut melalui internet dapat dipastikan orang yang telah dijelek-jelekkan tersebut akan dirugikan, baik itu didunia maya maupun dalam kehidupan nyatanya.
Beruntung, Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang pada pokoknya mengatur tentang norma-norma penyampaian informasi maupun etika didunia maya. Dalam hal pencemaran nama baik di dunia maya, Undang-Undang tersebut menyatakan melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (pasal 27 ayat (3) UU ITE).
Adapun ancaman hukumannya bagi si pelanggar adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (pasal 45 ayat (1) UU ITE). Selain, menempuh upaya pidana seperti aturan pasal di atas. Pihak yang dirugikan atau yang merasa telah dihina atau dicemarkan nama baiknya melalui internet, dapat melakukan upaya perdata kepada pihak yang melakukannya (Pasal 38 ayat (1) UU ITE, setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian).
Tuntutan hukum pidana dan atau perdata tersebut dapat diajukan bukan hanya kepada si pemberi informasi saja. Tuntutan hukum tersebut berlaku pula kepada mereka si pemilik/ pengelola web forum, blog atau e-mail dimana pencemaran nama baik/ penghinaan itu termuat/ dimuat. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan jelas “membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”.
Singkat kata, berhati-hatilah ketika anda menulis sesuatu, baik itu berupa postingan blog/ web, komentar atau e-mail sekalipun di dunia maya karena UU ITE siap menjerat anda dengan sanksi-sanksinya sebagaimana tersebut di atas. Kepada pengelola web forum, blog atau web sebaiknya sering-seringlah mengontrol komentar-komentar atau tulisan-tulisan yang ada.
Semoga bermanfaat.
[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Pencemaran nama baik didunia maya ]
Siarlingkungan.com // Pekanbaru - Kapal nelayan tenggelam di perairan Kabupaten Kepulauan Meranti Riau. Dua orang nelayan yang berada di atas kapal dinyatakan hilang.
"Sejak kemarin tim Babinkantibmas bersama nelayan sudah berusaha mencari kedua korban namun belum berhasil ditemukan," kata Kapolres Kep Meranti, AKBP Pandra Arsyad, kepada media, Jumat (11/12/2015).
Pandra menjelaskan lokasi tenggelamnya kapal nelayan ini tepatnya di perairan Kecamatan Rangsang. Kapal ini diperkirakan tenggelam pada Kamis 10 Desember siang hari.
Pandra mantan 'Abang Jakarta' ini menjelaskan kedua nelayan itu adalah Agus (46) dan Wan Safarudin (39). Keduanya pada hari nahas itu bertujuan pergi menjaga jaring gumbang (alat penangkap ikan) yang telah terpasang di perairan laut Desa Telesung.
"Nelayan ini merapat subuh dan masih terlihat oleh nelayan lain lampu kapal. Namun sampai pukul 04.00 WIB, justru lampu kapal tidak terlihat lagi," kata Pandra.
Karena merasa juga tiba-tiba lampu kapal tidak terlihat nelayan lainnya, lanjut Pandra, para nelayan mencoba mencari kapal tersebut. Para nelayan lainnya curiga kapal teman mereka tenggelam karena sinar lampu tidak terlihat lagi.
Di pagi buta itu, lanjut Pandra, para nelayan berusaha mencari kapal yang tenggelam. Namun hingga matahari terbit, usaha mereka belum membuahkan hasil. Siang harinya salah satu nelayan melaporkan hal itu ke polsek setempat.
"Atas laporan nelayan, siang harinya tim kita turun mencarinya. Pada sore hari, tim kita menemukan kapal pompong yang tenggelam tersebut. Namun kedua nelayan belum ditemukan. Kita hari ini melanjutnya pencarian bersama tim SAR," kata Pandra.
(detikcom/Chaidir Anwar Tanjung)
Pandra menjelaskan lokasi tenggelamnya kapal nelayan ini tepatnya di perairan Kecamatan Rangsang. Kapal ini diperkirakan tenggelam pada Kamis 10 Desember siang hari.
Pandra mantan 'Abang Jakarta' ini menjelaskan kedua nelayan itu adalah Agus (46) dan Wan Safarudin (39). Keduanya pada hari nahas itu bertujuan pergi menjaga jaring gumbang (alat penangkap ikan) yang telah terpasang di perairan laut Desa Telesung.
"Nelayan ini merapat subuh dan masih terlihat oleh nelayan lain lampu kapal. Namun sampai pukul 04.00 WIB, justru lampu kapal tidak terlihat lagi," kata Pandra.
Karena merasa juga tiba-tiba lampu kapal tidak terlihat nelayan lainnya, lanjut Pandra, para nelayan mencoba mencari kapal tersebut. Para nelayan lainnya curiga kapal teman mereka tenggelam karena sinar lampu tidak terlihat lagi.
Di pagi buta itu, lanjut Pandra, para nelayan berusaha mencari kapal yang tenggelam. Namun hingga matahari terbit, usaha mereka belum membuahkan hasil. Siang harinya salah satu nelayan melaporkan hal itu ke polsek setempat.
"Atas laporan nelayan, siang harinya tim kita turun mencarinya. Pada sore hari, tim kita menemukan kapal pompong yang tenggelam tersebut. Namun kedua nelayan belum ditemukan. Kita hari ini melanjutnya pencarian bersama tim SAR," kata Pandra.
(detikcom/Chaidir Anwar Tanjung)
Editor : Kelvin
1. Arti dan dasar alat bukti saksi dalam perkara perdata
Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka sidang hakim. Saksi-saksi itu ada yang kebetulan melihat atau yang mengalami sendiri suatu peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim, ada keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, ia tidak mendengar atau melihat sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau hal-hal tersebut, ini disebut testimonium de auditu, dan ada yang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan dan lain sebagainya.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Perdata di Indonesia menyatakan bahwa :
“Sementara orang berpendapat dengan adanya Pasal 171 ayat (2), maka kesaksian dari orang lain (testimonium de auditu) tidak dibolehkan. Sebenarnya testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, karena itu tidak dilarang. Hanya saja harus diingat bahwa yang dikemukakan oleh saksi adalah kenyataan, bahwa orang ketiga diluar sidang pengadilan pernah mengatakan sesuatu. Tidak ada larangan untuk mempergunakan perkataan orang tersebut guna menyusun suatu alat bukti berupa persangkaan.” [1]
Keterangan yang diberikan saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri, atau dialami sendiri. Jadi yang dimaksud bukti dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi didepan sidang pengadilan tentang suatu peristiwa, kejadian atau keadaan tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri.
Dalam Pasal 300 ayat (1) HIR mengatakan bahwa hakim Pengadilan Negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang memberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain. Artinya yang dimaksud pasal tersebut bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk membuktikan, harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain. Kalau didasarkan atas keterangan itu saja, maka dalil yang harus dibuktikan itu masih belum terbukti, inilah yang disebut asas unus testis nullus testis yaitu satu saksi bukan saksi .
2. Syarat bukti keterangan saksi
Seperti halnya pada alat bukti pada umumnya, alat bukti saksi pun mempunyai syarat formil dan materiil, antara kedua sifat ini bersifat komulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi. Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum, tetapi salah satu syarat materiil tidak lengkap, tetap saksi yang diajukan tidak sah sebagai alat bukti. Atau sebaliknya, syarat materiil terpenuhi, tetapi syarat formil tidak, hukum tidak menolerirnya, sehingga saksi itu tidak sah sebagai alat bukti.
Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi keterangan palsu, maka saksi dapat dituntut dan dihukum untuk sumpah palsu.
Dalam memberikan nilai kesaksian pasal 172 HIR memberikan petunjuk sebagai berikut:
Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain atau persetujuan persaksian-kesaksian dengan yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai.
Syarat-syarat bukti formil dan materiil saksi adalah:
Syarat formil saksi:
- Berumur 15 tahun keatas;
- Sehat akalnya;
- Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali Undang-Undang menentukan lain;
- Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun bercerai (pasal 145 (1) HIR);
- Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144(2) HIR), kecuali undang-undang menentukan lain;
- Menghadap di persidangan;
- Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)
- Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali dalam perzinaan;
- Dipanggil diruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR);
- Memberi keterangan secara lisan.
Syarat materiil saksi:
- Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar, dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR);
- Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwa (pasal 171 (1) HIR);
- Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171 (2) HIR);
- Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR);
- Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-Pasal 152, Pasal 168-Pasal 172 HIR/Pasal 165-179, Pasal 309 RBg/Pasal 1895, Pasal 1902-Pasal 1908 BW.
Menurut Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg, seseorang yang tanpa alasan yang sah tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :
- Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya menjadi saksi;
- Secara paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau perlu dengan bantuan polri;
- Dimasukan dalam penyanderaan.
Semoga Bermanfaat
[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Alat Bukti Saksi ]
Rujukan :
[1] . Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. op.cit., hal. 118.
Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain atau persetujuan persaksian-kesaksian dengan yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai.
Tetapi, bilamana seseorang yang tanpa alasan yang sah tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi berdasarkan Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg Sebagai berikut :
Pasal 140
Jika saksi yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu, maka dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu. Ia akan dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.
Jika saksi yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu, maka dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu. Ia akan dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.
Penjelasan:
Periksa penjelasan pada pasal 139.
Pasal 140 itu menetapkan dengan tegas bahwa saksi yang lalai itu "dihukum membayar segala biaya", akan tetapi bagaimana cara menetapkan itu harus diadakan pemeriksaan sendiri, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatu diserahkan kepada pendapat dan kebijaksanaan hakim.
Periksa penjelasan pada pasal 139.
Pasal 140 itu menetapkan dengan tegas bahwa saksi yang lalai itu "dihukum membayar segala biaya", akan tetapi bagaimana cara menetapkan itu harus diadakan pemeriksaan sendiri, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatu diserahkan kepada pendapat dan kebijaksanaan hakim.
Pasal 141
(1) Jika saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka ia dapat dihukum buat kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan akan mengganti kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak oleh karena ke tidak datangnya itu.
(2) Kemudian ketua dapat memerintahkan, supaya: saksi yang tidak datang itu oleh pegawai umum dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.
(1) Jika saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka ia dapat dihukum buat kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan akan mengganti kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak oleh karena ke tidak datangnya itu.
(2) Kemudian ketua dapat memerintahkan, supaya: saksi yang tidak datang itu oleh pegawai umum dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.
Penjelasan:
- Periksa penjelasan pada pasal 139.
- Dalam pasal 141 ini ditentukan dengan tegas, bahwa saksi yang untuk kedua kalinya dipanggil juga tidak datang, maka ia dihukum selain untuk "membayar segala biaya" untuk pemanggilan yang sia-sia, juga untuk "membayar ganti segala kerugian" yang terjadi bagi kedua belah pihak karena ia tidak menghadap itu, akan tetapi cara menentukan berapa besarnya jumlah itu dan apakah harus diadakan sidang tersendiri untuk itu, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatunya diserahkan kepada pendapat dan kebijaksanaan hakim sendiri.
Pasal 148
Jika di luar hal tersebut pada pasal 146, seorang saksi menghadap di persidangan dan enggan disumpah, atau enggan memberi keterangannya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberi perintah, supaya saksi itu disanderakan sampai saksi itu memenuhi kewajibannya.
Jika di luar hal tersebut pada pasal 146, seorang saksi menghadap di persidangan dan enggan disumpah, atau enggan memberi keterangannya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberi perintah, supaya saksi itu disanderakan sampai saksi itu memenuhi kewajibannya.
Penjelasan:
Jikalau kita bandingkan penyanderaan (gijzeling) pada saksi yang tersebut dalam pasal ini dengan penyanderaan pihak yang berhutang yang tersebut dalam pasal-pasal 209 dan seterusnya, maka nampak benar, bahwa penyanderaan menurut pasal 209 diatur lebih lengkap, yaitu diatur pula tentang lamanya orang dapat disandera (pasal 210), orang-orang yang tidak dapat disandera (pasal 211) dan tempat-tempat yang dilarang untuk dipakai sebagai tempat menyandera (pasal 212), akan tetapi mengenal penyanderaan saksi tersebut dalam pasal 148 ini tidak diberikan peraturan-peraturan lebih lanjut tentang hal-hal. seperti itu, sehingga penyanderaan saksi dalam pasal 148 ini sulit dipraktekkan. Ada baiknya bahwa di samping itu dibuka kemungkinan oleh undang-undang untuk menuntut saksi yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan sengaja di muka hakim Dalam pasal 224 KUHP ditentukan bahwa barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, sebagai ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang diharuskan kepadanya, akan dihukum.
1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan;
2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam bulan.
Jikalau kita bandingkan penyanderaan (gijzeling) pada saksi yang tersebut dalam pasal ini dengan penyanderaan pihak yang berhutang yang tersebut dalam pasal-pasal 209 dan seterusnya, maka nampak benar, bahwa penyanderaan menurut pasal 209 diatur lebih lengkap, yaitu diatur pula tentang lamanya orang dapat disandera (pasal 210), orang-orang yang tidak dapat disandera (pasal 211) dan tempat-tempat yang dilarang untuk dipakai sebagai tempat menyandera (pasal 212), akan tetapi mengenal penyanderaan saksi tersebut dalam pasal 148 ini tidak diberikan peraturan-peraturan lebih lanjut tentang hal-hal. seperti itu, sehingga penyanderaan saksi dalam pasal 148 ini sulit dipraktekkan. Ada baiknya bahwa di samping itu dibuka kemungkinan oleh undang-undang untuk menuntut saksi yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan sengaja di muka hakim Dalam pasal 224 KUHP ditentukan bahwa barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, sebagai ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang diharuskan kepadanya, akan dihukum.
1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan;
2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam bulan.
Pasal 166
Dicabut menurut Staatblad 1927 Nomor 146.
Dicabut menurut Staatblad 1927 Nomor 146.
Pasal 167
Hakim dapat memberikan kekuatan bukti yang demikian syah pada pembukuan seseorang, buat keuntungan orang itu, sebagaimana patut menurut pikirannya, sehingga dapat dihargakan dalam tiap-tiap hal yang istimewa.
Penjelasan:
Apabila dipandangnya patut, menurut pasal 167 ini, hakim bebas untuk memberikan kekuatan bukti kepada pembukuan bagi keuntungan orang yang memegang buku itu. Ini adalah hal yang luar biasa. Biasanya suatu surat tidak mungkin digunakan sebagai bukti bagi keuntungan orang yang menulisnya; surat itu selalu dipakai sebagai bukti terhadap dan bagi kerugian orang itu.
Apabila dipandangnya patut, menurut pasal 167 ini, hakim bebas untuk memberikan kekuatan bukti kepada pembukuan bagi keuntungan orang yang memegang buku itu. Ini adalah hal yang luar biasa. Biasanya suatu surat tidak mungkin digunakan sebagai bukti bagi keuntungan orang yang menulisnya; surat itu selalu dipakai sebagai bukti terhadap dan bagi kerugian orang itu.
Pasal 176.
Jika di luar hal yang diatur dalam pasal 174 seorang saksi di depan sidang menolak mengangkat sumpah atau menolak memberikan keterangan, maka atas permohonan pihak yang berkepentingan ketua dapat memerintahkan agar saksi-saksi tersebut atas biaya pihak yang memohon disandera untuk waktu selama tidak lebih dari tiga bulan, kecuali bila sementara itu sanggup memenuhi kewajibannya atau perkaranya telah diputus oleh pengadilan negeri. (Rv. 186; IR. 148; S. 1920-69.)
Jika di luar hal yang diatur dalam pasal 174 seorang saksi di depan sidang menolak mengangkat sumpah atau menolak memberikan keterangan, maka atas permohonan pihak yang berkepentingan ketua dapat memerintahkan agar saksi-saksi tersebut atas biaya pihak yang memohon disandera untuk waktu selama tidak lebih dari tiga bulan, kecuali bila sementara itu sanggup memenuhi kewajibannya atau perkaranya telah diputus oleh pengadilan negeri. (Rv. 186; IR. 148; S. 1920-69.)
Semoga Bermanfaat
Rujukan :
- HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R) REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBAHARUI (R.I.B.)
- REGLEMEN ACARA HUKUM UNTUK DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA. (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN MADURA. (RBg.) (S. 1927-227.)
1. Pengertian Persangkaan dalam Hukum Acara Perdata
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBg.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBg adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]
Pasal 310 RBg:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.[2]
Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]
Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk dipahami.
2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutan ke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBg Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.
Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnya dimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua, hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]
Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBg hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]
Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:
Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBg.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBg adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]
Pasal 310 RBg:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.[2]
Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]
Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk dipahami.
2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutan ke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBg Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.
Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnya dimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua, hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]
Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBg hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]
Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:
Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:
- perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang;
- hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;
- kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak;
- kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.
Pasal 1917
Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.
Pasal 1918
Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seseorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, didalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 1919
Jika seseorang telah dibebaskan dari suatukejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu dimuka Hakim perdata tidak dapat dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan gantirugi.
Pasal 1920
Putusan-putusan Hakim perihal kedudukanhukum orang-orang, yang mana putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.
Pasal 1921
Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut. Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu pembuktian, jika berdasarkanpersangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak mengurangi apa yang telah ditetapkan mengenai sumpah di muka Hakim dan pengakuan di muka Hakim.
Pasal 1922
Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan.
3. Penggunaan PersangkaanSerta Posisinya dalam Hukum Acara Perdata
Sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Perdata tidaklah bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, yakni harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan materil, dan di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).[8]
Sistem pembuktian inilah yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP.[9] Kebenaran yang dicari dan diwujudkan, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini oleh hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan harus benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.[10] Berdasarkan faktor ini pula persangkaan dihapuskan di dalam Hukum Acara Pidana.
Tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Dengan kesimpulan, bahwa dengan demikian penggugat dan tergugat telah melepaskan hak perdatanya.[11]
Subekti mencontohkan salah satu kasus yang mempergunakan alat bukti persangkaan. Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur, berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati kepastian, yakni bahwa telah terjadi perzinahan.[12]
Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.[13] Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.
Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan alat bukti atau fakta lain,sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain terlebih dahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBg dianggap kurang tepat.[14]
Ada yang mengatakan persangkaan bukanlah alat bukti yang sebenarnya di dalam hukum pembuktian, namun ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap merupakan sebuah alat bukti, dan pencantumannya di dalam KUH Perdata, HIR dan RBg adalah tepat.Tentunya pendapat yang terakhir ini didasarkan pada Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti persangkaan adalah alat bukti. Dengan penegasan bahwa persangkaan itu adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.[15]
Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X, sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat X, adalah merupakan persangkaan.[16]
Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary), pelaksanaan pembuktian berada dalam keadaan ketidak mungkinan atau imposibilitas. Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian.[17]
Sekiranya di dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut.[18]
Misalnya A menggugat B atas sebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli dan dibayar lunas, tetapi tidak mau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A mengajukan alat bukti akta jual beli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi. Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.[19] Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.[20]
Semoga Bermanfaat
[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Alat Bukti Persangkaan ]
******************
[1] Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, PerbandinganHIR dan RBg, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm.115.
[2] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara Perdata di Peradilan,(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 319.
[3] Ibid,hlm.141.
[4] Subekti, Hukum Pembuktian,cet.17 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008) hlm. 45.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum AcaraPerdata (Jakarta. Sinar Grafika: 2007) hlm 684.
[6] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata cet. 31 (Jakarta, PTIntermasa: 2003) hlm.176.
[7] Ibid,hlm.683-684.
[8] Ibid,hlm. 498.
[9] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No.8 tahun 1981.
[10] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm 498.
[11] Ibid,hlm. 498.
[12] Subekti, Hukum Pembuktian....,hlm.45.
[13] Lihat: Subekti, Hukum Pembuktian...., hlm.37.
[14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm. 686.
[15] Lihat: Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005) hlm. 255.
[16] Sudikno Mertokusumo, HukumAcara Perdata Indonesia, cet ke-1, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.138-139.
[17] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara....., hlm. 143.
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid