• Home
  • Hukum
    • KUHP
    • KUHPerdata
    • UUPK
    • Perkawinan
    • Hukum Indonesia
  • Persidangan
  • Hukum Islam
  • Siaran Pers

Dunia maya yang telah berkembang pesat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat saat ini menjadikan hubungan sosial, ekonomi dan budaya menjadi tanpa batas (borderless). Segala informasi yang tertuang dalam lingkup dunia maya dapat berlangsung signifikan secara cepat dan meluas ke setiap orang, baik yang memiliki akses secara langsung ke dunia maya itu sendiri maupun yang tidak.

Bayangkan, jika sesorang diinformasikan kejelekannya melalui web forum, blog atau e-mail, kemudian orang yang mengakses informasi tersebut menjadikannya sebagai bahan pembicaraan kepada rekannya yang sebenarnya tidak pernah mengakses informasi tersebut melalui internet dapat dipastikan orang yang telah dijelek-jelekkan tersebut akan dirugikan, baik itu didunia maya maupun dalam kehidupan nyatanya.

Beruntung, Pemerintah telah menerbitkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang pada pokoknya mengatur tentang norma-norma penyampaian informasi maupun etika didunia maya. Dalam hal pencemaran nama baik di dunia maya, Undang-Undang tersebut menyatakan melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (pasal 27 ayat (3) UU ITE).

Adapun ancaman hukumannya bagi si pelanggar adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (pasal 45 ayat (1) UU ITE). Selain, menempuh upaya pidana seperti aturan pasal di atas. Pihak yang dirugikan atau yang merasa telah dihina atau dicemarkan nama baiknya melalui internet, dapat melakukan upaya perdata kepada pihak yang melakukannya (Pasal 38 ayat (1) UU ITE, setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian).

Tuntutan hukum pidana dan atau perdata tersebut dapat diajukan bukan hanya kepada si pemberi informasi saja. Tuntutan hukum tersebut berlaku pula kepada mereka si pemilik/ pengelola web forum, blog atau e-mail dimana pencemaran nama baik/ penghinaan itu termuat/ dimuat. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan jelas “membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”.


Singkat kata, berhati-hatilah ketika anda menulis sesuatu, baik itu berupa postingan blog/ web, komentar atau e-mail sekalipun di dunia maya karena UU ITE siap menjerat anda dengan sanksi-sanksinya sebagaimana tersebut di atas. Kepada pengelola web forum, blog atau web sebaiknya sering-seringlah mengontrol komentar-komentar atau tulisan-tulisan yang ada.

Semoga bermanfaat.


[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Pencemaran nama baik didunia maya ]

Siarlingkungan.com // Pekanbaru - Kapal nelayan tenggelam di perairan Kabupaten Kepulauan Meranti Riau. Dua orang nelayan yang berada di atas kapal dinyatakan hilang.
 
"Sejak kemarin tim Babinkantibmas bersama nelayan sudah berusaha mencari kedua korban namun belum berhasil ditemukan," kata Kapolres Kep Meranti, AKBP Pandra Arsyad, kepada media, Jumat (11/12/2015).

Pandra menjelaskan lokasi tenggelamnya kapal nelayan ini tepatnya di perairan Kecamatan Rangsang. Kapal ini diperkirakan tenggelam pada Kamis 10 Desember siang hari.

Pandra mantan 'Abang Jakarta' ini menjelaskan kedua nelayan itu adalah Agus (46) dan Wan Safarudin (39). Keduanya pada hari nahas itu bertujuan pergi  menjaga jaring gumbang (alat penangkap ikan) yang telah terpasang di perairan laut Desa Telesung.

"Nelayan ini merapat subuh dan masih terlihat oleh nelayan lain lampu kapal. Namun sampai pukul 04.00 WIB, justru lampu kapal tidak terlihat lagi," kata Pandra.

Karena merasa juga tiba-tiba lampu kapal tidak terlihat nelayan lainnya, lanjut Pandra, para  nelayan mencoba mencari kapal tersebut. Para nelayan lainnya curiga kapal teman mereka tenggelam karena sinar lampu tidak terlihat lagi.

Di pagi buta itu, lanjut Pandra, para nelayan berusaha mencari kapal yang tenggelam. Namun hingga matahari terbit, usaha mereka belum membuahkan hasil. Siang harinya salah satu nelayan melaporkan hal itu ke polsek setempat.

"Atas laporan nelayan, siang harinya tim kita turun mencarinya. Pada  sore hari, tim kita menemukan kapal pompong yang tenggelam tersebut. Namun kedua nelayan belum ditemukan. Kita hari ini melanjutnya pencarian bersama tim SAR," kata Pandra.
(detikcom/Chaidir Anwar Tanjung)


Editor : Kelvin

1. Arti dan dasar alat bukti saksi dalam perkara perdata

Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka sidang hakim. Saksi-saksi itu ada yang kebetulan melihat atau yang mengalami sendiri suatu peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim, ada keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, ia tidak mendengar atau melihat sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau hal-hal tersebut, ini disebut testimonium de auditu, dan ada yang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan dan lain sebagainya.

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Perdata di Indonesia menyatakan bahwa :

“Sementara orang berpendapat dengan adanya Pasal 171 ayat (2), maka kesaksian dari orang lain (testimonium de auditu) tidak dibolehkan. Sebenarnya testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, karena itu tidak dilarang. Hanya saja harus diingat bahwa yang dikemukakan oleh saksi adalah kenyataan, bahwa orang ketiga diluar sidang pengadilan pernah mengatakan sesuatu. Tidak ada larangan untuk mempergunakan perkataan orang tersebut guna menyusun suatu alat bukti berupa persangkaan.” [1]

Keterangan yang diberikan saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri, atau dialami sendiri. Jadi yang dimaksud bukti dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi didepan sidang pengadilan tentang suatu peristiwa, kejadian atau keadaan tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri.

Dalam Pasal 300 ayat (1) HIR mengatakan bahwa hakim Pengadilan Negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang memberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain. Artinya yang dimaksud pasal tersebut bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk membuktikan, harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain. Kalau didasarkan atas keterangan itu saja, maka dalil yang harus dibuktikan itu masih belum terbukti, inilah yang disebut asas unus testis nullus testis yaitu satu saksi bukan saksi .

2. Syarat bukti keterangan saksi

Seperti halnya pada alat bukti pada umumnya, alat bukti saksi pun mempunyai syarat formil dan materiil, antara kedua sifat ini bersifat komulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi. Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum, tetapi salah satu syarat materiil tidak lengkap, tetap saksi yang diajukan tidak sah sebagai alat bukti. Atau sebaliknya, syarat materiil terpenuhi, tetapi syarat formil tidak, hukum tidak menolerirnya, sehingga saksi itu tidak sah sebagai alat bukti.

Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi keterangan palsu, maka saksi dapat dituntut dan dihukum untuk sumpah palsu.

Dalam memberikan nilai kesaksian pasal 172 HIR memberikan petunjuk sebagai berikut:

Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain atau persetujuan persaksian-kesaksian dengan yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai.

Syarat-syarat bukti formil dan materiil saksi adalah:

Syarat formil saksi:

  1. Berumur 15 tahun keatas;
  2. Sehat akalnya;
  3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali Undang-Undang menentukan lain;
  4. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun bercerai (pasal 145 (1) HIR);
  5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144(2) HIR), kecuali undang-undang menentukan lain;
  6. Menghadap di persidangan;
  7. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)
  8. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali dalam perzinaan;
  9. Dipanggil diruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR);
  10. Memberi keterangan secara lisan.

Syarat materiil saksi:
  1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar, dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR);
  2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwa (pasal 171 (1) HIR);
  3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171 (2) HIR);
  4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR);
  5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-Pasal 152, Pasal 168-Pasal 172 HIR/Pasal 165-179, Pasal 309 RBg/Pasal 1895, Pasal 1902-Pasal 1908 BW.
 
Menurut Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg, seseorang yang tanpa alasan yang sah tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :
  1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya menjadi saksi;
  2. Secara paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau perlu dengan bantuan polri;
  3. Dimasukan dalam penyanderaan.


Semoga Bermanfaat



[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Alat Bukti Saksi ]


Rujukan :
 [1] . Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. op.cit., hal. 118.

Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain atau persetujuan persaksian-kesaksian dengan yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai.

Tetapi, bilamana seseorang yang tanpa alasan yang sah tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi berdasarkan Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg Sebagai berikut :

Pasal 140
Jika saksi yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu, maka dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu. Ia akan dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.
 
Penjelasan:
Periksa penjelasan pada pasal 139.
Pasal 140 itu menetapkan dengan tegas bahwa saksi yang lalai itu "dihukum membayar segala biaya", akan tetapi bagaimana cara menetapkan itu harus diadakan pemeriksaan sendiri, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatu diserahkan kepada pendapat dan kebijaksanaan hakim.

Pasal 141
(1) Jika saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka ia dapat dihukum buat kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan akan mengganti kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak oleh karena ke tidak datangnya itu.
(2) Kemudian ketua dapat memerintahkan, supaya: saksi yang tidak datang itu oleh pegawai umum dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.
 
Penjelasan:
  1. Periksa penjelasan pada pasal 139.
  2. Dalam pasal 141 ini ditentukan dengan tegas, bahwa saksi yang untuk kedua kalinya dipanggil juga tidak datang, maka ia dihukum selain untuk "membayar segala biaya" untuk pemanggilan yang sia-sia, juga untuk "membayar ganti segala kerugian" yang terjadi bagi kedua belah pihak karena ia tidak menghadap itu, akan tetapi cara menentukan berapa besarnya jumlah itu dan apakah harus diadakan sidang tersendiri untuk itu, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatunya diserahkan kepada pendapat dan kebijaksanaan hakim sendiri.

Pasal 148
Jika di luar hal tersebut pada pasal 146, seorang saksi menghadap di persidangan dan enggan disumpah, atau enggan memberi keterangannya, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan, ketua dapat memberi perintah, supaya saksi itu disanderakan sampai saksi itu memenuhi kewajibannya.

Penjelasan:
Jikalau kita bandingkan penyanderaan (gijzeling) pada saksi yang tersebut dalam pasal ini dengan penyanderaan pihak yang berhutang yang tersebut dalam pasal-pasal 209 dan seterusnya, maka nampak benar, bahwa penyanderaan menurut pasal 209 diatur lebih lengkap, yaitu diatur pula tentang lamanya orang dapat disandera (pasal 210), orang-orang yang tidak dapat disandera (pasal 211) dan tempat-tempat yang dilarang untuk dipakai sebagai tempat menyandera (pasal 212), akan tetapi mengenal penyanderaan saksi tersebut dalam pasal 148 ini tidak diberikan peraturan-peraturan lebih lanjut tentang hal-hal. seperti itu, sehingga penyanderaan saksi dalam pasal 148 ini sulit dipraktekkan. Ada baiknya bahwa di samping itu dibuka kemungkinan oleh undang-undang untuk menuntut saksi yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan sengaja di muka hakim Dalam pasal 224 KUHP ditentukan bahwa barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, sebagai ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang diharuskan kepadanya, akan dihukum.
1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan;
2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam bulan.


Pasal 166
Dicabut menurut Staatblad 1927 Nomor 146.
 
Pasal 167
Hakim dapat memberikan kekuatan bukti yang demikian syah pada pembukuan seseorang, buat keuntungan orang itu, sebagaimana patut menurut pikirannya, sehingga dapat dihargakan dalam tiap-tiap hal yang istimewa.
 
Penjelasan:
Apabila dipandangnya patut, menurut pasal 167 ini, hakim bebas untuk memberikan kekuatan bukti kepada pembukuan bagi keuntungan orang yang memegang buku itu. Ini adalah hal yang luar biasa. Biasanya suatu surat tidak mungkin digunakan sebagai bukti bagi keuntungan orang yang menulisnya; surat itu selalu dipakai sebagai bukti terhadap dan bagi kerugian orang itu.


Pasal 176.
Jika  di  luar  hal  yang  diatur  dalam  pasal  174  seorang  saksi  di  depan  sidang  menolak  mengangkat sumpah  atau  menolak  memberikan  keterangan,  maka  atas  permohonan  pihak  yang  berkepentingan ketua dapat memerintahkan agar saksi-saksi tersebut atas biaya pihak yang memohon disandera untuk waktu selama  tidak  lebih  dari tiga bulan, kecuali   bila  sementara itu  sanggup  memenuhi   kewajibannya atau perkaranya telah diputus oleh pengadilan negeri. (Rv. 186; IR. 148; S. 1920-69.) 


Semoga Bermanfaat



Rujukan :
  1. HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R) REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBAHARUI (R.I.B.)
  2. REGLEMEN ACARA HUKUM UNTUK DAERAH LUAR JAWA DAN MADURA. (REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN MADURA. (RBg.) (S. 1927-227.)


1. Pengertian Persangkaan dalam Hukum Acara Perdata

Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.

Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBg.

Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBg adalah sebagai berikut:

Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]

Pasal 310 RBg:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.[2]

Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]

Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk dipahami.

 2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutan ke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBg Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.

Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnya dimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua, hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]

Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBg hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]


Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:

Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.

Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
 
Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:
  1. perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang;
  2. hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;
  3. kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak;
  4. kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

Pasal 1917
Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.

Pasal 1918
Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seseorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, didalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 1919
Jika seseorang telah dibebaskan dari suatukejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu dimuka Hakim perdata tidak dapat dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan gantirugi.

Pasal 1920
Putusan-putusan Hakim perihal kedudukanhukum orang-orang, yang mana putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.

Pasal 1921

Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut. Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu pembuktian, jika berdasarkanpersangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak mengurangi apa yang telah ditetapkan mengenai sumpah di muka Hakim dan pengakuan di muka Hakim.

Pasal 1922
Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan.

3. Penggunaan PersangkaanSerta Posisinya dalam Hukum Acara Perdata

Sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Perdata tidaklah bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, yakni harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan materil, dan di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).[8]

Sistem pembuktian inilah yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP.[9] Kebenaran yang dicari dan diwujudkan, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini oleh hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan harus benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.[10] Berdasarkan faktor ini pula persangkaan dihapuskan di dalam Hukum Acara Pidana.

Tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Dengan kesimpulan, bahwa dengan demikian penggugat dan tergugat telah melepaskan hak perdatanya.[11]

Subekti mencontohkan salah satu kasus yang mempergunakan alat bukti persangkaan. Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur, berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati kepastian, yakni bahwa telah terjadi perzinahan.[12]

Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.[13] Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.

Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan alat bukti atau fakta lain,sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain terlebih dahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBg dianggap kurang tepat.[14]

Ada yang mengatakan persangkaan bukanlah alat bukti yang sebenarnya di dalam hukum pembuktian, namun ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap merupakan sebuah alat bukti, dan pencantumannya di dalam KUH Perdata, HIR dan RBg adalah tepat.Tentunya pendapat yang terakhir ini didasarkan pada Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti persangkaan adalah alat bukti. Dengan penegasan bahwa persangkaan itu adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.[15]

Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X, sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat X, adalah merupakan persangkaan.[16]

Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary), pelaksanaan pembuktian berada dalam keadaan ketidak mungkinan atau imposibilitas. Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian.[17]

Sekiranya di dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut.[18]

Misalnya A menggugat B atas sebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli dan dibayar lunas, tetapi tidak mau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A mengajukan alat bukti akta jual beli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi. Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.[19] Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.[20]
 

Semoga Bermanfaat


[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Alat Bukti Persangkaan ]


******************


[1] Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, PerbandinganHIR dan RBg, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm.115.
[2] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara Perdata di Peradilan,(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 319.
[3] Ibid,hlm.141.
[4] Subekti, Hukum Pembuktian,cet.17 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008) hlm. 45.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum AcaraPerdata (Jakarta. Sinar Grafika: 2007) hlm 684.
[6] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata cet. 31 (Jakarta, PTIntermasa: 2003) hlm.176.
[7] Ibid,hlm.683-684.
[8] Ibid,hlm. 498.
[9] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No.8 tahun 1981.
[10] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm 498.
[11] Ibid,hlm. 498.
[12] Subekti, Hukum Pembuktian....,hlm.45.
[13] Lihat: Subekti, Hukum Pembuktian...., hlm.37.
[14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm. 686.
[15] Lihat: Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005) hlm. 255.
[16] Sudikno Mertokusumo, HukumAcara Perdata Indonesia, cet ke-1, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.138-139.
[17] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara....., hlm. 143.
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Filemon Gulö

  • Popular
  • Comments
  • Archives
    1. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
    2. Keterkaitan Wawasan Nusantara Dan Otonomi Daerah Di Indonesia
    3. Keterkaitan Otonomi Daerah Dengan Wawasan Nusantara
    4. KUHP Pasal 351 - 358 Tentang Penganiayaan
    5. KUHP Pasal 267 - 276 Tentang Pemalsuan Surat
    6. Manfaat dan Khasiat Tanaman Ciplukan
    7. Ya'ahowu Adalah Salam Ono Niha Yang Bermakna
    8. Pancasila Cuma Jadi Alat Kekuasaan
    1. Jan 21
    2. Jan 12
    3. Jan 11
    4. Jan 10
    5. Jan 08
    6. Des 21
    7. Des 15
    8. Des 12
    9. Des 11
    10. Des 10
    11. Des 07
    12. Nov 24
    13. Nov 22
    14. Nov 20
    15. Nov 13
    16. Nov 12
    17. Nov 10
    18. Nov 05
    19. Okt 26
    20. Okt 25
    21. Okt 24
    22. Okt 13
    23. Okt 12
    24. Okt 06
    25. Sep 30
    26. Sep 29
    27. Sep 26
    28. Sep 23
    29. Sep 22
    30. Sep 21
    31. Sep 20
    32. Sep 19
    33. Sep 17
    34. Sep 16
    35. Sep 12
    36. Sep 10
    37. Sep 04
    38. Sep 01
    39. Agu 31
    40. Agu 28
    41. Agu 26
    42. Agu 25
    43. Agu 24
    44. Agu 19
    45. Agu 18
    46. Agu 17
    47. Agu 14
    48. Agu 12
    49. Agu 10
    50. Agu 07
    51. Agu 01
    52. Jul 28
    53. Jul 27
    54. Jul 22
    55. Jul 18
    56. Jul 17
    57. Jul 13
    58. Jul 10
    59. Jul 07
    60. Jul 06
    61. Jul 05
    62. Jul 03
    63. Jul 01
    64. Jun 29
    65. Jun 26
    66. Jun 25
    67. Jun 23
    68. Jun 05
    69. Mei 13
    70. Mei 10
    71. Mei 07
    72. Mei 06
    73. Apr 11
    74. Apr 10
    75. Apr 06
    76. Mar 27
    77. Mar 22
    78. Mar 20
    79. Mar 14
    80. Mar 13
    81. Mar 11
    82. Mar 10
    83. Mar 09
    84. Mar 08
    85. Mar 07
    86. Mar 05
    87. Mar 04
    88. Mar 03
    89. Mar 02
    90. Mar 01
    91. Feb 29
    92. Feb 28
    93. Feb 27
    94. Feb 26
    95. Feb 25
    96. Feb 24
    97. Feb 23
    98. Feb 22
    99. Feb 21
    100. Feb 18
    101. Feb 17
    102. Feb 16
    103. Feb 15
    104. Feb 14
    105. Feb 12
    106. Feb 11
    107. Feb 10
    108. Feb 08
    109. Feb 07
    110. Feb 06
    111. Feb 05
    112. Feb 04
    113. Feb 03
    114. Feb 02
    115. Feb 01
    116. Jan 31
    117. Jan 30
    118. Jan 29
    119. Jan 28
    120. Jan 27
    121. Jan 26
    122. Jan 25
    123. Jan 24
    124. Jan 22
    125. Jan 21
    126. Jan 19
    127. Jan 18
    128. Jan 17
    129. Jan 14
    130. Jan 12
    131. Jan 11
    132. Jan 10
    133. Jan 09
    134. Jan 08
    135. Jan 07
    136. Jan 06
    137. Jan 04
    138. Jan 03
    139. Des 22
    140. Des 21
    141. Des 20
    142. Des 19
    143. Des 17
    144. Des 16
    145. Des 14
    146. Des 13
    147. Des 11
    148. Des 10
    149. Des 09
    150. Des 08
    151. Des 07
    152. Des 06
    153. Des 05
    154. Des 04
    155. Des 03
    156. Des 01
    157. Nov 30
    158. Nov 29
    159. Nov 27
    160. Nov 26
    161. Nov 25
    162. Nov 23
    163. Nov 22
    164. Nov 21
    165. Nov 16
    166. Nov 15
    167. Nov 12
    168. Nov 09
    169. Nov 08
    170. Nov 06
    171. Nov 05
    172. Nov 03
    173. Nov 02
    174. Nov 01
    175. Okt 28
    176. Okt 27
    177. Okt 26
    178. Okt 25
    179. Okt 23
    180. Okt 19
    181. Okt 18
    182. Okt 14
    183. Okt 11
    184. Sep 24
    185. Sep 17
    186. Sep 15
    187. Sep 13
    188. Sep 12
    189. Sep 08
    190. Sep 05
    191. Agu 31
    192. Agu 30
    193. Agu 28
    194. Agu 27
    195. Agu 24
    196. Agu 21
    197. Agu 20
    198. Agu 19
    199. Agu 17
    200. Agu 16
    201. Agu 10
    202. Agu 09
    203. Jun 24
    204. Sep 28
    205. Jul 13
    206. Jun 26
    207. Jun 19
    208. Jun 01
    209. Mei 25
    210. Apr 21
  • Buzz
  • Twitter
  • Facebook
  • RSS
  • Email

Advertisement

Recent Posts

Blogroll

  • Documentation
  • Plugins
  • Suggest Ideas
  • Support Forum
  • Themes
  • WordPress Blog
  • WordPress Planet

Advertisement

  • Home
  • About
  • Archives
  • Full Width
  • Links
  • Theme Options
Copyright 2017 Filemon. All rights reserved.