Tak terasa, perjalanan Shalom menuju Kerajaan Mattawijaya sudah menghabiskan waktu dua hari. Tidak mudah memang untuk pergi ke Kerajaan Mattawijaya, karena harus melewati Sungai Bodri, sungai yang luas dan memiliki arus sangat deras.
“Haahh!! Sungai ini terlalu luas dan arusnya pun sangat deras, tak mungkin aku bisa melewatinya,” Kaget Shalom seusai tiba di tepi Sungai Bodri.
Menurut cerita, sungai ini sering memakan banyak korban, sebagian besar korbannya adalah para pengembara yang mencoba menyeberangi sungai. Tahu bahwa Sungai Bodri sering memakan korban, tubuh Shalom langsung gemetaran. Tiba-tiba, seekor gorila berlari ketakutan ke arah Sholam.
“Hmm untung saja aku tak tertabrak gorila itu, tapi mengapa dia lari ketakutan?” Ucap Shalom sambil menghela napas. “Ah, sepertinya aku harus mencari tahu penyebabnya,” Lanjutnya.
Shalom memutuskan berlari mengikuti gorila itu. Tetapi, belum sempat ia menemukannya, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Dorr!! Dorr!! Dorr!! terdengar tiga kali tembakan yang mengagetkan Shalom. Kemudian, Shalom mencaritahu asal tembakan itu. Tak butuh waktu lama ia mencari asal tembakan tadi, beberapa menit kemudian, Shalom menemukan asalnya. Persis seperti dugaannya, tembakan itu berasal dari dua orang pemburu.
“Ternyata kalian yang menyebabkan gorila tadi lari ketakutan, apakah kalian tak pernah berpikir gorila hampir punah karena ulah kalian, hah?” Bentak Shalom kepada dua pemburu itu.
“Hahaha, beraninya kau membentak kami. Kalau kau tetap bersikeras menyelamatkannya, silakan saja, tetapi kau harus melawan kami dulu,” Kata salah satu pemburu dengan lancangnya. Shalom langsung bersiap-siap melawannya.
“Baiklah kalau itu mau kalian, aku dengan senang hati menghancurkan iblis seperti kalian.”
“Hyyaaaaatt!!!” Teriak Shalom sambil berlari menyerang kedua pemburu itu.
Beberapa saat kemudian, kedua pemburu itu sudah tak berdaya setelah dikalahkan oleh Shalom.
“Maafkan kami, maafkan kami.” Pinta kedua pemburu itu kepada Shalom.
“Baiklah, aku maafkan kalian, tetapi jangan pernah mengulangi perbuatan kalian lagi, ya! Balas Shalom.
“Terima ka.. sih, Tuan” Ucap salah satu pemburu dengan terbata-bata.
Shalom lalu pergi meninggalkan kedua pemburu itu dan berjalan menuju tepi Sungai Bodri.
“Ahh Lega rasanya gorila itu sudah bebas dan tidak ketakutan lagi,” Ujar Shalom sambil tersenyum.
Saat Shalom berjalan menuju tepi Sungai Bodri, tiba-tiba ada yang memanggilnya.
“Hei kau, ke sinilah, kau ingin menyeberangi sungai itu, kan?” Tanya suara misterius itu.
Shalom kaget dan berkata, “Hahh, bagaimana kau tahu tujuanku? Dan siapa kau?” Balas Shalom.
“Aku adalah gorila yang kau selamatkan tadi, namaku Gorro, sang raja dari para gorila yang ada di sini. Aku tahu kau ingin menyeberangi sungai ini karena sebagian besar para pengembara yang datang memang untuk menyeberangi sungai,” Jelas Gorro, asal suara misterius itu.
Shalom terkejut mendengar perkataan Gorro tadi, lalu ia berkata, “Haahh!! Mana mungkin gorila bisa bicara?” Bingung Shalom.
“Kau tak perlu tahu itu, sekarang aku mau membantumu menyeberangi sungai ini,” Jelas Gorro.
Kemudian, Gorro memanggil para gorila lain, “Fiiuuwiiitt!! Berkumpullah ke sini!!” Teriak Gorro.
“Hei!! Apa yang kau lakukan, Gorro?” Tanya Shalom.
“Lihat saja sendiri!” Jawab Gorro.
Segerombolan gorila pun datang dan menghampiri Gorro.
“Ada apa, tuan? Apakah ada masalah?” Tanya salah satu gorila kepada Gorro.
“Tidak ada masalah apapun. Aku hanya ingin kalian membuat jembatan, agar Shalom, manusia yang menyelamatkanku dari pemburu tadi bisa menyeberangi sungai dengan selamat,” Jawab Gorro.
“Baik, Tuan!!” Seru para gorila.
Mereka lalu pergi mengambil batu dan mengumpulkannya.
“Gorro, untuk apa mereka mengumpulkan batu? Sepertinya, kau menyuruh mereka membuat jembatan, kan? Seharusnya mereka mencari kayu, bukannya batu.” Tanya Shalom kepada Gorro.
“Itu bukan sembarang batu, itu adalah batu ajaib yang bisa mengapung di atas air. Batu itu hanya ada di Goa Ridilogo, goa tersembunyi milik para gorila yang ada di sini,” Jelas Gorro.
Arus Sungai Bodri semakin deras, akibatnya pembuatan jembatan menjadi terhambat dan semakin lama. Hari sudah semakin petang, para gorila memutuskan untuk menghentikan pembuatan jembatan dan melanjutkannya esok pagi.
“Hei semuanya!! Hentikan pekerjaan kalian, kita istirahat dulu dan melanjutkannya besok!” Perintah Gorro kepada para gorila.
Para gorila pun menghentikan pekerjaannya dan beristirahat.
Malam pun tiba, para gorila mengadakan pesta untuk menyambut penginapan Shalom. Mereka membuat api unggun dan berpesta ria hingga tengah malam.
“Semuanya!! Istirahatlah, besok kita membutuhkan banyak tenaga agar pembuatan jembatan cepat selesai dan Shalom bisa menyeberangi Sungai Bodri,” Perintah Gorro.
Prit, prit, prit, suara burung iringi pagi yang mulai datang. Para gorila sudah bergegas membuat jembatan. Selang beberapa lama, jembatan akhirnya jadi dan Shalom pun sudah siap untuk melanjutkan perjalanannya. Gorro lalu mengucapkan salam perpisahan kepada Shalom.
“Selamat tinggal, Shalom!! Semoga perjalananmu ke Kerajaan Mattawijaya berhasil!!” Ucapnya.
“Terima kasih sudah membantuku menyeberangi sungai ini, selamat tinggal!!” Balas Shalom.
Kemudian, para gorila bersahut-sahutan mengucapkan Selamat tinggal kepada Shalom.
Hari berikutnya, Shalom telah sampai di Kerajaan Mattawijaya. Saat memasuki gerbang, Shalom disambut oleh Pangeran Agung, putra dari Raja Kusuma, penguasa Kerajaan Mattawijaya yang ke-5. Pangeran Agung mengucapkan banyak terima kasih karena Shalom telah menyelamatkan hewan peliharaannya, yaitu gorila-gorila yang diselamatkan Shalom. Shalom terkejut mendengar hal itu, sebenarnya ia tidak tahu bahwa gorila-gorila itu adalah milik Pangeran Agung.
Karena kebaikan dan keberanian Shalom menyelamatkan para gorila milik Pangeran Agung, ia lalu diajak ke persinggahan raja, ia disuguhi banyak makanan yang sangat lezat di sana.
“Terima kasih, Pangeran atas semua pemberianmu ini,” Puji Shalom kepada Pangeran Agung.
“Iya, sama-sama,” Balas Pangeran Agung dan tersenyum kepada Shalom.
Beberapa hari kemudian, Shalom diangkat menjadi Panglima Sang Raja karena kebaikan dan keberaniannya menolong para gorila milik Pangeran Agung.
***
Cerpen Karangan: Izzulhaq Mahardika
kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)
Facebook: www.facebook.com/izzulhaq.mahardika
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
“Haahh!! Sungai ini terlalu luas dan arusnya pun sangat deras, tak mungkin aku bisa melewatinya,” Kaget Shalom seusai tiba di tepi Sungai Bodri.
Menurut cerita, sungai ini sering memakan banyak korban, sebagian besar korbannya adalah para pengembara yang mencoba menyeberangi sungai. Tahu bahwa Sungai Bodri sering memakan korban, tubuh Shalom langsung gemetaran. Tiba-tiba, seekor gorila berlari ketakutan ke arah Sholam.
“Hmm untung saja aku tak tertabrak gorila itu, tapi mengapa dia lari ketakutan?” Ucap Shalom sambil menghela napas. “Ah, sepertinya aku harus mencari tahu penyebabnya,” Lanjutnya.
Shalom memutuskan berlari mengikuti gorila itu. Tetapi, belum sempat ia menemukannya, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Dorr!! Dorr!! Dorr!! terdengar tiga kali tembakan yang mengagetkan Shalom. Kemudian, Shalom mencaritahu asal tembakan itu. Tak butuh waktu lama ia mencari asal tembakan tadi, beberapa menit kemudian, Shalom menemukan asalnya. Persis seperti dugaannya, tembakan itu berasal dari dua orang pemburu.
“Ternyata kalian yang menyebabkan gorila tadi lari ketakutan, apakah kalian tak pernah berpikir gorila hampir punah karena ulah kalian, hah?” Bentak Shalom kepada dua pemburu itu.
“Hahaha, beraninya kau membentak kami. Kalau kau tetap bersikeras menyelamatkannya, silakan saja, tetapi kau harus melawan kami dulu,” Kata salah satu pemburu dengan lancangnya. Shalom langsung bersiap-siap melawannya.
“Baiklah kalau itu mau kalian, aku dengan senang hati menghancurkan iblis seperti kalian.”
“Hyyaaaaatt!!!” Teriak Shalom sambil berlari menyerang kedua pemburu itu.
Beberapa saat kemudian, kedua pemburu itu sudah tak berdaya setelah dikalahkan oleh Shalom.
“Maafkan kami, maafkan kami.” Pinta kedua pemburu itu kepada Shalom.
“Baiklah, aku maafkan kalian, tetapi jangan pernah mengulangi perbuatan kalian lagi, ya! Balas Shalom.
“Terima ka.. sih, Tuan” Ucap salah satu pemburu dengan terbata-bata.
Shalom lalu pergi meninggalkan kedua pemburu itu dan berjalan menuju tepi Sungai Bodri.
“Ahh Lega rasanya gorila itu sudah bebas dan tidak ketakutan lagi,” Ujar Shalom sambil tersenyum.
Saat Shalom berjalan menuju tepi Sungai Bodri, tiba-tiba ada yang memanggilnya.
“Hei kau, ke sinilah, kau ingin menyeberangi sungai itu, kan?” Tanya suara misterius itu.
Shalom kaget dan berkata, “Hahh, bagaimana kau tahu tujuanku? Dan siapa kau?” Balas Shalom.
“Aku adalah gorila yang kau selamatkan tadi, namaku Gorro, sang raja dari para gorila yang ada di sini. Aku tahu kau ingin menyeberangi sungai ini karena sebagian besar para pengembara yang datang memang untuk menyeberangi sungai,” Jelas Gorro, asal suara misterius itu.
Shalom terkejut mendengar perkataan Gorro tadi, lalu ia berkata, “Haahh!! Mana mungkin gorila bisa bicara?” Bingung Shalom.
“Kau tak perlu tahu itu, sekarang aku mau membantumu menyeberangi sungai ini,” Jelas Gorro.
Kemudian, Gorro memanggil para gorila lain, “Fiiuuwiiitt!! Berkumpullah ke sini!!” Teriak Gorro.
“Hei!! Apa yang kau lakukan, Gorro?” Tanya Shalom.
“Lihat saja sendiri!” Jawab Gorro.
Segerombolan gorila pun datang dan menghampiri Gorro.
“Ada apa, tuan? Apakah ada masalah?” Tanya salah satu gorila kepada Gorro.
“Tidak ada masalah apapun. Aku hanya ingin kalian membuat jembatan, agar Shalom, manusia yang menyelamatkanku dari pemburu tadi bisa menyeberangi sungai dengan selamat,” Jawab Gorro.
“Baik, Tuan!!” Seru para gorila.
Mereka lalu pergi mengambil batu dan mengumpulkannya.
“Gorro, untuk apa mereka mengumpulkan batu? Sepertinya, kau menyuruh mereka membuat jembatan, kan? Seharusnya mereka mencari kayu, bukannya batu.” Tanya Shalom kepada Gorro.
“Itu bukan sembarang batu, itu adalah batu ajaib yang bisa mengapung di atas air. Batu itu hanya ada di Goa Ridilogo, goa tersembunyi milik para gorila yang ada di sini,” Jelas Gorro.
Arus Sungai Bodri semakin deras, akibatnya pembuatan jembatan menjadi terhambat dan semakin lama. Hari sudah semakin petang, para gorila memutuskan untuk menghentikan pembuatan jembatan dan melanjutkannya esok pagi.
“Hei semuanya!! Hentikan pekerjaan kalian, kita istirahat dulu dan melanjutkannya besok!” Perintah Gorro kepada para gorila.
Para gorila pun menghentikan pekerjaannya dan beristirahat.
Malam pun tiba, para gorila mengadakan pesta untuk menyambut penginapan Shalom. Mereka membuat api unggun dan berpesta ria hingga tengah malam.
“Semuanya!! Istirahatlah, besok kita membutuhkan banyak tenaga agar pembuatan jembatan cepat selesai dan Shalom bisa menyeberangi Sungai Bodri,” Perintah Gorro.
Prit, prit, prit, suara burung iringi pagi yang mulai datang. Para gorila sudah bergegas membuat jembatan. Selang beberapa lama, jembatan akhirnya jadi dan Shalom pun sudah siap untuk melanjutkan perjalanannya. Gorro lalu mengucapkan salam perpisahan kepada Shalom.
“Selamat tinggal, Shalom!! Semoga perjalananmu ke Kerajaan Mattawijaya berhasil!!” Ucapnya.
“Terima kasih sudah membantuku menyeberangi sungai ini, selamat tinggal!!” Balas Shalom.
Kemudian, para gorila bersahut-sahutan mengucapkan Selamat tinggal kepada Shalom.
Hari berikutnya, Shalom telah sampai di Kerajaan Mattawijaya. Saat memasuki gerbang, Shalom disambut oleh Pangeran Agung, putra dari Raja Kusuma, penguasa Kerajaan Mattawijaya yang ke-5. Pangeran Agung mengucapkan banyak terima kasih karena Shalom telah menyelamatkan hewan peliharaannya, yaitu gorila-gorila yang diselamatkan Shalom. Shalom terkejut mendengar hal itu, sebenarnya ia tidak tahu bahwa gorila-gorila itu adalah milik Pangeran Agung.
Karena kebaikan dan keberanian Shalom menyelamatkan para gorila milik Pangeran Agung, ia lalu diajak ke persinggahan raja, ia disuguhi banyak makanan yang sangat lezat di sana.
“Terima kasih, Pangeran atas semua pemberianmu ini,” Puji Shalom kepada Pangeran Agung.
“Iya, sama-sama,” Balas Pangeran Agung dan tersenyum kepada Shalom.
Beberapa hari kemudian, Shalom diangkat menjadi Panglima Sang Raja karena kebaikan dan keberaniannya menolong para gorila milik Pangeran Agung.
Sekian
***
Cerpen Karangan: Izzulhaq Mahardika
kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)
Facebook: www.facebook.com/izzulhaq.mahardika
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Pagi ini ku sambut dengan ceria karena nanti pukul 9.00 aku akan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dengan menggunakan beasiswa yang ku dapat. Rencananya aku akan tinggal di rumah pakde dan budeku untuk sementara, tapi nanti di sana rencananya aku akan mencari pekerjaan dan ingin ngekos supaya tidak merepotkan pakde dan bude.
Mulai lusa depan aku sudah mulai masuk sekolah di Jakarta. Sampai saat ini, itu masih seperti mimpi, maklum aku hanya gadis dari desa yang mempunyai nama sederhana yaitu Novi Lestari dan bukan orang yang tergolong mampu, aku diajak pakdeku jalan-jalan untuk melihat keadaan sekolahku, ternyata sekolahnya bagus, dan memiliki fasilitas yang cukup daripada sekolahku yang di kampung.
Hari ini aku masuk sekolah, seperti halnya anak baru, pertama masuk kelas aku memperkenalkan diri, aku duduk di samping Gita. Di sekolahku yang baru ada geng bernama twonyu -unyu-unyu- mereka geng terpopuler, cantik, pintar, kaya dan baik, ternyata Gita adalah salah satu anggota dari grup itu. Selain Gita ada juga Soraya, Nada, Abel dan Chika. Setelah beberapa hari, aku diajak untuk menjadi salah satu anggota geng twonyu, pertama aku menolak karena aku sadar kalau aku jelek dan tidak kaya tidak seperti mereka yang cantik dan kaya. Tapi setelah aku mendapat tawaran kedua aku pun menerimanya dan dari situlah awal persahabatan kami. Aku suka diajak jalan-jalan ke mall, ke rumah mereka, dan semenjak aku berteman dengan mereka aku dibuat lebih cantik, dan sekarang aku termasuk wanita populer di sekolah.
Beberapa hari ini ada lelaki yang menarik perhatianku namanya Alwan tapi dia sudah memiliki kekasih yaitu Soraya sahabatku sendiri. Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu, tapi pada suatu hari aku membuat Alwan dan Soraya putus, tapi aku senang karena masih ada peluang untuk aku menjadi pacarnya apalagi sekarang aku udah jadi wanita populer dan cantik seperti Soraya. Beberapa minggu Alwan pun jatuh cinta padaku, ia mengajakku ke taman dan berkata.
“vi maukah kamu jadi pacarku?” Dia menatapku dengan tatapan serius, tanpa ingin membuang buang waktu aku menjawab.
“iya aku mau”
Sudah 3 bulan lamanya kami berpacaran, dan Soraya pun mengetahui kalau aku yang membuat mereka putus tanpa alasan. Soraya, Gita, Nada, Abel, Chika mulai menjauhiku tapi aku masa bodoh. Saat itu aku seperti kacang lupa kulit. Sebenarnya Alwan dan Soraya masih saling mencintai. Beberapa hari setelah anniv ke 4 bulan aku ditembak sama sahabatnya Alwan yaitu Naufal. Aku menerimanya karena pada saat itu aku udah agak sedikit bosan dengan Alwan, tapi tidak lama beberapa hari, Alwan tahu kalau aku ternyata pacaran sama sahabatnya. Akhirnya aku dan Alwan putus dan Alwan menghentikan persahabatannya dengan Naufal. Setelah 2 bulan aku berpacaran dengan Naufal aku putus dengan dia, karena aku mengetahui kalau dia punya pacar lain selain aku.
Aku sangat menyesal semenjak kejadian itu, di sekolah aku tidak mempunyai sahabat sama sekali. Aku yang dulunya terkenal, populer, dan mempunyai banyak fans sekarang tidak mempunyai teman sama sekali. Setelah beberapa minggu, aku mendengar kalau Alwan dan Soraya balikan. Tiga hari setelah itu, aku meminta maaf sama geng twonyu terutama sama Soraya karena aku telah merusak hubungan dia sama Alwan. Dan pada saat itu aku seperti kacang lupa kulit dan aku juga minta maaf sama Alwan karena telah merusak hubungannya dengan Soraya dan juga aku telah berselingkuh dengan sahabatnya di belakangnya. Dan aku berjanji kepada mereka, “aku tidak akan mengulanginya lagi” tapi mereka masih belum bisa memaafkanku. Mungkin memang ini semua balasan untuk apa yang aku perbuat.
Setelah naik ke kelas 3 SMA dan setelah lamanya tidak mempunyai teman, mereka pun memaafkanku dan sekarang aku mempunyai sahabat lagi dan Alwan menjadi salah satu dari sahabatku, dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
***
Cerpen Karangan: Shelomita Laila Hakim
kategori: Cerpen Penyesalan Cerpen Persahabatan
Facebook: Shelomita Laila Hakim
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Mulai lusa depan aku sudah mulai masuk sekolah di Jakarta. Sampai saat ini, itu masih seperti mimpi, maklum aku hanya gadis dari desa yang mempunyai nama sederhana yaitu Novi Lestari dan bukan orang yang tergolong mampu, aku diajak pakdeku jalan-jalan untuk melihat keadaan sekolahku, ternyata sekolahnya bagus, dan memiliki fasilitas yang cukup daripada sekolahku yang di kampung.
Hari ini aku masuk sekolah, seperti halnya anak baru, pertama masuk kelas aku memperkenalkan diri, aku duduk di samping Gita. Di sekolahku yang baru ada geng bernama twonyu -unyu-unyu- mereka geng terpopuler, cantik, pintar, kaya dan baik, ternyata Gita adalah salah satu anggota dari grup itu. Selain Gita ada juga Soraya, Nada, Abel dan Chika. Setelah beberapa hari, aku diajak untuk menjadi salah satu anggota geng twonyu, pertama aku menolak karena aku sadar kalau aku jelek dan tidak kaya tidak seperti mereka yang cantik dan kaya. Tapi setelah aku mendapat tawaran kedua aku pun menerimanya dan dari situlah awal persahabatan kami. Aku suka diajak jalan-jalan ke mall, ke rumah mereka, dan semenjak aku berteman dengan mereka aku dibuat lebih cantik, dan sekarang aku termasuk wanita populer di sekolah.
Beberapa hari ini ada lelaki yang menarik perhatianku namanya Alwan tapi dia sudah memiliki kekasih yaitu Soraya sahabatku sendiri. Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu, tapi pada suatu hari aku membuat Alwan dan Soraya putus, tapi aku senang karena masih ada peluang untuk aku menjadi pacarnya apalagi sekarang aku udah jadi wanita populer dan cantik seperti Soraya. Beberapa minggu Alwan pun jatuh cinta padaku, ia mengajakku ke taman dan berkata.
“vi maukah kamu jadi pacarku?” Dia menatapku dengan tatapan serius, tanpa ingin membuang buang waktu aku menjawab.
“iya aku mau”
Sudah 3 bulan lamanya kami berpacaran, dan Soraya pun mengetahui kalau aku yang membuat mereka putus tanpa alasan. Soraya, Gita, Nada, Abel, Chika mulai menjauhiku tapi aku masa bodoh. Saat itu aku seperti kacang lupa kulit. Sebenarnya Alwan dan Soraya masih saling mencintai. Beberapa hari setelah anniv ke 4 bulan aku ditembak sama sahabatnya Alwan yaitu Naufal. Aku menerimanya karena pada saat itu aku udah agak sedikit bosan dengan Alwan, tapi tidak lama beberapa hari, Alwan tahu kalau aku ternyata pacaran sama sahabatnya. Akhirnya aku dan Alwan putus dan Alwan menghentikan persahabatannya dengan Naufal. Setelah 2 bulan aku berpacaran dengan Naufal aku putus dengan dia, karena aku mengetahui kalau dia punya pacar lain selain aku.
Aku sangat menyesal semenjak kejadian itu, di sekolah aku tidak mempunyai sahabat sama sekali. Aku yang dulunya terkenal, populer, dan mempunyai banyak fans sekarang tidak mempunyai teman sama sekali. Setelah beberapa minggu, aku mendengar kalau Alwan dan Soraya balikan. Tiga hari setelah itu, aku meminta maaf sama geng twonyu terutama sama Soraya karena aku telah merusak hubungan dia sama Alwan. Dan pada saat itu aku seperti kacang lupa kulit dan aku juga minta maaf sama Alwan karena telah merusak hubungannya dengan Soraya dan juga aku telah berselingkuh dengan sahabatnya di belakangnya. Dan aku berjanji kepada mereka, “aku tidak akan mengulanginya lagi” tapi mereka masih belum bisa memaafkanku. Mungkin memang ini semua balasan untuk apa yang aku perbuat.
Setelah naik ke kelas 3 SMA dan setelah lamanya tidak mempunyai teman, mereka pun memaafkanku dan sekarang aku mempunyai sahabat lagi dan Alwan menjadi salah satu dari sahabatku, dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Sekian
***
Cerpen Karangan: Shelomita Laila Hakim
kategori: Cerpen Penyesalan Cerpen Persahabatan
Facebook: Shelomita Laila Hakim
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
“Hidup ini gak ada yang mudah, kalau hidup ini mudah mungkin gak ada satu orang pun yang hidup menderita…”
Petir menyambar-nyambar di atas sana membuat sepasang suami-istri yang sudah tua menjadi takut. Si Kakek yang bernama Brama sangat erat memeluk istrinya yang bernama Rara. Si Kakek sangat takut kehilangan istrinya. Bagi Kakek hidup ini cuma ada satu tujuan. Hidup bahagia bersama Nenek. Masalah ekonomi bukan masalah buat Kakek, bagi Kakek hidup sederhana bersama Nenek itu lebih dari bahagia selama istrinya di sampingnya. Mungkin tidak banyak orang yang tahu. Dulu kehidupan sang Kakek seperti apa, yang pasti hidup Kakek gak semudah yang orang bayangkan.
Dahulu Kakek seorang pemuda yang kaya, tampan dan baik hati. Dan dia pun jatuh cinta sama seorang gadis sederhana dan ia pun menikahinya tapi Tuhan berkhendak lain si gadis ternyata mengidap penyakit yang cukup membuat Brama terpukul. Tapi Brama tidak peduli dengan semua itu ia malah lebih mencintai gadis itu dan berusaha untuk menyembuhkan. Dan setelah 10 tahun bersama penyakit Nenek belum juga sembuh. Yang membuat Kakek kehilangan segala harta bendanya. Tapi rasa cinta Kakek gak sedikit pun berubah kepada Nenek tetapi Tuhan memberikan mukzijat.
Lima bulan kemudian penyakit Nenek tiba-tiba sembuh. Kakek sangat senang ternyata Tuhan punya rencana lain atas kejadian itu. Selama berpuluh puluh tahun penyakit itu tak pernah kambuh. Sampai suatu ketika sang Nenek sedang berjalan. Tiba-tiba penyakit jantungnya kambuh dan Nenek pun jatuh karena hujan yang begitu deras. Kakek bertanya-tanya sudah sore seperti ini kenapa Nenek belum juga pulang. Kakek pun memutuskan untuk mencarinya.
Tak jauh dari rumah, Kakek sangat terpukul melihat Nenek tergeletak tak berdaya di tanah. Kakek menjerit sekuat-kuatnya.
“kenapa harus terjadi semua ini Tuhan, harta bendaku satu-satunya kenapa kau ambil juga” ujar Kakek sambil menangis.
Keesokan sorenya.
Setelah penguburan, Kakek melihat pelangi sangat indah. Nenek pun tersenyum di atas pelangi itu dan Kakek tahu Nenek selalu ada di sampingnya.
***
Cerpen Karangan: Sakban S.D.S
kategori: Cerpen Cinta Sedih
Email : Sakban_putra@yahoo.com
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Petir menyambar-nyambar di atas sana membuat sepasang suami-istri yang sudah tua menjadi takut. Si Kakek yang bernama Brama sangat erat memeluk istrinya yang bernama Rara. Si Kakek sangat takut kehilangan istrinya. Bagi Kakek hidup ini cuma ada satu tujuan. Hidup bahagia bersama Nenek. Masalah ekonomi bukan masalah buat Kakek, bagi Kakek hidup sederhana bersama Nenek itu lebih dari bahagia selama istrinya di sampingnya. Mungkin tidak banyak orang yang tahu. Dulu kehidupan sang Kakek seperti apa, yang pasti hidup Kakek gak semudah yang orang bayangkan.
Dahulu Kakek seorang pemuda yang kaya, tampan dan baik hati. Dan dia pun jatuh cinta sama seorang gadis sederhana dan ia pun menikahinya tapi Tuhan berkhendak lain si gadis ternyata mengidap penyakit yang cukup membuat Brama terpukul. Tapi Brama tidak peduli dengan semua itu ia malah lebih mencintai gadis itu dan berusaha untuk menyembuhkan. Dan setelah 10 tahun bersama penyakit Nenek belum juga sembuh. Yang membuat Kakek kehilangan segala harta bendanya. Tapi rasa cinta Kakek gak sedikit pun berubah kepada Nenek tetapi Tuhan memberikan mukzijat.
Lima bulan kemudian penyakit Nenek tiba-tiba sembuh. Kakek sangat senang ternyata Tuhan punya rencana lain atas kejadian itu. Selama berpuluh puluh tahun penyakit itu tak pernah kambuh. Sampai suatu ketika sang Nenek sedang berjalan. Tiba-tiba penyakit jantungnya kambuh dan Nenek pun jatuh karena hujan yang begitu deras. Kakek bertanya-tanya sudah sore seperti ini kenapa Nenek belum juga pulang. Kakek pun memutuskan untuk mencarinya.
Tak jauh dari rumah, Kakek sangat terpukul melihat Nenek tergeletak tak berdaya di tanah. Kakek menjerit sekuat-kuatnya.
“kenapa harus terjadi semua ini Tuhan, harta bendaku satu-satunya kenapa kau ambil juga” ujar Kakek sambil menangis.
Keesokan sorenya.
Setelah penguburan, Kakek melihat pelangi sangat indah. Nenek pun tersenyum di atas pelangi itu dan Kakek tahu Nenek selalu ada di sampingnya.
Sekian
***
Cerpen Karangan: Sakban S.D.S
kategori: Cerpen Cinta Sedih
Email : Sakban_putra@yahoo.com
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Pada suatu hari, Kancil merasa sangat lapar. Dia berjalan kesana-kemari, tetapi tidak mendapatkan makanan. Ketika hari sudah sore, Kancil melihat Kera sedang asyik makan pisang di atas pohon. Nikmat betul kelihatannya.
Kancil ingin sekali menikmati pisang itu. Akan tetapi, bagaimana caranya mengambil pisang itu? Memanjat pohon, ia tidak bisa. “Meminta pada Kera, pasti ia tidak memberi. Kera itu kan pelit.” Kancil mencari akal. Kancil pun menemukan akal.
Ia melempari Kera dengan batu-batu kecil. Mula-mula Kera tidak peduli. Kancil tidak berputus asa. Kancil terus melempari Kera. Ia berusaha agar Kera marah. Lama-kelamaan Kera menjadi kesal dan marah. Ia balik melempari Kancil. Mula-mula Kera melempar dengan kulit pisang. Setelah kulit pisang habis, Kera melempari Kancil dengan buah pisang.
Kancil pura-pura kesakitan. Kera semakin bersemangat melempar hingga semua pisang dilempari ke arah Kancil. Kera merasa puas kemudian meninggalkan pohon itu.
Akal Kancil berhasil. Setelah Kera pergi, Kancil mulai mengumpulkan pisang yang berserakan. Dimakannya pisang-pisang itu dengan santai.
“Hmmm… enak sekali”
***
Cerpen Karangan: Surya Valenthyno Mallisa
kategori: Cerpen Anak Cerpen Dongeng (Cerita Rakyat) Cerpen Fabel (Hewan)
Facebook: -
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Kancil ingin sekali menikmati pisang itu. Akan tetapi, bagaimana caranya mengambil pisang itu? Memanjat pohon, ia tidak bisa. “Meminta pada Kera, pasti ia tidak memberi. Kera itu kan pelit.” Kancil mencari akal. Kancil pun menemukan akal.
Ia melempari Kera dengan batu-batu kecil. Mula-mula Kera tidak peduli. Kancil tidak berputus asa. Kancil terus melempari Kera. Ia berusaha agar Kera marah. Lama-kelamaan Kera menjadi kesal dan marah. Ia balik melempari Kancil. Mula-mula Kera melempar dengan kulit pisang. Setelah kulit pisang habis, Kera melempari Kancil dengan buah pisang.
Kancil pura-pura kesakitan. Kera semakin bersemangat melempar hingga semua pisang dilempari ke arah Kancil. Kera merasa puas kemudian meninggalkan pohon itu.
Akal Kancil berhasil. Setelah Kera pergi, Kancil mulai mengumpulkan pisang yang berserakan. Dimakannya pisang-pisang itu dengan santai.
“Hmmm… enak sekali”
Sekian
***
Cerpen Karangan: Surya Valenthyno Mallisa
kategori: Cerpen Anak Cerpen Dongeng (Cerita Rakyat) Cerpen Fabel (Hewan)
Facebook: -
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Sinta adalah seorang wanita berumur 20 tahun. Ani adalah sahabat terbaik menurut Sinta. Sinta dan Ani selalu bersama saat apapun, tak ada rahasia yang memisahkan mereka, tetapi Ani mempunyai satu rahasia. “kamu gak boleh tahu ini rahasia keluarga” untuk menutup-nutupinya.
Pada hari libur kuliah mereka berlibur ke rumah Nenek Sinta yang berada di desa kecil yang berada di kaki bukit. Nenek Sinta sudah lama meninggal dikatakan bahwa Nenek Sinta meninggal karena memiliki ilmu hitam dan rumah itu menjadi angker. Di rumah itu ada sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh Mang Ujang. Ani dan Sinta ditempatkan di sebuah kamar berisikan dua tempat tidur. Sinta sering diterror dengan suara air mengalir, bayi menangis, anak perempuan tertawa, tetapi Sinta tetap tidak takut dan tidak menghiraukannya karena ia tidak percaya hal hal mistis.
Pada suatu malam, Sinta ke ruangan yang terlarang itu.
“wah, ini pasti kamar Nenek banyak barang antik. Ada selendang bagus nih, ambil aja ah” kata Sinta dalam hati seraya ke luar dari ruangan itu karena takut ketahuan.
Sinta memegang selendang itu sampai tertidur ia bermimpi bertemu seorang Nenek yang cantik dan bercahaya di sebuah taman yang indahnya berkali-kali lipat. Nenek itu memanggil Sinta dengan sebutan, cucuku yang menyuruh Sinta membakar selendang itu. Sinta terbangun dan ingin membakar selendang itu, tiba-tiba ia disekap di pohon yang besar dan diikat dengan selendang itu. Saat Sinta siuman karena tadi sempat pingsan.
“wah, ratu cantikku udah bangun ya?”
“Ani, Ani, tolong lepaskan aku!!”
“aku melepaskanmu? gak mungkin karena aku akan membunuhmu sekarang juga!! kau hampir saja mengetahui pembunuh Nenekmu. Dan sekarang kau akan terbunuh di tangan yang sama dan selendang yang sama”
“Ani kau sangat kejam!!” ujar Sinta.
Untung saja Sinta masih menggenggam korek api dan selendang yang melilit tubuhnya. Tetapi anehnya badan Sinta tidak terbakar melainkan badan Ani dan Mang Ujang yang merupakan Ayah dan anak yang telah membunuh Nenek Sinta. Mang Ujang dan Anilah yang mempunyai ilmu hitam.
***
Cerpen Karangan: Febi Narila
kategori: Cerpen Misteri
Facebook: Febi Narila
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Pada hari libur kuliah mereka berlibur ke rumah Nenek Sinta yang berada di desa kecil yang berada di kaki bukit. Nenek Sinta sudah lama meninggal dikatakan bahwa Nenek Sinta meninggal karena memiliki ilmu hitam dan rumah itu menjadi angker. Di rumah itu ada sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh Mang Ujang. Ani dan Sinta ditempatkan di sebuah kamar berisikan dua tempat tidur. Sinta sering diterror dengan suara air mengalir, bayi menangis, anak perempuan tertawa, tetapi Sinta tetap tidak takut dan tidak menghiraukannya karena ia tidak percaya hal hal mistis.
Pada suatu malam, Sinta ke ruangan yang terlarang itu.
“wah, ini pasti kamar Nenek banyak barang antik. Ada selendang bagus nih, ambil aja ah” kata Sinta dalam hati seraya ke luar dari ruangan itu karena takut ketahuan.
Sinta memegang selendang itu sampai tertidur ia bermimpi bertemu seorang Nenek yang cantik dan bercahaya di sebuah taman yang indahnya berkali-kali lipat. Nenek itu memanggil Sinta dengan sebutan, cucuku yang menyuruh Sinta membakar selendang itu. Sinta terbangun dan ingin membakar selendang itu, tiba-tiba ia disekap di pohon yang besar dan diikat dengan selendang itu. Saat Sinta siuman karena tadi sempat pingsan.
“wah, ratu cantikku udah bangun ya?”
“Ani, Ani, tolong lepaskan aku!!”
“aku melepaskanmu? gak mungkin karena aku akan membunuhmu sekarang juga!! kau hampir saja mengetahui pembunuh Nenekmu. Dan sekarang kau akan terbunuh di tangan yang sama dan selendang yang sama”
“Ani kau sangat kejam!!” ujar Sinta.
Untung saja Sinta masih menggenggam korek api dan selendang yang melilit tubuhnya. Tetapi anehnya badan Sinta tidak terbakar melainkan badan Ani dan Mang Ujang yang merupakan Ayah dan anak yang telah membunuh Nenek Sinta. Mang Ujang dan Anilah yang mempunyai ilmu hitam.
Sekian
***
Cerpen Karangan: Febi Narila
kategori: Cerpen Misteri
Facebook: Febi Narila
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Di hari ini Alexa baru akan pergi ke sekolahnya yang megah dan luas itu tetapi itu yang membuat Alexa malas pergi sekolah karena ia selalu dijahili anak-anak yang benci atau jijikan gitu. Setelah sampai ke sekolah ia ditanya sama temennya yang namanya keren abis yaitu Gio. Dialah yang dari dulu mengincar Alexa. Ia sangat suka dengan Alexa karena dia manis dan penyabar.
“Alexa kau besok ulang tahun ya?” Tanya Gio kepada Alexa.
“eh Gio, memang tapi…” Omonganku terputus karena,
“Giooo!!! ILOVEU” teriak Maya yang ketua geng di sekolah ini.
“yaelah Nenek sihir datang” ucap Gio yang tak suka dengan gaya Maya yang selalu heboh.
Tetapi seakan-akan Gio itu tidak menghiraukaan tingkah laku Maya yang selalu mengejar cinta Gio.
“Oh. Ada pesta gak lex?” Tanya Gio kepada Alexa yang merencanakan sesuatu”
“ada, pesta topeng, sekelas aku undang tapi kamu juga diundang kok” ucap Alexa.
“Syukurlah” jawab Gio yang singkat.
Tring! Tring!
Bunyi bel pun datang semua masuk kelas ketika sekian lama Alexa belajar dan datanglah bel pulang sekolah dan sahabat Alexa melambaikan tangan pulang sekolah.
Dan malam pun tiba saatnya aku menyiapkan untuk pesta dan aku meminta pak supir untuk ke toko coklat fairs langgananku.
“Pak ke kiri dulu ya”
Dan akhirnya aku pun sampai ke toko cokelat itu. Saat aku membeli cokelat aku bertemu dengan Gio yang sama membeli cokelat.
“Gio Kenapa kamu ada di sini?”
“Aku lagi beli cokelat”
Dan sudah lama kami berbincang dan kini saatnya ku belanja yang lain.
Aku pun membeli semuanya dan sudah ku reka dan ketika semua datang Gio takjub dengan penampilanku yang mengenankan dress pink rambut lurus memakai sepatu hak pink yang imut dan pita di rambut. Lalu Gio berdansa bersamaku. Gio memberikanku sebuah kotak kecil berwarna pink juga.
“wahh Gio makasih, cuman ini apa?” Tanya heranku.
“buka saja” ucapnya dan setelah ku buka.
Ternyata itu adalah sebuah kunci mobil mewah Lamborghini galardoo itu aku sontak kaget dan memeluk Gio. “terima kasih Gio”
Mereka pun sudah pacaran.
“Alexa kau besok ulang tahun ya?” Tanya Gio kepada Alexa.
“eh Gio, memang tapi…” Omonganku terputus karena,
“Giooo!!! ILOVEU” teriak Maya yang ketua geng di sekolah ini.
“yaelah Nenek sihir datang” ucap Gio yang tak suka dengan gaya Maya yang selalu heboh.
Tetapi seakan-akan Gio itu tidak menghiraukaan tingkah laku Maya yang selalu mengejar cinta Gio.
“Oh. Ada pesta gak lex?” Tanya Gio kepada Alexa yang merencanakan sesuatu”
“ada, pesta topeng, sekelas aku undang tapi kamu juga diundang kok” ucap Alexa.
“Syukurlah” jawab Gio yang singkat.
Tring! Tring!
Bunyi bel pun datang semua masuk kelas ketika sekian lama Alexa belajar dan datanglah bel pulang sekolah dan sahabat Alexa melambaikan tangan pulang sekolah.
Dan malam pun tiba saatnya aku menyiapkan untuk pesta dan aku meminta pak supir untuk ke toko coklat fairs langgananku.
“Pak ke kiri dulu ya”
Dan akhirnya aku pun sampai ke toko cokelat itu. Saat aku membeli cokelat aku bertemu dengan Gio yang sama membeli cokelat.
“Gio Kenapa kamu ada di sini?”
“Aku lagi beli cokelat”
Dan sudah lama kami berbincang dan kini saatnya ku belanja yang lain.
Aku pun membeli semuanya dan sudah ku reka dan ketika semua datang Gio takjub dengan penampilanku yang mengenankan dress pink rambut lurus memakai sepatu hak pink yang imut dan pita di rambut. Lalu Gio berdansa bersamaku. Gio memberikanku sebuah kotak kecil berwarna pink juga.
“wahh Gio makasih, cuman ini apa?” Tanya heranku.
“buka saja” ucapnya dan setelah ku buka.
Ternyata itu adalah sebuah kunci mobil mewah Lamborghini galardoo itu aku sontak kaget dan memeluk Gio. “terima kasih Gio”
Mereka pun sudah pacaran.
Tamat
***
Cerpen Karangan: Putri Andreas
kategori: Cerpen Cinta
kategori: Cerpen Cinta
Twitter: @putriandreas02
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Langit gelap kembali datang,
Tanpa sinar cahaya angkasa.
Di temani api kecil di jemari ku, yang sekian menit kan padam.
Derasnya hujan mu buat hati ini panik .
Dingin mu berlahan masuk ke jiwa ku, Aliran darah bagaikan membeku.
Tak dapat ku melangkah mencari mereka.
Kini ku hentikan langkah ini, tuk menuggu redahnya hujan deras
Sekian lama menunggu mata pun tertutup
Tak di sadari cahaya angkasa telah menyongsong,teriaknya hewan berbulu tak bertanduk,
Ku langkah kan kaki tanpa beban
Tertuju pandangan pada mutiara tepi jalan .
Bisikan hati pun menyelimuti diri
Jika aku menjadi, ku kan buat istanah bagi mereka “mutiara tepi jalan”
***
Karya : -
Kategori: Puisi Lucu
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Tanpa sinar cahaya angkasa.
Di temani api kecil di jemari ku, yang sekian menit kan padam.
Derasnya hujan mu buat hati ini panik .
Dingin mu berlahan masuk ke jiwa ku, Aliran darah bagaikan membeku.
Tak dapat ku melangkah mencari mereka.
Kini ku hentikan langkah ini, tuk menuggu redahnya hujan deras
Sekian lama menunggu mata pun tertutup
Tak di sadari cahaya angkasa telah menyongsong,teriaknya hewan berbulu tak bertanduk,
Ku langkah kan kaki tanpa beban
Tertuju pandangan pada mutiara tepi jalan .
Bisikan hati pun menyelimuti diri
Jika aku menjadi, ku kan buat istanah bagi mereka “mutiara tepi jalan”
***
Karya : -
Kategori: Puisi Lucu
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
hujan menciuminya, serasa tiada bekas dari lembaran yang ku kumpulkan
menangis keriput di antara lipatan-lipatan kertas
aku ini di bait ketiga, dan dalam proses yng tak stabil, mataku sayu dan tertidur.
mendapati ragaku yang tak berbusana.
lepas penat, namun hidup harus tetap berjalan
menyusupi lorong-lorong gelap dalam otakku yang tersusun dari api yang kabur
tetap berdiam dan itu masih ada di bait ketiga..
menangis keriput di antara lipatan-lipatan kertas
aku ini di bait ketiga, dan dalam proses yng tak stabil, mataku sayu dan tertidur.
mendapati ragaku yang tak berbusana.
lepas penat, namun hidup harus tetap berjalan
menyusupi lorong-lorong gelap dalam otakku yang tersusun dari api yang kabur
tetap berdiam dan itu masih ada di bait ketiga..
***
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Cinta….
Kau hadir di hidupku
tanpa ku tau kapan kau pergi
memberikan warna yang indah
kau menjadi pelangi dijiwaku
menyegarkan hatiku yang kering
sahabat….
Aku tak tahu kenapa ini terjadi
sahabat jadi cinta
mungkin itu yang dapat kukatakan
tak pernah terpikirkan hal itu
cinta pertamaku adalah sahabatku sendiri
***
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Kau hadir di hidupku
tanpa ku tau kapan kau pergi
memberikan warna yang indah
kau menjadi pelangi dijiwaku
menyegarkan hatiku yang kering
sahabat….
Aku tak tahu kenapa ini terjadi
sahabat jadi cinta
mungkin itu yang dapat kukatakan
tak pernah terpikirkan hal itu
cinta pertamaku adalah sahabatku sendiri
***
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Mecintai seseorang yang telah memiliki pasangan memang menyakitkan,berawal dari pertemanan biasa, berlanjut pada hubungan persahabatan, saling cerita, saling berbagi asa, hingga menimbulkan sebuah rasa…
Penyesalan yang muncul diakibatkan perubahan rasa, rasa yang seharusnya hanya di berikan kepada seseorang yang special kini menjadi sebuah rasa ambigu yang dapat di berikan kepada siapapun,,,
Hati adalah bagian yang sangat lembut, ia memiliki rasa yang dibagi oleh siapa saja, akan tetapi ketika ego merasuki hati yangdamai, maka hati pun menjadi tak terkendali untuk membagi rasa yang ia miliki kepada siapapun ia tak mengerti…
Teman hanya lah dapat menjadi teman tak bisa berubah menjadi seorang kekasih, karena kekasih adalah seorang yang special yang tak dapat tergantikan , sedangkan teman hanya lah seseorang yang dapat di ajak unuk berbagi cerita,,saja,,
Ketika seseorang mengharapkan suatu hal yang lebih dari temannya yang telahmemiliki pasangan, maka ia hanya mengharapkan suatu hal yang sia – sia, bagaikan mengharap rasa manis di tengah lautan
Jika pertemanan di hancurkan oleh suatu nama indah “cinta” maka akan terjadi kecanggugan dalam pertemanan, akan terjadi jarak antara satu dengan yang lain, perubahan sikap pun akan timbul jika tidak dapat mengontrolnya
Seberapapun pandai seseorang menutup perasaannya, tetap saja akan terpancarkan dari tatapan mata yang berbeda, sebuah tatapan penuh pengharapan,,,
Jika ia telah memiliki pasangan yang dapat membahagiakannya, cukuplah menjadi seorang teman yang selalu ada untuk mereka bukan hanya untuk ‘nya’ melainkan utuk ‘mereka’
Menetralisikan hati bukanlah suatu hal yang mudah semudah membalikkan telapak tangan, ada sebuah proses pergejolakan yang tidak dapat ditahan,,hanya dapat mengikuti aliran perasaan sehingga rasa itu akan kembali ke muara
Dewasa akan mendatangi saat hati benar benar siap untuk menerima segalnya,,,semoga pertemanan kita akan abadi selamanya tanpa harus ada yang tersakiti,,etah bagaimana yang di rasakannya, yang pasti perubahan itu terasa ada dan jelas sehingga membuat jarak di antara kita.
Mungkin tanpa ada maksud untuk menyakiti siapapun,,,niat baik akan mengasilkan sutau hal yang biak tapi dari dalam sanubari aq nyatakan aq yang tersakiti oleh perasaan q sendiri,,maaf telah menodai pertemanan ini,,aq akan berhenti,,aq akan mundur,,,hingga saatnya nanti aq akan menemukan pengganti.
***
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Masih tentangmu
Seberapa besar lagi otak ini selalu memikirkanmu
Seberapa lama lagi rindu ini menjelajahi setiap waktu yg ku lewati
Rasanya aku tak ingin tahu sampai kapankah itu
Malam tadi aku bermimpi
Mimpi tentangmu lagi
Kau datang menghampiriku
Menggenggam erat tanganku
Seakan kau tak mau ku lepaskan
Buktikan bahwa mimpi itu
Bukan kemungkinan lagi jika aku merindukanmuAtau mungkin kamu merinduku jugaa ? Seberapa berat rinduku ? ah ntahlah . Rasanya butiran hujan pun tidak bisa menirunya ..
Masih tentangmu
Tatapanmu saat itu masih ku ingat senyum diwajahmu masih ku bayangkan
Tak kuasa jika ingatan itu hilang
Bahkan jangan sampai pernah terjadi
Entahlah apa aku masih bisa menikmati itu semua selamanya ?
Seberapa besar lagi otak ini selalu memikirkanmu
Seberapa lama lagi rindu ini menjelajahi setiap waktu yg ku lewati
Rasanya aku tak ingin tahu sampai kapankah itu
Malam tadi aku bermimpi
Mimpi tentangmu lagi
Kau datang menghampiriku
Menggenggam erat tanganku
Seakan kau tak mau ku lepaskan
Buktikan bahwa mimpi itu
Bukan kemungkinan lagi jika aku merindukanmuAtau mungkin kamu merinduku jugaa ? Seberapa berat rinduku ? ah ntahlah . Rasanya butiran hujan pun tidak bisa menirunya ..
Masih tentangmu
Tatapanmu saat itu masih ku ingat senyum diwajahmu masih ku bayangkan
Tak kuasa jika ingatan itu hilang
Bahkan jangan sampai pernah terjadi
Entahlah apa aku masih bisa menikmati itu semua selamanya ?
***
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Karya : -
Kategori: Puisi Cinta
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Tentunya bukan nyata yang ku ingin
Tentunya bukan cinta yang ku mau
Tentunya bukan pertemuan yang kuharap
Hanya suara biarkan ku dengar
Hanya kabar bahagia yang aku tunggu
Malam, rengkuhlah dalam dinginmu
Malam, lelapkan dalam tidurnya
Malam, tuntunlah dalam mimpi indahnya
Peluklah dia dalam kuasamu
Biarkan diri ini sendiri…
Biarkan diri ini sepi….
Biarkan diri ini merenung dalam sunyi
Biarku lebih kuwat dalam Iman-MU
Melihat tanpa berkata
Bersuara bersama gema
Tersenyum kala membaca
Terbayang keindahan yang dirasa
Bahagia hanya dalam hati saja
Terbanglah bagai angsa putih
Arungi langit tanpa terhalang
Terbanglah tinggi gapai bintang
Perlihatkan keperkasaanmu
Melalui segala aral melintang
Tetaplah semangat Angsa putih
Tentunya bukan cinta yang ku mau
Tentunya bukan pertemuan yang kuharap
Hanya suara biarkan ku dengar
Hanya kabar bahagia yang aku tunggu
Malam, rengkuhlah dalam dinginmu
Malam, lelapkan dalam tidurnya
Malam, tuntunlah dalam mimpi indahnya
Peluklah dia dalam kuasamu
Biarkan diri ini sendiri…
Biarkan diri ini sepi….
Biarkan diri ini merenung dalam sunyi
Biarku lebih kuwat dalam Iman-MU
Melihat tanpa berkata
Bersuara bersama gema
Tersenyum kala membaca
Terbayang keindahan yang dirasa
Bahagia hanya dalam hati saja
Terbanglah bagai angsa putih
Arungi langit tanpa terhalang
Terbanglah tinggi gapai bintang
Perlihatkan keperkasaanmu
Melalui segala aral melintang
Tetaplah semangat Angsa putih
***
Karya : -
Kategori: Puisi Indah
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Karya : -
Kategori: Puisi Indah
Email :-
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Jihan terlihat duduk dengan gusar sambil beberapa kali melihat jam putih yang melingkar di tangan kirinya, sebenarnya hari ini ia memiliki janji bertemu dengan Berry di taman tetapi mendadak ia mendapat kelas tambahan.
KRING!!! Bel yang sedari tadi ditunggu Jihan akhirnya berbunyi juga, Jihan pun berlari meninggalkan kelas.
Sesampainya ia di taman ia langsung menghampiri Berry yang duduk di pinggir danau.
“Maaf Ber aku telat, tadi ada kelas tambahan” Berry hanya tersenyum kemudian kembali menatap danau dengan tatapan kosong.
“Oh iya Ber, kamu mau ngomong apa?” Berry menarik napasnya berat ia menatap Jihan dalam, haruskah ia mengucapkan kata-kata itu sekarang? Jujur itu sangat berat untuk Berry.
“Berry?” Suara Jihan seketika membuyarkan lamunan Berry.
“Hubungan kita gak bisa diterusin lagi, Han. Maaf ”
Jihan terdiam kaku menatap wajah Berry yang tertunduk menghindari tatapan Jihan.
“Kamu bercanda kan Ber? Aku salah apa sama kamu?”
Jihan terlihat menahan airmatanya yang akan ke luar suaranya pun terdengar bergetar.
“Aku serius Han, aku.. Aku udah gak sayang lagi sama kamu” Dengan sangat terpaksa Berry mengucapkan kalimat itu, kalimat yang tidak sesuai dengan isi kenyataannya. Bahkan sampai detik ini hanya ada Jihan di hatinya.
Jihan menatap lurus danau yang ada di depan mereka dengan airmata yang terus mengalir dari mata indahnya.
“Kalau itu udah jadi pilihan kamu, aku gak bakal keberatan. Perasaan itu gak bisa dipaksa Ber, terima kasih buat semuanya maaf aku belum bisa jadi orang yang bisa bahagiain kamu sepenuhnya”
Hati Berry sangat sakit melihat gadis yang ia cintai ini menangis karenanya, “Maafin aku Han, ini semua demi kebaikan kamu”
“Cuman itu yang mau aku bicarain sama kamu, aku masih ada urusan lain. Tolong jaga diri kamu ya Han, semoga kamu dapat pengganti yang jauh lebih baik dari aku” Berry mengecup puncak kepala Jihan, ia tidak sanggup harus terlalu lama berhadapan dengan Jihan.
Ia tidak mau Jihan melihat airm atanya yang mulai memaksa ingin ke luar.
—
Hari demi hari pun Jihan lalui tanpa ada Berry di sampingnya lagi, sejak hari itu Berry benar-benar menghilang dari kehidupan Jihan. Beberapa kali Jihan coba menghubungi teman-teman Berry namun tak ada satu pun informasi yang berhasil ia dapatkan.
Jihan terlihat sedang sibuk dengan laptopnya di salah satu bangku taman di kampus, sedari tadi pandangan matanya tak lepas dari layar monitor di hadapannya.
Drrrttt!! Drrrtttt!!
Getaran itu cukup merusak konsentrasi Jihan saat menyelesaikan tugas yang sedang ia kerjakan sekarang, tanpa melihat nama yang tertera di layar BB putihnya Jihan langsung mengangkat telpon itu.
“Halo?”
“Halo”
Suara itu terdengar familiar di telinga Jihan, ia merasa tidak asing dengan suara ini.
“Ini gak mungkin Berry, gak mungkin” pikir Jihan.
“Ini siapa?”
“Udah lupa sama aku?”
“Berry?” Ucap Jihan dengan ragu.
Tanpa Jihan ketahui Berry tersenyum mendengar ucapan Jihan tersebut, ia pikir Jihan telah melupakannya namun ternyata salah.
“Berry?” Panggil Jihan lagi.
“Iya, aku Berry. Oh ia siang ini kamu sibuk gak?”
“Eng.. Enggak emang kenapa?”
“aku pengen ketemu kamu” kata Berry lagi.
Jihan terdiam seakan tak percaya apa yang barusan ia dengar. Seseorang yang masih di hatinya sampai saat ini mengajaknya bertemu lagi, di saat-saat ia mulai ingin melupakan semua tentang Berry.
“Jihan?” Panggil Berry, yang membuat Jihan sedikit terkejut.
“Engh, ahh iy.. Iya ber, di mana?”
“Di caffe biasa yah, jam 12 aku tunggu”
Belum sempat Jihan menjawab, Berry telah memutuskan telponnya. Jihan pun segera membereskan map-mapnya yang sedikit berantakan itu. Ia pun langsung melaju menggunakan Taksi.
—
Sesampainya di caffe, Jihan mulai mencari sosok Berry. Di sudut caffe, tepat di mana dirinya dan Berry sering makan dan ini merupakan caffe favorit mereka berdua di waktu dulu. Jihan menghampiri Berry dengan langkah ragu, perlahan namun pasti kini Jihan berada tepat di samping tempat duduk Berry. Berry yang sadar dengan kehadiran Jihan pun langsung menatap Jihan. Ia tak menyangka Gadis yang dicintainya kini telah dewasa. Tampilannya anggun dan menawan. Matanya seolah tak mau berpaling dari pandangannya kini.
“Berry?” Sapa Jihan Lembut.
Namun Berry tetap memerhatikan Jihan, yang membuat Jihan kebingungan dan tersenyum kecil.
“Berry??” Kini nada suara Jihan agak sedikit keras.
“eh, iya.. iya..” Lamunan Berry buyar, jujur ia sangat terkejut mendengar sentakan Jihan itu.
Jihan kini duduk dan ia sangat tak bisa lagi menahan tawanya sejak tadi, dan akhirnya Tawanya pun Lepas.
“Kamu kenapa Ber? Segitunya haha” tanya Jihan yang membuat Berry kikuk.
“Anu… Eng.. kamu cantik han” kata Berry memalingkan matanya dari tatapan Jihan. Mungkin ia merasa sedikit sungkan berada di depan Jihan. Gadis yang tidak pernah bisa ia lupakan dalam hidupnya.
“Ah, kamu gombal aja, oh iya apa kabar?”
“Baik aja nih, kamu sendiri?”
“kalau aku ke sini.. Itu tandanya aku sehat dong” ucap Jihan cengar-cengir.
“Dasarrrr… Udah lama kita gak ketemu yah? Aku kangen..”
“Kamu sih pake acara ngilang-ngilang segala, aku uda coba hubungin temen-temen kamu dan jawabannya sama, mereka gak tau kamu ada di mana. Dan dari situ aku memutuskan untuk berhenti dan coba lupain kamu. Tapi… Gak bisa ber. Sampai saat ini aku masih sangat mencintai kamu”
Berry sangat merasa bersalah dengan semua ini, ia tak kuasa melihat gadis yang berada di depannya kini mengutarakan isi hatinya untuk seorang Berry! Ia terlalu bodoh untuk menyia-nyikan Jihan.
“Maafin aku han, aku gak bermaksud..” Kata Berry sambil mencoba menggenggam tangan Jihan.
“Haha.. Udahlah itu masa lalu.. Gak baik kalau diungkit-ungkit Ber…”
“Han, aku ngajak kamu ketemuan di sini.. Karena aku pengen bilang”
“Apa Ber?
Berry tertunduk, ia sangat tidak sanggup mengatakan hal ini sekarang.
“Berry?” Panggil Jihan.
“Sebenarnya, aku menghilang selama ini aku ke luar negeri untuk berobat han.”
“Berry? Kamu sakit? Sakit apa? Parah gak?” Tanya Jihan dengan nada khawatir
Pertanyaan Jihan membuat Berry semakin sulit membuka mulut untuk mengatakan tentang penyakitnya.
“Jangan buat aku khawatir Ber, please! Ngomong”
“aku… Aku divonis terkena Jantung kronis”
Mata Jihan terbelalak bibirnya pun bungkam saat mendengar perkataan Berry barusan. Ia tak menyangka orang yang dicintainya mengidap penyakit separah ini.
Duaarrr!! Duaarrr!! Suasana hati Jihan tak karuan, jujur hatinya sangat sakit. Ia tak tega dan sangat tak siap harus kehilangan Berry.
“Sebenarnya waktu aku mutusin kamu, aku bohong han. Aku sebenarnya sayang banget sama kamu. Aku gak mau lihat kamu sedih ketika aku sudah gak ada nanti. Aku gak mau lihat kamu netesin air mata karena aku han. Aku gak mau”
“Kenapa kamu bilangnya baru sekarang Ber? Kenapa?” Seketika air mata Jihan mengalir deras di pipinya.
“Han.. maafin aku.. aku cuma gak pengen kamu sedih han itu aja”
“Kamu jahat ber, kamu jahat…” Jihan pun beranjak pergi.
“Jihan.. Jihannn dengarin aku dulu..” Berry mencoba meraih tangan Jihan, tapi berhasil ditepis oleh Jihan.
Berry pun membiarkan Jihan pergi dari hadapannya.
Tiba-tiba Berry terjatuh dari tempat duduknya, tangannya berada tepat di bagian dadanya ia meringis kesakitan.
—
Saat beberapa langkah dari caffe. Langkah Jihan pun terhenti ketika mendengar suara ambulan berhenti di depan caffe tempat ia dan Berry tadi. Ia melihat beberapa orang memboyong seorang pria dari caffe itu.
“Berry?” Hati Jihan mulai panik.
“Iya.. Itu Berry” Jihan pun berlari sekuat tenaganya, menghampiri kerumunan orang-orang yang mengangkat Pria tadi.
Air mata Jihan pun semakin deras setelah mengetahui pria itu benar-benar Berry. Orang-orang mulai membopong Berry ke dalam ambulance. Jihan kini berada tepat di samping Berry.
“Berry, maafin aku ber.. Maafin aku?”
Jihan menggenggam erat tangan Berry. Baru kali ini ia melihat Berry terbaring lemah tak berdaya.
Sesampainya di rumah sakit, Berry langsung dibawa ke ruang ICU. Jihan sangat gelisah menunggu dokter yang menangani Berry di dalam ruangan itu. Sesekali ia berdiri, duduk dan mondar-mandir sambil sesekali meneteskan airmata. Tak lama keluarlah dokter dari ruangan Berry.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan pada dokter itu.
“Syukurlah, Berry secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika tidak mungkin dia sudah tidak bisa tertolong, saya sudah memberikan obat pereda sakit untuk Berry. Jika ingin silahkan masuk”
“Terima kasih dok.” Jihan pun memasuki ruangan Berry.
Ia tatap Berry yang benar-benar terbaring lemah di hadapannya kini. Air matanya terjatuh dan mengenai tangan Berry.
“Ber, aku sayang kamu aku gak mau kamu pergi lagi ber, apalagi untuk selamanya aku gak mau” Jihan menggengam erat tangan Berry sambil terus menangis.
Perlahan tangan Berry mulai bergerak, matanya mulai terbuka. Ia menatap Jihan yang menggenggam tangannya tadi. Ia mencoba mengusap lembut rambut Jihan.
“Berry? Kamu udah sadar. Aku panggilin dokter yah bentar” Berry dengan cepat mencegah Jihan, dan menyuruh Jihan duduk lagi.
“Kenapa Ber?”
Berry melepaskan oksigennya.
“Aku sayang sama kamu han” Kata Berry sambil tersenyum.
“Aku juga sayang Ber sama kamu” Jawab Jihan dan membalas senyum Berry.
“Maafin aku han”
“Maaf untuk apa?”
“Maaf aku udah buat kamu khawatir, buat kamu sedih dan ngeluarin air mata karena aku. Aku terlalu bodoh memutuskan kamu dulu, kamu mau maafin aku? Dan kita balikan?”
“Aku udah maafin kamu kok ber, dan iya aku mau balikan sama kamu tapi dengan satu syarat”
“Apa?”
“Pokoknya kamu harus sembuh yah”
Berry tersenyum dan berkata.
“Asal kamu di dekat aku selalu, aku pasti bakalan cepet sembuh kok”
“Ah kamu bisa aja”
Mereka pun asyik bercanda.
Sejak saat itu Jihan tak pernah absen menemani Berry untuk berobat.
—
Waktu bergulir dengan cepatnya, tidak terasa 2 tahun sudah hubungan mereka berdua. Hari ini tepat hari jadi mereka yang ketiga. Mereka pun menghabiskan waktu berdua
“Han, coba bayangin gimana kalau nanti suata saat aku ada di atas sana?” Tunjuk Berry ke arah langit yang cukup cerah itu.
Jihan terdiam sambil menatap lesu Berry.
“Ber?” Ucap Jihan pelan.
“Hmm?” Jawab Berry yang tetap fokus pada pandangannya tadi.
“Kamu ngomong apa sih?”
Berry terdiam, pandangannya mulai beralih menuju mata Jihan.
“Kamu gak boleh pesimis gitu, pokoknya kamu harus sembuh demi aku dan demi kita Ber” kata Jihan menyemangati Berry.
Berry tersenyum dan menarik Jihan ke pelukannya. “Aku sayang kamu han”
“Aku juga ber”
“Awww!!! arggghhh!!! sakitt!!!” Berry langsung memegangi dadanya Dan meringis kesakitan.
“Ber? Berry? Kamu kenapa?” Tanya Jihan panik.
Berry terus menerus meringis kesakitan, Jihan yang panik berusaha menelpon pihak rumah sakit yang sering Berry kunjungi untuk berobat itu.
Ambulan pun datang. Berry digotong oleh dua petugas ambulans tersebut dan langsung bergegas melaju menuju rumah sakit. Jihan yang sedari tadi mondar-mandir di depan ruangan Berry terlihat gelisah sambil terus menangis menanti dokter ke luar.
Krekk! Pintu ruangan itu terbuka, keluarlah dokter dari dalam sana.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan sesegukan, karena baru saja berhenti dari tangisnya.
“Keadaan Berry melemah” dokter tertunduk.
Jihan terpaku dengan pernyataan dokter.
“Sebaiknya kita serahkan semua ini pada Tuhan,banyak-banyak saja berdoa”
“Apa saya sudah boleh menjenguk Berry didalam dok?”
“Silahkan, Berry menunggu kamu di dalam”
Dengan Cepat Jihan langsung menghampiri Berry dan duduk di kursi samping kasur rawat Berry.
“Berry” panggil jihan pelan.
Ia memegangi tangan Berry lembut, ia usap lembut di pipi mulusnya. Ia sangat merindukan kehangatan tangan Berry.
“Berry bangun” ucap Jihan mulai lirih.
Jihan menangis sejadi-jadinya di atas tangan Berry. Tak lama ia lihat tangan Berry bergerak-gerak, oksigen yang menutupi hidungnya pun berembun.
“Berry? Berry.. kamu udah sadar?”
Berry melepas oksigennya. Wajahnya masih sangat pucat pasi.
“Kamu kenapa, kok nangis?” Tanya Berry yang melihat mata Jihan sembab.
“Aku takut kamu kenapa-kenapa”
“Udah dong, jangan nangis yah sayang aku udah sadar nih walaupun cuma sementara buat ngucapin selamat tinggal sama kamu”
“Maksud kamu apa ber?” Tanya Jihan bingung mendengar perkataan Berry itu.
Berry menghela napasnya panjang.
“Aku cape, aku udah gak kuat han”
“Berry jangan gitu, aku ada di sini aku nemanin kamu di sini ber. Ingat janji awal kita? Kamu harus sembuh”
“Aku udah gak kuat han..”
“Berry..”
“kalau nanti aku udah sama Tuhan, janji yah kamu jangan sedih terus” Berry mecubit lembut pipi gadis yang ada di hadapannya ini.
Jihan tertunduk.
“kalau kamu sedih terus, aku gak tenang di sana, kamu mau aku gak tenang?”
Jihan menggeleng pelan.
“Nah, makanya jangan sedih terus yah. Kalau kamu kangen sama aku coba deh kalau malam kamu lihat bintang yang ada di atas awan, dan lihat bintang yang paling terang di situ aku, aku lagi lihat kamu dan aku pasti lagi kangen sama kamu. Setiap malam aku nemanin kamu dengan sinarku walaupun gak sebanding sama sinarnya bulan sih hehe tapi cukup kok buat ngobatin rasa kangenmu ke aku”
“Berry aku mohon.. Kamu kuat aku gak mau kehilangan kamu ber aku sayang kamu”
Bendungan sungai kecil yang sudah berada di ujung kantung mata Jihan itu pun penuh dan akhirnya Jihan mulai menangis lagi.
“Maafin aku han.. Kamu jaa arrghhtt! ja-ngan nangisss…” Kata Berry dengan nada lirihnya.
Tak lama. Berry mengejang. Genggaman tangannya pada tangan Jihan mulai mengendur.
“Berry? Berry!! Dokterrr!!” teriak Jihan sambil ke luar dari ruangan untuk mencari dokter diiringi tangisnya.
Dokter datang.
Tutt!! Mesin detak jantung Berry itu berbunyi nyaring.
“Maaf.. kami sudah berusaha semampu kami tapi ternyata Tuhan berkehendak lain Berry sudah pergi”
“Apa dok? Gak mungkin.. Berry!!”
Tangis Jihan pecah, ia menggoyang-goyangkan tubuh Berry sambil menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk erat Berry, sebelum Berry benar-benar pergi dari hadapannya kini.
—
Jihan merenung sepi di koridor kamarnya, tetesan air mata itu menemani malam sendu Jihan kali ini.
“Berry, aku kangen kamu” ucap Jihan.
Ia pandangi langit yang bertabur beribu bintang itu, ia ingat ucapan Berry. Ia mulai mencari satu bintang yang paling terang, itu adalah Berry. Jihan tersenyum saat menatap bintang itu
“Berry kamu apa kabar di sana? Apa kamu baik-baik aja? Tuhan pasti jagain kamu kan ber. Berry, aku kangen kamu” Ucap Jihan sambil terus menatapi Bintang itu.
“Aku sayang kamu ber..”
KRING!!! Bel yang sedari tadi ditunggu Jihan akhirnya berbunyi juga, Jihan pun berlari meninggalkan kelas.
Sesampainya ia di taman ia langsung menghampiri Berry yang duduk di pinggir danau.
“Maaf Ber aku telat, tadi ada kelas tambahan” Berry hanya tersenyum kemudian kembali menatap danau dengan tatapan kosong.
“Oh iya Ber, kamu mau ngomong apa?” Berry menarik napasnya berat ia menatap Jihan dalam, haruskah ia mengucapkan kata-kata itu sekarang? Jujur itu sangat berat untuk Berry.
“Berry?” Suara Jihan seketika membuyarkan lamunan Berry.
“Hubungan kita gak bisa diterusin lagi, Han. Maaf ”
Jihan terdiam kaku menatap wajah Berry yang tertunduk menghindari tatapan Jihan.
“Kamu bercanda kan Ber? Aku salah apa sama kamu?”
Jihan terlihat menahan airmatanya yang akan ke luar suaranya pun terdengar bergetar.
“Aku serius Han, aku.. Aku udah gak sayang lagi sama kamu” Dengan sangat terpaksa Berry mengucapkan kalimat itu, kalimat yang tidak sesuai dengan isi kenyataannya. Bahkan sampai detik ini hanya ada Jihan di hatinya.
Jihan menatap lurus danau yang ada di depan mereka dengan airmata yang terus mengalir dari mata indahnya.
“Kalau itu udah jadi pilihan kamu, aku gak bakal keberatan. Perasaan itu gak bisa dipaksa Ber, terima kasih buat semuanya maaf aku belum bisa jadi orang yang bisa bahagiain kamu sepenuhnya”
Hati Berry sangat sakit melihat gadis yang ia cintai ini menangis karenanya, “Maafin aku Han, ini semua demi kebaikan kamu”
“Cuman itu yang mau aku bicarain sama kamu, aku masih ada urusan lain. Tolong jaga diri kamu ya Han, semoga kamu dapat pengganti yang jauh lebih baik dari aku” Berry mengecup puncak kepala Jihan, ia tidak sanggup harus terlalu lama berhadapan dengan Jihan.
Ia tidak mau Jihan melihat airm atanya yang mulai memaksa ingin ke luar.
—
Hari demi hari pun Jihan lalui tanpa ada Berry di sampingnya lagi, sejak hari itu Berry benar-benar menghilang dari kehidupan Jihan. Beberapa kali Jihan coba menghubungi teman-teman Berry namun tak ada satu pun informasi yang berhasil ia dapatkan.
Jihan terlihat sedang sibuk dengan laptopnya di salah satu bangku taman di kampus, sedari tadi pandangan matanya tak lepas dari layar monitor di hadapannya.
Drrrttt!! Drrrtttt!!
Getaran itu cukup merusak konsentrasi Jihan saat menyelesaikan tugas yang sedang ia kerjakan sekarang, tanpa melihat nama yang tertera di layar BB putihnya Jihan langsung mengangkat telpon itu.
“Halo?”
“Halo”
Suara itu terdengar familiar di telinga Jihan, ia merasa tidak asing dengan suara ini.
“Ini gak mungkin Berry, gak mungkin” pikir Jihan.
“Ini siapa?”
“Udah lupa sama aku?”
“Berry?” Ucap Jihan dengan ragu.
Tanpa Jihan ketahui Berry tersenyum mendengar ucapan Jihan tersebut, ia pikir Jihan telah melupakannya namun ternyata salah.
“Berry?” Panggil Jihan lagi.
“Iya, aku Berry. Oh ia siang ini kamu sibuk gak?”
“Eng.. Enggak emang kenapa?”
“aku pengen ketemu kamu” kata Berry lagi.
Jihan terdiam seakan tak percaya apa yang barusan ia dengar. Seseorang yang masih di hatinya sampai saat ini mengajaknya bertemu lagi, di saat-saat ia mulai ingin melupakan semua tentang Berry.
“Jihan?” Panggil Berry, yang membuat Jihan sedikit terkejut.
“Engh, ahh iy.. Iya ber, di mana?”
“Di caffe biasa yah, jam 12 aku tunggu”
Belum sempat Jihan menjawab, Berry telah memutuskan telponnya. Jihan pun segera membereskan map-mapnya yang sedikit berantakan itu. Ia pun langsung melaju menggunakan Taksi.
—
Sesampainya di caffe, Jihan mulai mencari sosok Berry. Di sudut caffe, tepat di mana dirinya dan Berry sering makan dan ini merupakan caffe favorit mereka berdua di waktu dulu. Jihan menghampiri Berry dengan langkah ragu, perlahan namun pasti kini Jihan berada tepat di samping tempat duduk Berry. Berry yang sadar dengan kehadiran Jihan pun langsung menatap Jihan. Ia tak menyangka Gadis yang dicintainya kini telah dewasa. Tampilannya anggun dan menawan. Matanya seolah tak mau berpaling dari pandangannya kini.
“Berry?” Sapa Jihan Lembut.
Namun Berry tetap memerhatikan Jihan, yang membuat Jihan kebingungan dan tersenyum kecil.
“Berry??” Kini nada suara Jihan agak sedikit keras.
“eh, iya.. iya..” Lamunan Berry buyar, jujur ia sangat terkejut mendengar sentakan Jihan itu.
Jihan kini duduk dan ia sangat tak bisa lagi menahan tawanya sejak tadi, dan akhirnya Tawanya pun Lepas.
“Kamu kenapa Ber? Segitunya haha” tanya Jihan yang membuat Berry kikuk.
“Anu… Eng.. kamu cantik han” kata Berry memalingkan matanya dari tatapan Jihan. Mungkin ia merasa sedikit sungkan berada di depan Jihan. Gadis yang tidak pernah bisa ia lupakan dalam hidupnya.
“Ah, kamu gombal aja, oh iya apa kabar?”
“Baik aja nih, kamu sendiri?”
“kalau aku ke sini.. Itu tandanya aku sehat dong” ucap Jihan cengar-cengir.
“Dasarrrr… Udah lama kita gak ketemu yah? Aku kangen..”
“Kamu sih pake acara ngilang-ngilang segala, aku uda coba hubungin temen-temen kamu dan jawabannya sama, mereka gak tau kamu ada di mana. Dan dari situ aku memutuskan untuk berhenti dan coba lupain kamu. Tapi… Gak bisa ber. Sampai saat ini aku masih sangat mencintai kamu”
Berry sangat merasa bersalah dengan semua ini, ia tak kuasa melihat gadis yang berada di depannya kini mengutarakan isi hatinya untuk seorang Berry! Ia terlalu bodoh untuk menyia-nyikan Jihan.
“Maafin aku han, aku gak bermaksud..” Kata Berry sambil mencoba menggenggam tangan Jihan.
“Haha.. Udahlah itu masa lalu.. Gak baik kalau diungkit-ungkit Ber…”
“Han, aku ngajak kamu ketemuan di sini.. Karena aku pengen bilang”
“Apa Ber?
Berry tertunduk, ia sangat tidak sanggup mengatakan hal ini sekarang.
“Berry?” Panggil Jihan.
“Sebenarnya, aku menghilang selama ini aku ke luar negeri untuk berobat han.”
“Berry? Kamu sakit? Sakit apa? Parah gak?” Tanya Jihan dengan nada khawatir
Pertanyaan Jihan membuat Berry semakin sulit membuka mulut untuk mengatakan tentang penyakitnya.
“Jangan buat aku khawatir Ber, please! Ngomong”
“aku… Aku divonis terkena Jantung kronis”
Mata Jihan terbelalak bibirnya pun bungkam saat mendengar perkataan Berry barusan. Ia tak menyangka orang yang dicintainya mengidap penyakit separah ini.
Duaarrr!! Duaarrr!! Suasana hati Jihan tak karuan, jujur hatinya sangat sakit. Ia tak tega dan sangat tak siap harus kehilangan Berry.
“Sebenarnya waktu aku mutusin kamu, aku bohong han. Aku sebenarnya sayang banget sama kamu. Aku gak mau lihat kamu sedih ketika aku sudah gak ada nanti. Aku gak mau lihat kamu netesin air mata karena aku han. Aku gak mau”
“Kenapa kamu bilangnya baru sekarang Ber? Kenapa?” Seketika air mata Jihan mengalir deras di pipinya.
“Han.. maafin aku.. aku cuma gak pengen kamu sedih han itu aja”
“Kamu jahat ber, kamu jahat…” Jihan pun beranjak pergi.
“Jihan.. Jihannn dengarin aku dulu..” Berry mencoba meraih tangan Jihan, tapi berhasil ditepis oleh Jihan.
Berry pun membiarkan Jihan pergi dari hadapannya.
Tiba-tiba Berry terjatuh dari tempat duduknya, tangannya berada tepat di bagian dadanya ia meringis kesakitan.
—
Saat beberapa langkah dari caffe. Langkah Jihan pun terhenti ketika mendengar suara ambulan berhenti di depan caffe tempat ia dan Berry tadi. Ia melihat beberapa orang memboyong seorang pria dari caffe itu.
“Berry?” Hati Jihan mulai panik.
“Iya.. Itu Berry” Jihan pun berlari sekuat tenaganya, menghampiri kerumunan orang-orang yang mengangkat Pria tadi.
Air mata Jihan pun semakin deras setelah mengetahui pria itu benar-benar Berry. Orang-orang mulai membopong Berry ke dalam ambulance. Jihan kini berada tepat di samping Berry.
“Berry, maafin aku ber.. Maafin aku?”
Jihan menggenggam erat tangan Berry. Baru kali ini ia melihat Berry terbaring lemah tak berdaya.
Sesampainya di rumah sakit, Berry langsung dibawa ke ruang ICU. Jihan sangat gelisah menunggu dokter yang menangani Berry di dalam ruangan itu. Sesekali ia berdiri, duduk dan mondar-mandir sambil sesekali meneteskan airmata. Tak lama keluarlah dokter dari ruangan Berry.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan pada dokter itu.
“Syukurlah, Berry secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika tidak mungkin dia sudah tidak bisa tertolong, saya sudah memberikan obat pereda sakit untuk Berry. Jika ingin silahkan masuk”
“Terima kasih dok.” Jihan pun memasuki ruangan Berry.
Ia tatap Berry yang benar-benar terbaring lemah di hadapannya kini. Air matanya terjatuh dan mengenai tangan Berry.
“Ber, aku sayang kamu aku gak mau kamu pergi lagi ber, apalagi untuk selamanya aku gak mau” Jihan menggengam erat tangan Berry sambil terus menangis.
Perlahan tangan Berry mulai bergerak, matanya mulai terbuka. Ia menatap Jihan yang menggenggam tangannya tadi. Ia mencoba mengusap lembut rambut Jihan.
“Berry? Kamu udah sadar. Aku panggilin dokter yah bentar” Berry dengan cepat mencegah Jihan, dan menyuruh Jihan duduk lagi.
“Kenapa Ber?”
Berry melepaskan oksigennya.
“Aku sayang sama kamu han” Kata Berry sambil tersenyum.
“Aku juga sayang Ber sama kamu” Jawab Jihan dan membalas senyum Berry.
“Maafin aku han”
“Maaf untuk apa?”
“Maaf aku udah buat kamu khawatir, buat kamu sedih dan ngeluarin air mata karena aku. Aku terlalu bodoh memutuskan kamu dulu, kamu mau maafin aku? Dan kita balikan?”
“Aku udah maafin kamu kok ber, dan iya aku mau balikan sama kamu tapi dengan satu syarat”
“Apa?”
“Pokoknya kamu harus sembuh yah”
Berry tersenyum dan berkata.
“Asal kamu di dekat aku selalu, aku pasti bakalan cepet sembuh kok”
“Ah kamu bisa aja”
Mereka pun asyik bercanda.
Sejak saat itu Jihan tak pernah absen menemani Berry untuk berobat.
—
Waktu bergulir dengan cepatnya, tidak terasa 2 tahun sudah hubungan mereka berdua. Hari ini tepat hari jadi mereka yang ketiga. Mereka pun menghabiskan waktu berdua
“Han, coba bayangin gimana kalau nanti suata saat aku ada di atas sana?” Tunjuk Berry ke arah langit yang cukup cerah itu.
Jihan terdiam sambil menatap lesu Berry.
“Ber?” Ucap Jihan pelan.
“Hmm?” Jawab Berry yang tetap fokus pada pandangannya tadi.
“Kamu ngomong apa sih?”
Berry terdiam, pandangannya mulai beralih menuju mata Jihan.
“Kamu gak boleh pesimis gitu, pokoknya kamu harus sembuh demi aku dan demi kita Ber” kata Jihan menyemangati Berry.
Berry tersenyum dan menarik Jihan ke pelukannya. “Aku sayang kamu han”
“Aku juga ber”
“Awww!!! arggghhh!!! sakitt!!!” Berry langsung memegangi dadanya Dan meringis kesakitan.
“Ber? Berry? Kamu kenapa?” Tanya Jihan panik.
Berry terus menerus meringis kesakitan, Jihan yang panik berusaha menelpon pihak rumah sakit yang sering Berry kunjungi untuk berobat itu.
Ambulan pun datang. Berry digotong oleh dua petugas ambulans tersebut dan langsung bergegas melaju menuju rumah sakit. Jihan yang sedari tadi mondar-mandir di depan ruangan Berry terlihat gelisah sambil terus menangis menanti dokter ke luar.
Krekk! Pintu ruangan itu terbuka, keluarlah dokter dari dalam sana.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan sesegukan, karena baru saja berhenti dari tangisnya.
“Keadaan Berry melemah” dokter tertunduk.
Jihan terpaku dengan pernyataan dokter.
“Sebaiknya kita serahkan semua ini pada Tuhan,banyak-banyak saja berdoa”
“Apa saya sudah boleh menjenguk Berry didalam dok?”
“Silahkan, Berry menunggu kamu di dalam”
Dengan Cepat Jihan langsung menghampiri Berry dan duduk di kursi samping kasur rawat Berry.
“Berry” panggil jihan pelan.
Ia memegangi tangan Berry lembut, ia usap lembut di pipi mulusnya. Ia sangat merindukan kehangatan tangan Berry.
“Berry bangun” ucap Jihan mulai lirih.
Jihan menangis sejadi-jadinya di atas tangan Berry. Tak lama ia lihat tangan Berry bergerak-gerak, oksigen yang menutupi hidungnya pun berembun.
“Berry? Berry.. kamu udah sadar?”
Berry melepas oksigennya. Wajahnya masih sangat pucat pasi.
“Kamu kenapa, kok nangis?” Tanya Berry yang melihat mata Jihan sembab.
“Aku takut kamu kenapa-kenapa”
“Udah dong, jangan nangis yah sayang aku udah sadar nih walaupun cuma sementara buat ngucapin selamat tinggal sama kamu”
“Maksud kamu apa ber?” Tanya Jihan bingung mendengar perkataan Berry itu.
Berry menghela napasnya panjang.
“Aku cape, aku udah gak kuat han”
“Berry jangan gitu, aku ada di sini aku nemanin kamu di sini ber. Ingat janji awal kita? Kamu harus sembuh”
“Aku udah gak kuat han..”
“Berry..”
“kalau nanti aku udah sama Tuhan, janji yah kamu jangan sedih terus” Berry mecubit lembut pipi gadis yang ada di hadapannya ini.
Jihan tertunduk.
“kalau kamu sedih terus, aku gak tenang di sana, kamu mau aku gak tenang?”
Jihan menggeleng pelan.
“Nah, makanya jangan sedih terus yah. Kalau kamu kangen sama aku coba deh kalau malam kamu lihat bintang yang ada di atas awan, dan lihat bintang yang paling terang di situ aku, aku lagi lihat kamu dan aku pasti lagi kangen sama kamu. Setiap malam aku nemanin kamu dengan sinarku walaupun gak sebanding sama sinarnya bulan sih hehe tapi cukup kok buat ngobatin rasa kangenmu ke aku”
“Berry aku mohon.. Kamu kuat aku gak mau kehilangan kamu ber aku sayang kamu”
Bendungan sungai kecil yang sudah berada di ujung kantung mata Jihan itu pun penuh dan akhirnya Jihan mulai menangis lagi.
“Maafin aku han.. Kamu jaa arrghhtt! ja-ngan nangisss…” Kata Berry dengan nada lirihnya.
Tak lama. Berry mengejang. Genggaman tangannya pada tangan Jihan mulai mengendur.
“Berry? Berry!! Dokterrr!!” teriak Jihan sambil ke luar dari ruangan untuk mencari dokter diiringi tangisnya.
Dokter datang.
Tutt!! Mesin detak jantung Berry itu berbunyi nyaring.
“Maaf.. kami sudah berusaha semampu kami tapi ternyata Tuhan berkehendak lain Berry sudah pergi”
“Apa dok? Gak mungkin.. Berry!!”
Tangis Jihan pecah, ia menggoyang-goyangkan tubuh Berry sambil menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk erat Berry, sebelum Berry benar-benar pergi dari hadapannya kini.
—
Jihan merenung sepi di koridor kamarnya, tetesan air mata itu menemani malam sendu Jihan kali ini.
“Berry, aku kangen kamu” ucap Jihan.
Ia pandangi langit yang bertabur beribu bintang itu, ia ingat ucapan Berry. Ia mulai mencari satu bintang yang paling terang, itu adalah Berry. Jihan tersenyum saat menatap bintang itu
“Berry kamu apa kabar di sana? Apa kamu baik-baik aja? Tuhan pasti jagain kamu kan ber. Berry, aku kangen kamu” Ucap Jihan sambil terus menatapi Bintang itu.
“Aku sayang kamu ber..”
Tamat
Cerpen Karangan: Jihan Nabilla Putry
kategori: Cerpen Cinta Sedih
Email : Jihanabillap@gmail.com
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
kategori: Cerpen Cinta Sedih
Email : Jihanabillap@gmail.com
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Hari ini diriku tertunduk menghadapMU
Bersimpuh memohon ampunan atas segala dosa
Bersimpuh memohon segalanya kepadaMU
Meminta perubahan hidup yang selama ini ada
Airmataku berlinang mengharap keridhoanMU
Hatiku selalu mengharap akan kasihMU
Hari ini aku datang menemuiMU, Tuhan
Aku berdoa kepadaMU, Tuhan
Tuhan,
Ubahlah hidupku menjadi lebih baik
Sentuhlah hatiku dengan cahayaMU
Kuatlah Imanku hingga menjadi yang terbaik
Tabahkanlah hatiku dalam setiap ujianMU
Tuhan,
Aku ikhlas menerima takdirMU
Hidupku adalah milikMU
Matiku adalah kembali kepadaMU
Berilah petunjuk didalam hatiku agar selalu dekat denganMU
Kebahagiaan dan kesedihanku adalah ketentuanMU
KetentuanMu adalah segala yang bisa diubah bagiku
Tapi KetetapanMU adalah mutlak bagiku
Aku pasrahkan hidupku kepadaMU
Tuhan,
Buatlah diriku mengerti akan hidup ini
Jangan pernah Engkau meninggalkanku dalam keadaan sendiri
Raihlah diriku, Tuhan
Sayangi aku selalu, Tuhan
Tuhan,
Jadikanlah aku kekasihMU
Didiklah aku dengan pelajaranMU
Sertai diriku selalu
Muliakanlah hidupku di dunia maupun di akheratMU
Amin….
***
Karya : Imam Aris Sugianto
Bersimpuh memohon ampunan atas segala dosa
Bersimpuh memohon segalanya kepadaMU
Meminta perubahan hidup yang selama ini ada
Airmataku berlinang mengharap keridhoanMU
Hatiku selalu mengharap akan kasihMU
Hari ini aku datang menemuiMU, Tuhan
Aku berdoa kepadaMU, Tuhan
Tuhan,
Ubahlah hidupku menjadi lebih baik
Sentuhlah hatiku dengan cahayaMU
Kuatlah Imanku hingga menjadi yang terbaik
Tabahkanlah hatiku dalam setiap ujianMU
Tuhan,
Aku ikhlas menerima takdirMU
Hidupku adalah milikMU
Matiku adalah kembali kepadaMU
Berilah petunjuk didalam hatiku agar selalu dekat denganMU
Kebahagiaan dan kesedihanku adalah ketentuanMU
KetentuanMu adalah segala yang bisa diubah bagiku
Tapi KetetapanMU adalah mutlak bagiku
Aku pasrahkan hidupku kepadaMU
Tuhan,
Buatlah diriku mengerti akan hidup ini
Jangan pernah Engkau meninggalkanku dalam keadaan sendiri
Raihlah diriku, Tuhan
Sayangi aku selalu, Tuhan
Tuhan,
Jadikanlah aku kekasihMU
Didiklah aku dengan pelajaranMU
Sertai diriku selalu
Muliakanlah hidupku di dunia maupun di akheratMU
Amin….
***
Karya : Imam Aris Sugianto
Alamat : Dusun Sedopok,-Desa Ngeper-Bojonegoro, 11 Agustus 2014
Kategori: Puisi Indah
Email : imamariss@gmail.com
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
Kategori: Puisi Indah
Email : imamariss@gmail.com
Sumber : http://puisi-online.com
Editor : Ferlin
“Menunggu bus nak?” Tanya seorang Bapak-Bapak kembali menyadarkanku dalam lamunan. Aku hanya mengangguk.
Ku tatap wajah lelaki yang tadi membuat lamunanku berlari menjauh. Tampak kerutan-kerutan di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menenteng sebuah karung putih. Entah apa isinya. Berhasil membuatku penasaran, tapi aku malu menanyakannya. Diusapnya beberapa kali peluh yang menetes di wajahnya dengan sapu tangan lusuh bertuliskan Indonesia. Mungkin karena rasa cintanya terhadap Negara ini yang terlalu dalam.
“Bapak mau ke mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Ke pasar wlingi nak, oh ya panggil saja saya pak Rahmat.”
“iya pak, saya Tina pak. Sepertinya kita searah pak.”
“Nak Tina mau ke wlingi juga?”
“Iya pak ke rumah saudara. Bapak ada perlu apa ke pasar wlingi?”
“Ini nak mengantarkan pesanan singkong.” Diperlihatkannya umbi singkong yang masih berbau tanah itu padaku.
“Wah jauh sekali pak dari kepanjen ke wlingi. Kenapa tidak dijual di pasar kepanjen saja pak?”
“Iya biasanya dijual di sana nak, tapi karena kemaren pembelinya membawa barang bawaan banyak, Bapak diminta mengantarkannya ke sana.” Belum sempat bertanya lagi. Bus putih bertuliskan Bagong itu berhenti di depan kami. Ku tuntun pak Rahmat.
Ku raih karung putih yang dibawanya. Bekas merah bertengger di jemariku.
“Jangan nak berat” kata pak Rahmat tertelan bising mesin bus. Aku hanya tersenyum mendengar samar tuturnya.
“Ternyata berat juga” batinku.
Aku ingin bertanya banyak hal padanya. Bertanya tentang kisahnya dan bertanya tentang keluarganya. Beruntung masih ada dua kursi kosong untuk aku dan pak Rahmat. Kami duduk bersebelahan. Ku tahan beribu tanya yang berkecamuk. Ku biarkan pak Rahmat menyandarkan tubuhnya sejenak di kursi bus. Koaran-koaran kernet bus memekikkan gendang telingaku. Bau kecut keringat perjuangannya singgah ke bulu-bulu hidungku. Lantunan-lantunan syair pengamen jalanan berhasil menggambarkan senyum di wajahku. Ku tatap pak Rahmat yang mulai terbangun dari rangkaian mimpinya.
“Sudah bangun pak?” pak Rahmat tersenyum dan mengucek-ngucek matanya.
“ini di mana nak?”
“Bendungan lahor Karang Kates pak, masih jauh kok pak. Bapak kenapa ke wlingi sendirian pak?”
“Lah mau minta diantar siapa nak. Semua keluarga Bapak sudah tidak ada.” Aku tak berani bertanya lagi. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku.
“Kabeh dadi korbane Londo nduk,” lanjut pak Rahmat dengan nada suara yang bergetar.
Pandangannya menerawang jauh. Bibirnya yang mulai kelu itu mulai berkisah masa purba. Masa ia masih bergabung dengan gerakan pemuda yang melawan penindasan belanda. Terlihat di sudut matanya butiran yang jatuh tanpa tertahan.
“Dentuman bom dan peluru itu menyatu. Seakan telah menjadi sahabat dalam hariku. Menjadi hal yang tak asing lagi. Benda panas yang merenggut beribu nyawa sahabat-sahabatku. Meski aliran darah segar terasa mengalir di keningku. Aku enggan menghentikan langkah. Aku berlari menuju gubuk kecil tempat anak dan istriku bersembunyi. Rasa perih tak lagi aku gubris. Hanya ada bayangan senyuman anak-anak dan istriku. Teringat masa kita habiskan waktu bersama dalam panas terik mentari dan dinginnya guyuran hujan. Saat harus berlari dari ganasnya serdadu belanda.
Ku percepat langkah saat ku lihat pintu gubuk berantakan. Terdengar jeritan wanita yang menyayat. Seorang wanita yang sangat ku sayangi tergeletak dengan baju setengah terbuka. Terlihat goresan-goresan luka di tubuh anak-anakku yang terbujur dengan berselimut cairan merah. Hilang kesabaranku. Hatiku menjerit melihat orang-orang yang ku sayangi tergeletak untuk selamanya. Tanpa berpikir panjang ku tembakkan senapan tepat di kepala laki-laki berwajah belanda itu.
“Binataaang!! Bajing*n!!” teriakku berkali-kali. Tanganku bergetar. Ku peluk tubuh anak-anak dan istriku. Ku sematkan janji dalam hatiku. Aku tak akan berhenti berjuang. Meneriakkan kemerdekaan dari mereka manusia behati setan. Penjajahan dan kekejaman dengan janji tanpa pembuktiaan. Ku raih sapu tangan yang menyatu dengan darah istriku. Sapu tangan yang dijahitnya semalam. Sapu tangan tanda cinta akan tanah air. Dalam tiap jahitannya tersimpan harapan kemerdekaan, kebebasan dan kedamaian.” Ia tak melanjutkan lagi ceritanya. Hanya terdiam dalam terawang kenangan perjuangan. Matanya menatap jendela bus yang mulai buram.
“Lihat nak, mereka anak-anak jalanan itu” tangannya menunjuk ke jalanan trotoar. Anak-anak kecil berpakaian compang-camping membawa gitar kecil. Berkoor lagu punk rock jalanan. Menghampiri toko-toko kecil di pinggir jalan.
“Lihat di sana nak, di bawah jembatan itu” aku mengalihkan pandanganku mengikuti petunjuk jari pak Rahmat. Di bawah jembatan beton ini. Ku lihat seorang wanita mencuci beberapa potong baju di genangan air keruh. Di belakangnya terlihat rumah kardus reot dengan warna yang mulai luntur.
“Dan itu nak,” tunjuknya lagi. Di sebuah caffe di pojok jalan. Darah muda berseragam putih abu-abu asyik bercengkraman. Sesekali terdengar deruman mesin motor ninja yang digas kuat-kuat. Dan sebagian lainnya mengangkat kakinya di atas kursi dengan ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok yang mengepul membentuk lingkaran di udara.
“Kau mengerti tak nak? Seharusnya anak-anak jalanan tadi mendapatkan pendidikan yang layak dan wanita di bawah jembatan tadi harusnya mendapat tempat yang layak. Tapi siapa yang akan menjamin kelayakan itu. Pemimpin negeri sibuk berjanji. Sibuk berkompetisi. Generasi muda sibuk mempersenang diri. Bagi mereka yang berkesempatan mengenyam dunia pendidikan, sibuk dengan gaya pribadi. Sibuk mencari teknologi. Sibuk mencari pasangan hati. Sedikit dari mereka yang sibuk memahami kondisi negeri. Korupsi yang saat ini telah menjadi raja di bumi pertiwi. Yang diperankan oleh kaum-kaum berpendidikan tanpa iman. Tanpa memikirkan nasib rakyat yang lama menahan demo cacing-cacing perutnya. Tapi mereka yang memegang jabatan dan kekuasaan sibuk menggemukkan diri dengan uang rakyat yang terdholimi” lanjutnya. Diusapnya air mata dengan sapu tangan kenangan masa purbanya. Aku terdiam memikirkan apa yang diucapkan pak Rahmat.
“Bapak kan pernah berjuang untuk negeri ini. Kenapa Bapak tidak meminta tunjangan dari Negara?”
“Kenapa harus mengharapkan tunjangan nak.. Bapak berjuang bukan karena uang. Tapi keinginan untuk merdeka. Agar generasi muda tak lagi merasakan pedihnya hidup di bawah ketiak belanda. Bekerja dengan keterpaksaan. Penindasan tanpa kepedulian. Bukankah hidup ini perjuangan. Saat perjuanganku meneriakkan kemerdekaan menjadi sebuah kenyataan aku tak akan mengharapkan upah.
Meski banyak ribuan nyawa yang melayang. Itu semua adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan. Kini saatnya Bapak berjuang melawan rasa lapar, berjuang melawan himpitan ekonomi, berjuang untuk tetap bertahan. Kabeh iku kudu dilakoni tansah roso ikhlas nduk. Biarkan mata yang tinggal sebelah ini yang akan menjadi saksi kisah perjuanganku di masa purba itu” Ada aliran rasa kagum yang menelusup.
Tak dapat ku pungkiri aku berkali-kali memujinya dalam hati. Keikhlasannya, kesabaran, dan kepeduliannya. Meski hanya dengan sebelah mata. Ia tetap berjuang.
Ku tatap wajah lelaki yang tadi membuat lamunanku berlari menjauh. Tampak kerutan-kerutan di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menenteng sebuah karung putih. Entah apa isinya. Berhasil membuatku penasaran, tapi aku malu menanyakannya. Diusapnya beberapa kali peluh yang menetes di wajahnya dengan sapu tangan lusuh bertuliskan Indonesia. Mungkin karena rasa cintanya terhadap Negara ini yang terlalu dalam.
“Bapak mau ke mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Ke pasar wlingi nak, oh ya panggil saja saya pak Rahmat.”
“iya pak, saya Tina pak. Sepertinya kita searah pak.”
“Nak Tina mau ke wlingi juga?”
“Iya pak ke rumah saudara. Bapak ada perlu apa ke pasar wlingi?”
“Ini nak mengantarkan pesanan singkong.” Diperlihatkannya umbi singkong yang masih berbau tanah itu padaku.
“Wah jauh sekali pak dari kepanjen ke wlingi. Kenapa tidak dijual di pasar kepanjen saja pak?”
“Iya biasanya dijual di sana nak, tapi karena kemaren pembelinya membawa barang bawaan banyak, Bapak diminta mengantarkannya ke sana.” Belum sempat bertanya lagi. Bus putih bertuliskan Bagong itu berhenti di depan kami. Ku tuntun pak Rahmat.
Ku raih karung putih yang dibawanya. Bekas merah bertengger di jemariku.
“Jangan nak berat” kata pak Rahmat tertelan bising mesin bus. Aku hanya tersenyum mendengar samar tuturnya.
“Ternyata berat juga” batinku.
Aku ingin bertanya banyak hal padanya. Bertanya tentang kisahnya dan bertanya tentang keluarganya. Beruntung masih ada dua kursi kosong untuk aku dan pak Rahmat. Kami duduk bersebelahan. Ku tahan beribu tanya yang berkecamuk. Ku biarkan pak Rahmat menyandarkan tubuhnya sejenak di kursi bus. Koaran-koaran kernet bus memekikkan gendang telingaku. Bau kecut keringat perjuangannya singgah ke bulu-bulu hidungku. Lantunan-lantunan syair pengamen jalanan berhasil menggambarkan senyum di wajahku. Ku tatap pak Rahmat yang mulai terbangun dari rangkaian mimpinya.
“Sudah bangun pak?” pak Rahmat tersenyum dan mengucek-ngucek matanya.
“ini di mana nak?”
“Bendungan lahor Karang Kates pak, masih jauh kok pak. Bapak kenapa ke wlingi sendirian pak?”
“Lah mau minta diantar siapa nak. Semua keluarga Bapak sudah tidak ada.” Aku tak berani bertanya lagi. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku.
“Kabeh dadi korbane Londo nduk,” lanjut pak Rahmat dengan nada suara yang bergetar.
Pandangannya menerawang jauh. Bibirnya yang mulai kelu itu mulai berkisah masa purba. Masa ia masih bergabung dengan gerakan pemuda yang melawan penindasan belanda. Terlihat di sudut matanya butiran yang jatuh tanpa tertahan.
“Dentuman bom dan peluru itu menyatu. Seakan telah menjadi sahabat dalam hariku. Menjadi hal yang tak asing lagi. Benda panas yang merenggut beribu nyawa sahabat-sahabatku. Meski aliran darah segar terasa mengalir di keningku. Aku enggan menghentikan langkah. Aku berlari menuju gubuk kecil tempat anak dan istriku bersembunyi. Rasa perih tak lagi aku gubris. Hanya ada bayangan senyuman anak-anak dan istriku. Teringat masa kita habiskan waktu bersama dalam panas terik mentari dan dinginnya guyuran hujan. Saat harus berlari dari ganasnya serdadu belanda.
Ku percepat langkah saat ku lihat pintu gubuk berantakan. Terdengar jeritan wanita yang menyayat. Seorang wanita yang sangat ku sayangi tergeletak dengan baju setengah terbuka. Terlihat goresan-goresan luka di tubuh anak-anakku yang terbujur dengan berselimut cairan merah. Hilang kesabaranku. Hatiku menjerit melihat orang-orang yang ku sayangi tergeletak untuk selamanya. Tanpa berpikir panjang ku tembakkan senapan tepat di kepala laki-laki berwajah belanda itu.
“Binataaang!! Bajing*n!!” teriakku berkali-kali. Tanganku bergetar. Ku peluk tubuh anak-anak dan istriku. Ku sematkan janji dalam hatiku. Aku tak akan berhenti berjuang. Meneriakkan kemerdekaan dari mereka manusia behati setan. Penjajahan dan kekejaman dengan janji tanpa pembuktiaan. Ku raih sapu tangan yang menyatu dengan darah istriku. Sapu tangan yang dijahitnya semalam. Sapu tangan tanda cinta akan tanah air. Dalam tiap jahitannya tersimpan harapan kemerdekaan, kebebasan dan kedamaian.” Ia tak melanjutkan lagi ceritanya. Hanya terdiam dalam terawang kenangan perjuangan. Matanya menatap jendela bus yang mulai buram.
“Lihat nak, mereka anak-anak jalanan itu” tangannya menunjuk ke jalanan trotoar. Anak-anak kecil berpakaian compang-camping membawa gitar kecil. Berkoor lagu punk rock jalanan. Menghampiri toko-toko kecil di pinggir jalan.
“Lihat di sana nak, di bawah jembatan itu” aku mengalihkan pandanganku mengikuti petunjuk jari pak Rahmat. Di bawah jembatan beton ini. Ku lihat seorang wanita mencuci beberapa potong baju di genangan air keruh. Di belakangnya terlihat rumah kardus reot dengan warna yang mulai luntur.
“Dan itu nak,” tunjuknya lagi. Di sebuah caffe di pojok jalan. Darah muda berseragam putih abu-abu asyik bercengkraman. Sesekali terdengar deruman mesin motor ninja yang digas kuat-kuat. Dan sebagian lainnya mengangkat kakinya di atas kursi dengan ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok yang mengepul membentuk lingkaran di udara.
“Kau mengerti tak nak? Seharusnya anak-anak jalanan tadi mendapatkan pendidikan yang layak dan wanita di bawah jembatan tadi harusnya mendapat tempat yang layak. Tapi siapa yang akan menjamin kelayakan itu. Pemimpin negeri sibuk berjanji. Sibuk berkompetisi. Generasi muda sibuk mempersenang diri. Bagi mereka yang berkesempatan mengenyam dunia pendidikan, sibuk dengan gaya pribadi. Sibuk mencari teknologi. Sibuk mencari pasangan hati. Sedikit dari mereka yang sibuk memahami kondisi negeri. Korupsi yang saat ini telah menjadi raja di bumi pertiwi. Yang diperankan oleh kaum-kaum berpendidikan tanpa iman. Tanpa memikirkan nasib rakyat yang lama menahan demo cacing-cacing perutnya. Tapi mereka yang memegang jabatan dan kekuasaan sibuk menggemukkan diri dengan uang rakyat yang terdholimi” lanjutnya. Diusapnya air mata dengan sapu tangan kenangan masa purbanya. Aku terdiam memikirkan apa yang diucapkan pak Rahmat.
“Bapak kan pernah berjuang untuk negeri ini. Kenapa Bapak tidak meminta tunjangan dari Negara?”
“Kenapa harus mengharapkan tunjangan nak.. Bapak berjuang bukan karena uang. Tapi keinginan untuk merdeka. Agar generasi muda tak lagi merasakan pedihnya hidup di bawah ketiak belanda. Bekerja dengan keterpaksaan. Penindasan tanpa kepedulian. Bukankah hidup ini perjuangan. Saat perjuanganku meneriakkan kemerdekaan menjadi sebuah kenyataan aku tak akan mengharapkan upah.
Meski banyak ribuan nyawa yang melayang. Itu semua adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan. Kini saatnya Bapak berjuang melawan rasa lapar, berjuang melawan himpitan ekonomi, berjuang untuk tetap bertahan. Kabeh iku kudu dilakoni tansah roso ikhlas nduk. Biarkan mata yang tinggal sebelah ini yang akan menjadi saksi kisah perjuanganku di masa purba itu” Ada aliran rasa kagum yang menelusup.
Tak dapat ku pungkiri aku berkali-kali memujinya dalam hati. Keikhlasannya, kesabaran, dan kepeduliannya. Meski hanya dengan sebelah mata. Ia tetap berjuang.
Sekian
Cerpen Karangan: Faddilatusolikah
kategori: Cerpen Kehidupan Cerpen Nasihat Cerpen Perjuangan
Blog: http://fadilatussholikhah.blogspot.com/
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
kategori: Cerpen Kehidupan Cerpen Nasihat Cerpen Perjuangan
Blog: http://fadilatussholikhah.blogspot.com/
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Selain gue memperkenalkan diri gue, gue akan memperkenalkan juga sahabat baik yang hanya satu-satunya yang gue punya yaitu Chikita Daniar. Pada suatu hari, dia ngajakin gue ngobrol di sebuah pendopo deket ruang guru -bayangin gimana rasanya diajak ngobrol cewek.
“Syarif, lo di mana?” tanya dia melalui sms.
“Gue di kelas. Kenapa emang?” tanya gue.
“Nanti kita ngobrol bareng yuk sepulang sekolah” ajak dia.
“di mana?” tanya lagi gue.
“Di pendopo dekat ruang guru” jawab dia.
“Ya udah” tanpa menggunakan emot atau semacamnya, gue ngerasa diri gue adalah orang paling cuek sedunia -bayangin coy dia kan sahabat baik gue. Iya gak apa-apa juga dari pada gue kerjaannya cuma tidur dan makan kayak pengangguran gitu, lebih baik gue ngobrol sama dia.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, gue langsung rapi-rapi dan segera menuju ke TKP. Pendopo dekat ruang guru. Jarak dari kelas gue ke pendopo dekat ruang guru hanya sekitar 3000, bukan 3000m tapi 3000cm yang setara dengan 30 m hehehe.
Sesampainya gue di pendopo itu, si Chikita masih belum datang. Sambil gue nungguin dia, gue nyanyi-nyanyi dengan riangnya.
“Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku…”
Suka-suka gue nyanyi lagu apa aja, antara juga itu lagu nasional kita coy, kita mesti bangga masih punya lagu nasional -ceritanya lagi nasionalisme.
Di saat gue menyanyi Reff lagu “Indonesia Raya”, tiba-tiba Chikita datang dengan cara mengejutkan seperti biasa, duduk di samping gue dengan pandangan kosong ke depan sambil bilang “Halo Syarif” dengan nada datarnya itu. Coba aja kalau dia bukan sahabat gue, pasti udah gue gantung tuh bocah di bawah pohon beringin.
Sudahlah mari kita lupakan kejadian tadi. Nah sebelum dia ngobrol, dia mengajak gue ke kantin. Dalam hati gue yang berkata “Pasti dia mau traktir gue”. Tanpa pikir panjang gue langsung setuju menerima ajakan dia. Sesampai kita di kantin, dia langsung mengambil cemilan-cemilan serta makanan ringan dengan begitu banyaknya.
“Syarif, bayarin” ucap dengan mata yang berbinar-binar memohon kepada diri gue untuk dibayarin makanan-makanan yang ia beli.
“Asem, jadi malah gue yang traktir dia” ucap gue dalam hati dengan rasa kesal, kemudian gue ambil uang yang ada di saku untuk membayar semua makanan yang ia beli.
“Terima kasih Syarif” ucap dia dengan senyum yang sangat manis yang bisa membuat jutaan lelaki terpana. Gue serasa pengen guling-guling di rel kereta. Bukan karena senang, tapi karena kesal karena gue yang selalu mentraktir dia. Oke anggap aja gue lagi beramal.
Lupakan lagi kejadian di kantin tadi. Sekarang kita menuju kembali ke pendopo dekat ruang guru untuk mengobrol. Setibanya kami di sana, kami langsung duduk dan dengan enaknya dia makan tanpa menawari gue. Asem bener dah.
“Syarif, kita cerita aja yuk” ucap dia sambil asyik makan.
“Ya udah lo aja yang cerita” jawab gue dengan nada judes.
“Ah Syarif lo mah jahat” ucap dia dengan nada sok imut yang ingin membuat gue mencubit pipinya -bukan karena bercanda tapi karena kesal.
“Terserah dah” ucap gue dengan nada acuh tak acuh.
“Ya udah deh gue yang cerita” ucap dia dengan mulut penuh makanan.
Gue pasang telinga lebar-lebar alias mendengarkan secara seksama sambil berbaring tapi bukan untuk tidur. Dia memulai ceritanya dengan bertanya kepada gue.
“Lo bukan penakut kan Syarif?” Gue hanya diam dan berkata dalam hati “Buseng dah ini cewek benar-benar menghina gue banget tapi entah mengapa dia menjadi sahabat dan gue menjadi sahabat dia” tapi gak apa-apalah semua orang punya kekurangan.
“Lo tahu gak kalau dulu gue itu siswi teladan pas SMP?” tanya dia dengan menepuk dada tanda sombong.
“Gak” jawab gue dengan nada datar tak berirama.
“Ah lo mah jahat” ucap dia lagi dengan wajah sok imut.
“Sudah lo cerita aja” ucap gue dengan nada agak tinggi.
“Ya udah deh. Gue dulunya ketua OSIS beserta ketua dari 10 ekskul ketika SMP” ucap dia dengan suara yang lembut, selembut pohon kaktus.
“Apa? Serius lo?” tanya gue dengan terkejut.
“Iya gue serius” ucap dia dengan nada yang sangat meyakinkan.
“Oke gue cukup tahu aja” ucap gue dengan nada datar tapi sebenarnya iri karena kekuasaan dia yang begitu luar biasa.
Iya bayangin aja dia itu Puteri Sekolah 2013 -khusus di sekolah kita- dan finalis AMPOK -ABANG MPOK- KAB. BEKASI 2013, jadi lo bisa bayangin gak gimana sifat dia?
“Sebenarnya gue kangen diri gue yang dulu, yang sangat tegas” ucap dia dengan membangga-banggakan diri. Gue hanya diam seribu bahasa tanpa komentar dengan ekspresi gue yang begitu tercengang.
Kemudian dia melanjutkan cerita yang begitu tidak pentingnya buat gue -haha gue emang sahabat yang jahat tapi lupakan tentang sikap buruk gue. Dia menceritakan pengalaman dia yang sampai ribut dengan preman sekolah ketika SD yang gara-gara membela kejayaan wanita layaknya R.A. Kartini tapi versi kedua.
Gue ceritain nih ya bagaimana dia bisa ribut dengan preman sekolah. Dia gak suka temannya terus dicaci-maki dengan itu si preman sekolah, kemudian dia menolong temannya yang sedang dicaci-maki itu dengan berkata.
“Eh lo laki-laki bukan? Masa beraninya sama cewek doang. Dasar b*nci lu!!” Tidak terima dengan perbuatan Chikita, kemudia si preman sekolah itu menjawab.
“A*jing lu!!!” Kemudian Chikita membalas lagi dengan menodongkan sebuah cutter -pisau kecil-.
“Eh ngomong apa lo barusan? Ngomong sini di depan muka gue kalau lo emang berani. Ah dasar b*nci!!”
Setelah diceritakan itu, gue hanya bisa puji-puji dan dalam hati gue hanya bisa berkata.
“Gila ini cewek benar-benar luar biasa bahkan dia sampai berani menodongkan pisau” Oke dia berhasil membuat gue shock atau trauma berat karena cerita masa lalu dia ketika SD yang masih imut-imutnya anak kecil.
Selain cerita tadi, gue juga diceritain dia tentang tegasnya dia ketika menjadi ketua OSIS ketika dia masih sekolah di SMP. Jujur aja nih ya, sebenarnya cerita ini benar-benar gak penting buat gue, tapi daripada gue digerogoti rasa bosan sampai benar-benar ingin bunuh diri, dengan terpaksa gue mendengarkan. Biar gue aja yang ceritain. Jadi gini, ketika dia menjabat sebagai ketua OSIS ketika SMP, dia punya peraturan yang begitu ketat, mulai dari penegakkan disiplin yang sampai-sampai membuat gue enek dengerinnya.
Nah pada suatu hari, temannya itu terlambat datang ke sekolah, kemudian si Chikita ini bertugas menghukumnya. Nah temannya itu merayu Chikita supaya tidak kena hukuman. Tapi apa lo semua apa yang selanjutnya terjadi? Dia malah bilang gini.
“Eh lo kan mengakui gue sebagai teman lo kan? Seharusnya lo bisa menghargai gue sebagai teman lo mengikuti peraturan yang telah gue buat bukannya malah melanggarnya. Lo sama aja menghina gue secara tidak langsung” Mendengar pernyataan tersebut, teman Chikita yang terlambat tadi sampai-sampai menangis tersendu-sendu. Dalam hati gue berkata.
“Gile ini cewek benar-benar tegas”
Karena ketegasannya itu, dia membuat kontroversi dengan kebanyakan temannya dan juga dengan seorang guru PLH. Bagian ini sepertinya tidak perlu diceritakan karena benar-benar tidak penting menurut gue. Oh iya dia juga menceritakan tentang kecerdasannya sampai-sampai dia mendapat beasiswa di SMA. Coba bro -khusus laki-laki-, lo bayangin dia, tinggi langsing, cantik, calon model, cerdas, ekspresif -bisa baca puisi-, tegas, dan lain-lain yang masih banyak belum gue sebutin. Apa itu termasuk ke dalam kriteria cewek idaman lo gak bro? Hahaha. Itulah alasan gue mau jadi sahabat dia -licik ya gue.
Sudahlah mari kita lanjutkan ceritanya. Dia menjadi panutan 3 angkatan karena kecerdasannya dan sempat memenangkan olimpiade fisika tingkat kabupaten ketika kelas 7 atau kelas 8 entahlah gue lupa. Sampai-sampai ada guru yang terlalu membanggakan dia dan membandingkan dia dengan teman-temannya yang bisa membuat teman-temannya sakit hati tingkat tinggi. Sebelumnya lo tahu gak kenapa malahan jadi gue yang ceritain tentang dia? Karena dia malah jalan-jalan sama cowoknya -bukan pacar bukan juga gebetan- dan gue cuma duduk di pendopo sambil menceritakan cerita masa lalu dia kepada pacar gue, Rani Maharsi Khairunnisa.
Setelah dia selesai jalan-jalan dengan cowoknya -bukan pacar bukan juga gebetan-, dia mengajak pulang bareng dengan gue dan pacar gue. Padahal sih kita pulang bareng cuma sampai depan sekolah karena beda jurusan angkutan umum, Chikita naik angkot -angkutan perkotaan- nomor 38 untuk pulang -bukan pulang ibarat meninggal iya-, Rani naik angkot nomor 18 untuk pulang, sedangkan gue naik ELF untuk pulang. Sayangnya gue bukan penyihir berkelas yang bisa naik sapu terbang atau bukan pahlawan dari negeri dongeng yang naik pegasus -kuda terbang.
Sekian
“Syarif, lo di mana?” tanya dia melalui sms.
“Gue di kelas. Kenapa emang?” tanya gue.
“Nanti kita ngobrol bareng yuk sepulang sekolah” ajak dia.
“di mana?” tanya lagi gue.
“Di pendopo dekat ruang guru” jawab dia.
“Ya udah” tanpa menggunakan emot atau semacamnya, gue ngerasa diri gue adalah orang paling cuek sedunia -bayangin coy dia kan sahabat baik gue. Iya gak apa-apa juga dari pada gue kerjaannya cuma tidur dan makan kayak pengangguran gitu, lebih baik gue ngobrol sama dia.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, gue langsung rapi-rapi dan segera menuju ke TKP. Pendopo dekat ruang guru. Jarak dari kelas gue ke pendopo dekat ruang guru hanya sekitar 3000, bukan 3000m tapi 3000cm yang setara dengan 30 m hehehe.
Sesampainya gue di pendopo itu, si Chikita masih belum datang. Sambil gue nungguin dia, gue nyanyi-nyanyi dengan riangnya.
“Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku…”
Suka-suka gue nyanyi lagu apa aja, antara juga itu lagu nasional kita coy, kita mesti bangga masih punya lagu nasional -ceritanya lagi nasionalisme.
Di saat gue menyanyi Reff lagu “Indonesia Raya”, tiba-tiba Chikita datang dengan cara mengejutkan seperti biasa, duduk di samping gue dengan pandangan kosong ke depan sambil bilang “Halo Syarif” dengan nada datarnya itu. Coba aja kalau dia bukan sahabat gue, pasti udah gue gantung tuh bocah di bawah pohon beringin.
Sudahlah mari kita lupakan kejadian tadi. Nah sebelum dia ngobrol, dia mengajak gue ke kantin. Dalam hati gue yang berkata “Pasti dia mau traktir gue”. Tanpa pikir panjang gue langsung setuju menerima ajakan dia. Sesampai kita di kantin, dia langsung mengambil cemilan-cemilan serta makanan ringan dengan begitu banyaknya.
“Syarif, bayarin” ucap dengan mata yang berbinar-binar memohon kepada diri gue untuk dibayarin makanan-makanan yang ia beli.
“Asem, jadi malah gue yang traktir dia” ucap gue dalam hati dengan rasa kesal, kemudian gue ambil uang yang ada di saku untuk membayar semua makanan yang ia beli.
“Terima kasih Syarif” ucap dia dengan senyum yang sangat manis yang bisa membuat jutaan lelaki terpana. Gue serasa pengen guling-guling di rel kereta. Bukan karena senang, tapi karena kesal karena gue yang selalu mentraktir dia. Oke anggap aja gue lagi beramal.
Lupakan lagi kejadian di kantin tadi. Sekarang kita menuju kembali ke pendopo dekat ruang guru untuk mengobrol. Setibanya kami di sana, kami langsung duduk dan dengan enaknya dia makan tanpa menawari gue. Asem bener dah.
“Syarif, kita cerita aja yuk” ucap dia sambil asyik makan.
“Ya udah lo aja yang cerita” jawab gue dengan nada judes.
“Ah Syarif lo mah jahat” ucap dia dengan nada sok imut yang ingin membuat gue mencubit pipinya -bukan karena bercanda tapi karena kesal.
“Terserah dah” ucap gue dengan nada acuh tak acuh.
“Ya udah deh gue yang cerita” ucap dia dengan mulut penuh makanan.
Gue pasang telinga lebar-lebar alias mendengarkan secara seksama sambil berbaring tapi bukan untuk tidur. Dia memulai ceritanya dengan bertanya kepada gue.
“Lo bukan penakut kan Syarif?” Gue hanya diam dan berkata dalam hati “Buseng dah ini cewek benar-benar menghina gue banget tapi entah mengapa dia menjadi sahabat dan gue menjadi sahabat dia” tapi gak apa-apalah semua orang punya kekurangan.
“Lo tahu gak kalau dulu gue itu siswi teladan pas SMP?” tanya dia dengan menepuk dada tanda sombong.
“Gak” jawab gue dengan nada datar tak berirama.
“Ah lo mah jahat” ucap dia lagi dengan wajah sok imut.
“Sudah lo cerita aja” ucap gue dengan nada agak tinggi.
“Ya udah deh. Gue dulunya ketua OSIS beserta ketua dari 10 ekskul ketika SMP” ucap dia dengan suara yang lembut, selembut pohon kaktus.
“Apa? Serius lo?” tanya gue dengan terkejut.
“Iya gue serius” ucap dia dengan nada yang sangat meyakinkan.
“Oke gue cukup tahu aja” ucap gue dengan nada datar tapi sebenarnya iri karena kekuasaan dia yang begitu luar biasa.
Iya bayangin aja dia itu Puteri Sekolah 2013 -khusus di sekolah kita- dan finalis AMPOK -ABANG MPOK- KAB. BEKASI 2013, jadi lo bisa bayangin gak gimana sifat dia?
“Sebenarnya gue kangen diri gue yang dulu, yang sangat tegas” ucap dia dengan membangga-banggakan diri. Gue hanya diam seribu bahasa tanpa komentar dengan ekspresi gue yang begitu tercengang.
Kemudian dia melanjutkan cerita yang begitu tidak pentingnya buat gue -haha gue emang sahabat yang jahat tapi lupakan tentang sikap buruk gue. Dia menceritakan pengalaman dia yang sampai ribut dengan preman sekolah ketika SD yang gara-gara membela kejayaan wanita layaknya R.A. Kartini tapi versi kedua.
Gue ceritain nih ya bagaimana dia bisa ribut dengan preman sekolah. Dia gak suka temannya terus dicaci-maki dengan itu si preman sekolah, kemudian dia menolong temannya yang sedang dicaci-maki itu dengan berkata.
“Eh lo laki-laki bukan? Masa beraninya sama cewek doang. Dasar b*nci lu!!” Tidak terima dengan perbuatan Chikita, kemudia si preman sekolah itu menjawab.
“A*jing lu!!!” Kemudian Chikita membalas lagi dengan menodongkan sebuah cutter -pisau kecil-.
“Eh ngomong apa lo barusan? Ngomong sini di depan muka gue kalau lo emang berani. Ah dasar b*nci!!”
Setelah diceritakan itu, gue hanya bisa puji-puji dan dalam hati gue hanya bisa berkata.
“Gila ini cewek benar-benar luar biasa bahkan dia sampai berani menodongkan pisau” Oke dia berhasil membuat gue shock atau trauma berat karena cerita masa lalu dia ketika SD yang masih imut-imutnya anak kecil.
Selain cerita tadi, gue juga diceritain dia tentang tegasnya dia ketika menjadi ketua OSIS ketika dia masih sekolah di SMP. Jujur aja nih ya, sebenarnya cerita ini benar-benar gak penting buat gue, tapi daripada gue digerogoti rasa bosan sampai benar-benar ingin bunuh diri, dengan terpaksa gue mendengarkan. Biar gue aja yang ceritain. Jadi gini, ketika dia menjabat sebagai ketua OSIS ketika SMP, dia punya peraturan yang begitu ketat, mulai dari penegakkan disiplin yang sampai-sampai membuat gue enek dengerinnya.
Nah pada suatu hari, temannya itu terlambat datang ke sekolah, kemudian si Chikita ini bertugas menghukumnya. Nah temannya itu merayu Chikita supaya tidak kena hukuman. Tapi apa lo semua apa yang selanjutnya terjadi? Dia malah bilang gini.
“Eh lo kan mengakui gue sebagai teman lo kan? Seharusnya lo bisa menghargai gue sebagai teman lo mengikuti peraturan yang telah gue buat bukannya malah melanggarnya. Lo sama aja menghina gue secara tidak langsung” Mendengar pernyataan tersebut, teman Chikita yang terlambat tadi sampai-sampai menangis tersendu-sendu. Dalam hati gue berkata.
“Gile ini cewek benar-benar tegas”
Karena ketegasannya itu, dia membuat kontroversi dengan kebanyakan temannya dan juga dengan seorang guru PLH. Bagian ini sepertinya tidak perlu diceritakan karena benar-benar tidak penting menurut gue. Oh iya dia juga menceritakan tentang kecerdasannya sampai-sampai dia mendapat beasiswa di SMA. Coba bro -khusus laki-laki-, lo bayangin dia, tinggi langsing, cantik, calon model, cerdas, ekspresif -bisa baca puisi-, tegas, dan lain-lain yang masih banyak belum gue sebutin. Apa itu termasuk ke dalam kriteria cewek idaman lo gak bro? Hahaha. Itulah alasan gue mau jadi sahabat dia -licik ya gue.
Sudahlah mari kita lanjutkan ceritanya. Dia menjadi panutan 3 angkatan karena kecerdasannya dan sempat memenangkan olimpiade fisika tingkat kabupaten ketika kelas 7 atau kelas 8 entahlah gue lupa. Sampai-sampai ada guru yang terlalu membanggakan dia dan membandingkan dia dengan teman-temannya yang bisa membuat teman-temannya sakit hati tingkat tinggi. Sebelumnya lo tahu gak kenapa malahan jadi gue yang ceritain tentang dia? Karena dia malah jalan-jalan sama cowoknya -bukan pacar bukan juga gebetan- dan gue cuma duduk di pendopo sambil menceritakan cerita masa lalu dia kepada pacar gue, Rani Maharsi Khairunnisa.
Setelah dia selesai jalan-jalan dengan cowoknya -bukan pacar bukan juga gebetan-, dia mengajak pulang bareng dengan gue dan pacar gue. Padahal sih kita pulang bareng cuma sampai depan sekolah karena beda jurusan angkutan umum, Chikita naik angkot -angkutan perkotaan- nomor 38 untuk pulang -bukan pulang ibarat meninggal iya-, Rani naik angkot nomor 18 untuk pulang, sedangkan gue naik ELF untuk pulang. Sayangnya gue bukan penyihir berkelas yang bisa naik sapu terbang atau bukan pahlawan dari negeri dongeng yang naik pegasus -kuda terbang.
Sekian
Cerpen Karangan: Muhamad Syarifudin Hidayatullah
kategori: Cerpen Lucu (Humor) Cerpen Remaja
Facebook: Syarifudin Emseh
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
Semburat senja membentang di langit. Sepasang mata menatapnya penuh kerinduan. Rindu ingin menatapnya lebih lama. Jemari lembutnya masih menempel pada senar gitar. Rangkaian melodi telah ia mainkan penuh haru. Terlihat sisa tetesan air mata bersembunyi dari sudut matanya.
Duduk menatap sisa senja ditemani serangkaian melodi kenangan di padang ilalang. Lekuk pipinya kembali dilewati butiran air mata. Senyumnya masih tersemat manis. Ada sebaris kerinduan yang mendalam dari binar matanya. Hingga tatapan yang terpaku kokoh, seketika berkedip. Lelah menahan tangisnya yang menumpuk di pelupuk mata. Hatinya begitu sakit. Rindu yang menggema tak terapalkan, hanya tertahan di hatinya. Pertemuan tak ia dapat dalam nyata. Mungkin nanti, ketika Tuhan mengutus waktu untuk menyemaikan kerinduannya dalam pertemuan.
–
10 Oktober 2011
“Aku mencintaimu, Dani.” ucap Kanaya yang sempat ragu.
Sepasang mata menatapnya tak percaya. Nyaris kedua halisnya menyatu, mendengar pernyataan Kanaya. Sosok yang menatapnya lekat itu tak lain adalah Dani Wihandra, lelaki yang Kanaya cintai selama tiga tahun terakhir ini. Senyum khas perlahan tersemat di bibir Dani. Tatapan itu perlahan mengendur, hingga akhirnya menjauh dari hadapan Kanaya. Tak ada sebaris kalimat bahkan sepatah kata yang terapal dari mulut Dani. Hanya punggung Dani yang Kanaya lihat. Hingga perlahan menghilang dari pandangannya.
Kanaya berdiri mematung. Ia terdiam dalam kebisuannya. Hanya mata dan hatinya yang tak henti bekerja keras. Merasakan sakit hati dan rasa malu. Serta butir-butir kekecewaan jatuh secara bergantian. Hanya riuh teman-teman sekolahnya yang jelas terdengar di telinganya yang lambat laun terasa membeku, hingga seruan sahabatnya tak mampu terespon olehnya.
“Naya? Kau baik-baik saja?” seru Ranti menepuk bahu Kanaya dengan lembut.
“Eh, ya?” kejut Kanaya selang beberapa saat.
“Hei? Ada apa? Ayo gabung dengan yang lain. Ini kan acara perpisahan kita di SMA ini, kau tak mungkin menyia-nyiakan momen ini kan? Ayo?” ajak Ranti yang mulai mengamati sorot mata sahabatnya itu.
“Ah, sepertinya aku kurang enak badan. Aku harus cepat pulang, Ran,” balas Kanaya beralasan.
Tangan Ranti memegang erat pundak Kanaya. Ia mencermati mata yang mulai memerah itu. Sorot mata yang tak sanggup lagi menahan air mata. Satu pertanyaan pun mengalir dari mulut Ranti lewat lidahnya.
“Naya, jujur padaku. Kau tidak benar-benar menyatakan cinta pada Dani, kan?”
Kanaya melerai sentuhan di bahunya itu. Ia mengayunkan kakinya, melangkah menuju tempat yang jauh dari keramaian. Ia duduk di kursi yang tak jauh darinya. Kerlap-kerlip bintang menghiasi malam, bersama rembulan yang tak kalah menyala lewat biasnya. Jemari lentiknya mulai menyapu tetes air mata yang tak henti melaju dari sudut matanya.
“Kau tahu? Aku sangat terlihat bodoh saat berada di hadapannya,” tutur Kanaya pada Ranti yang duduk di sampingnya.
“Naya …” balas Ranti dengan tatapan sedih.
“Aku tak mengapa tak mendapat balasan darinya, tapi setidaknya aku mengerti arti dari senyumnya. Ia tak marah padaku. Mungkin aku akan kembali duduk dalam penantian dan berteman dengan waktu. Entah sampai kapan …” balasnya terdengar lemah.
“Naya, kau tunggu di sini. Aku akan mencari Dani dan menanyakan padanya tentang—” perkataan Ranti menggantung saat Kanaya menggenggam erat tangannya seraya menggelengkan kepala. “Kenapa?” lanjut Ranti heran.
Kanaya memeluk Ranti sebagai sandaran tangisnya. Pundak kiri Ranti mulai terasa basah. Air mata Kanaya membasahi kebaya Ranti di sekitar pundaknya. Ranti membalas pelukan itu. Mengusap punggung Kanaya, memberi kenyamanan atas kesedihan yang menimpa hati sahabatnya itu. Kanaya kembali pada posisinya semula. Ia kembali menghapus sisa air matanya. Sementara Ranti menatapnya penuh haru.
“Carilah pengganti Dani, aku tak mau melihat sahabatku terlalu lama dipermainkan waktu dalam penantian yang tak berujung ini. Kau pantas bahagia, kau pantas mendapatkan yang lebih dari Dani.”
“Tidak, Ran. Ketulusan cintaku tak akan kalah hanya karena permainan sang waktu yang kadang membuatku jatuh dalam rasa lelah. Dan bosan karena tak ada jawaban. Tiga tahun saja telah ku lewati, bila harus menanti tiga, empat bahkan lima tahun lagi, aku pasti mampu bertahan,”
“Tapi aku takut penantianmu ini sia-sia, Naya. Ayolah, sadar!”
“Dari mana aku tahu penantian ini sia-sia atau tidak, bila aku tak merasakan penantian ini secara utuh? Aku yakin dengan takdir dari Tuhan. Aku menantinya sampai saat ini, itu pasti sudah tertulis dalam suratan takdir. Tuhan tak akan membiarkan aku menjaga cinta ini, bila tak ada sebabnya. Aku tak akan membuka hati untuk yang lain, sampai Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Biarkan Dani yang sementara mengisi hati ini,”
Ranti memberi tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin Kanaya mampu kembali menunggu Dani. Sebait pertanyaan menancap dalam benak Ranti atas jawaban sahabatnya itu.
“Apa yang membuatmu bertahan dalam penantian, Naya? Apa lebihnya Dani?” Tanya Ranti sedikit meninggikan suaranya.
Kanaya tersenyum menatap sahabatnya itu, hingga lesung pipi kirinya terlihat jelas. Hingga Ranti kembali berkata dengan argumennya.
“Coba kau lihat Rifky. Dia tampan, baik, dia juga mencintaimu, Naya. Kenapa kau memilih Dani? Aku tak habis pikir kau memilihnya,”
“Harta dan ketampanan hanyalah sebuah ilusi dan bersifat semu. Keduanya tak akan kekal. Tapi, agama. Dani membuatku bertahan karena agama. Dia sosok lelaki yang saleh. Setiap perkataannya dilandasi tentang agama. Itu yang membuat hatiku selalu bergetar. Dia berbeda dari lelaki kebanyakan,”
Ranti terdiam seakan takjub akan jawaban Kanaya. Jawaban yang mampu membuatnya bisu dalam obrolan. Perlahan air matanya terjatuh saat Kanaya memperlihatkan sebuh foto yang lusuh.
“Meski akhirnya jarak membuatku tak bisa bertemu dengannya, aku tak mengapa. Karena foto ini akan menjadi penawar rinduku. Bahkan meski air mata kerinduanku tumpah membasahi foto ini, senyum Dani tetap bisa ku lihat dalam ingatan.”
Malam itu menjadi saksi bisu atas curahan hati Kanaya tentang perasaanya pada Dani. Ia hanya mencintai Dani dalam diam selama duduk di bangku SMA. Kanaya begitu lihai menyembunyikan perasaannya hingga tak ada yang tahu bahwa ia mencintai Dani. Bahkan Ranti mengetahuinya karena ia tak sengaja membaca diari Kanaya. Hatinya mulai terkulum kesedihan. Bukan karena tak mendapat balasan, melainkan karena ia tak bisa melihat senyum Dani di setiap harinya kedepan. Tak akan ada lagi candaan yang ia dengar dari Dani, meski ia hanya mendengarnya dari kejauhan.
–
02 September 2015
Empat tahun sudah Kanaya duduk dalam penantian. Ia masih menyimpan cinta yang sama, cinta tulusnya pada Dani. Hingga kini ia duduk di padang ilalang dengan sebuah gitar yang setia menemaninya. Ia menatap senja penuh kerinduan. Kerinduan pada Dani.
Kesendiriannya tak menjadi sebuah kesedihan untuknya. Pekerjaannya sebagai seorang editor di sebuah situs menulis, menjadi pengisi hidupnya. Ribuan cerpen telah menemaninya beberapa tahun terakhir ini. Ia tetap tersenyum menapaki alur hidupnya. Ia menyerahkan kisah cintanya pada yang kuasa. Hatinya yakin, Tuhan akan memberikannya jawaban yang terbaik dari penantiannya.
“Dani, empat tahun sudah aku menantimu sejak hari itu. Hari di saat kau mendengar isi hatiku. Apa kau sudah bahagia di sana? Aku tahu cita-citamu tercapai. Aku bahagia mendengarnya. Andai Tuhan memberi jawaban dari penantian ini, apa aku harus bertahan atau menyerah pada keadaan?” Kanaya tertunduk memeluk gitarnya, mencurahkan isi hatinya lewat tiap tetesan air mata.
“Nyanyikan satu lagu untukku, Nona.” seru seseorang yang baru saja duduk di samping Kanaya.
“Maaf, aku sedang tak ingin menyanyi.” Jawab Kanaya.
Sejenak Kanaya terdiam. Ia menyadari kehadiran sosok yang duduk di sampingnya. Ia sangat hafal bahwa tak ada orang yang datang ke padang ilalang ini setiap sore, selain dirinya. Segera ia mengangkat kepala dan mengarahkan tatapan pada sosok yang mengganggu tangisannya.
Hatinya berdegup cepat. Air matanya kembali terurai. Namun senyum manisnya terlihat melengkapi. Kanaya menatap lekat-lekat sosok itu. Begitu ingin ia memeluknya, namun ia sadar akan kenyataan.
“Dani?” lirihnya.
“Ya, ini aku Dani. Ternyata kau masih mengenaliku.” Sahut Dani dengan menyuguhkan senyuman khasnya.
Kanaya menatap lekat mata Dani yang terhalang lensa berlapis itu. Sebuah kacamata yang begitu pas dipakainya. Kacamata yang menjadi ciri khasnya sejak SMA. Menambah karismanya.
“Aku mencarimu. Kata Ibumu, kau selau pergi ke padang ilalang dengan gitar kesayanganmu itu,”
Kanaya tersenyum bahagia. Baru kali ini ia dapat mendengar jelas suara Dani. Ia tak peduli jika ini hanya mimpi. Ia hanya bersyukur dapat melihat Dani.
“Kau mencariku? Untuk apa?”
“Untuk menjawab penantianmu,”
“Maksudmu?”
“Aku tahu selama ini kau menantiku dengan setia. Sejak kau menyatakan perasaanmu di acara perpisahan SMA, aku mulai mempertimbangkannya. Aku diam karena aku tak ingin memberi jawaban yang salah. Aku belum menjadi siapa-siapa, dalam arti jauh dari kata mapan. Aku baru memulai hidup. Dan sekarang aku tak akan membiarkanmu akhirnya tenggelam dalam penantian,”
Jantung Kanaya semakin berdegup cepat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Perlahan ia mencubit punggung tangannya. Ia meringis sakit. Saat itu pula ia sadar, ini adalah kenyataaan.
“Naya. Biarkan aku akhiri penantianmu dengan sebuah kepastian,”
“Katakanlah dengan jujur. Sekalipun akhirnya itu menyakitkan,”
“Tentu. Alasanku membuatmu menanti, karena aku ingin memilikimu dalam ikatan yang suci. Saat Tuhan memberi petunjuknya lewat ibadahku, aku pun kini yakin, kaulah pilihanNya. Apa kau bersedia bersanding denganku, menjadi pelengkap hidupku, menjadi sahabat hati dan hidupku hingga ajalku nanti?”
Kanaya menangis tak percaya. Ia terharu dengan perkataan Dani. Kepastiannya mengakhiri penantian Kanaya. Kanaya mengangguk mantap. Mereka terdiam kaku. Hanya senyuman dan tawa kecil yang terdengar. Dani menatap binar mata Kanaya, senyum lesung pipinya membuat Dani tak mampu menahan tangis bahagianya.
“Hatimu begitu tulus. Terima kasih telah setia menantiku. Maaf membuatmu lelah karena dipermainkan sang waktu,”
“Iya, Dani. Ketahuilah, cinta yang tulus tak akan pernah lelah meski harus menunggu hingga berteman dengan waktu dan tak akan bosan meski jarak yang sesaat membelenggu. Intinya adalah keikhlasan terhadap kehendak Tuhan, termasuk tentang cinta ini”
Dani tersenyum bahagia mendengarnya. Begitupun Kanaya. Ia sangat bahagia. Ketulusannya karena illahi membuatnya disatukan dengan cintanya.
Senja di padang ilalang pun terlihat sangat indah. Keduanya menikmati sisa senja dengan diiringi nyanyian penuh kesan romantis. Kebahagiaan kini tersemat pada senyum dan tawa Kanaya. Penatiannya telah berakhir karena kepastian cinta. Cinta dari Dani.
Duduk menatap sisa senja ditemani serangkaian melodi kenangan di padang ilalang. Lekuk pipinya kembali dilewati butiran air mata. Senyumnya masih tersemat manis. Ada sebaris kerinduan yang mendalam dari binar matanya. Hingga tatapan yang terpaku kokoh, seketika berkedip. Lelah menahan tangisnya yang menumpuk di pelupuk mata. Hatinya begitu sakit. Rindu yang menggema tak terapalkan, hanya tertahan di hatinya. Pertemuan tak ia dapat dalam nyata. Mungkin nanti, ketika Tuhan mengutus waktu untuk menyemaikan kerinduannya dalam pertemuan.
–
10 Oktober 2011
“Aku mencintaimu, Dani.” ucap Kanaya yang sempat ragu.
Sepasang mata menatapnya tak percaya. Nyaris kedua halisnya menyatu, mendengar pernyataan Kanaya. Sosok yang menatapnya lekat itu tak lain adalah Dani Wihandra, lelaki yang Kanaya cintai selama tiga tahun terakhir ini. Senyum khas perlahan tersemat di bibir Dani. Tatapan itu perlahan mengendur, hingga akhirnya menjauh dari hadapan Kanaya. Tak ada sebaris kalimat bahkan sepatah kata yang terapal dari mulut Dani. Hanya punggung Dani yang Kanaya lihat. Hingga perlahan menghilang dari pandangannya.
Kanaya berdiri mematung. Ia terdiam dalam kebisuannya. Hanya mata dan hatinya yang tak henti bekerja keras. Merasakan sakit hati dan rasa malu. Serta butir-butir kekecewaan jatuh secara bergantian. Hanya riuh teman-teman sekolahnya yang jelas terdengar di telinganya yang lambat laun terasa membeku, hingga seruan sahabatnya tak mampu terespon olehnya.
“Naya? Kau baik-baik saja?” seru Ranti menepuk bahu Kanaya dengan lembut.
“Eh, ya?” kejut Kanaya selang beberapa saat.
“Hei? Ada apa? Ayo gabung dengan yang lain. Ini kan acara perpisahan kita di SMA ini, kau tak mungkin menyia-nyiakan momen ini kan? Ayo?” ajak Ranti yang mulai mengamati sorot mata sahabatnya itu.
“Ah, sepertinya aku kurang enak badan. Aku harus cepat pulang, Ran,” balas Kanaya beralasan.
Tangan Ranti memegang erat pundak Kanaya. Ia mencermati mata yang mulai memerah itu. Sorot mata yang tak sanggup lagi menahan air mata. Satu pertanyaan pun mengalir dari mulut Ranti lewat lidahnya.
“Naya, jujur padaku. Kau tidak benar-benar menyatakan cinta pada Dani, kan?”
Kanaya melerai sentuhan di bahunya itu. Ia mengayunkan kakinya, melangkah menuju tempat yang jauh dari keramaian. Ia duduk di kursi yang tak jauh darinya. Kerlap-kerlip bintang menghiasi malam, bersama rembulan yang tak kalah menyala lewat biasnya. Jemari lentiknya mulai menyapu tetes air mata yang tak henti melaju dari sudut matanya.
“Kau tahu? Aku sangat terlihat bodoh saat berada di hadapannya,” tutur Kanaya pada Ranti yang duduk di sampingnya.
“Naya …” balas Ranti dengan tatapan sedih.
“Aku tak mengapa tak mendapat balasan darinya, tapi setidaknya aku mengerti arti dari senyumnya. Ia tak marah padaku. Mungkin aku akan kembali duduk dalam penantian dan berteman dengan waktu. Entah sampai kapan …” balasnya terdengar lemah.
“Naya, kau tunggu di sini. Aku akan mencari Dani dan menanyakan padanya tentang—” perkataan Ranti menggantung saat Kanaya menggenggam erat tangannya seraya menggelengkan kepala. “Kenapa?” lanjut Ranti heran.
Kanaya memeluk Ranti sebagai sandaran tangisnya. Pundak kiri Ranti mulai terasa basah. Air mata Kanaya membasahi kebaya Ranti di sekitar pundaknya. Ranti membalas pelukan itu. Mengusap punggung Kanaya, memberi kenyamanan atas kesedihan yang menimpa hati sahabatnya itu. Kanaya kembali pada posisinya semula. Ia kembali menghapus sisa air matanya. Sementara Ranti menatapnya penuh haru.
“Carilah pengganti Dani, aku tak mau melihat sahabatku terlalu lama dipermainkan waktu dalam penantian yang tak berujung ini. Kau pantas bahagia, kau pantas mendapatkan yang lebih dari Dani.”
“Tidak, Ran. Ketulusan cintaku tak akan kalah hanya karena permainan sang waktu yang kadang membuatku jatuh dalam rasa lelah. Dan bosan karena tak ada jawaban. Tiga tahun saja telah ku lewati, bila harus menanti tiga, empat bahkan lima tahun lagi, aku pasti mampu bertahan,”
“Tapi aku takut penantianmu ini sia-sia, Naya. Ayolah, sadar!”
“Dari mana aku tahu penantian ini sia-sia atau tidak, bila aku tak merasakan penantian ini secara utuh? Aku yakin dengan takdir dari Tuhan. Aku menantinya sampai saat ini, itu pasti sudah tertulis dalam suratan takdir. Tuhan tak akan membiarkan aku menjaga cinta ini, bila tak ada sebabnya. Aku tak akan membuka hati untuk yang lain, sampai Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Biarkan Dani yang sementara mengisi hati ini,”
Ranti memberi tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin Kanaya mampu kembali menunggu Dani. Sebait pertanyaan menancap dalam benak Ranti atas jawaban sahabatnya itu.
“Apa yang membuatmu bertahan dalam penantian, Naya? Apa lebihnya Dani?” Tanya Ranti sedikit meninggikan suaranya.
Kanaya tersenyum menatap sahabatnya itu, hingga lesung pipi kirinya terlihat jelas. Hingga Ranti kembali berkata dengan argumennya.
“Coba kau lihat Rifky. Dia tampan, baik, dia juga mencintaimu, Naya. Kenapa kau memilih Dani? Aku tak habis pikir kau memilihnya,”
“Harta dan ketampanan hanyalah sebuah ilusi dan bersifat semu. Keduanya tak akan kekal. Tapi, agama. Dani membuatku bertahan karena agama. Dia sosok lelaki yang saleh. Setiap perkataannya dilandasi tentang agama. Itu yang membuat hatiku selalu bergetar. Dia berbeda dari lelaki kebanyakan,”
Ranti terdiam seakan takjub akan jawaban Kanaya. Jawaban yang mampu membuatnya bisu dalam obrolan. Perlahan air matanya terjatuh saat Kanaya memperlihatkan sebuh foto yang lusuh.
“Meski akhirnya jarak membuatku tak bisa bertemu dengannya, aku tak mengapa. Karena foto ini akan menjadi penawar rinduku. Bahkan meski air mata kerinduanku tumpah membasahi foto ini, senyum Dani tetap bisa ku lihat dalam ingatan.”
Malam itu menjadi saksi bisu atas curahan hati Kanaya tentang perasaanya pada Dani. Ia hanya mencintai Dani dalam diam selama duduk di bangku SMA. Kanaya begitu lihai menyembunyikan perasaannya hingga tak ada yang tahu bahwa ia mencintai Dani. Bahkan Ranti mengetahuinya karena ia tak sengaja membaca diari Kanaya. Hatinya mulai terkulum kesedihan. Bukan karena tak mendapat balasan, melainkan karena ia tak bisa melihat senyum Dani di setiap harinya kedepan. Tak akan ada lagi candaan yang ia dengar dari Dani, meski ia hanya mendengarnya dari kejauhan.
–
02 September 2015
Empat tahun sudah Kanaya duduk dalam penantian. Ia masih menyimpan cinta yang sama, cinta tulusnya pada Dani. Hingga kini ia duduk di padang ilalang dengan sebuah gitar yang setia menemaninya. Ia menatap senja penuh kerinduan. Kerinduan pada Dani.
Kesendiriannya tak menjadi sebuah kesedihan untuknya. Pekerjaannya sebagai seorang editor di sebuah situs menulis, menjadi pengisi hidupnya. Ribuan cerpen telah menemaninya beberapa tahun terakhir ini. Ia tetap tersenyum menapaki alur hidupnya. Ia menyerahkan kisah cintanya pada yang kuasa. Hatinya yakin, Tuhan akan memberikannya jawaban yang terbaik dari penantiannya.
“Dani, empat tahun sudah aku menantimu sejak hari itu. Hari di saat kau mendengar isi hatiku. Apa kau sudah bahagia di sana? Aku tahu cita-citamu tercapai. Aku bahagia mendengarnya. Andai Tuhan memberi jawaban dari penantian ini, apa aku harus bertahan atau menyerah pada keadaan?” Kanaya tertunduk memeluk gitarnya, mencurahkan isi hatinya lewat tiap tetesan air mata.
“Nyanyikan satu lagu untukku, Nona.” seru seseorang yang baru saja duduk di samping Kanaya.
“Maaf, aku sedang tak ingin menyanyi.” Jawab Kanaya.
Sejenak Kanaya terdiam. Ia menyadari kehadiran sosok yang duduk di sampingnya. Ia sangat hafal bahwa tak ada orang yang datang ke padang ilalang ini setiap sore, selain dirinya. Segera ia mengangkat kepala dan mengarahkan tatapan pada sosok yang mengganggu tangisannya.
Hatinya berdegup cepat. Air matanya kembali terurai. Namun senyum manisnya terlihat melengkapi. Kanaya menatap lekat-lekat sosok itu. Begitu ingin ia memeluknya, namun ia sadar akan kenyataan.
“Dani?” lirihnya.
“Ya, ini aku Dani. Ternyata kau masih mengenaliku.” Sahut Dani dengan menyuguhkan senyuman khasnya.
Kanaya menatap lekat mata Dani yang terhalang lensa berlapis itu. Sebuah kacamata yang begitu pas dipakainya. Kacamata yang menjadi ciri khasnya sejak SMA. Menambah karismanya.
“Aku mencarimu. Kata Ibumu, kau selau pergi ke padang ilalang dengan gitar kesayanganmu itu,”
Kanaya tersenyum bahagia. Baru kali ini ia dapat mendengar jelas suara Dani. Ia tak peduli jika ini hanya mimpi. Ia hanya bersyukur dapat melihat Dani.
“Kau mencariku? Untuk apa?”
“Untuk menjawab penantianmu,”
“Maksudmu?”
“Aku tahu selama ini kau menantiku dengan setia. Sejak kau menyatakan perasaanmu di acara perpisahan SMA, aku mulai mempertimbangkannya. Aku diam karena aku tak ingin memberi jawaban yang salah. Aku belum menjadi siapa-siapa, dalam arti jauh dari kata mapan. Aku baru memulai hidup. Dan sekarang aku tak akan membiarkanmu akhirnya tenggelam dalam penantian,”
Jantung Kanaya semakin berdegup cepat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Perlahan ia mencubit punggung tangannya. Ia meringis sakit. Saat itu pula ia sadar, ini adalah kenyataaan.
“Naya. Biarkan aku akhiri penantianmu dengan sebuah kepastian,”
“Katakanlah dengan jujur. Sekalipun akhirnya itu menyakitkan,”
“Tentu. Alasanku membuatmu menanti, karena aku ingin memilikimu dalam ikatan yang suci. Saat Tuhan memberi petunjuknya lewat ibadahku, aku pun kini yakin, kaulah pilihanNya. Apa kau bersedia bersanding denganku, menjadi pelengkap hidupku, menjadi sahabat hati dan hidupku hingga ajalku nanti?”
Kanaya menangis tak percaya. Ia terharu dengan perkataan Dani. Kepastiannya mengakhiri penantian Kanaya. Kanaya mengangguk mantap. Mereka terdiam kaku. Hanya senyuman dan tawa kecil yang terdengar. Dani menatap binar mata Kanaya, senyum lesung pipinya membuat Dani tak mampu menahan tangis bahagianya.
“Hatimu begitu tulus. Terima kasih telah setia menantiku. Maaf membuatmu lelah karena dipermainkan sang waktu,”
“Iya, Dani. Ketahuilah, cinta yang tulus tak akan pernah lelah meski harus menunggu hingga berteman dengan waktu dan tak akan bosan meski jarak yang sesaat membelenggu. Intinya adalah keikhlasan terhadap kehendak Tuhan, termasuk tentang cinta ini”
Dani tersenyum bahagia mendengarnya. Begitupun Kanaya. Ia sangat bahagia. Ketulusannya karena illahi membuatnya disatukan dengan cintanya.
Senja di padang ilalang pun terlihat sangat indah. Keduanya menikmati sisa senja dengan diiringi nyanyian penuh kesan romantis. Kebahagiaan kini tersemat pada senyum dan tawa Kanaya. Penatiannya telah berakhir karena kepastian cinta. Cinta dari Dani.
TAMAT
Cerpen Karangan: Ersa Nazwa
kategori: Cerpen Cinta Romantis
Facebook: Ersa Nazwa
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin