Anda pantas dan berhak menanyakan soal upah yang tidak Anda terima selama cuti melahirkan dan waktu cuti melahirkan yang lebih sedikit dari pada ketentuan dalam undang-undang. Ini karena pada dasarnya pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Dan pengusaha tetap berkewajiban membayar upah selama Anda menjalankan cuti melahirkan.
Anda dapat menempuh upaya perundingan terlebih dahulu dengan pengusaha soal hak upah yang tidak Anda terima dan waktu cuti melahirkan yang lebih sedikit dari pada ketentuan dalam undang-undang. Jika tidak berhasil, Anda dapat menempuh upaya melaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat.
Pertanyaan :
( Tempat saya bekerja tidak memberlakukan sistem cuti melahirkan yang telah diterapkan yakni 90 hari. Melainkan hanya kurang lebih 60 hari dan tidak pernah ada kesepakatan mengenai upah yang dibayarkan selama cuti melahirkan. Apakah saya pantas mempertanyakannya kepada atasan saya mengingat saya sudah 9 tahun bekerja di sini? )
Sebelumnya, kami asumsikan maksud kalimat Anda “tidak pernah ada kesepakatan mengenai upah yang dibayarkan selama cuti melahirkan” adalah Anda tidak mendapatkan upah/gaji selama Anda menjalankan cuti tersebut.
Aturan Cuti Hamil dan Melahirkan
Hak cuti hamil dan melahirkan adalah hak yang timbul dan diberikan oleh undang-undang khusus bagi pekerja perempuan yang memenuhi syarat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Umar Kasim dalam artikel Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan, selama pekerja menjalani hak cuti hamil dan melahirkan tersebut tidak memutus hubungan kerja, maka cuti tersebut tidak menghilangkan dan mengurangi masa kerja.
Pengaturan mengenai cuti hamil dan melahirkan ini diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Dari aturan di atas terlihat bahwa jumlah waktu cuti hamil dan melahirkan ini adalah 3 bulan (kurang lebih 90 hari), yakni 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Oleh karena itu, waktu cuti yang Anda dapatkan hanya 60 hari itu adalah kurang dari yang diberikan oleh undang-undang.
Terkait aturan/kebijakan di tempat Anda bekerja yang menerapkan waktu cuti hamil dan melahirkan lebih sedikit dari ketentuan undang-undang, hal ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Prinsip peraturan perusahaan adalah ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan. [1]
Upah Bagi Perkeja yang Cuti Hamil dan Melahirkan
Menjawab pertanyaan Anda, selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh.[2] Jadi, meski Anda menjalankan cuti hamil dan melahirkan, Anda tetap berhak dibayar gajinya secara penuh. Anda berhak menanyakan hal ini kepada pengusaha tempat Anda bekerja dan menuntut hak-hak yang seharusnya Anda dapatkan.
Langkah yang Dapat Dilakukan
Jika hak Anda untuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan dan Anda tidak pula mendapatkan upah/gaji selama menjalankan cuti, maka ini dinamakan perselisihan hak.
Aturan Cuti Hamil dan Melahirkan
Hak cuti hamil dan melahirkan adalah hak yang timbul dan diberikan oleh undang-undang khusus bagi pekerja perempuan yang memenuhi syarat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Umar Kasim dalam artikel Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan, selama pekerja menjalani hak cuti hamil dan melahirkan tersebut tidak memutus hubungan kerja, maka cuti tersebut tidak menghilangkan dan mengurangi masa kerja.
Pengaturan mengenai cuti hamil dan melahirkan ini diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Dari aturan di atas terlihat bahwa jumlah waktu cuti hamil dan melahirkan ini adalah 3 bulan (kurang lebih 90 hari), yakni 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Oleh karena itu, waktu cuti yang Anda dapatkan hanya 60 hari itu adalah kurang dari yang diberikan oleh undang-undang.
Terkait aturan/kebijakan di tempat Anda bekerja yang menerapkan waktu cuti hamil dan melahirkan lebih sedikit dari ketentuan undang-undang, hal ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Prinsip peraturan perusahaan adalah ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan. [1]
Upah Bagi Perkeja yang Cuti Hamil dan Melahirkan
Menjawab pertanyaan Anda, selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh.[2] Jadi, meski Anda menjalankan cuti hamil dan melahirkan, Anda tetap berhak dibayar gajinya secara penuh. Anda berhak menanyakan hal ini kepada pengusaha tempat Anda bekerja dan menuntut hak-hak yang seharusnya Anda dapatkan.
Langkah yang Dapat Dilakukan
Jika hak Anda untuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan dan Anda tidak pula mendapatkan upah/gaji selama menjalankan cuti, maka ini dinamakan perselisihan hak.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[3]
Soal langkah hukum, Anda sebagai pekerja dapat menempuh upaya bipatrit, yaitu membicarakan secara musyawarah terlebih dahulu mengenai masalah ini antara pengusaha dan pekerja.[4]
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lambat 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan.[5] Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[6]
Nantinya, pekerja dan pengusaha ditawarkan upaya penyelesaian perselisihan. Untuk perselisihan hak, upaya penyelesaian perselisihan yang dapat dipilih salah satunya adalah Mediasi Hubungan Industrial.
Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[7]
Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[8] Namun kami tetap menekankan agar Anda dan pengusaha dapat mengedepankan upaya perdamaian.
Selain menempuh upaya menuntut hak, Anda juga bisa menempuh langkah hukum lain yaitu dengan melaporkan dugaan tindak pidana tidak dibayarkannya upah sebagaimana diatur dalam Pasal 186 UU Ketenagakerjaan. Laporan bisa disampaikan kepada polisi maupun pengawas ketenagakerjaan setempat.
Pasal ini memuat sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar kewajibannya untuk membayar upah apabila pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat (dalam hal ini cuti melahirkan).[9] Ancaman sanksinya yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Contoh Kasus
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 551 K/PDT.SUS/2012 diketahui bahwa penggugat adalah karyawati di perusahaan milik tergugat. Saat penggugat menjalankan cuti melahirkan, ia tidak digaji oleh tergugat dan justru tergugat malah melakukan pemutusan hubungan kerja. Mahkamah Agung menghukum tergugat untuk untuk membayar kompensasi pengakhiran hubungan kerja kepada Penggugat yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, THR 2011 dan upah sejak Maret 2011 hingga Agustus 2011, yang keseluruhannya berjumlah sebesar Rp.20.317.500,-.
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lambat 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan.[5] Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[6]
Nantinya, pekerja dan pengusaha ditawarkan upaya penyelesaian perselisihan. Untuk perselisihan hak, upaya penyelesaian perselisihan yang dapat dipilih salah satunya adalah Mediasi Hubungan Industrial.
Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[7]
Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[8] Namun kami tetap menekankan agar Anda dan pengusaha dapat mengedepankan upaya perdamaian.
Selain menempuh upaya menuntut hak, Anda juga bisa menempuh langkah hukum lain yaitu dengan melaporkan dugaan tindak pidana tidak dibayarkannya upah sebagaimana diatur dalam Pasal 186 UU Ketenagakerjaan. Laporan bisa disampaikan kepada polisi maupun pengawas ketenagakerjaan setempat.
Pasal ini memuat sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar kewajibannya untuk membayar upah apabila pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat (dalam hal ini cuti melahirkan).[9] Ancaman sanksinya yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Contoh Kasus
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 551 K/PDT.SUS/2012 diketahui bahwa penggugat adalah karyawati di perusahaan milik tergugat. Saat penggugat menjalankan cuti melahirkan, ia tidak digaji oleh tergugat dan justru tergugat malah melakukan pemutusan hubungan kerja. Mahkamah Agung menghukum tergugat untuk untuk membayar kompensasi pengakhiran hubungan kerja kepada Penggugat yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, THR 2011 dan upah sejak Maret 2011 hingga Agustus 2011, yang keseluruhannya berjumlah sebesar Rp.20.317.500,-.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial..
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 551 K/PDT.SUS/2012.
_________________
[1] Pasal 111 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya
[2] Pasal 84 UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)
[4] Pasal 3 ayat (1) UU PPHI
[5] Pasal 3 ayat (2) UU PPHI
[6] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI
[7] Pasal 1 angka 11 UU PPHI
[8] Pasal 5 UU PPHI
[9] Pasal 93 ayat (2) huruf g UU Ketenagakerjaan
______
Sumber : Hukum Online
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) pada dasarnya hanya boleh untuk pekerjaan tertentu dan jangka waktu 2 (dua) tahun, yang mana hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Atau hanya dapat diperbaharui 1 (satu) kali untuk paling lama 2 (dua) tahun.
Jika pengusaha melanggar ketentuan tersebut, maka PKWT berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”). Jika Anda sebenarnya adalah pekerja dengan PKWTT (karena pengusaha melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan), maka jika terhadap Anda dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), Anda berhak atas uang pesangon. Akan tetapi jika PKWT dan kontrak berakhir, tidak ada pesangon untuk pekerja kontrak.
Jika pengusaha melanggar ketentuan tersebut, maka PKWT berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”). Jika Anda sebenarnya adalah pekerja dengan PKWTT (karena pengusaha melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan), maka jika terhadap Anda dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), Anda berhak atas uang pesangon. Akan tetapi jika PKWT dan kontrak berakhir, tidak ada pesangon untuk pekerja kontrak.
Pertanya:
( Adakah Pesangon Bagi Karyawan Kontrak? saya mohon informasi dan arahannya untuk kasus sebagai berikut : a. Terdapat tenaga kerja dengan status kontrak (PKWT) b. Yang bersangkutan dikontrak setiap tahun dengan masa kontrak lebih dari 3 tahun. c. Setiap[ kontrak berakhir yang bersangkutan menerima kompensasi uang pesangon sebesar 1x gaji. Pertanyaannya : a. Apakah jika yang bersangkutan tidak diperpanjang kontraknya maka yang bersangkutan masih berhak mendapatkan uang pesangon lagi? b. Apa landasan (dasar) hukumnya? Mohon informasi dan arahannya ).
Kaidah PKWT
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.[1]
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:[2]
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.[1]
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:[2]
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.[3]
PKWT ini dapat diperpanjang atau diperbaharui.[4] PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. [5] Jadi total adalah 3 (tiga) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.[6]
Sedangkan mengenai pembaharuan PKWT, dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan.[7] Pembaharuan tersebut dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.[8] Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.[9]
Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.[10]
Perhatikan kaidah PKWT di atas
Merujuk pada ketentuan di atas, Anda harus melihat kembali apakah pekerjaan Anda termasuk pekerjaan yang pekerja dapat dipekerjakan dengan PKWT. Kemudian harus dilihat kembali apakah jangka waktu perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan di atas. Jika pekerjaannya tidak untuk dilakukan oleh pekerja PKWT atau jangka waktu perjanjiannya melebihi ketentuan di atas, maka menjadi Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).[11]
Jika Anda sebenarnya adalah pekerja dengan PKWTT (karena pengusaha melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan), maka jika terhadap Anda dilakukan pemutusan hubungan kerja, Anda berhak atas uang pesangon.[12]
Akan tetapi jika PKWT dan kontrak berakhir, tidak ada pesangon untuk pekerja kontrak. Perjanjian kerja dapat berakhir salah satunya adalah jika berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[13] Mengenai pekerja kontrak/PKWT, yang diatur adalah jika salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[14]
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-100/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
__________________
[1] Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-100/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenaker 100/2004”)
[2] Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
[3] Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 3 ayat (5) Kepmenaker 100/2004
[8] Pasal 3 ayat (6) Kepmenaker 100/2004
[9] Pasal 3 ayat (7) Kepmenaker 100/2004
[10] Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan
[11] Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan
[12] Pasal 156 UU Ketenagakerjaan
[13] Pasal 61 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan
[14] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
__________
Sumber : Hukum Online
Pengertian Perkawinan dalam KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Perkawinan dalam hukum perdata adalah perkawinan perdata, maksudnya adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita, unsur agama tidak dilihat. Tujuan perkawinan tidak untuk memperoleh keturunan oleh karena itu dimungkinkan perkawinan in extrimis.
Sebaliknya, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan hanya ikatan lahiriah saja, tapi juga ada ikatan batiniah, dimana ikatan ini didasarkan pada kepercayaan calon suami isteri. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Asas-asas Perkawinan
1. Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata
- Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
- Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil.
- Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga.
- Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
- Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
- Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
- Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
2. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
- Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
- Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
- Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
- Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
- Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
- Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
- Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
- Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
- Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
- Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
- Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
- Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
- Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
- Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
- Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
b. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
- Timbul harta bawaan dan harta bersama.
- Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
- Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
c. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
1. Kedudukan anak
- Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
- Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
- Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
- Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
3. Kekuasaan orang tua
- Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
- Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
- Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
- Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
- Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: Pertama, Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak. Dan Kedua, Ia berkelakuan buruk sekali.
- Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah: Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
- Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
- Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
- Anak itu dewasa
- Anak itu kawin
- Kekuasaan orang tua dicabut
_____
Sumber : blajarhukumperdata.blogspot
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12. Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat formil.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11, yaitu:
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11, yaitu:
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
- Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
- Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
- Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
- Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut:
- Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
- Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sama[ai melahirkan.
- Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.
- Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.
- Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
- Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
- Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
- Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
- Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain: Pertama : Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin. Kedua : hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
- Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
_____
Sumber : kuliahade.wordpress
Yang dimaksud Media Online dalam posting ini adalah media massa, lembaga pers, atau situs berita (news portal). Teknologi internet saat ini memungkinan setiap orang atau kumpulan orang mendirikan atau memiliki media online.
Mendirikan media online nyaris tanpa syarat, selain menyewa domain dan hosting, bahkan banyak pula domain & hosting gratis. Media Online juga bisa berupa blog yang tampilan atau desain layoutnya tidak kalah bagus dengan desain situs-situs berita terkemuka.
Untuk mendirikan media cetak pun saat ini sangat mudah. Hanya butuh dana dan SDM yang memadai, semua orang bisa menerbitkan media (suratkabar, majalah, tabloid). Tidak ada lagi syarat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). UU No. 40/199 tentang Pers tidak mensyaratkan SIUPP.
Namun, untuk diakui sebagai media resmi dan menjadi lembaga bisnis (menghasilkan pendapatan), ada syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu penerbit atau publishernya harus berbadan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.
Lebih jauh dalam Pasal 1 angka 2 UU Pers menyebutkan, Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.
Ketentuan perusahaan pers –termasuk media online/situs berita– harus berbentuk badan hukum ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers: Setiap Perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Menurut Klinik Hukum situs Hukum Online, contoh bentuk badan hukum di Indonesia antara lain Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan Koperasi.
Badan hukum PT didirikan untuk mencari keuntungan. Yayasan didirikan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Koperasi didirikan untuk memajukan kesejahteraan para anggotanya.
Pendirian PT diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendirian Yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pendirian Koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Kesimpulannya, syarat mendirikan media online adalah membentuk dulu badan hukumnya. Menerbitkan media online dan media cetak (perusahaan atau lembaga pers) tidak memerlukan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau dari Dewan Pers. Perusahaan pers hanya disyaratkan berbentuk badan hukum.
Kesimpulannya, syarat mendirikan media online adalah membentuk dulu badan hukumnya. Menerbitkan media online dan media cetak (perusahaan atau lembaga pers) tidak memerlukan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau dari Dewan Pers. Perusahaan pers hanya disyaratkan berbentuk badan hukum.
Ulasan
Ketentuan bahwa perusahaan pers harus berbentuk badan hukum ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers bahwa setiap Perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sayangnya dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 UU Pers maupun dalam penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Pers, tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum apa seperti apa yang harus dipilih.
Contoh bentuk badan hukum di Indonesia antara lain adalah Perseroan Terbatas (PT), Yayasan,dan Koperasi. Belum ada ketentuan yang secara spesifik mensyaratkan Perusahaan Pers untuk memiliki bentuk badan hukum tertentu. Agar Anda memilih bentuk badan hukum yang tepat, maka perlu diketahui karakteristik usaha dari tiap badan hukum yang lebih jauh bisa Saudara simak di artikel Jenis-Jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya.
Pada prinsipnya badan hukum PT didirikan untuk mencari keuntungan, badan hukum yayasan didirikan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sedangkan badan hukum Koperasi didirikan untuk memajukan kesejahteraan para anggotanya.
Untuk pendirian PTdiatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk pendirian Yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sedangkan untuk pendirian Koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pada ranah praktik perusahaan pers lebih banyak memilih bentuk badan hukum PT. Perizinan yang diperlukan bagi beroperasinya suatu PT antara lain adalah:
Pada prinsipnya badan hukum PT didirikan untuk mencari keuntungan, badan hukum yayasan didirikan bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sedangkan badan hukum Koperasi didirikan untuk memajukan kesejahteraan para anggotanya.
Untuk pendirian PTdiatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk pendirian Yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sedangkan untuk pendirian Koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pada ranah praktik perusahaan pers lebih banyak memilih bentuk badan hukum PT. Perizinan yang diperlukan bagi beroperasinya suatu PT antara lain adalah:
- Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM;
- Surat Domisili;
- NPWP;
- SIUP;
- TDP;
- Izin-izin teknis lainnya dari departmen teknis terkait.
Sepanjang penelusuran kami, perusahaan pers tidak memerlukan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau dari Dewan Pers.Karena perusahaan pers disyaratkan berbentuk badan hukum, maka perizinan yang diperlukan adalah perizinan sesuai dengan badan hukum yang dibentuk.
Untuk perusahaan pers, yang lebih perlu diperhatikan adalah mengenai aspek pemberitaan sebagai bagian dari kegiatan jurnalistik. Sesuai Pasal 12 UU Pers Perusahaan Pers diwajibkan untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Dari segi pemberitaan, media online sebagai alat jurnalistik harus tunduk dan taat pada Kode Etik jurnalistik dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Media Siber. Selain itu, Dewan Pers menetapkan bahwa perusahaan pers tersebut juga harus mengacu pada Standar Perusahaan Pers dan Standar Organisasi Perusahaan Pers.
Jadi, untuk perusahaan pers atau media online Saudara bisa diakui secara hukum, dalam pendiriannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada yakni salah satunya adalah harus berbentuk badan hukum.Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistiknya, media online harus tetap mengacu pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, serta pedoman-pedoman yang telah ditetapkan Dewan Pers, sebagai lembaga pengawas jurnalistik sebagaimana telah diuraikan di atas.
Jadi, untuk perusahaan pers atau media online Saudara bisa diakui secara hukum, dalam pendiriannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada yakni salah satunya adalah harus berbentuk badan hukum.Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistiknya, media online harus tetap mengacu pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, serta pedoman-pedoman yang telah ditetapkan Dewan Pers, sebagai lembaga pengawas jurnalistik sebagaimana telah diuraikan di atas.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
- Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
- Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
_____
Sumber :
- baticmedia
- hukum online
Siarlingkungan.com // Lhoksukon, Aceh - Petugas Satuan Anti Narkoba Polres Aceh Utara meringkus tiga pria diduga tengah memakai sabu-sabu dalam penggerebekan di sebuah rumah di Desa Singgah Mata, Kecamatan Baktiya Barat, Aceh Utara, Senin (11/1), sekira pukul 17.00 WIB.
Kapolres Aceh Utara, AKBP Achmadi SIK melalui Kasat Narkoba AKP Mukhtar kepada Analisa, Selasa (12/1) mengatakan, petugas mengamankan barang bukti empat paket sabu-sabu senilai Rp60 juta atau dengan berat 113,25 gram/brutto, empat unit ponsel, dan satu unit timbangan.
Ketiga tersangka yaitu M (30) warga Desa U Baro, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara; R (39), warga Desa Pante Karya, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng; dan A (2), warga Desa Suka Rame, Kecamatan Makmur, keduanya warga Kabupaten Bireuen.
“Penangkapan berawal dari informasi masyarakat yang menyatakan kerap terjadi transaksi narkoba di salah satu rumah tersebut. Kemudian kami menurunkan petugas untuk menggerebeknya,” terangnya.
Ditambahkan, rumah tersebut merupakan milik kerabat M. Pada saat itu, M sedang tinggal di rumah tersebut. Kemudian datang R dan A dari Bireuen untuk menemui M untuk membeli dua paket sabusabu senilai Rp30 juta dengan berat 50 gram.
“Kini barang bukti bersama ketiga tersangka sudah kami amankan di polres guna penyelidikan lebih lanjut. Sampai malam ini saya masih di lapangan untuk perkembangan lebih lanjut,” tambahnya.
Sebelumnya, Satuan Narkoba Polres Aceh Utara juga berhasil menangkap AU (45), warga Gampong Asan, Kemukiman Ara Bungkok, Kecamatan Lhoksukon, Kamis (7/1) sekitar pukul 20.00 WIB. Tersangka dikaitkan dalam kasus sabu sabu dengan tersangka SU yang ditangkap di hari yang sama.
“Berdasarkan pengakuan SU, sabu-sabu tersebut diperoleh dari AU. Di hari yang sama, AU langsung kami tangkap saat sedang berkendara sepeda motor di jalan lintas Medan-Banda Aceh, kota Lhoksukon,” sebut Mukhtar.
Dikatakannya, sesuai pengakuan SU, selain untuk dikonsumsi sendiri, dia memiliki dan menyimpan sabusabu itu untuk dijual.
“Kami menduga dia merupakan penjual dan pemakai. Itu terbukti dari sabusabu yang telah dipaketkan. AU juga mengakui bahwa telah menjual-beli sabu-sabu itu selama tahunan. Dalam kasus ini, kami menduga seorang tersangka lain, MN sebagai kurir SU,” ujarnya.
AKP Mukhtar menambahkan, AU mengaku mengambil sabu-sabu tersebut dari SU sekitar Oktober 2015. Keterangan itu dibenarkan SU. “Dari hasil pemeriksaan urine, tersangka SU, MN dan SU positif menggunakan sabu-sabu. Kasus ini masih terus kami dalami, karena tidak menutup kemungkinan ada tersangka lainnya,” demikian AKP Mukhtar.
Kapolres Aceh Utara, AKBP Achmadi SIK melalui Kasat Narkoba AKP Mukhtar kepada Analisa, Selasa (12/1) mengatakan, petugas mengamankan barang bukti empat paket sabu-sabu senilai Rp60 juta atau dengan berat 113,25 gram/brutto, empat unit ponsel, dan satu unit timbangan.
Ketiga tersangka yaitu M (30) warga Desa U Baro, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara; R (39), warga Desa Pante Karya, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng; dan A (2), warga Desa Suka Rame, Kecamatan Makmur, keduanya warga Kabupaten Bireuen.
“Penangkapan berawal dari informasi masyarakat yang menyatakan kerap terjadi transaksi narkoba di salah satu rumah tersebut. Kemudian kami menurunkan petugas untuk menggerebeknya,” terangnya.
Ditambahkan, rumah tersebut merupakan milik kerabat M. Pada saat itu, M sedang tinggal di rumah tersebut. Kemudian datang R dan A dari Bireuen untuk menemui M untuk membeli dua paket sabusabu senilai Rp30 juta dengan berat 50 gram.
“Kini barang bukti bersama ketiga tersangka sudah kami amankan di polres guna penyelidikan lebih lanjut. Sampai malam ini saya masih di lapangan untuk perkembangan lebih lanjut,” tambahnya.
Sebelumnya, Satuan Narkoba Polres Aceh Utara juga berhasil menangkap AU (45), warga Gampong Asan, Kemukiman Ara Bungkok, Kecamatan Lhoksukon, Kamis (7/1) sekitar pukul 20.00 WIB. Tersangka dikaitkan dalam kasus sabu sabu dengan tersangka SU yang ditangkap di hari yang sama.
“Berdasarkan pengakuan SU, sabu-sabu tersebut diperoleh dari AU. Di hari yang sama, AU langsung kami tangkap saat sedang berkendara sepeda motor di jalan lintas Medan-Banda Aceh, kota Lhoksukon,” sebut Mukhtar.
Dikatakannya, sesuai pengakuan SU, selain untuk dikonsumsi sendiri, dia memiliki dan menyimpan sabusabu itu untuk dijual.
“Kami menduga dia merupakan penjual dan pemakai. Itu terbukti dari sabusabu yang telah dipaketkan. AU juga mengakui bahwa telah menjual-beli sabu-sabu itu selama tahunan. Dalam kasus ini, kami menduga seorang tersangka lain, MN sebagai kurir SU,” ujarnya.
AKP Mukhtar menambahkan, AU mengaku mengambil sabu-sabu tersebut dari SU sekitar Oktober 2015. Keterangan itu dibenarkan SU. “Dari hasil pemeriksaan urine, tersangka SU, MN dan SU positif menggunakan sabu-sabu. Kasus ini masih terus kami dalami, karena tidak menutup kemungkinan ada tersangka lainnya,” demikian AKP Mukhtar.
_____
Penulis : Analisa/bsr
Editor : Eni
Lubukpakam, Sumut [Siarlingkungan] - Dua dari 7 pelaku komplotan begal sepeda motor yang melakukan aksi mereka dengan kekerasan ditangkap petugas Satuan Reserse dan Krimanal (Satreskrim) Polres Deliserdang. Keduanya ditangkap petugas setelah salah seorang korban melapor ke polisi mengaku menjadi korban begal dengan kekerasan.
Kapolres Deliserdang AKBP M Edi Faryadi SH SIK MH melalui Kasatreskrim AKP Martuasah Hermindo Tobing SIK kepada wartawan, Selasa (12/1) menguraikan, kedua tersangka yang ditangkap yakni, EKA (19) warga Gang Monza/buntu, Desa Sekip, Kecamatan Lubukpakam, Deliserdang, dan FH (20) warga Melati 1 Jalan Johar Bawah Rel, Desa Melati, Kecamatan Perbaungan, Serdangbedagai.
Keduanya ditangkap setelah mendapat laporan korban Supriadi (34) warga Dusun I, Desa Sukamandi Hilir, Kecamatan Pagarmerbau, Deliserdang, bahwa dirinya menjadi korban begal dengan cara kekerasan dilakukan 6 pelaku membawa senjata tajam parang, pisau dan gunting.
Peristiwa berawal ketika komplotan pelaku begal yakni, EKA, Fah, Put, Toy, Ro dan Ri, berkumpul di Simpang Gang Monza, Desa Sekip, Lubukpakam, Senin (11/1) sekira Pukul 20.00 Wib. Salah seorang di antara mereka Put mengajak teman-temannya untuk melakukan aksi begal untuk mendapatkan uang.
Ajakan Put untuk melakukan aksi begal direspon positif teman-temannya sembari bergerak. Tersangka EKA kemudian pulang ke rumah mengambil parang dan pisau dan Ri mengambil gunting. Selanjutnya komplotan begal itu pun bergerak mengendarai dua sepeda motor berbonceng tiga dengan komposisi Toy membonceng EKA dan Put sedang Ro membonceng Ri juga Fah sembari berkeliling.
Setelah berkeliling sampai, Minggu (10/1) sekira Pukul 01.30 Wib tatkala sampai di titik Desa Sukamandi Hilir, Kecamatan Pagarmerbau, komplotan ini menemukan calon korbannya yang sedang duduk berdua di atas sepeda motor dengan teman wanitanya.
Setelah sempat melintas dua kali di titik posisi korban berhenti, komplotan begal kemudian putar balik dan langsung turun sembari mendekati pasangan itu. Tersangka EKA kemudian menempelkan parangnya ke arah perut korban dan tersangka lainnya Fah juga mengacungkan pisaunya termasuk Ri dengan gunting di tangan sembari mengancam.
Sementara Put menjaga teman perempuan korban agar tidak melarikan diri sembari komplotan itu kabur tancap gas setelah melucuti korbannya termasuk mengambil dompet berisi sejumlah uang dan, telepon seluluer serta sepeda motornya.
Ditangkap
Komplotan begal itu minus Ro kemudian menuju Kota Perbaungan menemui FH selanjutnya menuju Kampung Tempel dan bertemu Agus yang membawa sepeda motor hasil begal itu. Selanjutnya Agus menyerahkan uang senilai Rp800 ribu kepada para tersangka yang dibagi Rp300 ribu untuk Put, Fah dan Toy. Sedangkan sisanya Rp500 ribu untuk tersangka EKA dan FH.
Tak berapa lama, dalam hitungan jam sekira Pukul 22.00 Wib, petugas polisi berhasil menangkap dua pelaku begal itu yakni, EKA dan Fr yang tidak berkutik. Sedangka 5 tersangka lainnya meloloskan diri.
Dari pengakuan kedua tersangka uang hasil penjualan sepeda motor itu sudah sempat mereka gunakan membeli makan dan minum serta rokok juga bermain internet.
Kasatreskrim AKP Martuasah Hermondi Tobing memaparkan, kedua tersnagka kini ditahan di Polres berikut barang bukti berupa, 3 unit sepeda motor merek Honda Beat BK 6583 MAT, merek BK 2819 MAL dan Yamaha Jupiter, sebilah parang, kain serbet dan sebuah paspor atas nama Erika.
Selanjutnya, kedua tersangka dijerat Pasal 365 ayat 1 Subs Pasal 480 KUPidana dengan ancaman kurungan maksimal 9 tahun. Sedangka 5 terdangka lainnya masuk daftar pencairan orang (DPO) yang kini identitasnya sudah diketahui.
Kapolres Deliserdang AKBP M Edi Faryadi SH SIK MH melalui Kasatreskrim AKP Martuasah Hermindo Tobing SIK kepada wartawan, Selasa (12/1) menguraikan, kedua tersangka yang ditangkap yakni, EKA (19) warga Gang Monza/buntu, Desa Sekip, Kecamatan Lubukpakam, Deliserdang, dan FH (20) warga Melati 1 Jalan Johar Bawah Rel, Desa Melati, Kecamatan Perbaungan, Serdangbedagai.
Keduanya ditangkap setelah mendapat laporan korban Supriadi (34) warga Dusun I, Desa Sukamandi Hilir, Kecamatan Pagarmerbau, Deliserdang, bahwa dirinya menjadi korban begal dengan cara kekerasan dilakukan 6 pelaku membawa senjata tajam parang, pisau dan gunting.
Peristiwa berawal ketika komplotan pelaku begal yakni, EKA, Fah, Put, Toy, Ro dan Ri, berkumpul di Simpang Gang Monza, Desa Sekip, Lubukpakam, Senin (11/1) sekira Pukul 20.00 Wib. Salah seorang di antara mereka Put mengajak teman-temannya untuk melakukan aksi begal untuk mendapatkan uang.
Ajakan Put untuk melakukan aksi begal direspon positif teman-temannya sembari bergerak. Tersangka EKA kemudian pulang ke rumah mengambil parang dan pisau dan Ri mengambil gunting. Selanjutnya komplotan begal itu pun bergerak mengendarai dua sepeda motor berbonceng tiga dengan komposisi Toy membonceng EKA dan Put sedang Ro membonceng Ri juga Fah sembari berkeliling.
Setelah berkeliling sampai, Minggu (10/1) sekira Pukul 01.30 Wib tatkala sampai di titik Desa Sukamandi Hilir, Kecamatan Pagarmerbau, komplotan ini menemukan calon korbannya yang sedang duduk berdua di atas sepeda motor dengan teman wanitanya.
Setelah sempat melintas dua kali di titik posisi korban berhenti, komplotan begal kemudian putar balik dan langsung turun sembari mendekati pasangan itu. Tersangka EKA kemudian menempelkan parangnya ke arah perut korban dan tersangka lainnya Fah juga mengacungkan pisaunya termasuk Ri dengan gunting di tangan sembari mengancam.
Sementara Put menjaga teman perempuan korban agar tidak melarikan diri sembari komplotan itu kabur tancap gas setelah melucuti korbannya termasuk mengambil dompet berisi sejumlah uang dan, telepon seluluer serta sepeda motornya.
Ditangkap
Komplotan begal itu minus Ro kemudian menuju Kota Perbaungan menemui FH selanjutnya menuju Kampung Tempel dan bertemu Agus yang membawa sepeda motor hasil begal itu. Selanjutnya Agus menyerahkan uang senilai Rp800 ribu kepada para tersangka yang dibagi Rp300 ribu untuk Put, Fah dan Toy. Sedangkan sisanya Rp500 ribu untuk tersangka EKA dan FH.
Tak berapa lama, dalam hitungan jam sekira Pukul 22.00 Wib, petugas polisi berhasil menangkap dua pelaku begal itu yakni, EKA dan Fr yang tidak berkutik. Sedangka 5 tersangka lainnya meloloskan diri.
Dari pengakuan kedua tersangka uang hasil penjualan sepeda motor itu sudah sempat mereka gunakan membeli makan dan minum serta rokok juga bermain internet.
Kasatreskrim AKP Martuasah Hermondi Tobing memaparkan, kedua tersnagka kini ditahan di Polres berikut barang bukti berupa, 3 unit sepeda motor merek Honda Beat BK 6583 MAT, merek BK 2819 MAL dan Yamaha Jupiter, sebilah parang, kain serbet dan sebuah paspor atas nama Erika.
Selanjutnya, kedua tersangka dijerat Pasal 365 ayat 1 Subs Pasal 480 KUPidana dengan ancaman kurungan maksimal 9 tahun. Sedangka 5 terdangka lainnya masuk daftar pencairan orang (DPO) yang kini identitasnya sudah diketahui.
_____
Penulis : Analisa/ak
Editor : Eni