Home » » Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Perpu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya dapat menerima atau menolak Perpu.

Jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.


Pasal 22


(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan   peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.


Tentunya pem-“bypass”-an DPR, berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 hanya diperbolehkan dilakukan oleh Presiden, jika dan hanya jika terpenuhinya syarat konstitusional-nya, yaitu: “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.

Mengacu ayat (1) Pasal 22 UUD 1945, dapat dicermati bahwasanya seorang Presiden memiliki hak untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Hak yang dimiliki Presiden ini dapatlah dikatakan sebagai hak yang sungguh istimewa, karena dalam hal ini seorang Presiden dapat menerbitkan suatu peraturan yang kekuatannya sama dengan Undang-Undang (UU). Bahkan Presiden dalam situasi “kegentingan yang memaksa” itu diperbolehkan mem-“bypass” DPR


Proses Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang.

Rancangan Undang Undang berasal dari Presiden, maka RUU dipersiapkan oleh Presiden dan diproses serta dibahas oleh pembantu-pembantunya dan staf ahli sesuai dengan bidang masing masing menjadi draf RUU. Kemudian RUU dimajukan kepada DPR.

Jika rancangan Undang Undang berasal dari DPR, maka RUU itu diproses oleh Panitia Ad Hoc DPR dan dirumuskan menjadi RUU. Dan selanjutnya dimasukkan dalam agenda pembahasan rapat DPR.


Proses Pengajuan Rancangan Undang Undang

Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”.  Fungsi Legislasi berarti lembaga ini (DPR) menjalankan tugas sebagai badan pembuat undang undang. RUU yang berasal dari anggota DPR diajukan jika :
  1. disetujui oleh sekurang kurangnya 13 anggota DPR dari fraksi yg berbeda
  2. diajukan secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar, daftar nama dan tanda tangan serta nama fraksinya.
  3. usulan tersebut dibawa ke rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan.   Pembentukan perpu harus diajukan kepada DPR dalam persidangan berikutnya. Rancangan


Undang Undang dapat diajukan oleh Presiden kepada DPR, dan diajukan oleh DPR sendiri. Presiden mengajukan RUU kepada DPR untuk dibahas dalam persidangan pada masa sidang DPR, atau DPR mempunyai hak amandemen terhadap RUU yang dimajukan oleh Presiden, yaitu hak DPR untuk merubah baik menambah maupun mengurangi RUU tersebut sehingga menjadi UU.

DPR mempunyai hak inisiatif, yaitu hak DPR mengajukan RUU untuk diproses dan dibahas pada masa persidangan DPR. Melalui permusyawaratan secara demokratis, akhirnya RUU ditetapkan menjadi UU dan meminta persetujuan kepada Presiden untuk disahkan.


Pengesahan dan Pemberlakuan UU


Setelah DPR menetapkan RUU menjadi UU, kemudian UU  tersebut disahkan oleh presiden. Selanjutnya UU yang telah disahkan tersebut oleh Menteri Sekretaris Negara diundangkn dalam Lembaran Negara tentang berlakunya UU tersebut. Dengan demikian, berlakulah UU terserbut secara nasional.


Landasan proses penyusunan UU adalah UUD 1945. Pasal 5 dan pasal 20 berikut ini mengemukakan dasar hukum proses penyusunan Undang-undang.

Pasal 5

(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada DPR.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Pasal 20

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undangundang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undangundang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undangundang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undangundang.
(5) Dalam hal rancangan undangundang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui, rancangan undang undang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan.


Proses Pembahasan Rancangan Undang Undang dalam masa sidang DPR

Rancangan Undang Undang yang diajukan oleh Presiden maupun oleh DPR diproses melalui permusyawaratan dalam masa persidangan DPR secara demokratis. Adapun proses pembahasan RUU dalam persidangan di DPR, antara lain adalah sebagai berikut :
a. RUU yang diusulkan atau diajukan diterima oleh DPR.
b. DPR mengagendakan jadwal kapan pelaksanaan rapat pembahasan RUU dalam masa persidangan DPR.
c. Setelah ditetapkan jadwal persidangannya, maka ada beberapa tahapan antara lain sebagai berikut :
  • Tahap pertama, DPR menyelenggarakan sidang pleno membahas RUU.
  • Tahap kedua, pembahasan RUU oleh komisi dan fraksi fraksi di DPR.
  • Tahap ketiga, hearing, yaitu DPR menerima aspirasi, pendapat, dan saran dari lapisan masyarakat, para pakar dan ahlinya demi kesempurnaan dan perbaikan.
  • Tahap keempat, sidang pleno pengambilan keputusan, untuk menetapkan RUU menjadi UU.

Apabila RUU tidak mendapat persetujuan baik oleh DPR maupun Presiden,maka RUU tidak dapat disahkan menjadi UU, dan tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Proses Pembentukan RUU usul dari DPR

Usul inisiatif RUU dapat berasal dari sekurang kurangnya 13 anggota DPR RI atau komisi, gabungan komisi atau baleg lalu Disampaikan kepada pimpinan DPR beserta daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama fraksinya kemuidian Dalam rapat paripurna ketua rapat memberitahukan dan membagikan usul inisiatif RUU kepada para anggota DPR setelah itu Rapat Paripurna memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul dari DPR atau tidak setelah diberikan kesempatan kepada fraksi untuk memberikan pendapatnya . Disetujui dengan perubahan, DPR menugaskan kepada komisi, baleg atau pansus untuk menyempurnakan RUU tersebut atau Disetujui tanpa perubahan kemudian Pimpinan DPR menyampaikan RUU kepada presiden dengan permintaan agar presiden menunjuk menteri yang akan mewakili presiden dalam pembahasan RUU dan kepada pimpinan DPD jika RUU yang diajukan terkait dengan DPD dan dilakukan Pembicaraan di DPR I
1. Pembicaraan Tingkat I
2. Pembicaraan Tingkat II

 
Proses Penetapan RUU menjadi UU

Pada tahap keempat, RUU diproses untuk ditetapkan menjadi UU oleh DPR dalam forum rapat pleno DPR untuk maksud itu.

Tata cara pembentukan perpu dalam Pasal 25 disebutkan sebagai berikut :

a)    Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan pengajuan ke DPR dalam persidangan berikut.
b)   Pengjuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perpu menjai undang-undang.
c)    Dalm hal perpu ditolak DPR maka perpu tersebut tidak berlaku.
d)   Dalah hal perpu ditolak DPR maka  Presiden mengajukan RUU tentang  pencabutan perpu.


Penolakan Perpu Oleh DPR Dan Akibat Hukumnya

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu sumber tertib hukum di Indonesia. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan hak inisiatif dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden yang keberlakuannya mengikat layaknya Undang-Undang. Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang adalah hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang penilaiannya tergantung kepada subyektifitas Presiden. Terkait hal ihwal kegentingan yang memaksa ini, belum ada kriteria dan standar yang jelas untuk suatu hal dikatakan kegentingan yang memaksa dalam hal bernegara. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang dibenarkan oleh Undang-Undang, maka dibutuhkan penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan PERPU menjadi Undang-Undang. adapun penilaian dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah disetujui atau ditolak. Permasalahan muncul ketika PERPU ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana akibat hukumnya atas penolakan PERPU oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mengajukan rancangan Undang-Undang pencabutan PERPU yang dapat mengatur segala akibat dari penolakan tersebut. Sedangkan pengujian terhadap PERPU (Perpu) dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas diatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) atas PERPU. Apabila disetujui menjadi Undang-Undang, maka Undang-Undang tersebut baru dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi


Menguji PERPU
Landasan hukum dari PERPU adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Dari ketiga ayat dalam Pasal 22 jelas-jelas disebutkan peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah menurut Pasal 22 ini adalah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai PERPU bukanlah undang-undang atau sederajat dengan undang-undang. PERPU adalah istilah yang diciptakan kemudian dan tidak terdapat dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) menggunakan istilah peraturan pemerintah dan demikian juga dengan ayat (3). Dengan adanya ketentuan yang menyebutkan peraturan pemerintah dalam Pasal 22, maka menjadi jelas bahwa menurut UUD 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu :
  1. peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945) dan
  2. peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)).

Karena keduanya adalah sama-sama peraturan pemerintah maka keduanya sudah barang tentu sederajat. Jadi bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu memuat materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang tidak menjadikan PERPU itu setara dengan undang-undang. Baik Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 22 Ayat (1) menggunakan kata “menetapkan” untuk kedua macam peraturan pemerintah itu. Hal ini terjadi karena Presiden yang menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksakan undang-undang menurut Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 adalah juga Presiden yang sama dengan yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 Ayat (1).

Berhubung Presiden yang menetapkan pertauran pemerintah sebagai pelaksanaan UU adalah presiden dan sama dengan presiden yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang maka derajat dari kedua peraturan pemerintah itu adalah sama. Jadi peraturan pemerintah menurut Pasal 5 Ayat (2) adalah sederajat dengan peraturan pemerintah menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.


Memang ada kerancuan yang terdapat dalam UU No. 10 tahun 2004 menyangkut kedudukan dari PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Dalam Pasal 4 UU ini ditentukan bahwa “Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.” Pasal 4 terlihat menyebutkan bahwa ada uu dan peraturan di bawahnya. Namun dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut ternyata yang dimaksudkannya adalah bahwa PERPU itu sederajat dengan UU.


PERPU tidak sederajat dengan UU


Defenisi dari PERPU disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.Pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bahwa ia sederajat dengan undang-undang. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 7 Ayat (1) huruf b yang menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Namun menjadi pertanyaan, jika PERPU sederajat dengan UU mengapa masih diperlukan persetujuan DPR dan setelah mendapat persetujuan lalu berubah menjadi UU. Mestinya, kalau PERPU sederajat maka PERPU itu akan tetap berlaku sebagai PERPU dan tidak dibutuhkan lagi persetujuan DPR. Dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan DPR untuk masa sidang berikutnya.


UU No. 10 tahun 2004 mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi:


(1)  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

 (2)  Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.

(3)  Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.

(4)  Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut


Sesuai Pasal 25 ayat (2) tersebut, pengajuan PERPU itu adalah dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi undang-undang. Ayat (3) menentukan lebih lanjut bahwa dalam hal PERPU ditolak maka perpu tersebut tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih tinggi dari Presiden dalam hal keberlakuan lebih lanjut dari PERPU. Jika DPR menyetujui PERPU tersebut maka PERPU itu diangkat menjadi UU. Hal ini terjadi karena menurut Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. JIka ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan dan Pasal 22 ayat (2) maka akan terlihat bahwa PERPU tersebut tidak setara dengan UU.


Dengan demikian dapat kita lihat bahwa PERPU itu sesungguhnya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak dapat diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam UU No. 10 tahun 2004 menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan UUD 1945 dan hal itu perlu diuji.


PERPU bersifat Provisional

Suatu PERPU bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang menetapkan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses. Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat.  Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi persoalan seyogyanya sudah harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jika ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.


UJI MATERI PERPU KE MK

Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstusi menurut UUD 1945 adalah :
  1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan lembaga Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
  2. Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Wewenang Mahkamah Konstitusi
  • Menguji undang-undang terhadap UUD 19451.
  • Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara 2. yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
  • Memutus pembubaran partai politik.3.
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Ada yan  Apakah Mahkamah Konstitusi dapat menguji Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukanmekansime pengujian suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.(Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) harus diakui cukupsulit untuk dipecahkan. orang bilang Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tak bisa diuji materi di MK. Bahkan, Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah berujar tegas soal itu. Perpu, kata Mahfud, hanya boleh diuji dengan legislatif review di DPR bukan judicial review ke MK. Jadi, MK tidak akan menguji materi Perpu. Demikian kata Mahfud. Ini diperkuat oleh ketentuan letterlijk Pasal 24C UUD 1945 yang menyebut MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Namun, karena ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum, maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu sekarang sedang ’parkir’ di MK menanti diputus. Keduanya adalah Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perppu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).


Koridor Sistem Konstitusi

Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya adalah bagaimana UUD 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD 1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.

Pertama, dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 erat hubungannya dengan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu, 2). Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan genting dan memaksa, 3). Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.

Kedua, UUD 1945 membedakan dengan jelas Perpu dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam Bab DPR materi muatannya seperti yang diatur dalam undang-undang, bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jika terjadi kekosongan undang-undang, entah oleh sebab apa sehingga materi undang-undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-undang memerlukan waktu lama sehingga kebutuhan akan hukum yang mendesak itu tak dapat diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila memenuhi tiga parameter, yakni 1). Ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, 2). terjadi kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada, 3). Kekosongan hukum tidak teratasi jika harus menempuh prosedur legislasi biasa yang perlu waktu lama sedangkan keadaan mendesak perlu cepat mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.

Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak bisa dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Keadaan bahaya memang dapat menyebabkan proses legislasi normal tidak dapat dilaksanakan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.

Dapat Diuji


Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus dimaknai sebagai berikut.

Pertama,
peraturan pemerintah pada pasal itu adalah sebagai pengganti undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi karena kegentingan memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan memakan waktu lama mengingat diperlukannya rapat-rapat DPR dengan berbagai tingkatan. Sehingga, kebutuhan hukum secara cepat jelas tak dimungkinkan.

Kedua,

frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang bergantung pada penilaian subyektifnya. Namun, itu tidak berarti penilaian subyektif itu bersifat absolut dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.

Sebagai instrumen mengatasi kebutuhan hukum dalam kegentingan memaksa, maka tentu saja Perpu melahirkan norma hukum. Sebagai norma hukum baru, Perpu akan menimbulkan

1) status hukum baru,

2). Hubungan hukum baru,

3). Akibat hukum baru. Norma hukum lahir sejak Perpu disahkan.


Hanya saja, nasibnya norma hukum itu sangat bergantung pada DPR, apakah menerima atau menolak norma hukum Perpu. Meski demikian, sebelum DPR berpendapat untuk menyetujui atau menolak Perpu, norma hukum itu adalah sah dan berlaku mengikat.

Oleh karena keberadaannya yang melahirkan norma hukum dengan kekuatan setara undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu dapat dimohonkan untuk diuji materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu pasca persetujuan DPR tentu saja MK berwenang karena Perpu telah menjadi UU. *****
Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti, putusan atas perkara itu adalah preseden. Tak perlu sampai jauh pada isi putusan MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, sebab ketegasan yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.


Hak Subyektif “Terbatas” Presiden

“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi). Akan tetapi, menurut M. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang ketatanegaraan.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan:

(i)   mendesak dari segi substansi, dan
(ii)  genting dari segi waktunya.


 Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam menetapkan perppu. Apabila tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi hukum (null and void), karena melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus menunjukkan beberapa syarat adanya krisis, yang menimbulkan bahaya atau hambatan secara nyata terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan mundur.

Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian Perputerhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangioleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif.Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukumtertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perpudengan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun jugamemperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak  Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Denganmemperhatikan pluralisme sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusidapat senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Diperlukannya penguji
  1. Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
  2. Menghindari kekakuan hukum; dan
  3. Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada masyarakat


_____________

Daftar pustaka
  • http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b7bb8eba552c/penerbitan-perpu-akan-dikontrol
  • http://ginta-jasmine.blogspot.com/2013/05/proses-pembuatan-peraturan-pemerintah.html
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_pemerintah_pengganti_undang-undang
  • Keyword : Perpu, DPR, akibat hukum
  • Sumber Artikel Dari: http://filemongulo.blogspot.com/2013/07/peraturan-pemerintah-pengganti-undang.html#ixzz2ZS4hWFR1
  • UU no 12 tahun 2011

Tags:

0 komentar to "Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang"

Posting Komentar