Ceplukan atau ciplukan adalah nama sejenis buah kecil, yang ketika masak tertutup oleh perbesaran kelopak bunga. Buah ini juga dikenal dengan pelbagai nama daerah seperti cecenet atau cecendet (Sd.), nyurnyuran (Md.), dan kopok-kopokan (Bl.).
Umumnya tumbuh liar, ceplukan biasa didapati bercampur dengan herba dan semak lainnya di kebun, tegalan, sawah yang mengering, tepi jalan, tepi hutan dan bagian-bagian hutan yang terbuka disinari terik matahari.
Buahnya digemari anak-anak. Seluruh bagian tumbuhan, dari daun sampai akar dan biasanya dikeringkan lebih dulu, digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional.
Buahnya digemari anak-anak. Seluruh bagian tumbuhan, dari daun sampai akar dan biasanya dikeringkan lebih dulu, digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional.
Di Jawa juga diketahui adanya jenis Physalis minima yang mirip bentuknya. Beberapa perbedaannya dengan jenis di atas ialah, Physalis minima berambut panjang (berikut gambarnya) pada bagian-bagian batang dan daun yang berwarna hijau dan kepala sari berwarna kuning dengan sedikit warna biru.
Ceplukan badak Physalis peruviana dibudidayakan orang di Amerika Selatan, Australia dan Selandia Baru. Buahnya sebagian diekspor ke Eropa.
Ceplukan badak Physalis peruviana dibudidayakan orang di Amerika Selatan, Australia dan Selandia Baru. Buahnya sebagian diekspor ke Eropa.
Ciplukan merupakan salah satu tanaman yang bisa dengan mudah di tanam dan dibudidayakan. Ciplukan mempunyai manfaat dan khasiat untuk membantu mengatasi berbagai masalah penyakit. Namun, kebanyakan orang masih belum mengetahui dengan baik khasiat dan manfaat dari buah ciplukan. Mereka menganggapnya hanya sebagai tanaman biiasa. Padahal tanaman cipukan ini bisa tubuh subur disaat petani mengganti tanaman padi dengan tanaman palawija. Tumbuhan ini sangat baik untuk kesehatan tubuh dan bisa membantu untuk mengobati berbagai masalah gangguan kesehatan.
Buah ciplukan mempunyai nama di masing-masing daerah di Indnonesia, misalnya adalah keceplokan, ciciplukan (Jawa), nyornyoran, yoryoran (Madura), cecendet, cecendetan, cecenetan (Sunda), kopok-kopokan, keceplokan, angket (Bali), leletep (sebagian Sumatera), leletokan (Minahasa), kenampok, dedes (Sasak), lapunonat (Tanimbar, seram), daun kopo-kopi, daun loto-loto, padang rase, dagameme, angket, dededes, daun boba, dan masih banyak yang lainnya.
Kandungan kimia yang ada di dalamnya sangat baik untuk membantu mengatasi masalah kesehatan. Saat ini tanaman ciplukan diproduksi dalam bentuk kemasan teh dan juga kapsul. Bahan utamanya adalah tanaman buah ciplukan yang kemudian melalui proses pengeringan di oven sekitar 40 derajat, atau dengan cara tradisional bisa dengan dikeringkat namun tidak langsung terkena sinar matahari atau juga diangin-anginkan, disini bertujuan untuk membuat klorofilnya tidak hilang.
Ciplukan dan khasiatnya kini telah dikenal dan digunakan sebagai tanaman obat untuk mengatasi dan mengobati beberapa jenis penyakit berikut ini :
1. Ciplukan dan khasiatnya untuk Hipertensi
Sediakan 5 gram brangkas (herba kering) ciplukan dan masukkan ke dalam air 110 ml. Rebus campuran tersebut selama 10-15 menit sambil sesekali diaduk. Selanjutnya saring dan biarkan sampai dingin. Air rebusan tersebut diminum 2 kali sehari, pagi dan sore, masing-masing 100ml. Sebagai perhatian, air rebusan yang sudah disimpan lebih dari 24 jam tidak boleh diminum karena sudah rusak.
2. Ciplukan dan khasiatnya untuk Kencing manis
Untuk mengobati kencing manis, sediakan 100 gram brangkas ciplukan dan air 400 ml. Cara pembuatan ramuan dan aturan pemakaiannya sama dengan untuk mengobati hipertensi
3. Ciplukan dan khasiatnya untuk Bisul
Untuk mengobati bisul, sediakan 1 genggam daun ciplukan, 1 sendok teh (sdt) adas pulosari, 1 lembar daun sirih dan sedikit garam. Campurkan semua bahan tersebut dan remas-remas hingga menjadi lembut. Oleskan sekitar bisul. Bisul akan cepat pecah dan cepat kering.
4. Ciplukan dan khasiatnya untuk Borok
Ambil 1 genggam daun ciplukan dan tambahkan 2 sendok teh air kapur sirih. Tumbuk sampai halus, lalu tempelkan ke bagian yang sakit.
5. Gusi berdarah
Karena kaya vitamin C, buah ciplukan bisa digunakan untuk menyembuhkan gusi berdarah. Caranya, makanlah 30 buah ciplukan segar setiap hari.
6. Sakit paru
Rebus 3-5 gelas air akar, batang, daun dan bunga herba ciplukan hingga mendidih. Saring dan minum 3 kali sehari sebanyak 1 gelas.
7. Epilepsi (ayan)
Makan secara rutin setiap hari, 8-10 butir buah ciplukan yang sudah masak atau matang.
8. Untuk kanker
10 gram daun sambiloto kering, 10 gram rimpang temulawak, 10 gram kunyit, 10 gram rimpang temu putih, 10 gram rimpang temu mangga, 10 gram ciplukan kering (seluruh bagian tanaman) dan 10 gram meniran (seluruh bagian tanaman).
Cara pembuatan ciplukan untuk kanker
Cuci bersih rimpang temulawak, kunyit, temu putih dan temu mangga. Parut hingga halus. Campur hasil parutan dengan ciplukan, meniran dan daun sambiloto. Rebus dalam 2 gelas air sampai hanya tersisa kira-kira 1,5 gelas. Angkat, kemudian saring.
Cara Pemakaian ciplukan untuk kanker
Ramuan diminum 3 kali sehari, masing-masing ½ gelas. Untuk mengurangi rasa pahit, dapat dicampur dengan 1 sendok makan madu setelah agak dingin.
9. Ciplukan untuk mengobati influenza
Rebus 9-15 daun ciplukan. Kemudian tunggu dingin dan minum. Diminum 2 kali sehari.
10. Ciplukan untuk mengobati batuk rejan
Rebus 9-15 lembar daun ciplukan, masak hingga mendidih, saring dan diamkan sejenak kemudian minum airnya. Minum 2-3 kali sehari hingga sembuh.
11. Bronchitis
Rebus 9-15 daun ciplukan, rebus hingga mendidih dan saring. Kemudian diamkan sebentar hingga dingin, minum 2 kali sehari.
12. Ciplukan untuk mengobati pembengkakan prostat
Dengan merebus 9-15 lembar daun ciplukan hingga mendidih, saring dan minum hasil saringan tadi 2 kali sehari. Bila pembengkakan prostat akut minum 3 kali sehari.
Bagian ciplukan yang sering dimanfaatkan adalah daun dan buah ciplukan. Buah ciplukan yang sudah matang banyak mengandung vitamin C (ca. 11 mg/100gram), vitamin B1, Provitamin A dan Zat besi.
Rebusan ekstrak daun ciplukan juga dapat digunakan sebagai obat alami untuk mengobati dan membantu menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel kanker pada kanker payudara yakni kanker yang sangat menakutkan bagi kaum perempuan dan banyak menelan korban setiap tahunnya.
Selain itu, Ciplukan sangat berguna untuk berbagai macam penyakit dalam.Berdasarkan pengalaman
kalau untuk takaran yang diberikan sipenjual, untuk membantu proses penyembuhan penyakit apa saja, yaitu : 1/4 kg tanaman,yang berupa daun akar batang, direbus dengan air 1,5 liter, sampai mendidih, hingga kurang lebih menjadi 1 liter, Kemudian di diinginkan dulu lalu airnya diminum, satu hari 3 gelas, pagi ,siang dan sore. Ampas ramuan tadi jangan dibuang, simpan, di kulkas, karena bisa di masak lagi 1 kali rebusan , dengan perbandingan 1 liter air menjadi kurang lebih 750 mili liter ,nah bisa dikonsumsi lagi kan.
Berdasarkan sumber lain :
1. Diabetes Mellitus
Bahan: tumbuhan ciplukan yang sudah berbuah dicabut beserta
akar-akarnya dan dibersihkan.
Cara membuat: dilayukan dan direbus dengan 3 gelas air sampai
mendidih hingga tingga 1 gelas, kemudian disaring
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari.
kalau untuk takaran yang diberikan sipenjual, untuk membantu proses penyembuhan penyakit apa saja, yaitu : 1/4 kg tanaman,yang berupa daun akar batang, direbus dengan air 1,5 liter, sampai mendidih, hingga kurang lebih menjadi 1 liter, Kemudian di diinginkan dulu lalu airnya diminum, satu hari 3 gelas, pagi ,siang dan sore. Ampas ramuan tadi jangan dibuang, simpan, di kulkas, karena bisa di masak lagi 1 kali rebusan , dengan perbandingan 1 liter air menjadi kurang lebih 750 mili liter ,nah bisa dikonsumsi lagi kan.
Berdasarkan sumber lain :
1. Diabetes Mellitus
Bahan: tumbuhan ciplukan yang sudah berbuah dicabut beserta
akar-akarnya dan dibersihkan.
Cara membuat: dilayukan dan direbus dengan 3 gelas air sampai
mendidih hingga tingga 1 gelas, kemudian disaring
Cara menggunakan: diminum 1 kali sehari.
2. Sakit paru-paru
Bahan: tumbuhan ciplukan lengkap (akar, batang, daun, bunga dan
buahnya).
Cara membuat: direbus dengan 3-5 gelas air sampai mendidih dan
disaring.
Cara menggunakan: diminum 3 kali sehari 1 gelas.
3. Ayan
Bahan: 8-10 butir buah ciplukan yang sudah dimasak.
Cara menggunakan: dimakan setiap hari secara rutin.
4. Borok
Bahan: 1 genggam daun ciplukan ditambah 2 sendok air kapur sirih.
Cara membuat: ditumbuk sampai halus
Cara menggunakan: ditempelkan pada bagian yang sakit.
Penulis : Kelvin
*Diolah dari berbagai Sumber
Somasi adalah teguran terhadap pihak calon tergugat. Tujuannya memberi kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan individual atau kolektif baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan (calon penggugat).
Dasar hukum somasi terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
Somasi dalam sumber lain adalah sejenis teguran yang didasarkan atas pikiran bahwa debitur memang masih mau paling tidak melalui somasi dapat diharapkan mau untuk berprestasi
Pembuatan atau perumusan somasi tidak memiliki aturan baku artinya pihak pengirim bebas menentukan perumusan isi dari somasi, tetapi pengirim wajib menetukan secara tegas siapa pihak yang ditujukan, masalah yang disomasikan, dan apa yang menjadi kehendak pengirim somasi yang harus dilaksanakan oleh pihak penerima somasi. Perlu diingat bahwa pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).
Ada 2 cara menyampaikan somasi :
Ada 2 cara menyampaikan somasi :
- Disampaikan tertulis, dengan langsung mengirimkan secara tertulis kepada pihak calon tergugat.
- Disampaikan terbuka, dengan cara publikasi di media masa.
Surat somasi dalam prakteknya dapat dipakai baik dalam perkara perdata maupun pidana, namun dalam perkara pidana somasi hanya merupakan suatu niat baik agar pihak lain dapat memahami posisi dan pandangan/analisis hukum dari si pengirim somasi.
Bentuk-Bentuk Somasi
- Susrat perintah, adalah exploit juru sita, exloit adalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur. Dengan kata lain exploit adalah salinan surat peringatan.
- Akta sejenisnya (soortgelijke akte), membaca kata-kata akta sejenis ini ialah akta otentik yang sejenis dengan exploit juru sita.
- Demi perikatan sendiri, perikatan mungkin terjadi apabila pihak-pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur di dalam suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu, secara teoritisnya, suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya suatu waktu, maka keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.
Menurut J. Satrio
Dalam doktrin dan yurisprudensi istilah somasi digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi. Namun, dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian I), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) tidak dikenal istilah somasi
Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPer yang menyatakan:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.”
Selanjutnya, dalam Pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis, yang kemudian kita kenal sebagai somasi. Selengkapnya, simak Tentang Somasi.
Dijelaskan J. Satrio dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian III), karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi? Demikian tulis J. Satrio
Dari penjelasan J. Satrio tersebut dapat kita ketahui bahwa hal yang menyebabkan diperlukannya somasi adalah keadaan belum dilakukannya suatu prestasi oleh pihak debitur, sehingga pihak kreditur harus memperingatkan debitur untuk berprestasi dengan cara mengirimkan somasi.
Mengenai akibat hukum bagi debitur bila somasi diabaikan, menurut J. Satrio, somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alasan yang sah– membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Sedangkan akibat hukum bagi kreditur, wanprestasinya debitur menyebabkan kreditur berhak untuk menuntut hal-hal berikut:
- Pemenuhan perikatan;
- Pemenuhan perikatan dan ganti rugi;
- Ganti rugi;
- Pembatalan persetujuan timbal balik;
- Pembatalan perikatan dan ganti rugi.
Lalu, J. Satrio menjelaskan, pada saat ini doktrin maupun yurisprudensi menganggap bahwa somasi itu harus berbentuk tertulis dan tidak perlu dalam bentuk otentik. Teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima sebagai suatu somasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka apabila pengacara A hendak memberikan somasi, ia cukup mengirimkan surat somasi tersebut ke tempat si B (debitur) berdomisili, yaitu ke alamat rumahnya di Bogor, karena tidak ada ketentuan yang mengharuskan pemberi somasi untuk bertemu secara langsung dengan penerima somasi ketika menyerahkan surat somasi.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Source :
- http://www.negarahukum.com/hukum/somasi-atau-teguran.html
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl483/apakah-somasi-itu
Batas Akhir Prestasi (Termijn Batal)
Permasalahan: apakah orang tidak bisa menyepakati suatu waktu, pada saat mana debitur pasti wajib untuk melunasi hutang perikatannya tanpa diperlukan adanya somasi? dengan konsekuensinya debitur sudah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang disepakati saja?
Bisa, yaitu dengan menyepakati suatu waktu tertentu sebagai batas akhir prestasi atau d.p.l. dengan klausula termijn batal. Dalam peristiwa seperti, wanprestasi debitur sudah terjadi dengan sendirinya dengan lewatnya batas akhir prestasi, sehingga tidak memerlukan somasi lagi. Contohnya dalam perjanjian kredit Bank biasanya memasukkan klausula yang berbunyi: “Para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa dengan lewatnya tanggal …….. saja debitur harus dianggap telah wanprestasi, sehingga tidak perlu diberikan somasi atu surat teguran sejenis itu“. Dengan klausula seperti itu berarti tanggal ……. merupakan batas akhir/verval termijn.
Sifat Somasi
Permasalahan: apakah somasi mengkonstatir keadaan wanprestasi debitur, ataukah somasi menimbulkan keadaan wanprestasi dari debitur? Dengan kata lain, apakah somasi bersifat konstatatif atau konstitutif?
Kalau kita berangkat dari perumusan somasi sebagai suatu pemberitahuan atau peringatan kepada debitur, bahwa kreditur menghendaki prestasi debitur, baik segera atau nanti pada suatu waktu tertentu, maka debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau debitur tetap tidak melaksanakan kewajibannya pada saat yang ditentukan. Hal itu berarti, bahwa debitur dalam keadaan lalai setelah ada somasi, yang tidak dipenuhi. Dengan cara berfikir seperti itu, maka somasi – yang tidak dipenuhi -- bersifat konstitutif, menimbulkan keadaan lalai. Konsekuensinya, sebelum ada somasi, debitur belum berada dalam keadaan lalai.
Kalau kita berangkat dari pikiran, bahwa somasi adalah tindakan mengkonstatir, bahwa debitur memang telah tidak memenuhi kewajiban prestasinya, atau dengan kata lain mengkonstatir bahwa debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi, maka debitur sudah wanprestasi sebelum disomir. Pada waktu yang lampau memang ada yang berpendapat seperti itu (HgH 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367).
Pendapat yang demikian tidak benar (L.E.H. Rutten, 1973 : 170), karena somasi hanya suatu peringatan dari kreditur, agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya dan sama sekali tidak mengatakan, bahwa debitur telah tidak memenuhi somasi itu. Bukankah bisa saja atas somasi itu debitur segera membayar kewajiban perikatannya dengan baik dan dengan itu hutang lunas, sehingga sama sekali tidak ada masalah wanprestasi, sekalipun ada somasi? Jadi somasi bukan mengkonstatir keadaan lalai, tetapi suatu peringatan agar debitur berprestasi, dengan konsekuensinya, kalau debitur – tanpa alasan yang sah -- tetap tidak berprestasi, maka somasi menjadikan debitur dalam keadaan lalai (HR 29 Januari 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87).
Mengapa hal itu perlu dipermasalahkan?
Kalau somasi hanya mengkonstatir wanprestasinya debitur – menyatakan debitur sudah wanprestasi -- maka debitur sebenarnya sudah wanprestasi sebelum somasi. Hal itu berarti, bahwa pada saat itu hutang debitur sudah matang untuk ditagih. Kalau diikuti pendapat ini (yang mengatakan somasi bersifat konstatatif), maka pernyataan lalai diberikan pada saat debitur sudah dalam keadaan lalai; menurut pendapat ini somasi tidak untuk menetapkan debitur lalai. Konsekuensinya pernyataan lalai (somasi) tidak mungkin dilayangkan, sebelum kewajiban matang untuk ditagih. Bukankah debitur belum waktunya untuk berprestasi.
Kalau somasi – yang tidak dipenuhi -- menimbulkan keadaan lalai/wanprestasi – sebagaimana pendapat yang mengatakan somasi bersifat konstitutif, maka somasi sudah bisa diberikan sebelum tagihan matang untuk ditagih (HR 29 Januari 1915, NJ. 1915, 485; Losecaat Vemeer, hal. 171). Sudah tentu kepada debitur harus diberikan tenggang waktu yang patut, agar debitur bisa memenuhi permintaan somasi kreditur. Dengan itu berarti, bahwa dalam perjanjian yang mengandung ketentuan waktu, maka tenggang waktu somasi paling tidak harus mencapai waktu yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Kesimpulannya, gugatan dan somasi bisa dilancarkan berbarengan. Dalam gugatan – yang diterima sebagai suatu somasi– kreditur memperingatkan debitur untuk berprestasi paling lambat pada suatu waktu tertentu dan sekaligus, kalau tidak dipenuhi, menuntutnya di muka Hakim.
Permasalahan berikutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW perlu didahului dengan suatu somasi? Pasal 1267 BW mengatakan, bahwa: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian kerugian“.
Untuk menuntut pemenuhan perikatan, kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Hak untuk menuntut pemenuhan sudah melekat pada perjanjian bersangkutan. (HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63; HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414).
Namun hak untuk menuntut ganti rugi baru ada setelah debitur dalam keadaan lalai (wanprestasi Ps. 1243 BW). Dengan berpegang kepada redaksi Pasal 1267 BW dan pendapat, bahwa somasi bersifat konstatatif seperti tersebut di atas, maka kreditur, untuk menuntut ganti rugi –baik ganti rugi itu dikaitkan dengan tuntutan pemenuhan ataupun pembatalan perikatan– mestinya tidak memerlukan somasi lebih dahulu, karena debitur sebenarnya sebelum ada somasi sudah berada dalam keadaan wanprestasi, karena somasi hanya mengkonstatir saja keadaan wanprestasi yang sudah ada.
Sebaliknya, kalau kita ikuti teori yang mengatakan, bahwa somasi bersifat konstitutif untuk adanya keadaan wanprestasi, maka kreditur untuk melaksanakan haknya berdasarkan Pasal 1267 BW, harus mensomir debitur lebih dahulu.
Permasalahan selanjutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW –yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya prestasi-- memang mensyaratkan somasi?
Pasal 1267 BW berada dalam suatu rangkaian dengan Pasal 1265 dan Pasal 1266 BW. Pasal 1265 BW berbicara tentang syarat batal, yang apabila dipenuhi, maka perikatan menjadi batal. Pasal 1266 ayat (1) BW mengatakan, bahwa dalam perjanjian timbal balik, syarat batal dianggap selalu ada di dalamnya. Namun demikian, apabila syarat batal itu terpenuhi, perikatan tidak batal dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan pembatalannya melalui seorang Hakim. Jadi, untuk pembatalan perikatan, dimana syarat batal terpenuhi, maka tidak diperlukan adanya somasi. Dengan demikian, kata “ tak dipenuhinya perikatan “ dalam Pasal 1267 BW adalah sama dengan peristiwa dipenuhinya syarat batal, sehingga untuk tuntutan pembatalan tidak diperlukan somasi.
Permasalahannya adalah, kapan dikatakan debitur tidak memenuhi kewajiban perikatannya? Kembali kepada apa yang disebutkan didepan, debitur wanprestasi, kalau ia setelah disomir tetap tidak memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik, tanpa adanya dasar yang membenarkan, kecuali sifat perikatannya mewajibkan debitur memenuhi kewajibannya pada waktu tertentu, yang telah dibiarkan lewat.
Prestasi dan Wanprestasi
Karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi.
Apakah kalau debitur sudah berprestasi, ia tidak mungkin wanprestasi? Perlu diingat, agar jangan dikacaukan antara somasi sebagai sarana untuk menetapkan debitur dalam keadan wanprestasi dan masalah, dalam keadaan apa saja debitur telah berada dalam keadaan wanprestasi.
Debitur wanprestasi kalau debitur:
- terlambat berprestasi
- tidak berprestasi
- salah berprestasi.
Di atas dipermasalahkan, apakah kalau debitur telah berprestasi, debitur tidak mungkin wanprestasi? Bagaimana kalau debitur berprestasi tetapi prestasinya salah?
Yang dimaksud dengan “berprestasi“ adalah berprestasi dengan baik dan kalau prestasi itu diperjanjikan, maka berprestasi dengan baik adalah sebagaimana diperjanjikan. Salah berprestasi adalah memberikan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dan karenanya dalam peristiwa seperti itu debitur tidak bisa dikatakan telah berprestasi. Dengan demikian salah berprestasi adalah sama dengan tidak berprestasi.
Kreditur yang menerima benda yang lain dari yang diperjanjikan dari debitur, wajib untuk menerimanya dengan protes, kalau ia keberatan dengan prestasi yang salah itu.
Apakah kreditur tidak boleh tinggal diam dulu dan akan menentukan sikapnya kemudian? Dalam peristiwa seperti itu, sikap tinggal diam kreditur –yang melebihi batas waktu yang layak-- bisa dianggap, bahwa kreditur telah menerima baik penyerahan itu dan selanjutnya telah melepaskan haknya untuk menuntut penyerahan benda yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
Namun demikian kepada kreditur harus diberikan waktu yang pantas untuk memeriksa benda yang diserahkan, sebaliknya ia juga tidak boleh untuk seenaknya menunda memeriksa kiriman itu. Kiranya itikad baik menuntut, agar dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak mengindahkan tuntutan kepantasan dan kepatutan yang berlaku dalam pergaulan hidup (Pasal 1338 ayat 3 BW). Jadi, tidak semua teguran/peringatan mempunyai daya kerja sebagai suatu somasi. Kalau demikian, maka ada teguran atau peringatan yang, sekalipun tidak dipenuhi, tidak mengakibatkan debitur berada dalam keadaan lalai atau wanprestasi.
Lalu dalam keadaan yang bagaimana teguran/peringatan dari kreditur tidak berakibat debitur dalam keadaan lalai, kalau teguran/peringatan itu tidak dipenuhi? Yang demikian terjadi kalau teguran/peringatan itu tidak memenuhi syarat untuk sahnya suatu somasi.
Somasi dan Iktikad Baik
Dalam peristiwa yang bagaimana somasi tidak sah, dalam arti, tidak membawa akibat hukum sebagaimana yang diharapkan dari suatu somasi? Misalnya somasi yang diberikan secara lisan atau somasi yang meminta kreditur menentukan gudang tempat penyerahan, padahal debitur belum menguasai benda yang harus diserahkan, merupakan somasi dengan itikad buruk. Tidak dipenuhi somasi seperti ini tidak mengakibatkan kreditur berada dalam keadaan wanpresatsi (HgH Batavia 10 Maret 1921, dalam T. 114 : 218). Ternyata iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus diperhatikan. Menuntut kreditur untuk membayar tunai, pada saat menerima penyerahan obyek perjanjian di Semarang, padahal secara kontraktual disepakati pembayaran akan dilakukan di Batavia (HgH Batavia 18 Juni 1925, dalam T. 122 : 342). Yang demikian bukan merupakan somasi yang sah.
Bagaimana kalau ada somasi, yang menuntut penyerahan obyek perjanjian sebanyak 5250 kg, padahal kreditur hanya masih berhak atas penyerahan sebesar 5050 kg? Apakah, karena jumlah atas mana kreditur masih berhak, tidak pas dengan yang disebutkan dalam somasi, somasi itu menjadi tidak sah? Menjadi tidak membawa akibat sebagaimana diharapkan dari suatu somasi?
Kiranya tidak pantas, kalau atas dasar sedikit kekeliruan saja, debitur boleh mengabaikan somasi tanpa membawa akibat, bahwa debitur berada dalam keadaan lalai. Kesalahan itu sedemikian kecilnya, sehingga kepatutan menentang pendapat, yang mengatakan somasi itu tidak sah (bersambung).
Purwokerto, 26 Agustus 2010
-----
*) Penulis adalah pemerhati hukum. Tinggal di Purwokerto.
----------------------------
Literatur:
P. De Prez, Gidsen Publiek en Privaatrecht, Deel I, Gids Burelijk Recht, Wolters – Noordhoff, Groningen, tanpa tahun.
C. Asser – P.A.J. Losecaat Vemeer, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, derde deel, Verbintenissenrecht, eerste stuk, Tjeenk Willink, Zwolle
C. Asser - L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintenis in het algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1973
----------------------------
HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63;
HgH Batavia 28 Agustus 1912, didalam dalam T. 106 : 367.
HgH Batavia 10 Maret 1921, dimuat dalam T. 114 : 218
HgH Batavia 18 Juni 1925, dimuat dalam T. 122 : 342
HR 29 Januarai 1915, NJ. 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87
HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414.
Permasalahan: apakah orang tidak bisa menyepakati suatu waktu, pada saat mana debitur pasti wajib untuk melunasi hutang perikatannya tanpa diperlukan adanya somasi? dengan konsekuensinya debitur sudah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang disepakati saja?
Bisa, yaitu dengan menyepakati suatu waktu tertentu sebagai batas akhir prestasi atau d.p.l. dengan klausula termijn batal. Dalam peristiwa seperti, wanprestasi debitur sudah terjadi dengan sendirinya dengan lewatnya batas akhir prestasi, sehingga tidak memerlukan somasi lagi. Contohnya dalam perjanjian kredit Bank biasanya memasukkan klausula yang berbunyi: “Para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa dengan lewatnya tanggal …….. saja debitur harus dianggap telah wanprestasi, sehingga tidak perlu diberikan somasi atu surat teguran sejenis itu“. Dengan klausula seperti itu berarti tanggal ……. merupakan batas akhir/verval termijn.
Sifat Somasi
Permasalahan: apakah somasi mengkonstatir keadaan wanprestasi debitur, ataukah somasi menimbulkan keadaan wanprestasi dari debitur? Dengan kata lain, apakah somasi bersifat konstatatif atau konstitutif?
Kalau kita berangkat dari perumusan somasi sebagai suatu pemberitahuan atau peringatan kepada debitur, bahwa kreditur menghendaki prestasi debitur, baik segera atau nanti pada suatu waktu tertentu, maka debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau debitur tetap tidak melaksanakan kewajibannya pada saat yang ditentukan. Hal itu berarti, bahwa debitur dalam keadaan lalai setelah ada somasi, yang tidak dipenuhi. Dengan cara berfikir seperti itu, maka somasi – yang tidak dipenuhi -- bersifat konstitutif, menimbulkan keadaan lalai. Konsekuensinya, sebelum ada somasi, debitur belum berada dalam keadaan lalai.
Kalau kita berangkat dari pikiran, bahwa somasi adalah tindakan mengkonstatir, bahwa debitur memang telah tidak memenuhi kewajiban prestasinya, atau dengan kata lain mengkonstatir bahwa debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi, maka debitur sudah wanprestasi sebelum disomir. Pada waktu yang lampau memang ada yang berpendapat seperti itu (HgH 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367).
Pendapat yang demikian tidak benar (L.E.H. Rutten, 1973 : 170), karena somasi hanya suatu peringatan dari kreditur, agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya dan sama sekali tidak mengatakan, bahwa debitur telah tidak memenuhi somasi itu. Bukankah bisa saja atas somasi itu debitur segera membayar kewajiban perikatannya dengan baik dan dengan itu hutang lunas, sehingga sama sekali tidak ada masalah wanprestasi, sekalipun ada somasi? Jadi somasi bukan mengkonstatir keadaan lalai, tetapi suatu peringatan agar debitur berprestasi, dengan konsekuensinya, kalau debitur – tanpa alasan yang sah -- tetap tidak berprestasi, maka somasi menjadikan debitur dalam keadaan lalai (HR 29 Januari 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87).
Mengapa hal itu perlu dipermasalahkan?
Kalau somasi hanya mengkonstatir wanprestasinya debitur – menyatakan debitur sudah wanprestasi -- maka debitur sebenarnya sudah wanprestasi sebelum somasi. Hal itu berarti, bahwa pada saat itu hutang debitur sudah matang untuk ditagih. Kalau diikuti pendapat ini (yang mengatakan somasi bersifat konstatatif), maka pernyataan lalai diberikan pada saat debitur sudah dalam keadaan lalai; menurut pendapat ini somasi tidak untuk menetapkan debitur lalai. Konsekuensinya pernyataan lalai (somasi) tidak mungkin dilayangkan, sebelum kewajiban matang untuk ditagih. Bukankah debitur belum waktunya untuk berprestasi.
Kalau somasi – yang tidak dipenuhi -- menimbulkan keadaan lalai/wanprestasi – sebagaimana pendapat yang mengatakan somasi bersifat konstitutif, maka somasi sudah bisa diberikan sebelum tagihan matang untuk ditagih (HR 29 Januari 1915, NJ. 1915, 485; Losecaat Vemeer, hal. 171). Sudah tentu kepada debitur harus diberikan tenggang waktu yang patut, agar debitur bisa memenuhi permintaan somasi kreditur. Dengan itu berarti, bahwa dalam perjanjian yang mengandung ketentuan waktu, maka tenggang waktu somasi paling tidak harus mencapai waktu yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Kesimpulannya, gugatan dan somasi bisa dilancarkan berbarengan. Dalam gugatan – yang diterima sebagai suatu somasi– kreditur memperingatkan debitur untuk berprestasi paling lambat pada suatu waktu tertentu dan sekaligus, kalau tidak dipenuhi, menuntutnya di muka Hakim.
Permasalahan berikutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW perlu didahului dengan suatu somasi? Pasal 1267 BW mengatakan, bahwa: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian kerugian“.
Untuk menuntut pemenuhan perikatan, kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Hak untuk menuntut pemenuhan sudah melekat pada perjanjian bersangkutan. (HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63; HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414).
Namun hak untuk menuntut ganti rugi baru ada setelah debitur dalam keadaan lalai (wanprestasi Ps. 1243 BW). Dengan berpegang kepada redaksi Pasal 1267 BW dan pendapat, bahwa somasi bersifat konstatatif seperti tersebut di atas, maka kreditur, untuk menuntut ganti rugi –baik ganti rugi itu dikaitkan dengan tuntutan pemenuhan ataupun pembatalan perikatan– mestinya tidak memerlukan somasi lebih dahulu, karena debitur sebenarnya sebelum ada somasi sudah berada dalam keadaan wanprestasi, karena somasi hanya mengkonstatir saja keadaan wanprestasi yang sudah ada.
Sebaliknya, kalau kita ikuti teori yang mengatakan, bahwa somasi bersifat konstitutif untuk adanya keadaan wanprestasi, maka kreditur untuk melaksanakan haknya berdasarkan Pasal 1267 BW, harus mensomir debitur lebih dahulu.
Permasalahan selanjutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW –yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya prestasi-- memang mensyaratkan somasi?
Pasal 1267 BW berada dalam suatu rangkaian dengan Pasal 1265 dan Pasal 1266 BW. Pasal 1265 BW berbicara tentang syarat batal, yang apabila dipenuhi, maka perikatan menjadi batal. Pasal 1266 ayat (1) BW mengatakan, bahwa dalam perjanjian timbal balik, syarat batal dianggap selalu ada di dalamnya. Namun demikian, apabila syarat batal itu terpenuhi, perikatan tidak batal dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan pembatalannya melalui seorang Hakim. Jadi, untuk pembatalan perikatan, dimana syarat batal terpenuhi, maka tidak diperlukan adanya somasi. Dengan demikian, kata “ tak dipenuhinya perikatan “ dalam Pasal 1267 BW adalah sama dengan peristiwa dipenuhinya syarat batal, sehingga untuk tuntutan pembatalan tidak diperlukan somasi.
Permasalahannya adalah, kapan dikatakan debitur tidak memenuhi kewajiban perikatannya? Kembali kepada apa yang disebutkan didepan, debitur wanprestasi, kalau ia setelah disomir tetap tidak memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik, tanpa adanya dasar yang membenarkan, kecuali sifat perikatannya mewajibkan debitur memenuhi kewajibannya pada waktu tertentu, yang telah dibiarkan lewat.
Prestasi dan Wanprestasi
Karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi.
Apakah kalau debitur sudah berprestasi, ia tidak mungkin wanprestasi? Perlu diingat, agar jangan dikacaukan antara somasi sebagai sarana untuk menetapkan debitur dalam keadan wanprestasi dan masalah, dalam keadaan apa saja debitur telah berada dalam keadaan wanprestasi.
Debitur wanprestasi kalau debitur:
- terlambat berprestasi
- tidak berprestasi
- salah berprestasi.
Di atas dipermasalahkan, apakah kalau debitur telah berprestasi, debitur tidak mungkin wanprestasi? Bagaimana kalau debitur berprestasi tetapi prestasinya salah?
Yang dimaksud dengan “berprestasi“ adalah berprestasi dengan baik dan kalau prestasi itu diperjanjikan, maka berprestasi dengan baik adalah sebagaimana diperjanjikan. Salah berprestasi adalah memberikan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dan karenanya dalam peristiwa seperti itu debitur tidak bisa dikatakan telah berprestasi. Dengan demikian salah berprestasi adalah sama dengan tidak berprestasi.
Kreditur yang menerima benda yang lain dari yang diperjanjikan dari debitur, wajib untuk menerimanya dengan protes, kalau ia keberatan dengan prestasi yang salah itu.
Apakah kreditur tidak boleh tinggal diam dulu dan akan menentukan sikapnya kemudian? Dalam peristiwa seperti itu, sikap tinggal diam kreditur –yang melebihi batas waktu yang layak-- bisa dianggap, bahwa kreditur telah menerima baik penyerahan itu dan selanjutnya telah melepaskan haknya untuk menuntut penyerahan benda yang sesuai dengan yang diperjanjikan.
Namun demikian kepada kreditur harus diberikan waktu yang pantas untuk memeriksa benda yang diserahkan, sebaliknya ia juga tidak boleh untuk seenaknya menunda memeriksa kiriman itu. Kiranya itikad baik menuntut, agar dalam pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak mengindahkan tuntutan kepantasan dan kepatutan yang berlaku dalam pergaulan hidup (Pasal 1338 ayat 3 BW). Jadi, tidak semua teguran/peringatan mempunyai daya kerja sebagai suatu somasi. Kalau demikian, maka ada teguran atau peringatan yang, sekalipun tidak dipenuhi, tidak mengakibatkan debitur berada dalam keadaan lalai atau wanprestasi.
Lalu dalam keadaan yang bagaimana teguran/peringatan dari kreditur tidak berakibat debitur dalam keadaan lalai, kalau teguran/peringatan itu tidak dipenuhi? Yang demikian terjadi kalau teguran/peringatan itu tidak memenuhi syarat untuk sahnya suatu somasi.
Somasi dan Iktikad Baik
Dalam peristiwa yang bagaimana somasi tidak sah, dalam arti, tidak membawa akibat hukum sebagaimana yang diharapkan dari suatu somasi? Misalnya somasi yang diberikan secara lisan atau somasi yang meminta kreditur menentukan gudang tempat penyerahan, padahal debitur belum menguasai benda yang harus diserahkan, merupakan somasi dengan itikad buruk. Tidak dipenuhi somasi seperti ini tidak mengakibatkan kreditur berada dalam keadaan wanpresatsi (HgH Batavia 10 Maret 1921, dalam T. 114 : 218). Ternyata iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus diperhatikan. Menuntut kreditur untuk membayar tunai, pada saat menerima penyerahan obyek perjanjian di Semarang, padahal secara kontraktual disepakati pembayaran akan dilakukan di Batavia (HgH Batavia 18 Juni 1925, dalam T. 122 : 342). Yang demikian bukan merupakan somasi yang sah.
Bagaimana kalau ada somasi, yang menuntut penyerahan obyek perjanjian sebanyak 5250 kg, padahal kreditur hanya masih berhak atas penyerahan sebesar 5050 kg? Apakah, karena jumlah atas mana kreditur masih berhak, tidak pas dengan yang disebutkan dalam somasi, somasi itu menjadi tidak sah? Menjadi tidak membawa akibat sebagaimana diharapkan dari suatu somasi?
Kiranya tidak pantas, kalau atas dasar sedikit kekeliruan saja, debitur boleh mengabaikan somasi tanpa membawa akibat, bahwa debitur berada dalam keadaan lalai. Kesalahan itu sedemikian kecilnya, sehingga kepatutan menentang pendapat, yang mengatakan somasi itu tidak sah (bersambung).
Purwokerto, 26 Agustus 2010
-----
*) Penulis adalah pemerhati hukum. Tinggal di Purwokerto.
----------------------------
Literatur:
P. De Prez, Gidsen Publiek en Privaatrecht, Deel I, Gids Burelijk Recht, Wolters – Noordhoff, Groningen, tanpa tahun.
C. Asser – P.A.J. Losecaat Vemeer, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, derde deel, Verbintenissenrecht, eerste stuk, Tjeenk Willink, Zwolle
C. Asser - L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintenis in het algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1973
----------------------------
HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63;
HgH Batavia 28 Agustus 1912, didalam dalam T. 106 : 367.
HgH Batavia 10 Maret 1921, dimuat dalam T. 114 : 218
HgH Batavia 18 Juni 1925, dimuat dalam T. 122 : 342
HR 29 Januarai 1915, NJ. 1915, 485, dimuat dalam P. De Prez, Gids Burgelijk Recht, Deel I, no. 87
HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414.
_____
Oleh: J. Satrio
[ Sumber : Hukumk Online - Title : Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III) Oleh: J. Satrio *) ]