Masalah:
Jika sudah ada bukti tes DNA atas anak biologis hasil hubungan gelap antara seorang laki-laki (beristri) dan perempuan, apakah hal tersebut cukup bisa membuktikan adanya perzinahan dan atau cukup bisa menjadi dasar untuk pengajuan tuntutan perzinahan?
SOLUSI :
Jika sudah ada bukti tes DNA atas anak biologis hasil hubungan gelap antara seorang laki-laki (beristri) dan perempuan, apakah hal tersebut cukup bisa membuktikan adanya perzinahan dan atau cukup bisa menjadi dasar untuk pengajuan tuntutan perzinahan?
SOLUSI :
Dalam menetapkan tersangka untuk kemudian dilakukan penuntutan pidana terhadapnya, hasil tes Deoxyribonucleic Acid (tes DNA) itu tidak dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup . Hal ini karena frasa ‘bukti permulaan’ dalam menetapkan tersangka pada Pasal 1 angka 14 KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya.
Hasil tes DNA sebagai alat bukti di persidangan juga harus didukung dengan alat bukti lain bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Hal ini karena Pasal 183 KUHAP telah mengatur bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, untuk menuntut pelaku perzinahan, hasil tes DNA saja tidak cukup, baik untuk membuktikan adanya perzinahan, maupun pengajuan tuntutan. Di samping itu, bagi hakim, hasil tes DNA saja belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa sehingga perlu disertai dengan alat bukti lain untuk menjerat pelaku tindak pidana perzinahan.
Hasil tes DNA sebagai alat bukti di persidangan juga harus didukung dengan alat bukti lain bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Hal ini karena Pasal 183 KUHAP telah mengatur bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, untuk menuntut pelaku perzinahan, hasil tes DNA saja tidak cukup, baik untuk membuktikan adanya perzinahan, maupun pengajuan tuntutan. Di samping itu, bagi hakim, hasil tes DNA saja belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa sehingga perlu disertai dengan alat bukti lain untuk menjerat pelaku tindak pidana perzinahan.
Penjelasan lebih lanjut:
Tindak Pidana Perzinahan
Hubungan gelap antara seorang laki-laki (beristri) dan perempuan yang menghasilkan anak dikategorikan sebagai perzinahan. Perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak.
Mengenai perzinahan ini, R. Soesilo (hal. 209) dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Penjelasan lebih lanjut mengenai perzinahan dapat Anda simak dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan
Hasil Tes DNA dalam Kasus Hukum
Soal hasil tes Deoxyribonucleic Acid (“DNA”) sebagai alat bukti, Ahli DNA Forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Djaja S Atmadja dalam artikel Ini Beberapa Kasus yang Dipecahkan dengan Tes DNA menjelaskan bahwa penggunaan tes DNA dalam kasus hukum di Indonesia bukan barang baru. Ia menjelaskan sudah ada beberapa kasus yang telah berhasil diselesaikan dengan bantuan tes DNA ini.
Salah satu kasus yang diceritakan Djaja adalah seorang gadis berusia 12 tahun ditemukan hamil delapan bulan. Pengakuan si gadis, dia diperkosa oleh tetangganya yang berusia 20 tahun. Karena si gadis masih anak-anak, maka sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, keterangannya tak bisa dipertimbangkan di pengadilan. Parahnya, tak ada saksi perbuatan itu dan tersangka tak mengakui perbuatannya. Berdasarkan pemeriksaan DNA dari tersangka, anak dan darah tali pusat maka janin itu adalah benar anak tersangka. DNA ini awalnya satu-satunya bukti. Hukum indonesia membutuhkan minimal dua alat bukti. Akhirnya, tersangka mengaku setelah tes DNA ini sehingga didapat dua alat bukti, hasil tes DNA dan keterangan tersangka.
Hasil Tes DNA Tidak Dapat Dijadikan Bukti Permulaan yang Cukup
Jika Anda memang bertanya soal hasil tes DNA untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka perzinahan untuk kemudian dilakukan penuntutan pidana terhadapnya, maka penetapan tersangka itu harus berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.[2]
Salah satu kasus yang diceritakan Djaja adalah seorang gadis berusia 12 tahun ditemukan hamil delapan bulan. Pengakuan si gadis, dia diperkosa oleh tetangganya yang berusia 20 tahun. Karena si gadis masih anak-anak, maka sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, keterangannya tak bisa dipertimbangkan di pengadilan. Parahnya, tak ada saksi perbuatan itu dan tersangka tak mengakui perbuatannya. Berdasarkan pemeriksaan DNA dari tersangka, anak dan darah tali pusat maka janin itu adalah benar anak tersangka. DNA ini awalnya satu-satunya bukti. Hukum indonesia membutuhkan minimal dua alat bukti. Akhirnya, tersangka mengaku setelah tes DNA ini sehingga didapat dua alat bukti, hasil tes DNA dan keterangan tersangka.
Hasil Tes DNA Tidak Dapat Dijadikan Bukti Permulaan yang Cukup
Jika Anda memang bertanya soal hasil tes DNA untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka perzinahan untuk kemudian dilakukan penuntutan pidana terhadapnya, maka penetapan tersangka itu harus berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.[2]
Bukti permulaan tidak secara spesifik diatur di dalam KUHAP. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 21/PUU-XII/2014 telah menetapkan bahwa bukti permulaan harus dimaknai minimal dua alat bukti. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan.
Jadi, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, hasil tes DNA itu harus disertai dengan alat bukti lainnya.
Adapun alat bukti yang sah itu ialah:[3]
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Hasil Tes DNA sebagai Alat Bukti di Pengadilan
Dari contoh kasus soal gadis yang diperkosa tetangganya di atas sekiranya memberikan gambaran jelas bahwa hasil tes DNA itu memang alat bukti yang sah. Namun bagi hakim, dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa pelaku perzinahan harus didukung dengan alat bukti lain. Hal ini karena Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, jika hakim ingin menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pelaku perzinahan, maka DNA sebagai alat bukti itu perlu didukung dengan alat bukti lainnya seperti keterangan terdakwa misalnya. Kesalahannya ini harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas bukti-bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana perzinahan benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Reference:
>>
Jadi, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, hasil tes DNA itu harus disertai dengan alat bukti lainnya.
Adapun alat bukti yang sah itu ialah:[3]
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Hasil Tes DNA sebagai Alat Bukti di Pengadilan
Dari contoh kasus soal gadis yang diperkosa tetangganya di atas sekiranya memberikan gambaran jelas bahwa hasil tes DNA itu memang alat bukti yang sah. Namun bagi hakim, dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa pelaku perzinahan harus didukung dengan alat bukti lain. Hal ini karena Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Jadi, jika hakim ingin menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pelaku perzinahan, maka DNA sebagai alat bukti itu perlu didukung dengan alat bukti lainnya seperti keterangan terdakwa misalnya. Kesalahannya ini harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan atas bukti-bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana perzinahan benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Reference:
>>
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
>>
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt559a1bc2a79cf/tes-dna-sebagai-bukti-kasus-perzinahan
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014.
_______________________________________________________
[1] Lihat Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
[2] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014
[3] Pasal 184 ayat (1) KUHAP
[4] Pasal 183 KUHAP
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014.
_______________________________________________________
[1] Lihat Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
[2] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014
[3] Pasal 184 ayat (1) KUHAP
[4] Pasal 183 KUHAP
Di Indonesia beberapa Kasus dan Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan.
Maka, banyak orang bertanya :
Apakah nikah siri tanpa izin istri yang sah, dapat dikenakan pasal perzinahan?
Maka, banyak orang bertanya :
Apakah nikah siri tanpa izin istri yang sah, dapat dikenakan pasal perzinahan?
Sebaiknya dan Seharusnya Anda Tahu:
Dalam hukum positif di Indonesia tidak mengenal adanya istilah nikah siri (perkawinan siri), terlebih lagi mengatur secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Istilah sirri sendiri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia.
Nikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan;
Nikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan;
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam). Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Jadi perkawinan adalah sah bila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan pasangan yang kawin. Pasal ini menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh Negara terhadap nikah siri.
Namun, lebih lanjut Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara.
Ketentuan tentang Perzinahan diatur di dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Terkait pertanyaan mengenai apakah nikah siri tanpa izin istri yang sah dapatkah dikenakan Pasal Perzinahan?
Sebelum berlakunya UUP, ketentuan Perkawinan yang dimaksud dalam KUHP adalah ketentuan Perkawinan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"). KUHPerdata menyebutkan :
Pasal 26: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
Pasal 27: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki sebagai suaminya.”(asas monogami)
Pasal 50: “Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.”
Dan tidak adanya izin kawin dari istri yang sah merupakan penghalang yang sah untuk kawin lagi (Pasal 280 KUHP).
Namun berdasarkan asas keberlakuan undang-undang yakni asas lex posterior derogat lege priori (undang-undang yang berlaku kemudian mengesampingkan undang-undang terdahulu sejauh mengatur objek yang sama), maka pemberlakuan Pasal 284 KUHP harus mengikuti ketentuan yang dimuat dalam UUP. Dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP sebagaimana disebut di atas.
Bahwa nikah siri tanpa adanya izin dari istri yang sah dapat ‘memberi ruang delik’ perzinahan sepanjang pelaku nikah siri tidak dapat membuktikan bahwa benar telah ada perkawinan yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP di atas, dan hanya bisa dituntut berdasarkan adanya pengaduan dari istri/suami yang tercemar (delik aduan).
Delik aduan menurut H.A. Abu Ayyub Saleh, adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.
Merupakan sebuah perdebatan (perbedaan pendapat) dalam segi perspektif hukum, apabila membenturkan nikah siri ke dalam ranah hukum agama dan hukum pidana positif di Indonesia.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73).
3. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Reference:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbda54730a68/persoalan-kawin-siri-dan-perzinahan
Di Indonesia mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Pasal 2 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Jadi perkawinan adalah sah bila telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan pasangan yang kawin. Pasal ini menempatkan hukum agama dan kepercayaan adalah hal yang paling utama dalam perkawinan, dan secara implisit tidak ada larangan oleh Negara terhadap nikah siri.
Namun, lebih lanjut Pasal 2 ayat (2) UUP menyebutkan adanya kewajiban untuk tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Tidak ada bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan Negara.
Ketentuan tentang Perzinahan diatur di dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Terkait pertanyaan mengenai apakah nikah siri tanpa izin istri yang sah dapatkah dikenakan Pasal Perzinahan?
Sebelum berlakunya UUP, ketentuan Perkawinan yang dimaksud dalam KUHP adalah ketentuan Perkawinan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"). KUHPerdata menyebutkan :
Pasal 26: “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
Pasal 27: “Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu laki sebagai suaminya.”(asas monogami)
Pasal 50: “Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.”
Dan tidak adanya izin kawin dari istri yang sah merupakan penghalang yang sah untuk kawin lagi (Pasal 280 KUHP).
Namun berdasarkan asas keberlakuan undang-undang yakni asas lex posterior derogat lege priori (undang-undang yang berlaku kemudian mengesampingkan undang-undang terdahulu sejauh mengatur objek yang sama), maka pemberlakuan Pasal 284 KUHP harus mengikuti ketentuan yang dimuat dalam UUP. Dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP sebagaimana disebut di atas.
Bahwa nikah siri tanpa adanya izin dari istri yang sah dapat ‘memberi ruang delik’ perzinahan sepanjang pelaku nikah siri tidak dapat membuktikan bahwa benar telah ada perkawinan yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP di atas, dan hanya bisa dituntut berdasarkan adanya pengaduan dari istri/suami yang tercemar (delik aduan).
Delik aduan menurut H.A. Abu Ayyub Saleh, adalah delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan/korban.
Merupakan sebuah perdebatan (perbedaan pendapat) dalam segi perspektif hukum, apabila membenturkan nikah siri ke dalam ranah hukum agama dan hukum pidana positif di Indonesia.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73).
3. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Reference:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fbda54730a68/persoalan-kawin-siri-dan-perzinahan