Home » » UU No.1/1974 Tentang Perkawinan

A.     Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[1] kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[2] Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[3]

Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[4] Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR.[5] Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).[6]

Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.[7] Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.

Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan.[8] Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[9]

Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[11]

Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.[12]

Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakaha>t), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (6).[13]

Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.[14] Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.[15]

Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:[16]

1.      Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.      Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
3.      Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR segera akan dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[17] Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.[18]

B.     Prinsip dan Asas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Segala peraturan perundang-undangan secara normatifitas pada biasanya disandarkan kepada kaidah atau asas hukum tertentu. Begitu juga dengan Undang-Undang Perkawinan, secara kesuluruhan memiliki asas hukum tersendiri yang tidak dimiliki oleh undang-undang pada umumnya. Asas hukum dalam suatu norma hukum mengandaikan adanya suatu tujuan yang akan diciptakan oleh pembuat hukum atau undang-undang tersebut.

Dalam hukum positif adakalanya bahwa asas-asas hukum suatu norma hukum disebutkan secara eksplisit, namun adakalanya tidak disebutkan. Menurut hemat penyusun ketentuan Pasal 30-34 tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, termasuk norma hukum yang secara eksplisit menyebutkan asas hukumnya.
Mengenai prinsip dan asas hukum, tidak semua ahli hukum menggunakan dua kata tersebut untuk satu maksud atau tujuan. Misalnya tidak menggunakan kata prinsip untuk maksud menjelaskan azas. Namun pada biasanya kebanyakan ahli hukum menggunakan dua kata tersebut secara bergantian untuk menjelaskan azas.[19] Dalam skripsi ini asas hukum yang sudah ada dimaksudkan untuk menentukan tujuan ketentuan-ketentuan yang titeliti (Pasal 30-34 Undang-Perkawinan).

Namun secara keseluruhan, di bawah ini dikemukakan asas hukum Undang-Undang Perkawinan menurut C.S.T. Cansil:[20]
1.      Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[21] Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.[22]
2.      Sahnya Perkawinan
Perkawinan dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan selanjutnya dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[23] Tata cara pencatatan perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting kehidupan seseorang lainnya. Seperti kelahiran, kematian dan lain-lain.
3.      Asas Monogami
Undang-undang perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang isteri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, akan tetapi hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.[24]
4.      Prinsip Perkawinan
Menurut C.S.T. Cansil undang-undang perkawinan menganut prinsip, bahwa calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu menurut Cansil perkawinan berhubungan dengan kependudukan. Menurutnya perkawinan di bawah umur bagi seorang wanita akan mengakibatkan laju kelahiran meningkat.[25]
5.      Mempersukar Terjadinya Perceraian
Berjalan linier dengan tujuan perkawinan, maka undang-undang perkawinan menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian dibenarkan oleh karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang serta dilakukan di depan sidang pengadilan.[26]
6.      Hak dan Kedudukan Isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian menurut Cansil segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.[27]
Berbeda dengan C.S.T. Cansil, Abdul Manan menjelaskan bahwa asas-asas perkawinan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan yaitu ada 6 (enam). Keenam asas tersebut adalah sebagai berikut:[28]

    Asas Sukarela[29]
    Asas Partisipasi Keluarga[30]
    Perceraian Dipersulit[31]
    Poligami Dibatasi dengan Ketat[32]
    Kematangan Calon Mempelai[33]
    Memperbaiki Derajat Kaum Wanita[34]

Sedangkan menurut Yahya Harahap, prinsip-prinsip perkawinan yang terkandung dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:[35]

    Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini.
    Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
    Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
    Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara bangsa Indonesia yaitu prekawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

    Undang-undang menganut azas monogamy akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
    Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.

Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat.


__________
[1]Tentang hal tersebut dijelaskan bahwa sebelum undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 lahir, Muslim Indonesia menggunakan hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum Adat. Hukum islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat tersebut mendapat pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR) yang berlaku untuk tiga golongan. Padal Pasal 163 dijelaskan tentang perbedaan tiga golongan penduduk yang ditunjuk dalam ketentuan Pasal 163 tersebut. yaitu; a. Golongan Eropa (termasuk Jepang); b. Golongan pribumi (orang Indonesia) dan; c. Golongan Timur Asing. Dalam hal ini dikecualikan orang yang beragama Kristen. Bagi golongan pribumi yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi oaring-orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab Kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan budaya hukum orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang. Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agam, cet. I  (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.4-5, bandingkan dengan C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 224-225

[2] Keburukan-keburukan yang dimaksudkan yaitu antara lain: perkawinan kanak-kanak (anak di bawh umur), kawin paksa, poligami, talak sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai ketentuan hak dan kewajiban suami isteri disebabkan oleh ketentuan yang mengatur bahwa; a. suami berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa isteri wajib patuh kepada suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada isteri; d. bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami. Bandingkan antara Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 9 dan Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hlm. 285
[3] Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 9
[4] Kepanitiaan itu diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan, setelah mengalami beberapa perubahan personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 dibentuklah panitia baru yang diketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto. Lihat Ibid.
[5] Pada waktu itu ada dua RUU yang masuk ke DPR yaitu; a. RUU tentang Pokok-pokok Perkawinan Umat Islam dan; b. RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Ibid., hlm. 10
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Tuntutan yang kedua dari Organisasi Islam Wanita Indonesia adalah menyarankan kepada segeap anggota DPR RI hasil Pemilu agar menempuh segala cara yang dimungkinkan oleh peraturan tata tertib DPR RI untuk melahirkan kedua RUU perkawinan yang diajukan pemerintah. Lihat Ibid., hlm. 24
[9] Ibid. Lihat juga dalam Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 4
[10] Bab-bab tersebut meliputi: Bab I tentang Dasar Perkawinan; Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan; Bab III tentang Pertunangan; Bab IV tentang Tatacara Perkawinan; Bab V tentang Batalnya Perkawinan; bab VI tentang Perjanjian Perkawinan; Bab VII tentang Hak dan Kewajiban suami isteri; Bab VIII tentang Harta benda dalam Perkawinan; Bab IX tentang Putusnya Perkawinan dan Akibatnya; Bab X tentang Kedudukan Anak; Bab XI tentang Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orangtua; Bab XII tentang Perwalian; Bab XIII tentang Ketentuan-ketentuan Lain; Bab XIV tentang Ketentuan Peralihan; dan Bab XV tentang Keterangan Penutup. Lihat Ibid., hlm. 2 dan 27
[11] Tentang tujuan memenuhi harapan kaum wanita misalnya dapat tergambar dari Pidato Kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1973, di mana disinggung tentang munculnya desakan kaum wanita dan organisasi-organisasinya agar negara memiliki undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dan tentang kemauan Indonesia untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman hal itu telah dipenuhi oleh undang-undang perkawinan yang diundangkan pada 2 januari 1971. Kemodernan undang-undang tersebut diakui oleh Hilman, yakni sistem kekeluargaan yang bersifat keorangtuaan (parental) dan menyisihkan sisitem kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia…, hlm. 111
[12] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 4-5.
[13] Dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Studi KritisPerkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Unang Nomor 1 tahun 1974 sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 24
[14] Adapun fraksi-fraksi yang terlibat yaitu Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Lihat Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 27
[15] Pemerintah meminta DPR untuk memusyawarahkan hal-hal yang belum kita temukan kesepakatan melalui musyawarah untuk mufakat. Apalagi hal-hal tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan keimanan dan ibadah, dimusyawarahkan untuk dapat dijadikan rumusan yang disepakati. Melihat keinginan dan kesediaan para anggota Dewan untuk memusyawarahkan rancanagan undang-undang tentang perkawinan ini dengan baik, kita samua yakin, Dewan bersama-sama Pemerintah akan mampu mengatasi segala perbedaan yang ada, dan akan menghasilkan Undang-undang Perkawinan Nasional yang dicita-citakan semua pihak.
[16] Bandingkan: Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 5, dengan Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm. 24-25
[17] Yaitu undang-undang Perkawinan yang berlaku sampai saat sekarang ini yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. lebih lanjut lihat C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 222
[18] Ibid. Meskipun Atho mencatat bahwa hasil akhir UU No. 1 Tahun 1974 adalah 66 pasal, dalam kenyataan UU No.1 Tahun 1974 terdiri dari 67 pasal.
[19] Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No1/1974 Sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 42-57
[20]  C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 225-227. Bandingkan dengan Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 35
[21] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1
[22] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 225
[23] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  Tentang Perkawinan, Pasal 1 dan 2, bandingkan dengan C.S.T. Cansil dalam Ibid.
[24] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,hlm. 226

[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 6
[29] Sehubungan dengan tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1, agar terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah atas persetujuan kedua calon mempelai. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria ataau wanita pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut (peny. menuntun) anak-anaknya agan memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk. Ibid., hlm. 6-7
[30] Maksud dari partisipasi keluarga dalam perkawinan yaitu pihak keluarga masing-masing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Partisipasi keluarga diharapkan dalam hal peminagan dan pernikahan. Tujuannya yaitu untuk terjalinnya hubungan silaturahmi antarkeluarga pihak mempelai pria dengan keluarga pihak mempelai wanita. Keterlibatan kedua belah pihak dalam perkawinan calon mempelai juga diharapkan dapat membimbing pasangan yang beru menikah itu supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Ibid., hlm. 7-8
[31] Untuk menekan angka perceraian yang tinggi yang terjadi, maka undang-undang ini diundangkan. Perceraian tidak hanya merugikan kedua pasangan, akan tetepi anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut akan ikut menjadi korbannya. Kemudian penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Ibid., hlm. 8
[32] Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974, pekawinan dibenarkan kalau dipenuhi alasan-alasan, a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ibid., hlm. 9-10
[33] Manan menjelaskan bahwa Undang-undang Perkawinan sangat berhubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur pernikahan baik bagi wanita maupun bagi pria diharapkan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan undang-undang ini. Ibid., hlm 11
[34] Sebelum adanya undang-undang ini banyak suami yang memperlakukan isterinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan isterinya begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tindakan suami yang demikian menyebabkan banyak wanita yang menderita yang tidak putus-putus. Ibid.,hlm11-12
[35] Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 10

Oleh : M. Syura'i, S.H.I



_____
Sumber : Pendidikan Hukum

Tags:

0 komentar to "UU No.1/1974 Tentang Perkawinan"

Posting Komentar