1. Pengertian Persangkaan dalam Hukum Acara Perdata
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBg.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBg adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]
Pasal 310 RBg:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.[2]
Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]
Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk dipahami.
2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutan ke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBg Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.
Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnya dimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua, hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]
Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBg hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]
Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:
Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukan apabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantum dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBg.
Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBg adalah sebagai berikut:
Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidak berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebut penting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]
Pasal 310 RBg:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain.[2]
Menurut Pitlo, persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]
Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidak terkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dan dari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untuk dipahami.
2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutan ke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBg Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.
Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnya dimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua, hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]
Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBg hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310 RBg, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]
Berikut adalah kutipan isi pada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:
Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:
- perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang;
- hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu;
- kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak;
- kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.
Pasal 1917
Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.
Pasal 1918
Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seseorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, didalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 1919
Jika seseorang telah dibebaskan dari suatukejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu dimuka Hakim perdata tidak dapat dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan gantirugi.
Pasal 1920
Putusan-putusan Hakim perihal kedudukanhukum orang-orang, yang mana putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.
Pasal 1921
Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut. Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu pembuktian, jika berdasarkanpersangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak mengurangi apa yang telah ditetapkan mengenai sumpah di muka Hakim dan pengakuan di muka Hakim.
Pasal 1922
Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan.
3. Penggunaan PersangkaanSerta Posisinya dalam Hukum Acara Perdata
Sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Perdata tidaklah bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, yakni harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formil dan materil, dan di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).[8]
Sistem pembuktian inilah yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP.[9] Kebenaran yang dicari dan diwujudkan, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini oleh hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan harus benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.[10] Berdasarkan faktor ini pula persangkaan dihapuskan di dalam Hukum Acara Pidana.
Tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Dengan kesimpulan, bahwa dengan demikian penggugat dan tergugat telah melepaskan hak perdatanya.[11]
Subekti mencontohkan salah satu kasus yang mempergunakan alat bukti persangkaan. Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur, berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati kepastian, yakni bahwa telah terjadi perzinahan.[12]
Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.[13] Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.
Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan alat bukti atau fakta lain,sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alat bukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain terlebih dahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBg dianggap kurang tepat.[14]
Ada yang mengatakan persangkaan bukanlah alat bukti yang sebenarnya di dalam hukum pembuktian, namun ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap merupakan sebuah alat bukti, dan pencantumannya di dalam KUH Perdata, HIR dan RBg adalah tepat.Tentunya pendapat yang terakhir ini didasarkan pada Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti persangkaan adalah alat bukti. Dengan penegasan bahwa persangkaan itu adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.[15]
Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X, sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat X, adalah merupakan persangkaan.[16]
Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary), pelaksanaan pembuktian berada dalam keadaan ketidak mungkinan atau imposibilitas. Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian.[17]
Sekiranya di dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut.[18]
Misalnya A menggugat B atas sebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli dan dibayar lunas, tetapi tidak mau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A mengajukan alat bukti akta jual beli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi. Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.[19] Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.[20]
Semoga Bermanfaat
[ Sumber : Komnas LKPI - Title : Alat Bukti Persangkaan ]
******************
[1] Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, PerbandinganHIR dan RBg, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm.115.
[2] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara Perdata di Peradilan,(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 319.
[3] Ibid,hlm.141.
[4] Subekti, Hukum Pembuktian,cet.17 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008) hlm. 45.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum AcaraPerdata (Jakarta. Sinar Grafika: 2007) hlm 684.
[6] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata cet. 31 (Jakarta, PTIntermasa: 2003) hlm.176.
[7] Ibid,hlm.683-684.
[8] Ibid,hlm. 498.
[9] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No.8 tahun 1981.
[10] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm 498.
[11] Ibid,hlm. 498.
[12] Subekti, Hukum Pembuktian....,hlm.45.
[13] Lihat: Subekti, Hukum Pembuktian...., hlm.37.
[14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm. 686.
[15] Lihat: Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005) hlm. 255.
[16] Sudikno Mertokusumo, HukumAcara Perdata Indonesia, cet ke-1, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.138-139.
[17] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara....., hlm. 143.
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
0 komentar to "Alat Bukti Persangkaan Dalam Proses Persidangan"