Home » » Legalitas Penyadapan dan UU yang Memberi Kewenangan Khusus

Penyadapan hampir di seluruh negara, termasuk di Indonesia, hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang penyadapan.

Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan telekomunikasi diatur Pasal 40, sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang” dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum mengaturnya sama sekali.

Pasal 31 UU ITE:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum  melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik  dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum  melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak  bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang  lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya  perubahan, penghilangan, dan/atau PENGHENTIAN Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Berdasarkan UU Telekomunikasi, penyadapan adalah perbuatan pidana. Secara eksplisit ketentuan Pasal 40 undang-undang a quo menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (Pasal 28F UUD 1945). Demikian pula Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, tiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Dari sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya (lex specialis derogat legi generali).

Dalam sejumlah undang-undang di Indonesia, penyidik diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada empat undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu:
  1. Undang-Undang Psikotropika.
  2. Undang-Undang Narkotika.
  3. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan
  4. Undang-Undang KPK. 
Bila dicermati, ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan ada perbedaan prinsip antara satu dengan undang-undang lainnya.

UU Psikotropika dan UU Narkotika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan harus dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30 hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.

Berbeda dengan kedua undang-undang itu, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.

Bandingkan dengan UU KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. 

Ke depan, prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal, yaitu :
Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.
Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.

[ Sumber : didiindra.wordpress.com ]

Tags:

0 komentar to "Legalitas Penyadapan dan UU yang Memberi Kewenangan Khusus"

Posting Komentar