Home » » UU Sisdiknas: Pidana tentang PT, Ijazah, dan Gelar Palsu

Ketentuan Pidana Tentang  :

  • Menggunakan gelar lulusan yang palsu?
  • Perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup dan masih beroperasi?
  • Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau professor?
  • Menggunakan ijazah palsu?
 
Secara khusus, ketentuan ini diatur dalam Bab XX dalam 5 pasal. 

Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.

Contohnya hanya tamatan Sekolah Mengah Atas (SMA) apalagi hanya tamatan Sekolah Dasar, tiba-tiba di belakang namanya tertera gelar akademik, Misalnya nama sebelumnya Hasanah, tahu-tahu ia ikut di suatu organisasi/kegiatan/pelamaran dsb, maka nama Hasanah tadi berubah menjadi Hasanah, SH. Padahal, kita ketahui bahwasanya yang bersangkutan hanya tamatan SMA apalagi kalau yang bersangkutan hanya tau tulis dan tau baca (belum tamat SD misalnya). Karena yang bersangkutan Berani dan Nekat sehingga di belakang namanya tertera gelar akademik.

Hal tersebut diatas adalah suatu tindakan melawan hukum dan dapat dipidana.

Berikut bunyi ketentuan dimaksud :




Bab XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 67

(1).  Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2).  Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutp berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3). Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau professor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 23 ayat (1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau professor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4). Penyenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 31 ayat (3)
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Pasal 68
(1).  Setiap orang yang membantu ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2).  Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3).   Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 21 ayat (4)
Penggunaan gelar akdemik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

(4).   Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 23 ayat (1)
Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23 ayat (2)
Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tingggi.

Pasal 69
(1).   Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2).  Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 61 ayat (2)
Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

Pasal 61 ayat (3)
Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 25 ayat (2)
Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 62 ayat (1)
Setiap satuan pendidikan formal maupun nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.




Kami kutip dari www.kompasiana.com Jumat (23/10/15)

Hati-hati Menggunakan Gelar Akademik

Oleh Yosafati Gulo

Di Indonesia, kegandrungan menggunakan gelar akademik seperti tak terbendung. Utamanya di kalangan pegawai negeri. Kita terkadang heran, seseorang yang masih bekerja dan belum pernah diberi tugas belajar tahu-tahu di depan atau di belakang namanya tertera gelar akademik. Entah setingkat lulusan Strata-1, Strata-2 maupun strata-3, dengan singkatan SH, S.Si, SP, S.IP atau MM, MH, MT, M.Si, bahkan Dr, dst.

Tentu saja kalau yang bersangkutan telah belajar di UT (Universitas Terbbuka) bisa dimaklumi. Tapi kalau di UT tidak, Perguruan Tinggi reguler juga tidak, lalu dari mana gelar itu? Apa tidak malu menggunakan gelar akademik tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi (PT) apa pun?

Sepertinya dengan adanya gelar di depan atau di belakang nama, si empunya merasa lebih pintar, lebih berkualifikasi, atau lebih kompeten daripada rekan kerjanya yang gelarnya lebih rendah atau tak punya. Maka setiap menulis nama pun, termasuk di surat undangan kondangan, pernikahan, atau di tembok, gelar akademik selalu dicantumkan. Tak jarang ada yang marah bila namanya ditulis tanpa disertai gelar. Sekalipun sesungguhnya tidak relevan.

Ketentuan Undang-undang

Sudah sejak lama ada Peraturan Pemerintah tentang pemakaian gelar akademik, termasuk lembaga yang berwenang memberikannya. Terbaru diatur dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa “Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.” Pada ayat (2) ditegaskan bahwa gelar akademik tersebut hanya dibenarkan bila diberikan oleh PT terakreditasi.

Jika ada yang nekat memakai gelar dari PT tak terakreditasi, maka dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan tentang ini telah ditegaskan pada Pasal 28 ayat (6) dan (7) UU No 12 tersebut. Dikatakan, “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.”

Hal serupa berlaku bagi pemakai ijazah atau sertifikat dan lembaga yang menerbitkan ijazah atau sertifikat. Seseorang yang nekat menggunakan ijazah atau sertifikat dari PT yang tak terakreditas atau tak berhak menerbitkannya, maka ijazah dan sertifikat itu tidak sah. Demikian juga yang memakai gelar dan ijazah dari hasil plagiasi dalam menulis skripsi atau tesis. Gelar dan ijazah tersebut tidak sah dan dilarang dipakai. Sebab hal itu terkait dengan kompetensi dan kapabilitas layanan kepada publik, utamanya kalau yang bersangkutan bekerja di sektor publik atau yang terkait dengan kepentingan masyarakat (lihat Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi).

Bukan itu saja. Perorangan yang memakai gelar yang tak legal itu serta lembaga yang menerbitkannya, dapat ditindak secara pidana. Pasal 93 UU No 12 tersebut menegaskan, bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara PT yang melanggar pasal-pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tidak menggambarkan Kapasitas
Mungkin ada yang bertanya, kalau tidak ditulis di depan atau belakang nama, untuk apa susah-susah sekolah sampai lulus PT? Pertanyaan ini tentu saja salah. Sebab orang sekolah, belajar, bukan untuk mendapatkan gelar maupun ijazah. Tujuan orang sekolah, belajar, adalah membentuk dan menyempurnakan diri. Ya sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, maupun kepribadian secara keseluruhan. Itulah sebabnya para ahli didik menyebut bahwa belajar itu merupakan proses yang berlangsung terus seumur hidup. Mengapa demikian? Karena dalam kurun waktu tertentu, tak seorang pun yang pernah mencapai kesempurnaan dalam bentuk sikap, mental, ketrampilan, dan kepribadian.

Bahwa gelar dan ijazah perlu, tentu tak terbantahkan. Tapi itu hanya sebatas pembuktian administasi tentang sebuah proses formal di lembaga PT. Tak lebih dari itu. Hal ini diperlukan untuk menyatakan bahwa seseorang telah belajar di PT A atau B. Karena itu ia diberi ijazah C atau D dan dianggap layak atau kapabel untuk tertentu. Maka kalau menulis nama terkait dengan pekerjaan atau jabatan tersebut, relevan ditambahkan gelar. Lainnya, tentu tidak. Seorang dokter, tak relevan menulis dr di depan namanya ketika nama-nama penyumbang sembako ditulis di Balai Desa. Lain halnya kalau ia menulis resep untuk pasien. Gelar dr. Perlu ia cantumkan sebagai bukti administrasi bahwa ia telah lulus dari pendidikan kedokteran dan ia dianggap memiliki kapasitas, otoritas, keilmuan memberikan resep.

Perlu diingat bahwa gelar dan ijazah tak pernah memberikan bukti material yang terukur tentang tingkat sikap, mental, pengetahuan, ketrampilan, dan kematangan kepribadian seseorang. Sekalipun Anda memiliki nilai 100 atau A untuk semua mata kuliah dengan predikat summa cum laude, dengan tulisan tinta emas di ijazah, tidak akan pernah bisa menyatakan bahwa Anda lebih sempurna daripada mereka yang hanya lulus sekolah yang lebih rendah dari PT. Dalam bidang apa pun terkait dengan kehidupan sosial dan pekerjaan sesuai dengan posisi masing-masing.

Banyak yang telah membuktikan hal itu. Bill Gate yang gagal kuliah di Harvard merupakan fakta nyata yang membuktikan bahwa ia lebih hebat dari sejumlah doktor terbaik yang pernah lulus dari Harvard. Di samping kita, Dahlan Iksan dan Jokowi adalah orang yang membuktikan diri memiliki hampir semua hal walaupun tidak memiliki gelar Magister atau doktor.

Maka celakalah negara kita kalau banyak pegawai negeri yang memburu ijazah dengan harga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan posisi atau pangkat tertentu. Bukankah ini menjadi bahan tertawaan manakala tidak dapat mengerjakan tugas pada jabatan sesuai dengan gelar dan ijazahnya? Bukankah tindakan ini merupakan penipuan yang sulit dimaafkan, oleh diri sendiri sekalipun?(***)



Semoga Bermanfaat.

Tags:

0 komentar to "UU Sisdiknas: Pidana tentang PT, Ijazah, dan Gelar Palsu"

Posting Komentar