Home » » UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Baru

Jangan Jadikan Pancasila Legitimasi Alat Kekuasaan

Tidak satu kata antara perkataan dan perbuatan pada pejabat Negara dan elit politik belakangan ini menandakan adanya penurunan dekadensi moral. Padahal seharusnya kita berpegang pada falsafah hidup yang berideologikan Pancasila. Tak jarang mereka banyak bicara soal Pancasila dan  UUD 1945 sebagai alat legitimasi untuk kepentingan kekuasaan. Selebihnya, membiarkan, tak peduli atau bahkan diam-diam melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Momen peringatan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni pecan lalu seharusnya menjadi pengingat untuk tampil memberikan contoh konkret kepada rakyat tentang pelaksanaan Pancasila. Dalam konteks ini, kerja politik ataupun pengabdian kenegaraan harus bersih dari motif kepentingan pribadi dan murni sebagai pengamalan Pancasila dalam rangka memperjuangkan keadilan dan mengembangkan kesejahteraan rakyat.
Demikian rangkuman sejumlah pendapat yang dihimpun Global Post diantaranya dari Drs. H. Mudjadid Dulwathan, SH. MH. MBL selaku Ketua Umum LP HAM Independen di Indonesia, Drs. Anwar Efsa Ketua Umum Ampera, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, dan pengamat politik Yudi Latif, secara terpisah.
Acara peringatan Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni, yang berlangsung di gedung MPR, Jakarta, Rabu lalu (1/6) pekan lalu, sejumlah tokoh dan pemimpin menekankan pentingnya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Hadir pada acara tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Presiden BJ Habibie, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, juga tiga mantan wapres--Try Sutrisno, Hamzah Haz, serta Jusuf Kalla.
Hadir pula istri mantan Presiden alm KH Abdurrahman Wahid, Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid, Ketua MPR Taufiq Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie, dan Ketua DPD Irman Gusman, serta pimpinan lembaga negara dan pejabat negara lain.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya, menegaskan, tidak ada tempat bagi gerakan ataupun niat untuk mendirikan negara berbasis agama di Indonesia. Presiden menyatakan, Indonesia tidak mengenal dasar negara lain, kecuali Pancasila, katanya.
Dikatakan Presiden, niat atau gerakan mendirikan negara berbasis agama di Indonesia sangat bertentangan dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dirumuskan oleh para pendiri negara.
Sementara Ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri minta kepada lembaga negara yang bertanggung jawab kepada sistem pendidikan nasional agar dapat memastikan kembali bahwa mata pelajaran ideologi Pancasila beserta kendalinya dapat diajarkan dengan baik, sesuai benang merah sejarah bangsa di setiap jenjang pendidikan.
Mudjadid Dulwathan meminta kepada Menteri Pendidikan nasional untuk memasukan kembali dalam kurikulum pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi tentang pentingnya pelajaran ideology pancasila, atau yang dikenal dengan kewiraan. “Tugas Mendiknas untuk memasukan kurikulum pancasila dalam pelajaran sekolah dari tingkat Sekolah Dsar hingga Perguruan Tinggi,” katanya.
Sedangkan Anwar Efsa Doeroek selaku Ketua Umum Ampera mengatakan bahwa saat ini sudah terjadi penurunan degradasi moral terhadap generasi penerus, karena itu ke depan Mendiknas harus memasukan kembali pelacaran Moral Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan. “Yang terjadi saat ini justru degradasi moral dari nilai-nilai Pancasila terhadap generasi muda kita. Sangat perlu pemahaman wawasan kebangsaan dan ke-Indonesiaan kepada para generasi muda untuk menumbuh-kembangkan semangat patriotisme bangsa ke depan,” kata Anwar.
Dalam pandangan Hasyim Muzadi, banyak kebijakan para pengelola negara justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. "Misalnya, apakah penjualan aset-aset negara ke perorangan sesuai dengan sila kelima? Apakah otonomi/otonomi khusus sesuai dengan NKRI? Apakah karut-marut hukum sekarang ini Pancasilais? Benarkah saat ini ada demokrasi kerakyatan, ataukah elitis, bahkan transaksional?," katanya.
Menurut Muzadi, semenjak lahir pada 1945, Pancasila sebenarnya belum membumi. Seharusnya reformasi membuat bangsa Indonesia mengkaji ulang apakah sistem pemerintahan maupun kenegaraan telah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
"Namun, sejak memasuki era reformasi, Pancasila justru makin terpinggirkan," ujar Hasyim. Menurut dia, dibutuhkan kepemimpinan dan keteladanan untuk menegakkan Pancasila dalam tata kehidupan sosial maupun pemerintahan dan kenegaraan.
"Persoalannya, faktor leadership dan keteladanan justru juga tidak menunjang penegakan nilai-nilai Pancasila," katanya.
Bagi Ichsanuddin Noorsy, Pancasila kini telah menjadi kenangan tanpa makna karena negara sudah tak lagi menghiraukan apalagi mengimplementasikannya.
"Penjajahan di Indonesia sudah berjalan secara sistemik, sehingga Pancasila tinggal sebagai kenangan tidak bermakna," katanya.
Noorsy menekankan, bangsa Indonesia kehilangan keyakinan akan Pancasila karena sistem ekonomi, politik, dan hukum kini menjunjung tinggi nilai-nilai liberal. Ini menjadikan Indonesia kembali terjajah, terutama secara ekonomi.
Menurut Noorsy, penghempasan nilai-nilai Pancasila justru didukung kalangan pengambil kebijakan. "Saya mengatakan, DPR bersama pemerintah justru yang melahirkan undang-undang yang membuat ekonomi kita secara struktural terjajah asing demikian mendalam. Kondisi ini membuktikan bahwa kita bukan saja telah menyia-nyiakan, melainkan juga telah menjungkirbalikkan Pancasila," katanya. (Otto/SK/Red)

Tags:

0 komentar to "UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Baru"

Posting Komentar