“Menunggu bus nak?” Tanya seorang Bapak-Bapak kembali menyadarkanku dalam lamunan. Aku hanya mengangguk.
Ku tatap wajah lelaki yang tadi membuat lamunanku berlari menjauh. Tampak kerutan-kerutan di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menenteng sebuah karung putih. Entah apa isinya. Berhasil membuatku penasaran, tapi aku malu menanyakannya. Diusapnya beberapa kali peluh yang menetes di wajahnya dengan sapu tangan lusuh bertuliskan Indonesia. Mungkin karena rasa cintanya terhadap Negara ini yang terlalu dalam.
“Bapak mau ke mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Ke pasar wlingi nak, oh ya panggil saja saya pak Rahmat.”
“iya pak, saya Tina pak. Sepertinya kita searah pak.”
“Nak Tina mau ke wlingi juga?”
“Iya pak ke rumah saudara. Bapak ada perlu apa ke pasar wlingi?”
“Ini nak mengantarkan pesanan singkong.” Diperlihatkannya umbi singkong yang masih berbau tanah itu padaku.
“Wah jauh sekali pak dari kepanjen ke wlingi. Kenapa tidak dijual di pasar kepanjen saja pak?”
“Iya biasanya dijual di sana nak, tapi karena kemaren pembelinya membawa barang bawaan banyak, Bapak diminta mengantarkannya ke sana.” Belum sempat bertanya lagi. Bus putih bertuliskan Bagong itu berhenti di depan kami. Ku tuntun pak Rahmat.
Ku raih karung putih yang dibawanya. Bekas merah bertengger di jemariku.
“Jangan nak berat” kata pak Rahmat tertelan bising mesin bus. Aku hanya tersenyum mendengar samar tuturnya.
“Ternyata berat juga” batinku.
Aku ingin bertanya banyak hal padanya. Bertanya tentang kisahnya dan bertanya tentang keluarganya. Beruntung masih ada dua kursi kosong untuk aku dan pak Rahmat. Kami duduk bersebelahan. Ku tahan beribu tanya yang berkecamuk. Ku biarkan pak Rahmat menyandarkan tubuhnya sejenak di kursi bus. Koaran-koaran kernet bus memekikkan gendang telingaku. Bau kecut keringat perjuangannya singgah ke bulu-bulu hidungku. Lantunan-lantunan syair pengamen jalanan berhasil menggambarkan senyum di wajahku. Ku tatap pak Rahmat yang mulai terbangun dari rangkaian mimpinya.
“Sudah bangun pak?” pak Rahmat tersenyum dan mengucek-ngucek matanya.
“ini di mana nak?”
“Bendungan lahor Karang Kates pak, masih jauh kok pak. Bapak kenapa ke wlingi sendirian pak?”
“Lah mau minta diantar siapa nak. Semua keluarga Bapak sudah tidak ada.” Aku tak berani bertanya lagi. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku.
“Kabeh dadi korbane Londo nduk,” lanjut pak Rahmat dengan nada suara yang bergetar.
Pandangannya menerawang jauh. Bibirnya yang mulai kelu itu mulai berkisah masa purba. Masa ia masih bergabung dengan gerakan pemuda yang melawan penindasan belanda. Terlihat di sudut matanya butiran yang jatuh tanpa tertahan.
“Dentuman bom dan peluru itu menyatu. Seakan telah menjadi sahabat dalam hariku. Menjadi hal yang tak asing lagi. Benda panas yang merenggut beribu nyawa sahabat-sahabatku. Meski aliran darah segar terasa mengalir di keningku. Aku enggan menghentikan langkah. Aku berlari menuju gubuk kecil tempat anak dan istriku bersembunyi. Rasa perih tak lagi aku gubris. Hanya ada bayangan senyuman anak-anak dan istriku. Teringat masa kita habiskan waktu bersama dalam panas terik mentari dan dinginnya guyuran hujan. Saat harus berlari dari ganasnya serdadu belanda.
Ku percepat langkah saat ku lihat pintu gubuk berantakan. Terdengar jeritan wanita yang menyayat. Seorang wanita yang sangat ku sayangi tergeletak dengan baju setengah terbuka. Terlihat goresan-goresan luka di tubuh anak-anakku yang terbujur dengan berselimut cairan merah. Hilang kesabaranku. Hatiku menjerit melihat orang-orang yang ku sayangi tergeletak untuk selamanya. Tanpa berpikir panjang ku tembakkan senapan tepat di kepala laki-laki berwajah belanda itu.
“Binataaang!! Bajing*n!!” teriakku berkali-kali. Tanganku bergetar. Ku peluk tubuh anak-anak dan istriku. Ku sematkan janji dalam hatiku. Aku tak akan berhenti berjuang. Meneriakkan kemerdekaan dari mereka manusia behati setan. Penjajahan dan kekejaman dengan janji tanpa pembuktiaan. Ku raih sapu tangan yang menyatu dengan darah istriku. Sapu tangan yang dijahitnya semalam. Sapu tangan tanda cinta akan tanah air. Dalam tiap jahitannya tersimpan harapan kemerdekaan, kebebasan dan kedamaian.” Ia tak melanjutkan lagi ceritanya. Hanya terdiam dalam terawang kenangan perjuangan. Matanya menatap jendela bus yang mulai buram.
“Lihat nak, mereka anak-anak jalanan itu” tangannya menunjuk ke jalanan trotoar. Anak-anak kecil berpakaian compang-camping membawa gitar kecil. Berkoor lagu punk rock jalanan. Menghampiri toko-toko kecil di pinggir jalan.
“Lihat di sana nak, di bawah jembatan itu” aku mengalihkan pandanganku mengikuti petunjuk jari pak Rahmat. Di bawah jembatan beton ini. Ku lihat seorang wanita mencuci beberapa potong baju di genangan air keruh. Di belakangnya terlihat rumah kardus reot dengan warna yang mulai luntur.
“Dan itu nak,” tunjuknya lagi. Di sebuah caffe di pojok jalan. Darah muda berseragam putih abu-abu asyik bercengkraman. Sesekali terdengar deruman mesin motor ninja yang digas kuat-kuat. Dan sebagian lainnya mengangkat kakinya di atas kursi dengan ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok yang mengepul membentuk lingkaran di udara.
“Kau mengerti tak nak? Seharusnya anak-anak jalanan tadi mendapatkan pendidikan yang layak dan wanita di bawah jembatan tadi harusnya mendapat tempat yang layak. Tapi siapa yang akan menjamin kelayakan itu. Pemimpin negeri sibuk berjanji. Sibuk berkompetisi. Generasi muda sibuk mempersenang diri. Bagi mereka yang berkesempatan mengenyam dunia pendidikan, sibuk dengan gaya pribadi. Sibuk mencari teknologi. Sibuk mencari pasangan hati. Sedikit dari mereka yang sibuk memahami kondisi negeri. Korupsi yang saat ini telah menjadi raja di bumi pertiwi. Yang diperankan oleh kaum-kaum berpendidikan tanpa iman. Tanpa memikirkan nasib rakyat yang lama menahan demo cacing-cacing perutnya. Tapi mereka yang memegang jabatan dan kekuasaan sibuk menggemukkan diri dengan uang rakyat yang terdholimi” lanjutnya. Diusapnya air mata dengan sapu tangan kenangan masa purbanya. Aku terdiam memikirkan apa yang diucapkan pak Rahmat.
“Bapak kan pernah berjuang untuk negeri ini. Kenapa Bapak tidak meminta tunjangan dari Negara?”
“Kenapa harus mengharapkan tunjangan nak.. Bapak berjuang bukan karena uang. Tapi keinginan untuk merdeka. Agar generasi muda tak lagi merasakan pedihnya hidup di bawah ketiak belanda. Bekerja dengan keterpaksaan. Penindasan tanpa kepedulian. Bukankah hidup ini perjuangan. Saat perjuanganku meneriakkan kemerdekaan menjadi sebuah kenyataan aku tak akan mengharapkan upah.
Meski banyak ribuan nyawa yang melayang. Itu semua adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan. Kini saatnya Bapak berjuang melawan rasa lapar, berjuang melawan himpitan ekonomi, berjuang untuk tetap bertahan. Kabeh iku kudu dilakoni tansah roso ikhlas nduk. Biarkan mata yang tinggal sebelah ini yang akan menjadi saksi kisah perjuanganku di masa purba itu” Ada aliran rasa kagum yang menelusup.
Tak dapat ku pungkiri aku berkali-kali memujinya dalam hati. Keikhlasannya, kesabaran, dan kepeduliannya. Meski hanya dengan sebelah mata. Ia tetap berjuang.
Ku tatap wajah lelaki yang tadi membuat lamunanku berlari menjauh. Tampak kerutan-kerutan di wajahnya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menenteng sebuah karung putih. Entah apa isinya. Berhasil membuatku penasaran, tapi aku malu menanyakannya. Diusapnya beberapa kali peluh yang menetes di wajahnya dengan sapu tangan lusuh bertuliskan Indonesia. Mungkin karena rasa cintanya terhadap Negara ini yang terlalu dalam.
“Bapak mau ke mana?” tanyaku membuka percakapan.
“Ke pasar wlingi nak, oh ya panggil saja saya pak Rahmat.”
“iya pak, saya Tina pak. Sepertinya kita searah pak.”
“Nak Tina mau ke wlingi juga?”
“Iya pak ke rumah saudara. Bapak ada perlu apa ke pasar wlingi?”
“Ini nak mengantarkan pesanan singkong.” Diperlihatkannya umbi singkong yang masih berbau tanah itu padaku.
“Wah jauh sekali pak dari kepanjen ke wlingi. Kenapa tidak dijual di pasar kepanjen saja pak?”
“Iya biasanya dijual di sana nak, tapi karena kemaren pembelinya membawa barang bawaan banyak, Bapak diminta mengantarkannya ke sana.” Belum sempat bertanya lagi. Bus putih bertuliskan Bagong itu berhenti di depan kami. Ku tuntun pak Rahmat.
Ku raih karung putih yang dibawanya. Bekas merah bertengger di jemariku.
“Jangan nak berat” kata pak Rahmat tertelan bising mesin bus. Aku hanya tersenyum mendengar samar tuturnya.
“Ternyata berat juga” batinku.
Aku ingin bertanya banyak hal padanya. Bertanya tentang kisahnya dan bertanya tentang keluarganya. Beruntung masih ada dua kursi kosong untuk aku dan pak Rahmat. Kami duduk bersebelahan. Ku tahan beribu tanya yang berkecamuk. Ku biarkan pak Rahmat menyandarkan tubuhnya sejenak di kursi bus. Koaran-koaran kernet bus memekikkan gendang telingaku. Bau kecut keringat perjuangannya singgah ke bulu-bulu hidungku. Lantunan-lantunan syair pengamen jalanan berhasil menggambarkan senyum di wajahku. Ku tatap pak Rahmat yang mulai terbangun dari rangkaian mimpinya.
“Sudah bangun pak?” pak Rahmat tersenyum dan mengucek-ngucek matanya.
“ini di mana nak?”
“Bendungan lahor Karang Kates pak, masih jauh kok pak. Bapak kenapa ke wlingi sendirian pak?”
“Lah mau minta diantar siapa nak. Semua keluarga Bapak sudah tidak ada.” Aku tak berani bertanya lagi. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku.
“Kabeh dadi korbane Londo nduk,” lanjut pak Rahmat dengan nada suara yang bergetar.
Pandangannya menerawang jauh. Bibirnya yang mulai kelu itu mulai berkisah masa purba. Masa ia masih bergabung dengan gerakan pemuda yang melawan penindasan belanda. Terlihat di sudut matanya butiran yang jatuh tanpa tertahan.
“Dentuman bom dan peluru itu menyatu. Seakan telah menjadi sahabat dalam hariku. Menjadi hal yang tak asing lagi. Benda panas yang merenggut beribu nyawa sahabat-sahabatku. Meski aliran darah segar terasa mengalir di keningku. Aku enggan menghentikan langkah. Aku berlari menuju gubuk kecil tempat anak dan istriku bersembunyi. Rasa perih tak lagi aku gubris. Hanya ada bayangan senyuman anak-anak dan istriku. Teringat masa kita habiskan waktu bersama dalam panas terik mentari dan dinginnya guyuran hujan. Saat harus berlari dari ganasnya serdadu belanda.
Ku percepat langkah saat ku lihat pintu gubuk berantakan. Terdengar jeritan wanita yang menyayat. Seorang wanita yang sangat ku sayangi tergeletak dengan baju setengah terbuka. Terlihat goresan-goresan luka di tubuh anak-anakku yang terbujur dengan berselimut cairan merah. Hilang kesabaranku. Hatiku menjerit melihat orang-orang yang ku sayangi tergeletak untuk selamanya. Tanpa berpikir panjang ku tembakkan senapan tepat di kepala laki-laki berwajah belanda itu.
“Binataaang!! Bajing*n!!” teriakku berkali-kali. Tanganku bergetar. Ku peluk tubuh anak-anak dan istriku. Ku sematkan janji dalam hatiku. Aku tak akan berhenti berjuang. Meneriakkan kemerdekaan dari mereka manusia behati setan. Penjajahan dan kekejaman dengan janji tanpa pembuktiaan. Ku raih sapu tangan yang menyatu dengan darah istriku. Sapu tangan yang dijahitnya semalam. Sapu tangan tanda cinta akan tanah air. Dalam tiap jahitannya tersimpan harapan kemerdekaan, kebebasan dan kedamaian.” Ia tak melanjutkan lagi ceritanya. Hanya terdiam dalam terawang kenangan perjuangan. Matanya menatap jendela bus yang mulai buram.
“Lihat nak, mereka anak-anak jalanan itu” tangannya menunjuk ke jalanan trotoar. Anak-anak kecil berpakaian compang-camping membawa gitar kecil. Berkoor lagu punk rock jalanan. Menghampiri toko-toko kecil di pinggir jalan.
“Lihat di sana nak, di bawah jembatan itu” aku mengalihkan pandanganku mengikuti petunjuk jari pak Rahmat. Di bawah jembatan beton ini. Ku lihat seorang wanita mencuci beberapa potong baju di genangan air keruh. Di belakangnya terlihat rumah kardus reot dengan warna yang mulai luntur.
“Dan itu nak,” tunjuknya lagi. Di sebuah caffe di pojok jalan. Darah muda berseragam putih abu-abu asyik bercengkraman. Sesekali terdengar deruman mesin motor ninja yang digas kuat-kuat. Dan sebagian lainnya mengangkat kakinya di atas kursi dengan ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok yang mengepul membentuk lingkaran di udara.
“Kau mengerti tak nak? Seharusnya anak-anak jalanan tadi mendapatkan pendidikan yang layak dan wanita di bawah jembatan tadi harusnya mendapat tempat yang layak. Tapi siapa yang akan menjamin kelayakan itu. Pemimpin negeri sibuk berjanji. Sibuk berkompetisi. Generasi muda sibuk mempersenang diri. Bagi mereka yang berkesempatan mengenyam dunia pendidikan, sibuk dengan gaya pribadi. Sibuk mencari teknologi. Sibuk mencari pasangan hati. Sedikit dari mereka yang sibuk memahami kondisi negeri. Korupsi yang saat ini telah menjadi raja di bumi pertiwi. Yang diperankan oleh kaum-kaum berpendidikan tanpa iman. Tanpa memikirkan nasib rakyat yang lama menahan demo cacing-cacing perutnya. Tapi mereka yang memegang jabatan dan kekuasaan sibuk menggemukkan diri dengan uang rakyat yang terdholimi” lanjutnya. Diusapnya air mata dengan sapu tangan kenangan masa purbanya. Aku terdiam memikirkan apa yang diucapkan pak Rahmat.
“Bapak kan pernah berjuang untuk negeri ini. Kenapa Bapak tidak meminta tunjangan dari Negara?”
“Kenapa harus mengharapkan tunjangan nak.. Bapak berjuang bukan karena uang. Tapi keinginan untuk merdeka. Agar generasi muda tak lagi merasakan pedihnya hidup di bawah ketiak belanda. Bekerja dengan keterpaksaan. Penindasan tanpa kepedulian. Bukankah hidup ini perjuangan. Saat perjuanganku meneriakkan kemerdekaan menjadi sebuah kenyataan aku tak akan mengharapkan upah.
Meski banyak ribuan nyawa yang melayang. Itu semua adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan. Kini saatnya Bapak berjuang melawan rasa lapar, berjuang melawan himpitan ekonomi, berjuang untuk tetap bertahan. Kabeh iku kudu dilakoni tansah roso ikhlas nduk. Biarkan mata yang tinggal sebelah ini yang akan menjadi saksi kisah perjuanganku di masa purba itu” Ada aliran rasa kagum yang menelusup.
Tak dapat ku pungkiri aku berkali-kali memujinya dalam hati. Keikhlasannya, kesabaran, dan kepeduliannya. Meski hanya dengan sebelah mata. Ia tetap berjuang.
Sekian
Cerpen Karangan: Faddilatusolikah
kategori: Cerpen Kehidupan Cerpen Nasihat Cerpen Perjuangan
Blog: http://fadilatussholikhah.blogspot.com/
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
kategori: Cerpen Kehidupan Cerpen Nasihat Cerpen Perjuangan
Blog: http://fadilatussholikhah.blogspot.com/
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
0 komentar to "Sebelah Mata"