Semburat senja membentang di langit. Sepasang mata menatapnya penuh kerinduan. Rindu ingin menatapnya lebih lama. Jemari lembutnya masih menempel pada senar gitar. Rangkaian melodi telah ia mainkan penuh haru. Terlihat sisa tetesan air mata bersembunyi dari sudut matanya.
Duduk menatap sisa senja ditemani serangkaian melodi kenangan di padang ilalang. Lekuk pipinya kembali dilewati butiran air mata. Senyumnya masih tersemat manis. Ada sebaris kerinduan yang mendalam dari binar matanya. Hingga tatapan yang terpaku kokoh, seketika berkedip. Lelah menahan tangisnya yang menumpuk di pelupuk mata. Hatinya begitu sakit. Rindu yang menggema tak terapalkan, hanya tertahan di hatinya. Pertemuan tak ia dapat dalam nyata. Mungkin nanti, ketika Tuhan mengutus waktu untuk menyemaikan kerinduannya dalam pertemuan.
–
10 Oktober 2011
“Aku mencintaimu, Dani.” ucap Kanaya yang sempat ragu.
Sepasang mata menatapnya tak percaya. Nyaris kedua halisnya menyatu, mendengar pernyataan Kanaya. Sosok yang menatapnya lekat itu tak lain adalah Dani Wihandra, lelaki yang Kanaya cintai selama tiga tahun terakhir ini. Senyum khas perlahan tersemat di bibir Dani. Tatapan itu perlahan mengendur, hingga akhirnya menjauh dari hadapan Kanaya. Tak ada sebaris kalimat bahkan sepatah kata yang terapal dari mulut Dani. Hanya punggung Dani yang Kanaya lihat. Hingga perlahan menghilang dari pandangannya.
Kanaya berdiri mematung. Ia terdiam dalam kebisuannya. Hanya mata dan hatinya yang tak henti bekerja keras. Merasakan sakit hati dan rasa malu. Serta butir-butir kekecewaan jatuh secara bergantian. Hanya riuh teman-teman sekolahnya yang jelas terdengar di telinganya yang lambat laun terasa membeku, hingga seruan sahabatnya tak mampu terespon olehnya.
“Naya? Kau baik-baik saja?” seru Ranti menepuk bahu Kanaya dengan lembut.
“Eh, ya?” kejut Kanaya selang beberapa saat.
“Hei? Ada apa? Ayo gabung dengan yang lain. Ini kan acara perpisahan kita di SMA ini, kau tak mungkin menyia-nyiakan momen ini kan? Ayo?” ajak Ranti yang mulai mengamati sorot mata sahabatnya itu.
“Ah, sepertinya aku kurang enak badan. Aku harus cepat pulang, Ran,” balas Kanaya beralasan.
Tangan Ranti memegang erat pundak Kanaya. Ia mencermati mata yang mulai memerah itu. Sorot mata yang tak sanggup lagi menahan air mata. Satu pertanyaan pun mengalir dari mulut Ranti lewat lidahnya.
“Naya, jujur padaku. Kau tidak benar-benar menyatakan cinta pada Dani, kan?”
Kanaya melerai sentuhan di bahunya itu. Ia mengayunkan kakinya, melangkah menuju tempat yang jauh dari keramaian. Ia duduk di kursi yang tak jauh darinya. Kerlap-kerlip bintang menghiasi malam, bersama rembulan yang tak kalah menyala lewat biasnya. Jemari lentiknya mulai menyapu tetes air mata yang tak henti melaju dari sudut matanya.
“Kau tahu? Aku sangat terlihat bodoh saat berada di hadapannya,” tutur Kanaya pada Ranti yang duduk di sampingnya.
“Naya …” balas Ranti dengan tatapan sedih.
“Aku tak mengapa tak mendapat balasan darinya, tapi setidaknya aku mengerti arti dari senyumnya. Ia tak marah padaku. Mungkin aku akan kembali duduk dalam penantian dan berteman dengan waktu. Entah sampai kapan …” balasnya terdengar lemah.
“Naya, kau tunggu di sini. Aku akan mencari Dani dan menanyakan padanya tentang—” perkataan Ranti menggantung saat Kanaya menggenggam erat tangannya seraya menggelengkan kepala. “Kenapa?” lanjut Ranti heran.
Kanaya memeluk Ranti sebagai sandaran tangisnya. Pundak kiri Ranti mulai terasa basah. Air mata Kanaya membasahi kebaya Ranti di sekitar pundaknya. Ranti membalas pelukan itu. Mengusap punggung Kanaya, memberi kenyamanan atas kesedihan yang menimpa hati sahabatnya itu. Kanaya kembali pada posisinya semula. Ia kembali menghapus sisa air matanya. Sementara Ranti menatapnya penuh haru.
“Carilah pengganti Dani, aku tak mau melihat sahabatku terlalu lama dipermainkan waktu dalam penantian yang tak berujung ini. Kau pantas bahagia, kau pantas mendapatkan yang lebih dari Dani.”
“Tidak, Ran. Ketulusan cintaku tak akan kalah hanya karena permainan sang waktu yang kadang membuatku jatuh dalam rasa lelah. Dan bosan karena tak ada jawaban. Tiga tahun saja telah ku lewati, bila harus menanti tiga, empat bahkan lima tahun lagi, aku pasti mampu bertahan,”
“Tapi aku takut penantianmu ini sia-sia, Naya. Ayolah, sadar!”
“Dari mana aku tahu penantian ini sia-sia atau tidak, bila aku tak merasakan penantian ini secara utuh? Aku yakin dengan takdir dari Tuhan. Aku menantinya sampai saat ini, itu pasti sudah tertulis dalam suratan takdir. Tuhan tak akan membiarkan aku menjaga cinta ini, bila tak ada sebabnya. Aku tak akan membuka hati untuk yang lain, sampai Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Biarkan Dani yang sementara mengisi hati ini,”
Ranti memberi tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin Kanaya mampu kembali menunggu Dani. Sebait pertanyaan menancap dalam benak Ranti atas jawaban sahabatnya itu.
“Apa yang membuatmu bertahan dalam penantian, Naya? Apa lebihnya Dani?” Tanya Ranti sedikit meninggikan suaranya.
Kanaya tersenyum menatap sahabatnya itu, hingga lesung pipi kirinya terlihat jelas. Hingga Ranti kembali berkata dengan argumennya.
“Coba kau lihat Rifky. Dia tampan, baik, dia juga mencintaimu, Naya. Kenapa kau memilih Dani? Aku tak habis pikir kau memilihnya,”
“Harta dan ketampanan hanyalah sebuah ilusi dan bersifat semu. Keduanya tak akan kekal. Tapi, agama. Dani membuatku bertahan karena agama. Dia sosok lelaki yang saleh. Setiap perkataannya dilandasi tentang agama. Itu yang membuat hatiku selalu bergetar. Dia berbeda dari lelaki kebanyakan,”
Ranti terdiam seakan takjub akan jawaban Kanaya. Jawaban yang mampu membuatnya bisu dalam obrolan. Perlahan air matanya terjatuh saat Kanaya memperlihatkan sebuh foto yang lusuh.
“Meski akhirnya jarak membuatku tak bisa bertemu dengannya, aku tak mengapa. Karena foto ini akan menjadi penawar rinduku. Bahkan meski air mata kerinduanku tumpah membasahi foto ini, senyum Dani tetap bisa ku lihat dalam ingatan.”
Malam itu menjadi saksi bisu atas curahan hati Kanaya tentang perasaanya pada Dani. Ia hanya mencintai Dani dalam diam selama duduk di bangku SMA. Kanaya begitu lihai menyembunyikan perasaannya hingga tak ada yang tahu bahwa ia mencintai Dani. Bahkan Ranti mengetahuinya karena ia tak sengaja membaca diari Kanaya. Hatinya mulai terkulum kesedihan. Bukan karena tak mendapat balasan, melainkan karena ia tak bisa melihat senyum Dani di setiap harinya kedepan. Tak akan ada lagi candaan yang ia dengar dari Dani, meski ia hanya mendengarnya dari kejauhan.
–
02 September 2015
Empat tahun sudah Kanaya duduk dalam penantian. Ia masih menyimpan cinta yang sama, cinta tulusnya pada Dani. Hingga kini ia duduk di padang ilalang dengan sebuah gitar yang setia menemaninya. Ia menatap senja penuh kerinduan. Kerinduan pada Dani.
Kesendiriannya tak menjadi sebuah kesedihan untuknya. Pekerjaannya sebagai seorang editor di sebuah situs menulis, menjadi pengisi hidupnya. Ribuan cerpen telah menemaninya beberapa tahun terakhir ini. Ia tetap tersenyum menapaki alur hidupnya. Ia menyerahkan kisah cintanya pada yang kuasa. Hatinya yakin, Tuhan akan memberikannya jawaban yang terbaik dari penantiannya.
“Dani, empat tahun sudah aku menantimu sejak hari itu. Hari di saat kau mendengar isi hatiku. Apa kau sudah bahagia di sana? Aku tahu cita-citamu tercapai. Aku bahagia mendengarnya. Andai Tuhan memberi jawaban dari penantian ini, apa aku harus bertahan atau menyerah pada keadaan?” Kanaya tertunduk memeluk gitarnya, mencurahkan isi hatinya lewat tiap tetesan air mata.
“Nyanyikan satu lagu untukku, Nona.” seru seseorang yang baru saja duduk di samping Kanaya.
“Maaf, aku sedang tak ingin menyanyi.” Jawab Kanaya.
Sejenak Kanaya terdiam. Ia menyadari kehadiran sosok yang duduk di sampingnya. Ia sangat hafal bahwa tak ada orang yang datang ke padang ilalang ini setiap sore, selain dirinya. Segera ia mengangkat kepala dan mengarahkan tatapan pada sosok yang mengganggu tangisannya.
Hatinya berdegup cepat. Air matanya kembali terurai. Namun senyum manisnya terlihat melengkapi. Kanaya menatap lekat-lekat sosok itu. Begitu ingin ia memeluknya, namun ia sadar akan kenyataan.
“Dani?” lirihnya.
“Ya, ini aku Dani. Ternyata kau masih mengenaliku.” Sahut Dani dengan menyuguhkan senyuman khasnya.
Kanaya menatap lekat mata Dani yang terhalang lensa berlapis itu. Sebuah kacamata yang begitu pas dipakainya. Kacamata yang menjadi ciri khasnya sejak SMA. Menambah karismanya.
“Aku mencarimu. Kata Ibumu, kau selau pergi ke padang ilalang dengan gitar kesayanganmu itu,”
Kanaya tersenyum bahagia. Baru kali ini ia dapat mendengar jelas suara Dani. Ia tak peduli jika ini hanya mimpi. Ia hanya bersyukur dapat melihat Dani.
“Kau mencariku? Untuk apa?”
“Untuk menjawab penantianmu,”
“Maksudmu?”
“Aku tahu selama ini kau menantiku dengan setia. Sejak kau menyatakan perasaanmu di acara perpisahan SMA, aku mulai mempertimbangkannya. Aku diam karena aku tak ingin memberi jawaban yang salah. Aku belum menjadi siapa-siapa, dalam arti jauh dari kata mapan. Aku baru memulai hidup. Dan sekarang aku tak akan membiarkanmu akhirnya tenggelam dalam penantian,”
Jantung Kanaya semakin berdegup cepat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Perlahan ia mencubit punggung tangannya. Ia meringis sakit. Saat itu pula ia sadar, ini adalah kenyataaan.
“Naya. Biarkan aku akhiri penantianmu dengan sebuah kepastian,”
“Katakanlah dengan jujur. Sekalipun akhirnya itu menyakitkan,”
“Tentu. Alasanku membuatmu menanti, karena aku ingin memilikimu dalam ikatan yang suci. Saat Tuhan memberi petunjuknya lewat ibadahku, aku pun kini yakin, kaulah pilihanNya. Apa kau bersedia bersanding denganku, menjadi pelengkap hidupku, menjadi sahabat hati dan hidupku hingga ajalku nanti?”
Kanaya menangis tak percaya. Ia terharu dengan perkataan Dani. Kepastiannya mengakhiri penantian Kanaya. Kanaya mengangguk mantap. Mereka terdiam kaku. Hanya senyuman dan tawa kecil yang terdengar. Dani menatap binar mata Kanaya, senyum lesung pipinya membuat Dani tak mampu menahan tangis bahagianya.
“Hatimu begitu tulus. Terima kasih telah setia menantiku. Maaf membuatmu lelah karena dipermainkan sang waktu,”
“Iya, Dani. Ketahuilah, cinta yang tulus tak akan pernah lelah meski harus menunggu hingga berteman dengan waktu dan tak akan bosan meski jarak yang sesaat membelenggu. Intinya adalah keikhlasan terhadap kehendak Tuhan, termasuk tentang cinta ini”
Dani tersenyum bahagia mendengarnya. Begitupun Kanaya. Ia sangat bahagia. Ketulusannya karena illahi membuatnya disatukan dengan cintanya.
Senja di padang ilalang pun terlihat sangat indah. Keduanya menikmati sisa senja dengan diiringi nyanyian penuh kesan romantis. Kebahagiaan kini tersemat pada senyum dan tawa Kanaya. Penatiannya telah berakhir karena kepastian cinta. Cinta dari Dani.
Duduk menatap sisa senja ditemani serangkaian melodi kenangan di padang ilalang. Lekuk pipinya kembali dilewati butiran air mata. Senyumnya masih tersemat manis. Ada sebaris kerinduan yang mendalam dari binar matanya. Hingga tatapan yang terpaku kokoh, seketika berkedip. Lelah menahan tangisnya yang menumpuk di pelupuk mata. Hatinya begitu sakit. Rindu yang menggema tak terapalkan, hanya tertahan di hatinya. Pertemuan tak ia dapat dalam nyata. Mungkin nanti, ketika Tuhan mengutus waktu untuk menyemaikan kerinduannya dalam pertemuan.
–
10 Oktober 2011
“Aku mencintaimu, Dani.” ucap Kanaya yang sempat ragu.
Sepasang mata menatapnya tak percaya. Nyaris kedua halisnya menyatu, mendengar pernyataan Kanaya. Sosok yang menatapnya lekat itu tak lain adalah Dani Wihandra, lelaki yang Kanaya cintai selama tiga tahun terakhir ini. Senyum khas perlahan tersemat di bibir Dani. Tatapan itu perlahan mengendur, hingga akhirnya menjauh dari hadapan Kanaya. Tak ada sebaris kalimat bahkan sepatah kata yang terapal dari mulut Dani. Hanya punggung Dani yang Kanaya lihat. Hingga perlahan menghilang dari pandangannya.
Kanaya berdiri mematung. Ia terdiam dalam kebisuannya. Hanya mata dan hatinya yang tak henti bekerja keras. Merasakan sakit hati dan rasa malu. Serta butir-butir kekecewaan jatuh secara bergantian. Hanya riuh teman-teman sekolahnya yang jelas terdengar di telinganya yang lambat laun terasa membeku, hingga seruan sahabatnya tak mampu terespon olehnya.
“Naya? Kau baik-baik saja?” seru Ranti menepuk bahu Kanaya dengan lembut.
“Eh, ya?” kejut Kanaya selang beberapa saat.
“Hei? Ada apa? Ayo gabung dengan yang lain. Ini kan acara perpisahan kita di SMA ini, kau tak mungkin menyia-nyiakan momen ini kan? Ayo?” ajak Ranti yang mulai mengamati sorot mata sahabatnya itu.
“Ah, sepertinya aku kurang enak badan. Aku harus cepat pulang, Ran,” balas Kanaya beralasan.
Tangan Ranti memegang erat pundak Kanaya. Ia mencermati mata yang mulai memerah itu. Sorot mata yang tak sanggup lagi menahan air mata. Satu pertanyaan pun mengalir dari mulut Ranti lewat lidahnya.
“Naya, jujur padaku. Kau tidak benar-benar menyatakan cinta pada Dani, kan?”
Kanaya melerai sentuhan di bahunya itu. Ia mengayunkan kakinya, melangkah menuju tempat yang jauh dari keramaian. Ia duduk di kursi yang tak jauh darinya. Kerlap-kerlip bintang menghiasi malam, bersama rembulan yang tak kalah menyala lewat biasnya. Jemari lentiknya mulai menyapu tetes air mata yang tak henti melaju dari sudut matanya.
“Kau tahu? Aku sangat terlihat bodoh saat berada di hadapannya,” tutur Kanaya pada Ranti yang duduk di sampingnya.
“Naya …” balas Ranti dengan tatapan sedih.
“Aku tak mengapa tak mendapat balasan darinya, tapi setidaknya aku mengerti arti dari senyumnya. Ia tak marah padaku. Mungkin aku akan kembali duduk dalam penantian dan berteman dengan waktu. Entah sampai kapan …” balasnya terdengar lemah.
“Naya, kau tunggu di sini. Aku akan mencari Dani dan menanyakan padanya tentang—” perkataan Ranti menggantung saat Kanaya menggenggam erat tangannya seraya menggelengkan kepala. “Kenapa?” lanjut Ranti heran.
Kanaya memeluk Ranti sebagai sandaran tangisnya. Pundak kiri Ranti mulai terasa basah. Air mata Kanaya membasahi kebaya Ranti di sekitar pundaknya. Ranti membalas pelukan itu. Mengusap punggung Kanaya, memberi kenyamanan atas kesedihan yang menimpa hati sahabatnya itu. Kanaya kembali pada posisinya semula. Ia kembali menghapus sisa air matanya. Sementara Ranti menatapnya penuh haru.
“Carilah pengganti Dani, aku tak mau melihat sahabatku terlalu lama dipermainkan waktu dalam penantian yang tak berujung ini. Kau pantas bahagia, kau pantas mendapatkan yang lebih dari Dani.”
“Tidak, Ran. Ketulusan cintaku tak akan kalah hanya karena permainan sang waktu yang kadang membuatku jatuh dalam rasa lelah. Dan bosan karena tak ada jawaban. Tiga tahun saja telah ku lewati, bila harus menanti tiga, empat bahkan lima tahun lagi, aku pasti mampu bertahan,”
“Tapi aku takut penantianmu ini sia-sia, Naya. Ayolah, sadar!”
“Dari mana aku tahu penantian ini sia-sia atau tidak, bila aku tak merasakan penantian ini secara utuh? Aku yakin dengan takdir dari Tuhan. Aku menantinya sampai saat ini, itu pasti sudah tertulis dalam suratan takdir. Tuhan tak akan membiarkan aku menjaga cinta ini, bila tak ada sebabnya. Aku tak akan membuka hati untuk yang lain, sampai Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Biarkan Dani yang sementara mengisi hati ini,”
Ranti memberi tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin Kanaya mampu kembali menunggu Dani. Sebait pertanyaan menancap dalam benak Ranti atas jawaban sahabatnya itu.
“Apa yang membuatmu bertahan dalam penantian, Naya? Apa lebihnya Dani?” Tanya Ranti sedikit meninggikan suaranya.
Kanaya tersenyum menatap sahabatnya itu, hingga lesung pipi kirinya terlihat jelas. Hingga Ranti kembali berkata dengan argumennya.
“Coba kau lihat Rifky. Dia tampan, baik, dia juga mencintaimu, Naya. Kenapa kau memilih Dani? Aku tak habis pikir kau memilihnya,”
“Harta dan ketampanan hanyalah sebuah ilusi dan bersifat semu. Keduanya tak akan kekal. Tapi, agama. Dani membuatku bertahan karena agama. Dia sosok lelaki yang saleh. Setiap perkataannya dilandasi tentang agama. Itu yang membuat hatiku selalu bergetar. Dia berbeda dari lelaki kebanyakan,”
Ranti terdiam seakan takjub akan jawaban Kanaya. Jawaban yang mampu membuatnya bisu dalam obrolan. Perlahan air matanya terjatuh saat Kanaya memperlihatkan sebuh foto yang lusuh.
“Meski akhirnya jarak membuatku tak bisa bertemu dengannya, aku tak mengapa. Karena foto ini akan menjadi penawar rinduku. Bahkan meski air mata kerinduanku tumpah membasahi foto ini, senyum Dani tetap bisa ku lihat dalam ingatan.”
Malam itu menjadi saksi bisu atas curahan hati Kanaya tentang perasaanya pada Dani. Ia hanya mencintai Dani dalam diam selama duduk di bangku SMA. Kanaya begitu lihai menyembunyikan perasaannya hingga tak ada yang tahu bahwa ia mencintai Dani. Bahkan Ranti mengetahuinya karena ia tak sengaja membaca diari Kanaya. Hatinya mulai terkulum kesedihan. Bukan karena tak mendapat balasan, melainkan karena ia tak bisa melihat senyum Dani di setiap harinya kedepan. Tak akan ada lagi candaan yang ia dengar dari Dani, meski ia hanya mendengarnya dari kejauhan.
–
02 September 2015
Empat tahun sudah Kanaya duduk dalam penantian. Ia masih menyimpan cinta yang sama, cinta tulusnya pada Dani. Hingga kini ia duduk di padang ilalang dengan sebuah gitar yang setia menemaninya. Ia menatap senja penuh kerinduan. Kerinduan pada Dani.
Kesendiriannya tak menjadi sebuah kesedihan untuknya. Pekerjaannya sebagai seorang editor di sebuah situs menulis, menjadi pengisi hidupnya. Ribuan cerpen telah menemaninya beberapa tahun terakhir ini. Ia tetap tersenyum menapaki alur hidupnya. Ia menyerahkan kisah cintanya pada yang kuasa. Hatinya yakin, Tuhan akan memberikannya jawaban yang terbaik dari penantiannya.
“Dani, empat tahun sudah aku menantimu sejak hari itu. Hari di saat kau mendengar isi hatiku. Apa kau sudah bahagia di sana? Aku tahu cita-citamu tercapai. Aku bahagia mendengarnya. Andai Tuhan memberi jawaban dari penantian ini, apa aku harus bertahan atau menyerah pada keadaan?” Kanaya tertunduk memeluk gitarnya, mencurahkan isi hatinya lewat tiap tetesan air mata.
“Nyanyikan satu lagu untukku, Nona.” seru seseorang yang baru saja duduk di samping Kanaya.
“Maaf, aku sedang tak ingin menyanyi.” Jawab Kanaya.
Sejenak Kanaya terdiam. Ia menyadari kehadiran sosok yang duduk di sampingnya. Ia sangat hafal bahwa tak ada orang yang datang ke padang ilalang ini setiap sore, selain dirinya. Segera ia mengangkat kepala dan mengarahkan tatapan pada sosok yang mengganggu tangisannya.
Hatinya berdegup cepat. Air matanya kembali terurai. Namun senyum manisnya terlihat melengkapi. Kanaya menatap lekat-lekat sosok itu. Begitu ingin ia memeluknya, namun ia sadar akan kenyataan.
“Dani?” lirihnya.
“Ya, ini aku Dani. Ternyata kau masih mengenaliku.” Sahut Dani dengan menyuguhkan senyuman khasnya.
Kanaya menatap lekat mata Dani yang terhalang lensa berlapis itu. Sebuah kacamata yang begitu pas dipakainya. Kacamata yang menjadi ciri khasnya sejak SMA. Menambah karismanya.
“Aku mencarimu. Kata Ibumu, kau selau pergi ke padang ilalang dengan gitar kesayanganmu itu,”
Kanaya tersenyum bahagia. Baru kali ini ia dapat mendengar jelas suara Dani. Ia tak peduli jika ini hanya mimpi. Ia hanya bersyukur dapat melihat Dani.
“Kau mencariku? Untuk apa?”
“Untuk menjawab penantianmu,”
“Maksudmu?”
“Aku tahu selama ini kau menantiku dengan setia. Sejak kau menyatakan perasaanmu di acara perpisahan SMA, aku mulai mempertimbangkannya. Aku diam karena aku tak ingin memberi jawaban yang salah. Aku belum menjadi siapa-siapa, dalam arti jauh dari kata mapan. Aku baru memulai hidup. Dan sekarang aku tak akan membiarkanmu akhirnya tenggelam dalam penantian,”
Jantung Kanaya semakin berdegup cepat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Perlahan ia mencubit punggung tangannya. Ia meringis sakit. Saat itu pula ia sadar, ini adalah kenyataaan.
“Naya. Biarkan aku akhiri penantianmu dengan sebuah kepastian,”
“Katakanlah dengan jujur. Sekalipun akhirnya itu menyakitkan,”
“Tentu. Alasanku membuatmu menanti, karena aku ingin memilikimu dalam ikatan yang suci. Saat Tuhan memberi petunjuknya lewat ibadahku, aku pun kini yakin, kaulah pilihanNya. Apa kau bersedia bersanding denganku, menjadi pelengkap hidupku, menjadi sahabat hati dan hidupku hingga ajalku nanti?”
Kanaya menangis tak percaya. Ia terharu dengan perkataan Dani. Kepastiannya mengakhiri penantian Kanaya. Kanaya mengangguk mantap. Mereka terdiam kaku. Hanya senyuman dan tawa kecil yang terdengar. Dani menatap binar mata Kanaya, senyum lesung pipinya membuat Dani tak mampu menahan tangis bahagianya.
“Hatimu begitu tulus. Terima kasih telah setia menantiku. Maaf membuatmu lelah karena dipermainkan sang waktu,”
“Iya, Dani. Ketahuilah, cinta yang tulus tak akan pernah lelah meski harus menunggu hingga berteman dengan waktu dan tak akan bosan meski jarak yang sesaat membelenggu. Intinya adalah keikhlasan terhadap kehendak Tuhan, termasuk tentang cinta ini”
Dani tersenyum bahagia mendengarnya. Begitupun Kanaya. Ia sangat bahagia. Ketulusannya karena illahi membuatnya disatukan dengan cintanya.
Senja di padang ilalang pun terlihat sangat indah. Keduanya menikmati sisa senja dengan diiringi nyanyian penuh kesan romantis. Kebahagiaan kini tersemat pada senyum dan tawa Kanaya. Penatiannya telah berakhir karena kepastian cinta. Cinta dari Dani.
TAMAT
Cerpen Karangan: Ersa Nazwa
kategori: Cerpen Cinta Romantis
Facebook: Ersa Nazwa
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
0 komentar to "Jawaban Penantian di Padang Ilalang"