Jihan terlihat duduk dengan gusar sambil beberapa kali melihat jam putih yang melingkar di tangan kirinya, sebenarnya hari ini ia memiliki janji bertemu dengan Berry di taman tetapi mendadak ia mendapat kelas tambahan.
KRING!!! Bel yang sedari tadi ditunggu Jihan akhirnya berbunyi juga, Jihan pun berlari meninggalkan kelas.
Sesampainya ia di taman ia langsung menghampiri Berry yang duduk di pinggir danau.
“Maaf Ber aku telat, tadi ada kelas tambahan” Berry hanya tersenyum kemudian kembali menatap danau dengan tatapan kosong.
“Oh iya Ber, kamu mau ngomong apa?” Berry menarik napasnya berat ia menatap Jihan dalam, haruskah ia mengucapkan kata-kata itu sekarang? Jujur itu sangat berat untuk Berry.
“Berry?” Suara Jihan seketika membuyarkan lamunan Berry.
“Hubungan kita gak bisa diterusin lagi, Han. Maaf ”
Jihan terdiam kaku menatap wajah Berry yang tertunduk menghindari tatapan Jihan.
“Kamu bercanda kan Ber? Aku salah apa sama kamu?”
Jihan terlihat menahan airmatanya yang akan ke luar suaranya pun terdengar bergetar.
“Aku serius Han, aku.. Aku udah gak sayang lagi sama kamu” Dengan sangat terpaksa Berry mengucapkan kalimat itu, kalimat yang tidak sesuai dengan isi kenyataannya. Bahkan sampai detik ini hanya ada Jihan di hatinya.
Jihan menatap lurus danau yang ada di depan mereka dengan airmata yang terus mengalir dari mata indahnya.
“Kalau itu udah jadi pilihan kamu, aku gak bakal keberatan. Perasaan itu gak bisa dipaksa Ber, terima kasih buat semuanya maaf aku belum bisa jadi orang yang bisa bahagiain kamu sepenuhnya”
Hati Berry sangat sakit melihat gadis yang ia cintai ini menangis karenanya, “Maafin aku Han, ini semua demi kebaikan kamu”
“Cuman itu yang mau aku bicarain sama kamu, aku masih ada urusan lain. Tolong jaga diri kamu ya Han, semoga kamu dapat pengganti yang jauh lebih baik dari aku” Berry mengecup puncak kepala Jihan, ia tidak sanggup harus terlalu lama berhadapan dengan Jihan.
Ia tidak mau Jihan melihat airm atanya yang mulai memaksa ingin ke luar.
—
Hari demi hari pun Jihan lalui tanpa ada Berry di sampingnya lagi, sejak hari itu Berry benar-benar menghilang dari kehidupan Jihan. Beberapa kali Jihan coba menghubungi teman-teman Berry namun tak ada satu pun informasi yang berhasil ia dapatkan.
Jihan terlihat sedang sibuk dengan laptopnya di salah satu bangku taman di kampus, sedari tadi pandangan matanya tak lepas dari layar monitor di hadapannya.
Drrrttt!! Drrrtttt!!
Getaran itu cukup merusak konsentrasi Jihan saat menyelesaikan tugas yang sedang ia kerjakan sekarang, tanpa melihat nama yang tertera di layar BB putihnya Jihan langsung mengangkat telpon itu.
“Halo?”
“Halo”
Suara itu terdengar familiar di telinga Jihan, ia merasa tidak asing dengan suara ini.
“Ini gak mungkin Berry, gak mungkin” pikir Jihan.
“Ini siapa?”
“Udah lupa sama aku?”
“Berry?” Ucap Jihan dengan ragu.
Tanpa Jihan ketahui Berry tersenyum mendengar ucapan Jihan tersebut, ia pikir Jihan telah melupakannya namun ternyata salah.
“Berry?” Panggil Jihan lagi.
“Iya, aku Berry. Oh ia siang ini kamu sibuk gak?”
“Eng.. Enggak emang kenapa?”
“aku pengen ketemu kamu” kata Berry lagi.
Jihan terdiam seakan tak percaya apa yang barusan ia dengar. Seseorang yang masih di hatinya sampai saat ini mengajaknya bertemu lagi, di saat-saat ia mulai ingin melupakan semua tentang Berry.
“Jihan?” Panggil Berry, yang membuat Jihan sedikit terkejut.
“Engh, ahh iy.. Iya ber, di mana?”
“Di caffe biasa yah, jam 12 aku tunggu”
Belum sempat Jihan menjawab, Berry telah memutuskan telponnya. Jihan pun segera membereskan map-mapnya yang sedikit berantakan itu. Ia pun langsung melaju menggunakan Taksi.
—
Sesampainya di caffe, Jihan mulai mencari sosok Berry. Di sudut caffe, tepat di mana dirinya dan Berry sering makan dan ini merupakan caffe favorit mereka berdua di waktu dulu. Jihan menghampiri Berry dengan langkah ragu, perlahan namun pasti kini Jihan berada tepat di samping tempat duduk Berry. Berry yang sadar dengan kehadiran Jihan pun langsung menatap Jihan. Ia tak menyangka Gadis yang dicintainya kini telah dewasa. Tampilannya anggun dan menawan. Matanya seolah tak mau berpaling dari pandangannya kini.
“Berry?” Sapa Jihan Lembut.
Namun Berry tetap memerhatikan Jihan, yang membuat Jihan kebingungan dan tersenyum kecil.
“Berry??” Kini nada suara Jihan agak sedikit keras.
“eh, iya.. iya..” Lamunan Berry buyar, jujur ia sangat terkejut mendengar sentakan Jihan itu.
Jihan kini duduk dan ia sangat tak bisa lagi menahan tawanya sejak tadi, dan akhirnya Tawanya pun Lepas.
“Kamu kenapa Ber? Segitunya haha” tanya Jihan yang membuat Berry kikuk.
“Anu… Eng.. kamu cantik han” kata Berry memalingkan matanya dari tatapan Jihan. Mungkin ia merasa sedikit sungkan berada di depan Jihan. Gadis yang tidak pernah bisa ia lupakan dalam hidupnya.
“Ah, kamu gombal aja, oh iya apa kabar?”
“Baik aja nih, kamu sendiri?”
“kalau aku ke sini.. Itu tandanya aku sehat dong” ucap Jihan cengar-cengir.
“Dasarrrr… Udah lama kita gak ketemu yah? Aku kangen..”
“Kamu sih pake acara ngilang-ngilang segala, aku uda coba hubungin temen-temen kamu dan jawabannya sama, mereka gak tau kamu ada di mana. Dan dari situ aku memutuskan untuk berhenti dan coba lupain kamu. Tapi… Gak bisa ber. Sampai saat ini aku masih sangat mencintai kamu”
Berry sangat merasa bersalah dengan semua ini, ia tak kuasa melihat gadis yang berada di depannya kini mengutarakan isi hatinya untuk seorang Berry! Ia terlalu bodoh untuk menyia-nyikan Jihan.
“Maafin aku han, aku gak bermaksud..” Kata Berry sambil mencoba menggenggam tangan Jihan.
“Haha.. Udahlah itu masa lalu.. Gak baik kalau diungkit-ungkit Ber…”
“Han, aku ngajak kamu ketemuan di sini.. Karena aku pengen bilang”
“Apa Ber?
Berry tertunduk, ia sangat tidak sanggup mengatakan hal ini sekarang.
“Berry?” Panggil Jihan.
“Sebenarnya, aku menghilang selama ini aku ke luar negeri untuk berobat han.”
“Berry? Kamu sakit? Sakit apa? Parah gak?” Tanya Jihan dengan nada khawatir
Pertanyaan Jihan membuat Berry semakin sulit membuka mulut untuk mengatakan tentang penyakitnya.
“Jangan buat aku khawatir Ber, please! Ngomong”
“aku… Aku divonis terkena Jantung kronis”
Mata Jihan terbelalak bibirnya pun bungkam saat mendengar perkataan Berry barusan. Ia tak menyangka orang yang dicintainya mengidap penyakit separah ini.
Duaarrr!! Duaarrr!! Suasana hati Jihan tak karuan, jujur hatinya sangat sakit. Ia tak tega dan sangat tak siap harus kehilangan Berry.
“Sebenarnya waktu aku mutusin kamu, aku bohong han. Aku sebenarnya sayang banget sama kamu. Aku gak mau lihat kamu sedih ketika aku sudah gak ada nanti. Aku gak mau lihat kamu netesin air mata karena aku han. Aku gak mau”
“Kenapa kamu bilangnya baru sekarang Ber? Kenapa?” Seketika air mata Jihan mengalir deras di pipinya.
“Han.. maafin aku.. aku cuma gak pengen kamu sedih han itu aja”
“Kamu jahat ber, kamu jahat…” Jihan pun beranjak pergi.
“Jihan.. Jihannn dengarin aku dulu..” Berry mencoba meraih tangan Jihan, tapi berhasil ditepis oleh Jihan.
Berry pun membiarkan Jihan pergi dari hadapannya.
Tiba-tiba Berry terjatuh dari tempat duduknya, tangannya berada tepat di bagian dadanya ia meringis kesakitan.
—
Saat beberapa langkah dari caffe. Langkah Jihan pun terhenti ketika mendengar suara ambulan berhenti di depan caffe tempat ia dan Berry tadi. Ia melihat beberapa orang memboyong seorang pria dari caffe itu.
“Berry?” Hati Jihan mulai panik.
“Iya.. Itu Berry” Jihan pun berlari sekuat tenaganya, menghampiri kerumunan orang-orang yang mengangkat Pria tadi.
Air mata Jihan pun semakin deras setelah mengetahui pria itu benar-benar Berry. Orang-orang mulai membopong Berry ke dalam ambulance. Jihan kini berada tepat di samping Berry.
“Berry, maafin aku ber.. Maafin aku?”
Jihan menggenggam erat tangan Berry. Baru kali ini ia melihat Berry terbaring lemah tak berdaya.
Sesampainya di rumah sakit, Berry langsung dibawa ke ruang ICU. Jihan sangat gelisah menunggu dokter yang menangani Berry di dalam ruangan itu. Sesekali ia berdiri, duduk dan mondar-mandir sambil sesekali meneteskan airmata. Tak lama keluarlah dokter dari ruangan Berry.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan pada dokter itu.
“Syukurlah, Berry secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika tidak mungkin dia sudah tidak bisa tertolong, saya sudah memberikan obat pereda sakit untuk Berry. Jika ingin silahkan masuk”
“Terima kasih dok.” Jihan pun memasuki ruangan Berry.
Ia tatap Berry yang benar-benar terbaring lemah di hadapannya kini. Air matanya terjatuh dan mengenai tangan Berry.
“Ber, aku sayang kamu aku gak mau kamu pergi lagi ber, apalagi untuk selamanya aku gak mau” Jihan menggengam erat tangan Berry sambil terus menangis.
Perlahan tangan Berry mulai bergerak, matanya mulai terbuka. Ia menatap Jihan yang menggenggam tangannya tadi. Ia mencoba mengusap lembut rambut Jihan.
“Berry? Kamu udah sadar. Aku panggilin dokter yah bentar” Berry dengan cepat mencegah Jihan, dan menyuruh Jihan duduk lagi.
“Kenapa Ber?”
Berry melepaskan oksigennya.
“Aku sayang sama kamu han” Kata Berry sambil tersenyum.
“Aku juga sayang Ber sama kamu” Jawab Jihan dan membalas senyum Berry.
“Maafin aku han”
“Maaf untuk apa?”
“Maaf aku udah buat kamu khawatir, buat kamu sedih dan ngeluarin air mata karena aku. Aku terlalu bodoh memutuskan kamu dulu, kamu mau maafin aku? Dan kita balikan?”
“Aku udah maafin kamu kok ber, dan iya aku mau balikan sama kamu tapi dengan satu syarat”
“Apa?”
“Pokoknya kamu harus sembuh yah”
Berry tersenyum dan berkata.
“Asal kamu di dekat aku selalu, aku pasti bakalan cepet sembuh kok”
“Ah kamu bisa aja”
Mereka pun asyik bercanda.
Sejak saat itu Jihan tak pernah absen menemani Berry untuk berobat.
—
Waktu bergulir dengan cepatnya, tidak terasa 2 tahun sudah hubungan mereka berdua. Hari ini tepat hari jadi mereka yang ketiga. Mereka pun menghabiskan waktu berdua
“Han, coba bayangin gimana kalau nanti suata saat aku ada di atas sana?” Tunjuk Berry ke arah langit yang cukup cerah itu.
Jihan terdiam sambil menatap lesu Berry.
“Ber?” Ucap Jihan pelan.
“Hmm?” Jawab Berry yang tetap fokus pada pandangannya tadi.
“Kamu ngomong apa sih?”
Berry terdiam, pandangannya mulai beralih menuju mata Jihan.
“Kamu gak boleh pesimis gitu, pokoknya kamu harus sembuh demi aku dan demi kita Ber” kata Jihan menyemangati Berry.
Berry tersenyum dan menarik Jihan ke pelukannya. “Aku sayang kamu han”
“Aku juga ber”
“Awww!!! arggghhh!!! sakitt!!!” Berry langsung memegangi dadanya Dan meringis kesakitan.
“Ber? Berry? Kamu kenapa?” Tanya Jihan panik.
Berry terus menerus meringis kesakitan, Jihan yang panik berusaha menelpon pihak rumah sakit yang sering Berry kunjungi untuk berobat itu.
Ambulan pun datang. Berry digotong oleh dua petugas ambulans tersebut dan langsung bergegas melaju menuju rumah sakit. Jihan yang sedari tadi mondar-mandir di depan ruangan Berry terlihat gelisah sambil terus menangis menanti dokter ke luar.
Krekk! Pintu ruangan itu terbuka, keluarlah dokter dari dalam sana.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan sesegukan, karena baru saja berhenti dari tangisnya.
“Keadaan Berry melemah” dokter tertunduk.
Jihan terpaku dengan pernyataan dokter.
“Sebaiknya kita serahkan semua ini pada Tuhan,banyak-banyak saja berdoa”
“Apa saya sudah boleh menjenguk Berry didalam dok?”
“Silahkan, Berry menunggu kamu di dalam”
Dengan Cepat Jihan langsung menghampiri Berry dan duduk di kursi samping kasur rawat Berry.
“Berry” panggil jihan pelan.
Ia memegangi tangan Berry lembut, ia usap lembut di pipi mulusnya. Ia sangat merindukan kehangatan tangan Berry.
“Berry bangun” ucap Jihan mulai lirih.
Jihan menangis sejadi-jadinya di atas tangan Berry. Tak lama ia lihat tangan Berry bergerak-gerak, oksigen yang menutupi hidungnya pun berembun.
“Berry? Berry.. kamu udah sadar?”
Berry melepas oksigennya. Wajahnya masih sangat pucat pasi.
“Kamu kenapa, kok nangis?” Tanya Berry yang melihat mata Jihan sembab.
“Aku takut kamu kenapa-kenapa”
“Udah dong, jangan nangis yah sayang aku udah sadar nih walaupun cuma sementara buat ngucapin selamat tinggal sama kamu”
“Maksud kamu apa ber?” Tanya Jihan bingung mendengar perkataan Berry itu.
Berry menghela napasnya panjang.
“Aku cape, aku udah gak kuat han”
“Berry jangan gitu, aku ada di sini aku nemanin kamu di sini ber. Ingat janji awal kita? Kamu harus sembuh”
“Aku udah gak kuat han..”
“Berry..”
“kalau nanti aku udah sama Tuhan, janji yah kamu jangan sedih terus” Berry mecubit lembut pipi gadis yang ada di hadapannya ini.
Jihan tertunduk.
“kalau kamu sedih terus, aku gak tenang di sana, kamu mau aku gak tenang?”
Jihan menggeleng pelan.
“Nah, makanya jangan sedih terus yah. Kalau kamu kangen sama aku coba deh kalau malam kamu lihat bintang yang ada di atas awan, dan lihat bintang yang paling terang di situ aku, aku lagi lihat kamu dan aku pasti lagi kangen sama kamu. Setiap malam aku nemanin kamu dengan sinarku walaupun gak sebanding sama sinarnya bulan sih hehe tapi cukup kok buat ngobatin rasa kangenmu ke aku”
“Berry aku mohon.. Kamu kuat aku gak mau kehilangan kamu ber aku sayang kamu”
Bendungan sungai kecil yang sudah berada di ujung kantung mata Jihan itu pun penuh dan akhirnya Jihan mulai menangis lagi.
“Maafin aku han.. Kamu jaa arrghhtt! ja-ngan nangisss…” Kata Berry dengan nada lirihnya.
Tak lama. Berry mengejang. Genggaman tangannya pada tangan Jihan mulai mengendur.
“Berry? Berry!! Dokterrr!!” teriak Jihan sambil ke luar dari ruangan untuk mencari dokter diiringi tangisnya.
Dokter datang.
Tutt!! Mesin detak jantung Berry itu berbunyi nyaring.
“Maaf.. kami sudah berusaha semampu kami tapi ternyata Tuhan berkehendak lain Berry sudah pergi”
“Apa dok? Gak mungkin.. Berry!!”
Tangis Jihan pecah, ia menggoyang-goyangkan tubuh Berry sambil menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk erat Berry, sebelum Berry benar-benar pergi dari hadapannya kini.
—
Jihan merenung sepi di koridor kamarnya, tetesan air mata itu menemani malam sendu Jihan kali ini.
“Berry, aku kangen kamu” ucap Jihan.
Ia pandangi langit yang bertabur beribu bintang itu, ia ingat ucapan Berry. Ia mulai mencari satu bintang yang paling terang, itu adalah Berry. Jihan tersenyum saat menatap bintang itu
“Berry kamu apa kabar di sana? Apa kamu baik-baik aja? Tuhan pasti jagain kamu kan ber. Berry, aku kangen kamu” Ucap Jihan sambil terus menatapi Bintang itu.
“Aku sayang kamu ber..”
KRING!!! Bel yang sedari tadi ditunggu Jihan akhirnya berbunyi juga, Jihan pun berlari meninggalkan kelas.
Sesampainya ia di taman ia langsung menghampiri Berry yang duduk di pinggir danau.
“Maaf Ber aku telat, tadi ada kelas tambahan” Berry hanya tersenyum kemudian kembali menatap danau dengan tatapan kosong.
“Oh iya Ber, kamu mau ngomong apa?” Berry menarik napasnya berat ia menatap Jihan dalam, haruskah ia mengucapkan kata-kata itu sekarang? Jujur itu sangat berat untuk Berry.
“Berry?” Suara Jihan seketika membuyarkan lamunan Berry.
“Hubungan kita gak bisa diterusin lagi, Han. Maaf ”
Jihan terdiam kaku menatap wajah Berry yang tertunduk menghindari tatapan Jihan.
“Kamu bercanda kan Ber? Aku salah apa sama kamu?”
Jihan terlihat menahan airmatanya yang akan ke luar suaranya pun terdengar bergetar.
“Aku serius Han, aku.. Aku udah gak sayang lagi sama kamu” Dengan sangat terpaksa Berry mengucapkan kalimat itu, kalimat yang tidak sesuai dengan isi kenyataannya. Bahkan sampai detik ini hanya ada Jihan di hatinya.
Jihan menatap lurus danau yang ada di depan mereka dengan airmata yang terus mengalir dari mata indahnya.
“Kalau itu udah jadi pilihan kamu, aku gak bakal keberatan. Perasaan itu gak bisa dipaksa Ber, terima kasih buat semuanya maaf aku belum bisa jadi orang yang bisa bahagiain kamu sepenuhnya”
Hati Berry sangat sakit melihat gadis yang ia cintai ini menangis karenanya, “Maafin aku Han, ini semua demi kebaikan kamu”
“Cuman itu yang mau aku bicarain sama kamu, aku masih ada urusan lain. Tolong jaga diri kamu ya Han, semoga kamu dapat pengganti yang jauh lebih baik dari aku” Berry mengecup puncak kepala Jihan, ia tidak sanggup harus terlalu lama berhadapan dengan Jihan.
Ia tidak mau Jihan melihat airm atanya yang mulai memaksa ingin ke luar.
—
Hari demi hari pun Jihan lalui tanpa ada Berry di sampingnya lagi, sejak hari itu Berry benar-benar menghilang dari kehidupan Jihan. Beberapa kali Jihan coba menghubungi teman-teman Berry namun tak ada satu pun informasi yang berhasil ia dapatkan.
Jihan terlihat sedang sibuk dengan laptopnya di salah satu bangku taman di kampus, sedari tadi pandangan matanya tak lepas dari layar monitor di hadapannya.
Drrrttt!! Drrrtttt!!
Getaran itu cukup merusak konsentrasi Jihan saat menyelesaikan tugas yang sedang ia kerjakan sekarang, tanpa melihat nama yang tertera di layar BB putihnya Jihan langsung mengangkat telpon itu.
“Halo?”
“Halo”
Suara itu terdengar familiar di telinga Jihan, ia merasa tidak asing dengan suara ini.
“Ini gak mungkin Berry, gak mungkin” pikir Jihan.
“Ini siapa?”
“Udah lupa sama aku?”
“Berry?” Ucap Jihan dengan ragu.
Tanpa Jihan ketahui Berry tersenyum mendengar ucapan Jihan tersebut, ia pikir Jihan telah melupakannya namun ternyata salah.
“Berry?” Panggil Jihan lagi.
“Iya, aku Berry. Oh ia siang ini kamu sibuk gak?”
“Eng.. Enggak emang kenapa?”
“aku pengen ketemu kamu” kata Berry lagi.
Jihan terdiam seakan tak percaya apa yang barusan ia dengar. Seseorang yang masih di hatinya sampai saat ini mengajaknya bertemu lagi, di saat-saat ia mulai ingin melupakan semua tentang Berry.
“Jihan?” Panggil Berry, yang membuat Jihan sedikit terkejut.
“Engh, ahh iy.. Iya ber, di mana?”
“Di caffe biasa yah, jam 12 aku tunggu”
Belum sempat Jihan menjawab, Berry telah memutuskan telponnya. Jihan pun segera membereskan map-mapnya yang sedikit berantakan itu. Ia pun langsung melaju menggunakan Taksi.
—
Sesampainya di caffe, Jihan mulai mencari sosok Berry. Di sudut caffe, tepat di mana dirinya dan Berry sering makan dan ini merupakan caffe favorit mereka berdua di waktu dulu. Jihan menghampiri Berry dengan langkah ragu, perlahan namun pasti kini Jihan berada tepat di samping tempat duduk Berry. Berry yang sadar dengan kehadiran Jihan pun langsung menatap Jihan. Ia tak menyangka Gadis yang dicintainya kini telah dewasa. Tampilannya anggun dan menawan. Matanya seolah tak mau berpaling dari pandangannya kini.
“Berry?” Sapa Jihan Lembut.
Namun Berry tetap memerhatikan Jihan, yang membuat Jihan kebingungan dan tersenyum kecil.
“Berry??” Kini nada suara Jihan agak sedikit keras.
“eh, iya.. iya..” Lamunan Berry buyar, jujur ia sangat terkejut mendengar sentakan Jihan itu.
Jihan kini duduk dan ia sangat tak bisa lagi menahan tawanya sejak tadi, dan akhirnya Tawanya pun Lepas.
“Kamu kenapa Ber? Segitunya haha” tanya Jihan yang membuat Berry kikuk.
“Anu… Eng.. kamu cantik han” kata Berry memalingkan matanya dari tatapan Jihan. Mungkin ia merasa sedikit sungkan berada di depan Jihan. Gadis yang tidak pernah bisa ia lupakan dalam hidupnya.
“Ah, kamu gombal aja, oh iya apa kabar?”
“Baik aja nih, kamu sendiri?”
“kalau aku ke sini.. Itu tandanya aku sehat dong” ucap Jihan cengar-cengir.
“Dasarrrr… Udah lama kita gak ketemu yah? Aku kangen..”
“Kamu sih pake acara ngilang-ngilang segala, aku uda coba hubungin temen-temen kamu dan jawabannya sama, mereka gak tau kamu ada di mana. Dan dari situ aku memutuskan untuk berhenti dan coba lupain kamu. Tapi… Gak bisa ber. Sampai saat ini aku masih sangat mencintai kamu”
Berry sangat merasa bersalah dengan semua ini, ia tak kuasa melihat gadis yang berada di depannya kini mengutarakan isi hatinya untuk seorang Berry! Ia terlalu bodoh untuk menyia-nyikan Jihan.
“Maafin aku han, aku gak bermaksud..” Kata Berry sambil mencoba menggenggam tangan Jihan.
“Haha.. Udahlah itu masa lalu.. Gak baik kalau diungkit-ungkit Ber…”
“Han, aku ngajak kamu ketemuan di sini.. Karena aku pengen bilang”
“Apa Ber?
Berry tertunduk, ia sangat tidak sanggup mengatakan hal ini sekarang.
“Berry?” Panggil Jihan.
“Sebenarnya, aku menghilang selama ini aku ke luar negeri untuk berobat han.”
“Berry? Kamu sakit? Sakit apa? Parah gak?” Tanya Jihan dengan nada khawatir
Pertanyaan Jihan membuat Berry semakin sulit membuka mulut untuk mengatakan tentang penyakitnya.
“Jangan buat aku khawatir Ber, please! Ngomong”
“aku… Aku divonis terkena Jantung kronis”
Mata Jihan terbelalak bibirnya pun bungkam saat mendengar perkataan Berry barusan. Ia tak menyangka orang yang dicintainya mengidap penyakit separah ini.
Duaarrr!! Duaarrr!! Suasana hati Jihan tak karuan, jujur hatinya sangat sakit. Ia tak tega dan sangat tak siap harus kehilangan Berry.
“Sebenarnya waktu aku mutusin kamu, aku bohong han. Aku sebenarnya sayang banget sama kamu. Aku gak mau lihat kamu sedih ketika aku sudah gak ada nanti. Aku gak mau lihat kamu netesin air mata karena aku han. Aku gak mau”
“Kenapa kamu bilangnya baru sekarang Ber? Kenapa?” Seketika air mata Jihan mengalir deras di pipinya.
“Han.. maafin aku.. aku cuma gak pengen kamu sedih han itu aja”
“Kamu jahat ber, kamu jahat…” Jihan pun beranjak pergi.
“Jihan.. Jihannn dengarin aku dulu..” Berry mencoba meraih tangan Jihan, tapi berhasil ditepis oleh Jihan.
Berry pun membiarkan Jihan pergi dari hadapannya.
Tiba-tiba Berry terjatuh dari tempat duduknya, tangannya berada tepat di bagian dadanya ia meringis kesakitan.
—
Saat beberapa langkah dari caffe. Langkah Jihan pun terhenti ketika mendengar suara ambulan berhenti di depan caffe tempat ia dan Berry tadi. Ia melihat beberapa orang memboyong seorang pria dari caffe itu.
“Berry?” Hati Jihan mulai panik.
“Iya.. Itu Berry” Jihan pun berlari sekuat tenaganya, menghampiri kerumunan orang-orang yang mengangkat Pria tadi.
Air mata Jihan pun semakin deras setelah mengetahui pria itu benar-benar Berry. Orang-orang mulai membopong Berry ke dalam ambulance. Jihan kini berada tepat di samping Berry.
“Berry, maafin aku ber.. Maafin aku?”
Jihan menggenggam erat tangan Berry. Baru kali ini ia melihat Berry terbaring lemah tak berdaya.
Sesampainya di rumah sakit, Berry langsung dibawa ke ruang ICU. Jihan sangat gelisah menunggu dokter yang menangani Berry di dalam ruangan itu. Sesekali ia berdiri, duduk dan mondar-mandir sambil sesekali meneteskan airmata. Tak lama keluarlah dokter dari ruangan Berry.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan pada dokter itu.
“Syukurlah, Berry secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika tidak mungkin dia sudah tidak bisa tertolong, saya sudah memberikan obat pereda sakit untuk Berry. Jika ingin silahkan masuk”
“Terima kasih dok.” Jihan pun memasuki ruangan Berry.
Ia tatap Berry yang benar-benar terbaring lemah di hadapannya kini. Air matanya terjatuh dan mengenai tangan Berry.
“Ber, aku sayang kamu aku gak mau kamu pergi lagi ber, apalagi untuk selamanya aku gak mau” Jihan menggengam erat tangan Berry sambil terus menangis.
Perlahan tangan Berry mulai bergerak, matanya mulai terbuka. Ia menatap Jihan yang menggenggam tangannya tadi. Ia mencoba mengusap lembut rambut Jihan.
“Berry? Kamu udah sadar. Aku panggilin dokter yah bentar” Berry dengan cepat mencegah Jihan, dan menyuruh Jihan duduk lagi.
“Kenapa Ber?”
Berry melepaskan oksigennya.
“Aku sayang sama kamu han” Kata Berry sambil tersenyum.
“Aku juga sayang Ber sama kamu” Jawab Jihan dan membalas senyum Berry.
“Maafin aku han”
“Maaf untuk apa?”
“Maaf aku udah buat kamu khawatir, buat kamu sedih dan ngeluarin air mata karena aku. Aku terlalu bodoh memutuskan kamu dulu, kamu mau maafin aku? Dan kita balikan?”
“Aku udah maafin kamu kok ber, dan iya aku mau balikan sama kamu tapi dengan satu syarat”
“Apa?”
“Pokoknya kamu harus sembuh yah”
Berry tersenyum dan berkata.
“Asal kamu di dekat aku selalu, aku pasti bakalan cepet sembuh kok”
“Ah kamu bisa aja”
Mereka pun asyik bercanda.
Sejak saat itu Jihan tak pernah absen menemani Berry untuk berobat.
—
Waktu bergulir dengan cepatnya, tidak terasa 2 tahun sudah hubungan mereka berdua. Hari ini tepat hari jadi mereka yang ketiga. Mereka pun menghabiskan waktu berdua
“Han, coba bayangin gimana kalau nanti suata saat aku ada di atas sana?” Tunjuk Berry ke arah langit yang cukup cerah itu.
Jihan terdiam sambil menatap lesu Berry.
“Ber?” Ucap Jihan pelan.
“Hmm?” Jawab Berry yang tetap fokus pada pandangannya tadi.
“Kamu ngomong apa sih?”
Berry terdiam, pandangannya mulai beralih menuju mata Jihan.
“Kamu gak boleh pesimis gitu, pokoknya kamu harus sembuh demi aku dan demi kita Ber” kata Jihan menyemangati Berry.
Berry tersenyum dan menarik Jihan ke pelukannya. “Aku sayang kamu han”
“Aku juga ber”
“Awww!!! arggghhh!!! sakitt!!!” Berry langsung memegangi dadanya Dan meringis kesakitan.
“Ber? Berry? Kamu kenapa?” Tanya Jihan panik.
Berry terus menerus meringis kesakitan, Jihan yang panik berusaha menelpon pihak rumah sakit yang sering Berry kunjungi untuk berobat itu.
Ambulan pun datang. Berry digotong oleh dua petugas ambulans tersebut dan langsung bergegas melaju menuju rumah sakit. Jihan yang sedari tadi mondar-mandir di depan ruangan Berry terlihat gelisah sambil terus menangis menanti dokter ke luar.
Krekk! Pintu ruangan itu terbuka, keluarlah dokter dari dalam sana.
“Gimana dok keadaan Berry?” Tanya Jihan sesegukan, karena baru saja berhenti dari tangisnya.
“Keadaan Berry melemah” dokter tertunduk.
Jihan terpaku dengan pernyataan dokter.
“Sebaiknya kita serahkan semua ini pada Tuhan,banyak-banyak saja berdoa”
“Apa saya sudah boleh menjenguk Berry didalam dok?”
“Silahkan, Berry menunggu kamu di dalam”
Dengan Cepat Jihan langsung menghampiri Berry dan duduk di kursi samping kasur rawat Berry.
“Berry” panggil jihan pelan.
Ia memegangi tangan Berry lembut, ia usap lembut di pipi mulusnya. Ia sangat merindukan kehangatan tangan Berry.
“Berry bangun” ucap Jihan mulai lirih.
Jihan menangis sejadi-jadinya di atas tangan Berry. Tak lama ia lihat tangan Berry bergerak-gerak, oksigen yang menutupi hidungnya pun berembun.
“Berry? Berry.. kamu udah sadar?”
Berry melepas oksigennya. Wajahnya masih sangat pucat pasi.
“Kamu kenapa, kok nangis?” Tanya Berry yang melihat mata Jihan sembab.
“Aku takut kamu kenapa-kenapa”
“Udah dong, jangan nangis yah sayang aku udah sadar nih walaupun cuma sementara buat ngucapin selamat tinggal sama kamu”
“Maksud kamu apa ber?” Tanya Jihan bingung mendengar perkataan Berry itu.
Berry menghela napasnya panjang.
“Aku cape, aku udah gak kuat han”
“Berry jangan gitu, aku ada di sini aku nemanin kamu di sini ber. Ingat janji awal kita? Kamu harus sembuh”
“Aku udah gak kuat han..”
“Berry..”
“kalau nanti aku udah sama Tuhan, janji yah kamu jangan sedih terus” Berry mecubit lembut pipi gadis yang ada di hadapannya ini.
Jihan tertunduk.
“kalau kamu sedih terus, aku gak tenang di sana, kamu mau aku gak tenang?”
Jihan menggeleng pelan.
“Nah, makanya jangan sedih terus yah. Kalau kamu kangen sama aku coba deh kalau malam kamu lihat bintang yang ada di atas awan, dan lihat bintang yang paling terang di situ aku, aku lagi lihat kamu dan aku pasti lagi kangen sama kamu. Setiap malam aku nemanin kamu dengan sinarku walaupun gak sebanding sama sinarnya bulan sih hehe tapi cukup kok buat ngobatin rasa kangenmu ke aku”
“Berry aku mohon.. Kamu kuat aku gak mau kehilangan kamu ber aku sayang kamu”
Bendungan sungai kecil yang sudah berada di ujung kantung mata Jihan itu pun penuh dan akhirnya Jihan mulai menangis lagi.
“Maafin aku han.. Kamu jaa arrghhtt! ja-ngan nangisss…” Kata Berry dengan nada lirihnya.
Tak lama. Berry mengejang. Genggaman tangannya pada tangan Jihan mulai mengendur.
“Berry? Berry!! Dokterrr!!” teriak Jihan sambil ke luar dari ruangan untuk mencari dokter diiringi tangisnya.
Dokter datang.
Tutt!! Mesin detak jantung Berry itu berbunyi nyaring.
“Maaf.. kami sudah berusaha semampu kami tapi ternyata Tuhan berkehendak lain Berry sudah pergi”
“Apa dok? Gak mungkin.. Berry!!”
Tangis Jihan pecah, ia menggoyang-goyangkan tubuh Berry sambil menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk erat Berry, sebelum Berry benar-benar pergi dari hadapannya kini.
—
Jihan merenung sepi di koridor kamarnya, tetesan air mata itu menemani malam sendu Jihan kali ini.
“Berry, aku kangen kamu” ucap Jihan.
Ia pandangi langit yang bertabur beribu bintang itu, ia ingat ucapan Berry. Ia mulai mencari satu bintang yang paling terang, itu adalah Berry. Jihan tersenyum saat menatap bintang itu
“Berry kamu apa kabar di sana? Apa kamu baik-baik aja? Tuhan pasti jagain kamu kan ber. Berry, aku kangen kamu” Ucap Jihan sambil terus menatapi Bintang itu.
“Aku sayang kamu ber..”
Tamat
Cerpen Karangan: Jihan Nabilla Putry
kategori: Cerpen Cinta Sedih
Email : Jihanabillap@gmail.com
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
kategori: Cerpen Cinta Sedih
Email : Jihanabillap@gmail.com
Sumber : http://www.cerpenmu.com
Editor : Ferlin
0 komentar to "Aku Kehilanganmu"